Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58322 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Wijaya
"ABSTRAK
Permasalahan korupsi tidak lepas dari kerugian keuangan negara yang diakibatkannya. Salah satu upaya hukum untuk memberantas korupsi adalah dengan merampas aset hasil korupsi melalui Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Namun untuk dapat menerapkan konsep ini perlu untuk diketahui terlebih dahulu mekanisme perampasan aset hasil korupsi yang ditetapkan sebagai aset tercemar sehingga dapat dirampas melalui NCB dan juga konsep NCB ini masih menjadi masalah terkait dengan kemungkinannya untuk dapat diterapkan dalam hukum di Indonesia. Untuk itu, dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif dan dengan menggunakan analisis kualitatif penulis akan menjawab permasalahan yang ada terkait dapatkah perampasan aset NCB ini menjadi instrumen hukum yang mampu memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Di akhir, penelitian ini menemukan bahwa perampasan aset NCB adalah konsep terbaik yang dapat digunakan untuk memaksimalkan pengembalian kerugian keruangan negara dari tindak pidana korupsi.

ABSTRACT
The problem of corruption is inseparable from its impact on state financial losses. One legal effort to eradicate corruption is to seize assets resulting from corruption through Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). However, to be able to apply this concept it is necessary to know in advance the mechanism of appropriation of assets resulting from corruption which is determined as a tainted asset so that it can be seized through the NCB and also the NCB concept is still a problem related to its possibility to be applied in law in Indonesia. For this reason, by using normative research methods and by using qualitative analysis the author will answer the existing problems related to whether the seizure of NCB assets is a legal instrument that is able to maximize the return of state financial losses from corruption. In the end, this research found that NCB's asset seizure is the best concept that can be used to maximize the return of state spatial losses from corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Joseph Eliazer Sumanti
"ABSTRAK
Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai bagian integral dari pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi suatu keharusan disamping menjatuhkan pidana terhadap pelakunya. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang saat ini diterapkan melalui pemidanaan pengadilan tidak efektif dan efisien ketika aparat penegak hukum dihadapkan pada situasi-situasi sulit akibat pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri dari proses hukum dengan membawa serta aset hasil tindak pidana korupsinya ke luar yurisdiksi Indonesia. Diperlukan suatu mekanisme alternatif dalam rangka melaksanakan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang tidak bergantung pada putusan pemidanaan. Mekanisme ini perlu diimplementasikan sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana di Indonesia dibarengi penguatan dan sinergitas pelaksanaan kerja sama internasional, mengingat begitu banyak jumlah nilai aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan dan disimpan di negara-negara luar.

ABSTRACT
The effort to return the proceeds of corruption crime as an integral part of the prevention and eradication corruption crime has been an obligation beside to punish the offender itself. The return of the proceeds of crime nowadays through the conviction based asset forfeiture has not been effective and efficient because the law enforcement officers face a difficult circumstances when the offender fled the jurisdictions taking with him the proceeds of corruption crime. It needed an alternative mechanism to confiscate the proceeds of corruption crime which is not dependent on the sentencing conviction as known as the non-conviction based asset forfeiture mechanism. This mechanism should be implemented as an comprehensive part of the criminal law policy in Indonesia side by side with the strengthen effort of international cooperation with foreign jurisdiction as a consequences which should be consider that there too many the value of proceeds of corruption crime removed to foreign jurisdictions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Porajow, David Fredriek Albert
"Kejahatan bermotif ekonomi telah mengakibatkan kerugian negara. Penindakannya sebatas pada penjatuhan pidana kepada pelaku (in personam) namun belum menyentuh hasil kejahatan itu. Perampasan pidana sulit dilaksanakan saat terdakwanya meninggal dunia atau melarikan diri. Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan perampasan secara perdata (in rem) yang ditujukan kepada aset pelaku tanpa melalui proses pidana.
Permasalahan penelitian ini adalah: apakah Non-Conviction Based Asset Forfeiture merupakan alternatif untuk memperoleh kembali kerugian negara karena tindak pidana yang berkaitan dengan perekonomian negara? Dengan menggunakan metode deskriptif normatif, peneliti menganalisis efektifitasnya dalam pengembalian kerugian Negara. Kesimpulan yang diperoleh sebagai hasil penelitian ini adalah Non-Conviction Based Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai langkah alternatif pengembalian kerugian negara.

Economically motivated crimes have resulted in losses to the state. Limited to the imposition of criminal prosecution of the perpetrator (in personam) but has not touched the proceeds of the crime. Criminal Confiscation difficult to implement when the defendant died or fled. Non-Conviction Based Asset forfeiture is a deprivation of the civil (in rem) addressed to the assets of the perpetrators without going through the criminal process.
The problem of this study is: is Non-Conviction Based Asset forfeiture is an alternative to recover the losses due to criminal offenses relating to the economy of the country? By using descriptive normative method, researchers analyzed its effectiveness in recovering losses State. Conclusions made ​​as a result of this study is Non-Conviction Based Asset forfeiture can be used as an alternative measure of return loss to the state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zebua, Rahmaeni
"ABSTRAK
UNCAC Tahun 2003 menawarkan non-conviction based asset forfeiture untuk diberlakukan di setiap negara sebagai alternatif perampasan terhadap hasil tindak pidana. Perampasan aset tanpa penghukuman terhadap pelaku memberikan terobosan terhadap kelemahan pengaturan KUHP yang masil berorientasi terhadap pelaku. Model perampasan ini berlaku untuk setiap hasil kejahatan meskipun telah bercampur dengan dana yang sah dan dikuasai oleh pihak lain. Saham menjadi kualifikasi aset tersebut. Kepastian hukum terhadap saham tersebut perlu untuk dianalisa jika atasnya diterapkan non-conviction based asset forfeiture. Ketidakmampuan pelaku untuk hadir dan membuktikan bahwa aset yang dimilikinya merupakan hasil perolahan dana yang sah. Namun, kendala terhadap saham sendiri tidak dapat disamakan dengan perampasan harta lainnya. Kepemilikan saham serta penguasaan oleh pihak ketiga menjadi salah satu kendala untuk dapat menelusuri saham sebagai aset tercemar. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menghadirkan undang-undang yang lebih komprehensif dibandingkan pengaturan yang ada saat ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep dan kasus. Non-conviction based asset di Indonesia masih diatur berdasarkan gugatan perdata dan Perma No. 1 Tahun 2013. Tahapan-tahapan perampasan aset berdasarkan 2 peraturan tersebut masih memiliki kendala yang dapat merugikan negara dalam hal perampasan saham. Sistem hukum di Indonesia masih belum memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap perampasan aset khususnya terhadap saham.

ABSTRACT
forfeiture as an alternative to seizure proceed of crime. Non conviction based asset forfeiture provide a breakthrough against susceptibility Criminal Code that its in personam oriented. This forfeiture model is applied to each proceed crime eventhough derivied from or obtained directly or indirectly, through commison of an offence. Thus, its applying to asset as stock of corporate. The certainty of law of stock as an asset of corporate must has analized when non conviction based asset forfeiture applied. The ability of offender to present and prove the asset is not derived from aset legally tainted. Nevertheless, the obstacles to seizure the stock of corporate is distinguish than others proceed of crime. The ownership of beneficial owner and corporate control of stock is one of the obstacles to track the proceed of crime. The aim of this paper is to encourage goverment to apply statute of asset recovery. The method is juridicial normative with statute, cases and concept approach. Non conviction based asset forfeiture according to civil procedure and Perma No. 1 Tahun 2013. Stages of asset forfeiture according its rules has any weaknesses to seizure the stock of corporate as a proceed of crime. Indonesia systems of law has not been able to give a protection and certainty of law to forfeit the stock. "
2018
T51482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freddy Ferdinant Sanses
"Kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan Narkotika sangatlah besar dan masif. Pemerintah dipaksa menanggung beban biaya ekonomi (economic costs), biaya manusia (human costs) dan biaya sosial (social costs) pada setiap tahunnya. Di sisi lain, hukuman mati yang diyakini memiliki efek penggentar (general deterrence) ternyata tidak bisa menurunkan aktivitas kejahatan Narkotika. Sedangkan, kebijakan kriminal yang dibangun pemerintah selama ini hanya berfokus pada penghukuman, di sisi lain perampasan hasil kejahatan berupa aset belum menjadi fokus perhatian. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang digagas Pemerintah menjadi landasan utama. Penelusuran bahan hukum baik dalam hukum positif Indonesia maupun beberapa intrumen hukum internasional yang mengatur tentang gugatan In Rem menjadi penting yang digunakan untuk mengetahui urgensi dan kategorisasi aset tercemar dalam gugatan In Rem. Penelusuran bahan hukum tersebut juga digunakan untuk meninjau dukungan aspek yuridis normatif serta beberapa isu penting terkait hak asasi manusia.

The loss of narcotic crime is enormous and massive. The government is forced to bear the burden of economic costs, human cost and social cost on a yearly basis. On the other hand, the death penalty believed to have a general deterrence was apparently unable to degrade narcotic crimes. Meanwhile, the criminal policy that has been built by the government has only focused on condemnation, on the other hand the seization of the crime of assets has not been a focus of attention. This research uses normative juridical analysis, the criminal asset deprivation BILL initiated by the government to be the main cornerstone. The search for legal materials in both the positive law of Indonesia as well as some international law instruments governing the In Rem lawsuit are important to be used to know the urgency and categorization of tainted assets in Rems lawsuit. The search for the legal material is also used to review the normative juridical aspects of support as well as some important issues relating to human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53756
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Reisalinda Ayuningsih
"Pada tahun 1997 dan 2004-2005, Pemerintah Indonesia melikuidasi beberapa bank umum antara lain akibat adanya tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh para pemegang saham dan/atau para pengurus bank. Sisa aset bank tersebut diserahkan kepada Pemerintah untuk dikelola, dimana hasil pengelolaan aset tersebut diperhitungkan sebagai pengurang kewajiban bank. Selama ± 13 tahun mengelola aset tersebut, Pemerintah mengeluarkan biaya pengelolaan aset yang cukup besar yang tidak sebanding dengan penerimaan hasil pengelolaan aset. Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa menerbitkan UNCAC 2003 yang antara lain mengatur mengenai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Beberapa negara, contohnya Amerika Serikat dan Thailand, menggunakan NCBAF ini sebagai strategi baru yang digunakan untuk memperbaiki situasi dimana penyitaan tidak efektif karena terlalu sulit untuk mencapai sanksi pidana. Untuk itu, penelitian ini mengkaji pengaturan dan pelaksanaan mekanisme ini di Indonesia, Amerika Serikat, dan Thailand terhadap tindak pidana di bidang perbankan, khususnya pada Bank Dalam Likuidasi (BDL) serta memberikan rekomendasi dalam rangka pengembalian aset (asset recovery) pengelolaan aset BDL ditinjau dari hukum responsif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif untuk memperoleh hasil kajian yang bersifat preskriptif-analitis dengan mengolah data baik primer maupun sekunder. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa mekanisme ini telah berhasil dilaksanakan di Amerika Serikat dan Thailand. Namun, belum dilaksanakan di Indonesia karena masih menganut mekanisme criminal forfeiture dan dalam pelaksanaannya masih berhadapan dengan beberapa kendala. Oleh karena itu, Pemerintah perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dengan mengakomodir beberapa konsep kunci. Pengesahan ini merupakan perwujudan hukum yang responsif atas kebutuhan sosial masyarakat.

In 1997 and 2004-2005, the Government of Indonesia liquidated several commercial banks due to criminal acts in the banking sector committed by shareholders and/or bank administrators. The bank's assets are handed over to the Government to be managed, where the results of the management of these assets are taken into account as a deduction from the bank's liabilities.  During ± 13 years of managing these assets, the Government incurred sufficient asset management costs that were not proportional to the receipt of asset management results. On the other hand, the United Nations issued UNCAC 2003 which among other things regulates Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF). Some countries, for example the United States and Thailand, are using the NCBAF as a new strategy used to improve situations where seizures are ineffective because it is too difficult to achieve criminal sanctions. For this reason, this study examines the regulation and implementation of this mechanism in Indonesia, the United States, and Thailand against criminal acts in the banking sector, especially in Banks In Liquidation (BDL) and provides recommendations in the context of asset recovery in the management of BDL assets in terms of responsive law. This research uses normative research methods to obtain prescriptive-analytical study results by processing data both primary and secondary. From the results of the study concluded that this mechanism has been successfully implemented in the United States and Thailand. However, it has not been implemented in Indonesia because it still adheres to the criminal forfeiture mechanism and in its implementation it is still facing several obstacles. Therefore, the Government needs to immediately pass the Asset Forfeiture Bill by accommodating several key concepts. This ratification is the embodiment of a law that is responsive to the social needs of the community."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washington DC : World Bank, 2009
345.077.3 STO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asrul Tenriaji Ahmad
"Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman ini. Sebuah tantangan yang mau tidak mau harus dan dapat kita hadapi. Sejumlah peristiwa yang terjadi guna mencapai sebuah kodifikasi ketentuan hukum internasional yang mengikat anggotanya dalam perlawanan terhadap tindak pidana korupsi adalah perjuangan sangat berarti bagi negara-negara yang membutuhkan kodifikasi atas ketentuan tersebut. Ketentuan yang aplikatif tentu saja adalah sesuatu hal yang diharapkan. UNCAC adalah sebuah paradigma baru dalam kehidupan masyarakat dunia. UNCAC mengandung sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana korupsi dengan pendekatan-pendekatan yang aktual dan implementatif. Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Nigeria yang dilakukan oleh Jenderal Sani Abacha dan kaki tangannya merupakan sebuah leading case terkait penanggulangan tindak pidana korupsi secara transboundary.

Corruption is one of the many challenges in today's world we have to face. One that we have to face nevertheless. A number of occurrences that resulted to the codification of international law that binds its members towards the efforts of corruption eradication is a significant outcome for countries in need of the aforementioned stipulations. The goal is without doubt an applicable stipulation. UNCAC is a new paradigm in world society. UNCAC is instilled with regulations that are meant to prevent the crime of corruption with actual and contemplative approaches. The processing of General Sani Abacha's crime of corruption and his cronies in Nigeria is a leading case relating to trans-boundary judicial process of corruption."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Bethesda
"Mempidana terdakwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan hanya didasarkan atas perbuatan yang menimbulkan akibat yakni kerugian negara, akan tetapi cukup dengan apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Namun dalam prakteknya bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara membutuhkan adanya kerugian negara yang nyata atau riil. Di samping itu bahwa rumusan ancaman pemidanaan dalam kedua pasal a quo memberikan kontribusi akan terjadinya disparitas pemidanaan karena selain memuat alternatif mengenai jenis-jenis pidana juga memuat ancaman pidana minimum dan maksimum. Keadaan rumusan demikian merupakan ancaman pemidanaan dalam bentuk ruang hampa yang harus dikonkretisasi dalam penjatuhan pemidanaan. Dengan begitu pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menilai efektivitas implementasi pemidanaan dalam kaitannya dengan jumlah kerugian keuangan negara. Kajian yang dilakukan juga merupakan bentuk kajian yuridis normatif melalui pendekatan undang-undang (statute approach)dan analisa putusan (decision analysis). 

Convicting the defendants of corruption in Article 2 and Article 3 of Law Number 20 of 2001 on Amendment to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication is not only based on acts affecting the state financial or economic losses, but it is rather considered as despicable because it is not corresponding to the sense of justice or the norms of social life in the society. However, state financial or economic losses require real state losses. In addition, the formulation of criminal punishment in the two a quo articles contributes to the disparity of punishment as those do not only contain alternatives regarding types of crime, but also minimum and maximum criminal punishment. This situation is a criminal punishment in the form of vacuum which must be concretized in the criminal conviction. Therefore, the approach used in this research was to assess the effectiveness of implementation of criminalization in relation to the amount of state financial losses. The study conducted was also a form of normative juridical study through a statute approach and decision analysis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Brotoseno
"Dampak globalisasi telah menimbulkan konsekuensi logis terhadap berkembangnya kuantitas dan kualitas berbagai kejahatan, tidak terkecuali pada perspektif tindak pidana korupsi yang semakin menjadi perhatian dunia karena dampaknya yang sangat merugikan negara. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia dewasa ini mengalami berbagai kendala yang cukup kompleks. Berbagai upaya implementasi strategi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme telah dilaksanakan, walaupun tidak optimal. Demikian halnya dengan pembentukan berbagai peraturan perundangan dan komisi pemberantasan KKN. Namun tingkat KKN, khususnya korupsi di Indonesia tidak juga mengalami perubahan berarti.
Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Dengan demikian diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan holistik untuk melakukan gerakan anti-korupsi pada berbagai tingkatan. Tingginya kerugian negara sebagai salah satu dampak korupsi, menjadikan konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini lebih berorientasi kepada upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Sehingga unsur kerugian negara menjadi unsur essensial dari tindak pidana korupsi pada berbagai peraturan perundang-undangan.
Maksud pengembalian kerugian negara kemudian diakomodir dalam Pasal 38 B ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”. Dalam Undang-Undang ini juga terdapat penerapan sistem “pembuktian terbalik” untuk mendukung upaya pengembalian kerugian negara.

The impact of globalization has led to a logical consequence of the development of the quantity and quality of various crimes, not least in the perspective of corruption is increasingly becoming the world's attention because of its effects are extremely detrimental to the state. Eradication of corruption, collusion and nepotism (KKN) in Indonesia today, difficulties are quite complex. Various efforts to implement strategies to eradicate corruption, collusion and nepotism have been carried out, although not optimal. Similarly, with the establishment of various laws and combating corruption commission. But the level of corruption, especially corruption in Indonesia is not too significant change.
Corruption has become an outbreak of infectious disease in every state apparatus from the lowest level to the highest level. Thus more efforts are required to undertake a comprehensive and holistic anti-corruption movement at various levels. The high losses to the state as one of the effects of corruption, making the context of law enforcement corruption is now more oriented to the effort to re-state losses. Consequently, the eradication of corruption is not solely intended for criminals sentenced to prison (detterence effect), but must also be able to restore the losses that have been corrupted. So that the state's losses become essential elements of the crime of corruption in various legislations.
Purpose state indemnification then accommodated in Article 38 B (2) of Law No. 20 of 2001 on the Amendment of Act No. 31 of 1999 on Corruption Eradication, which reads: "In case the defendant can not prove that the property referred to in paragraph (1) is obtained not because of corruption, such assets are considered acquired also of corruption and judges the authority to decide all or part of the property seized for the state ". In this Act also contained system implementation "of proof" to support the efforts of the state indemnification.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>