Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137438 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tasya Fitriana Semudi
"Hepatocelluler carcinoma merupakan penyakit keganasan yang terjadi pada hati. Salah satu penatalaksanaan penyakit yang dilakukan adalah dengan laparoskopi hepatektomi dimana sebagian hati dengan sel karsinoma akan diangkat. Pasien paska pembedahan laparoskopi hepatektomi rentan mengalami komplikasi paska operasi. Saat ini pasien berada pada hari rawat kelima paska pembedahan, dimana komplikasi yang mungkin terjadi yaitu infeksi, perdarahan dan asites. Sehingga perawat memiliki peran penting untuk mencegah komplikasi paska bedah. Salah satu cara untuk mencegah komplikasi paska bedah yaitu dengan pemberian intervensi ambulasi. Pemberian intervensi ambulasi efektif dalam mencegah komplikasi paska pembedahan, meningkatakan kemandirian, mengurangi lama hari rawat di rumah sakit dan meningkatkan kualitas hidup pasien paska pembedahan laparoskopi hepatektomi. Intervensi ambulasi mudah dilakukan, tidak membutuhkan alat dan mudah dilakukan kembali oleh pasien dan keluarga pasien. Intervensi ambulasi dilakukan selama empat hari dengan empat kali sesi pertemuan. Hasil yang didapatkan menunjukkan adanya penurunan tingkat nyeri, peningkatan skor kemandirian pasien dengan kuesioner barthel index, tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka insisi pasien dan berkurangnya perdarahan. Sehingga penulis merekomendasikan pemberian intervensi ambulasi untuk mencegah komplikasi paska pembedahan laparoskopi hepatektomi.

<

Hepatocellular carcinoma is a malignant disease that occurs in liver. Laparoscopic hepatectomy is one of the managemen for the disease which part of the liver with carcinoma cells will be removed. Patients after laparoscopic hepatectomy surgery are prone to postoperative complications. Currently the patient is on the fifth postoperative day of stay, where possible complications include infection, bleeding and ascites. Nurses have an important role in preventing post-surgical complications. One way to prevent post-surgical complications is by giving ambulation intervention. The advantages of ambulation intervention is effective in preventing postoperative complications, increasing independence, reducing the length of stay in the hospital and improving the quality of life of patients after laparoscopic hepatectomy surgery. The ambulation intervention is easy to do, requires no tools and easy for patient and their family to redemonstrate. Ambulation intervention was carried out for four days with four sessions of meetings. The results obtained showed a decrease in the level of pain, an increase in the patients independence score with the Barthel Index questionnaire, there were no signs of infection in the patients incision wound and reduced bleeding. So author recommend giving ambulation intervention to prevent complications after laparoscopic hepatectomy surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Indah Widhyanti
"Latar Belakang. Kejadian PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) masih menjadi salah satu gejala paling umum pascaanestesia dan pembedahan, di samping nyeri. Terkadang mual dan muntah lebih menyulitkan terutama pada bedah minor atau pasien rawat jalan, karena dapat memperpanjang lama rawat inap di rumah sakit. Patofisiologi dan farmakologi mual muntah pascaoperasi cukup kompleks.Mual dan muntah telah dikaitkan selama bertahun-tahun dengan penggunaan anestesi umum. Kejadian mual muntah meningkat pada operasi laparoskopi, kejadian meningkat sampai 46% - 75%. Kejadian mual muntah pascalaparoskopi di Instalasi Bedah Pusat (IBP) RSCM bulan November 2019 sebesar 45%. Tujuan dari profilaksis kejadian mual muntah ialah untuk mencegah timbulnya kejadian mual muntah sehingga mengurangi biaya perawatan kesehatan di rumah sakit. Di RSCM sedang digalakkan program KMKB (Kendali Mutu Kendali Biaya), haloperidol memiliki keunggulan dibandingkan dengan deksametason, diantaranya lama kerja yang lebih lama dibanding deksametason sehingga mengurangi kejadian mual muntah pada pasien pada lebih dari 24 jam pascaoperasi dan harga haloperidol yang lebih murah dibandingkan dengan harga deksametason. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui efektifitas haloperidol 1 mg intravena dengan dan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk membandingkan keefektivitasan haloperidol 1 mg intravena dengan deksametason 5 mg intravena untuk mencegah kejadian mual muntah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi. 80 subjek dilakukan pendataan angka NRS mual muntah dan kejadian mual muntah pascalaparoskopi.
Hasil. Penelitian ini menunjukkan angka kejadian mual terdapat perbedaan bermakna (P<0,05) pada 2-6 jam, 6-12 jam, dan 12-24 jam pascabedah laparoskopi. Untuk angka kejadian muntah pascabedah laparoskopi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (P>0,05). Angka NRS (Numeric Rating Scale) mual muntah secara statistik tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, dan jam ke-24.
Simpulan. Pemberian haloperidol 1 mg intravena berbeda secara bermakna dibandingkan pemberian deksametason 5 mg intravena secara stastistik untuk mencegah kejadian mual dan tidak berbeda secara bermakna untuk mencegah kejadian muntah pascabedah pada pasien dewasa pascabedah laparoskopi.

Background. The incidence of PONV (Postoperative Nausea and Vomiting) is still one of the most common symptoms of post-surgery, in addition to pain. Sometimes nausea and vomiting are more difficult, especially in minor surgery or outpatients, because it can extend the length of stay in hospital. The pathophysiology and pharmacology of post-operative nausea and vomiting are complex. The incidence of nausea and vomiting increases in laparoscopic surgery, the incidence increases to 46% - 75%. The aim of prophylaxis on the occurrence of nausea and vomiting is to reduce the incidence of this event, thereby reducing the cost of health care in hospitals. In RSCM the KMKB program is being promoted, haloperidol has advantages compared to dexamethasone, including a longer work time than dexamethasone, thereby reducing the incidence of nausea and vomiting in patients for more than 24 hours postoperatively and haloperidol prices which are cheaper compared to the price of dexamethasone. Therefore, the researchers wanted to know the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone and 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
Methods. This study was a double blind randomized clinical trial to compare the effectiveness of intravenous haloperidol 1 mg with dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and vomiting in adult patients after laparoscopic surgery. 80 subjects were collected NRS data collection and post-laparoscopic nausea vomiting.
Results. This study showed a significant difference in the incidence of nausea (P <0.05) at 2-6 hours, 6-12 hours, and 12-24 hours after laparoscopic surgery. The incidence of vomiting after laparoscopic surgery between the two groups was not significantly different (P> 0.05). Number of NRS (Numeric Rating Scale) nausea vomiting statistically there were no significant differences in the two groups of hours 2, 6 hours, 12 hours, and 24 hours.
Conclusion. The administration of haloperidol 1 mg intravenously is significantly different than dexamethasone 5 mg intravenously to prevent the occurrence of nausea and not significantly different to prevent the incidence of postoperative vomiting in adult patients after laparoscopic surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Wahyuningsih
"Kolelitiasis merupakan penyakit kandung empedu dimana terdapat endapan satu atau lebih komponen diantaranya empedu, kolesterol, billirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid yang membentuk suatu senyawa padat yang disebut batu empedu. Laparoskopi kolesistektomi merupakan salah satu prosedur pembedahan yang ditujukan sebagai upaya kuratif untuk mengatasi masalah penyumbatan saluran empedu, yaitu dengan mengangkat kandung empedu. Asuhan keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan yang terjadi pada pasien post laparoskopi kolesistektomi. Penulisan karya ilmiah bertujuan untuk menganalis asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien kolelitiasis dengan penerapan mobilisasi dini post laparoskopi kolesistektomi. Hasil evaluasi didapatkan masa pemulihan yang lebih cepat dengan masa rawat yang singkat, nyeri lebih cepat teratasi, dan penyembuhan luka yang baik. Mobilisasi dini sangat disarankan untuk diterapkan sesegera mungkin bagi para pasien usai dilakukan pembedahan untuk menghindari terjadinya perlambatan pemulihan pasca bedah.

Cholelithiasis is a gallbladder disease where there is one or more deposits of the bile, cholesterol, billirubin, bile salt, calcium, proteins, fatty acids, and phospholipids that form a solid compound called gallstones. Laparoscopic cholecystectomy is one of the surgical procedures aimed at curative efforts to overcome the problem of bile duct blockage, by removing the gallbladder. Nursing care is done to overcome the nursing problems of the patient who have had a laparoscopic cholecystectomy. Scientific writing aims to analize nursing care conducted in cholelithiasis patients with the application of early mobilization post laparoscopic cholecystectomy. The results of the evaluation are obtained faster recovery time with short length of stay, faster pain resolved, and good wound healing. Early mobilization is recommended to be carried out as soon as possible for patients after surgery to avoid slowing down post-surgical recovery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fitri Lidia
"

Penyakit Hirschsprung, atau congenital agangclionic megacolon, merupakan penyakit yang terdapat di usus besar karena tidak terdapatnya sel parasimpatik ganglion di dinding segmen rectum dan kolon. Penyakit ini memiliki angka insiden berkisar 1 di antara 5000 kelahiran. Penatalaksanaan definitif atau tindakan pembedahan perlu dilakukan untuk mengatasi dampak dan komplikasi dari penyakit Hirschprung. Salah satu dampak post operasi dari prosedur definitif pada anak dengan Hirschprung adalah munculnya keluhan mual dan muntah atau yang biasa disebut dengan post operative nausea and vomiting (PONV). Berdasarkan analisis masalah pada pasien kelolaan, terdapat masalah keperawatan yang terjadi pada Anak A diantaranya nyeri akut, mual (nausea), dan risiko infeksi yang muncul pada masa post operasi penutupan stoma dan prosedur definitif. Setelah dilakukan asuhan keperawatan dengan penggunaan aromaterapi dan teknik relaksasi napas dalam selama 3 hari penerapan implementasi keperawatan, didapatkan hasil penurunan stimulus mual dan dorongan untuk muntah yang dibuktikan dengan penurunan skor NRS, INVR, dan KIN setelah diberi intervensi. Anak dapat memperagakan teknik napas dalam untuk mengurangi sensasi mual, tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan akibat dari mual dan anak tampak lebih tenang dalam beristirahat. Pelayanan keperawatan diharapkan dapat menerapkan implementasi pemberian aromaterapi dan relaksasi napas dalam menangani masalah mual dan muntah sebagai inovasi dalam lingkup pelayanan kesehatan.



Hirschsprungs disease, or congenital agangclionic megacolon, is a disease found in the large intestine because there is no ganglion parasympathetic cell in the segment wall of the rectum and colon. This disease has incidents ranging from 1 in 5000 births. Definitive management or surgical action needs to be done to overcome the effects and complications of Hirschprungs disease. One of the postoperative effects of the definitive procedure in children with Hirschprung is the appearance of complaints of nausea and vomiting or commonly referred to as postoperative nausea and vomiting (PONV). Based on the problem analysis in managed patients, there are nursing problems that occur in Child A including acute pain, nausea (nausea), and the risk of infection that occurs during postoperative stoma closure and definitive procedures. After nursing care with the use of aromatherapy and deep breathing relaxation techniques for 3 days of nursing implementation, we found a decrease in stimulus nausea and an urge to vomit as evidenced by a decrease in NRS, INVR, and KIN scores after being given an intervention. Children can demonstrate deep breath techniques to reduce the sensation of nausea, there are no signs of lack of fluids due to nausea and the child appears more calm in resting. Nursing services are expected to be able to implement the implementation of aromatherapy and relaxation of breath in dealing with the problem of nausea and vomiting as innovation in the scope of health services.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jesita Noor Sabila
"Hipospadia adalah kelainan kongenital kedua yang paling banyak ditemui pada anak. Pembedahan merupakan tindakan utama untuk mengatasi masalah hipospadia. Nyeri akut akibat pembedahan merupakan masalah keperawatan utama yang dialami anak paska pembedahan. Tujuan dari intervensi keperawatan  yang diberikan pada anak dengan hipospadia paska pembedahan untuk perbaikan fistel adalah meningkatkan rasa nyaman aman dengan mengurangi rasa nyeri melalui penerapan teknik relaksasi napas dalam. Hasil penerapan  teknik relaksasi napas dalam yang dilakukan selama empat hari perawatan menunjukkan penurunan skor nyeri dari skor 5 menjadi 2 yang dilakukan pengukuran menggunakan numeric rating scale. Hasil karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi nyeri anak khususnya pada anak dengan masalah nyeri akut paska pembedahan.

Hypospadias is the second congenital disorder that is commonly found among children. Surgery becomes the main treatment for Hypospadias. An acute pain caused by the surgery is the main nursing matter faced by the child after the surgery. The purpose of nursing intervention given to the Hypospadias child after the fistula repair surgery is to increase the feeling of comfort and secure by relieving the pain through the implementation of deep breath relaxation technique. The result of the application of deep breath relaxation technique conducted for four nursing days shows the decrease of pain scores from a score of 5 to 2 which was measured by using numeric rating scale. The result of this research paper is expected to become one of the alternatives to relieve the pain of the child especially the child who suffers from an extreme pain after the surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Agus Wibowo
"ABSTRAK
Laju urbanisasi yang sangat cepat berdampak terhadap perubahan gaya hidup dan pola diet masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan kurang melakukan aktifitas fisik, mengkonsumsi makanan siap saji dan rendah serat yang akhirnya menimbulkan konstipasi dan hemoroid. Terdapat 5,7% prevalensi hemoroid di Indonesia dari total populasi sekitar 10 juta penduduk. Dan meningkat pada usia 45-65 tahun. Karya ilmiah ini menganalisis asuhan keperawatan terhadap pasien post hemoroidektomi dengan intervensi unggulan edukasi pre dan post operasi. Pasien jarang mengkonsumsi sayuran akibatnya konstipasi dan mencetuskan hemoroid. Pasien mengalami nyeri, gatal, rasa panas, perdarahan, bahkan anemia defisiensi besi. Dan menimbulkan masalah keperawatan nyeri akut, intoleransi aktifitas, konstipasi. Penyalahgunaan obat laksatif memperparah konstipasi. Edukasi dengan menekankan komplikasi dapat mengubah perilaku pasien. Keluarga berperan penting membentuk perilaku hidup sehat, mengkonsumsi sayuran. Penulis merekomendasikan setiap perawat yang mengedukasi pasien hemoroid agar menekankan komplikasi. Pasien hemoroid eksternal maupun internal sebaiknya segera periksa ke pelayanan kesehatan untuk menghindari komplikasi.

ABSTRACT
Rapid urbanization and changing lifestyles had led to a shift in dietary patterns. People were now consuming more junk food without enough dietary fiber and also deficient physical activity. Therefore constipation and hemorrhoid occured. Indonesia has 5,7 percent hemorrhoids prevalence from ten million people between ages 45 and 65 years old. The aim of the Scientific work was to analyze patient nursing care hemorrhoidectomy which the pre and post education in primary operation intervention. Patien injured with pain, itching, burning sensation, bleeding, and iron deficiency anemia and created nursing diagnoses such as acute pain, activity intolerance, constipation and laksative abuse made severe constipation. The education due to complication effectness can change patient behavior. Familly were very important in developing health behavior consumming vegetable. It is recommended to every educator to emphasize the hemorrhoid complication. External or internal hemorrhoidial should be checked as soon as posible at healh center.;"
2016
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Samardiyah
"Penyakit kongenital atau kelainan bawaan pada anak dan neonatus merupakan urutan kelima penyebab kematian di dunia pada anak dan neonatus. Pada tahun 2015 ada sekitar 303 ribu bayi baru lahir meninggal dunia dalam waktu 4 minggu setelah kelahiran setiap tahun, di seluruh dunia karena kelainan bawaan. Polusi udara serta ketidakadekuatan nutrisi pada masa kehamilan menjadi salah satu penyebab terjadinya kelainan bawaan. Tatalaksana pada kelainan bawaan salah satunya adalah dengan prosedur pembedahan. Jenis pembedahan yang sering dilakukan pada anak adalah pembedahan gastrointestinal. Pembedahan memiliki banyak risiko, diantaranya mual muntah pasca bedah. Mual muntah pasca bedah pada anak merupakan masalah yang dapat menimbulkan kecemasan pada orang tua serta dapat mengakibatkan dehidrasi dan lamanya masa pemulihan. Terapi musik merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi mual muntah pasca bedah pada anak. Terapi musik efektif dapat menurunkan mual muntah dan kebutuhsn terhadap antiemetik pada anak pasca bedah. Hasil pemberian terapi musik pada pasien anak pasca bedah berupa penurunan terhadap keluhan mual muntah dan peningkatan perasaan rileks pada anak. Oleh karena itu penanganan mual muntah pasca bedah pada anak perlu disertai dengan pemberian terapi musik sebagai terapi non farmakologis sebagai teknik distraksi dari ketidaknyaman fisik akibat mual muntah.

Congenital disease or congenital abnormalities in children and neonates is the fifth cause of death in the world in children and neonates. In 2015 there were around 303,000 newborns died within 4 weeks of birth each year, worldwide due to congenital abnormalities. Air pollution and nutrient insufficiency during pregnancy are among the causes of congenital abnormalities. Management of congenital abnormalities is one of them is a surgical procedure. The type of surgery that is often done in children is gastrointestinal surgery. Surgery has many risks, including postoperative nausea and vomiting. Postoperative vomiting in children is a problem that can cause anxiety in the elderly and can lead to dehydration and the length of the recovery period. Music therapy is one of the actions that can be done to overcome postoperative nausea and vomiting in children. Effective music therapy can reduce vomiting nausea and the need for
antiementics in postoperative children. The results of the provision of music therapy in postoperative pediatric patients in the form of a decrease in complaints of nausea vomiting and increased feelings of relaxation in children. Therefore handling postoperative vomiting in children needs to be accompanied by the provision of music therapy as non-pharmacological therapy as a distraction technique from physical discomfort due to nausea and vomiting."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inna Indah Sejati
"Hidrosefalus yang terjadi pada seseorang dapat disebabkan oleh adanya perdarahan di dalam otak yang akhirnya menumpuk dan menekan otak dan perlu dilakukan operasi VP-Shunt. Gejala yang timbul dari penyakit ini dapat menimbulkan pasien penurunan kesadaran atau perubahan pada tingkat kesadaran dan perubahan fungsi kognitif yang dapat menyebabkan pasien gelisah. Penanganan pasien yang gelisah di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan di Intensive Care Unit (ICU) ialah berupa pemasangan Physical restraint di setiap ekstremitas. Penggunaan Physical restraint dalam jangka panjang dapat menimbulkan komplikasi neurovascular di ekstremitas. Seperti edema, kemerahan, mati rasa, keterbatasan gerak, peningkatan nyeri suhu, perubahan warna, dan kerusakan saraf. Sehingga, perlu adanya pemantauan pada anggota gerak yang terpasang Physical restraint. Metode dalam karya ilmiah ini dengan case study pada praktik klinik keperawatan kegawatdaruratan di RSUI. Pasien kelolaan adalah Tn. F berusia 69 tahun dengan diagnosis Pasca VP-Shunt atas indikasi hidrosefalus karena adanya perdarahan intraserebral dan intravaskuler di otak. Dan pasien dilakukan pemantauan pada anggota gerak yang terpasang Physical restrain selama perawatan. Didapatkan hasil tidak adanya komplikasi yang terjadi pada bagian ekstremitas pasien. Perawat dapat menggunakan pemantauan ini untuk mencegah terjadinya komplikasi neurovascular di ekstremitas.

Hydrocephalus that occurs in a person can be caused by bleeding in the brain which eventually builds up and presses on the brain and requires VP-Shunt surgery. Symptoms arising from this disease can cause the patient to lose consciousness and changes in cognitive function which can cause the patient to become restless. Handling anxious patients in the Emergency Room (IGD) and Intensive Care Unit (ICU) is in the form of physical restraints on each extremity. Long-term use of physical restraints can cause neurovascular complications in the extremities. Such as oedema, redness, numbness, limited movement, increased pain, temperature, discoloration, and nerve damage. So, it is necessary to monitor the limbs that are attached to physical restraints. The method in this scientific work is a case study on emergency nursing clinical practice at RSUI. The patient managed is Mr. F is 69 years old with a diagnosis of Pasca-VP-Shunt for indications of hydrocephalus due to intracerebral and intravascular bleeding in the brain. And patients are monitored on the limbs that are attached to physical restraints during treatment. The results showed that there were no complications occurring in the patient's extremities. Nurses can use this monitoring to prevent neurovascular complications in the extremities."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rif`atul Fani
"Teknik laparoskopi kolesistektomi merupakan baku emas untuk penanganan kolelitiasis simptomatik. Angka kejadian rawat inap ulang merupakan representasi dari kualitas perawatan yang diberikan Rumah Sakit. Kejadian rawat inap ulang dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik faktor fisik, sosial budaya, dan medikal pasien.
Tujuan penelitian: Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang pada pasien pascalaparoskopi kolesistektomi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan retrospektif dan memilih 80 responden dengan tehnik consecutive sampling.
Metode pengumpulan data dengan kuesioner dan lembar pengumpulan data. Analisis penelitian menggunakan uji korelasi Spearman, Coefficient contingency, dan uji komparasi Mann-Whitney. Analisis multivariat menggunakan regresi linier.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kejadian rawat inap ulang pasien pascalaparoskopi kolesistektomi ditentukan usia, tingkat ekonomi, kepatuhan diet, dan tingkat aktivitas pasien sebesar 54,1%, sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian rawat inap ulang pascalaparoskopi kolesistektomi adalah tingkat aktivitas (B = -0,383).

Laparoscopic cholecystectomy is the gold standard for the treatment of symptomatic cholelithiasis. The incidence of readmission is a representation of the quality of care provided by the Hospital. Readmission can be influenced by various factors, both physical, socio-cultural, and medical factors.
Objective: To analyze factors associated with readmission patients post laparoscopic cholecystectomy. This study used cross-sectional design with retrospective approach and recruited 80 respondents by consecutive sampling technique.
Methods of data collection with questionnaires and data collection sheets. Analysis of research used Spearman, Contingency coefficient correlation, and Mann-Whitney comparison test. Multivariate analysis used linear regression.
The results showed that readmission patients post laparoscopic cholecystectomy determined by age, economic level, diet adherence, and activity level amounted to 54.1%, while the rest is determined by other factors. The most dominant factor associated with the incidence of readmission post laparoscopic cholecystectomy is the level of activity (B = -0,383).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kewa Ariancy Pandhu
"Perforasi merupakan komplikasi utama apendisitis yang memerlukan tindakan laparatomi untuk mencegah terjadinya peritonitis maupun sepsis. Pasien yang mengalami apendisitis dengan COVID 19 sering menyebabkan kekeliruan dalam penentuan diagnosa akibat miripkan tanda dan gejala COVID 19 dengan appendisitis yang mengarah pada keterlambatan penanganan sehingga menyebabkan perforasi. Selama post operasi, tindakan optimal harus dilakukan untuk mencegah komplikasi. Salah satu tindakan yang dilakukan selama post operasi laparatomi eksplorasi adalah memastikan kelancaran aliran NGT dekompresi, drain ataupun luka pasien. Pemberian posisi miring sangat membantu dalam menjaga kepatenan aliran melalui pemberian posisi miring. Selama 5 hari dilakukan intervensi miring kiri miring kanan kepada pasien post laparatomi didapatkan aliran NGT maupun drain luka post operasi lebih paten terutama pada pemberian posisi miring kiri dengan kepala ditinggikan 45o. Melihat keefektifan tindakan miring kiri dengan elevasi kepala 45o dalam menjaga kepatenan aliran NGT dan drain luka maka tindakan ini dapat digunakan sebagai intervensi yang dapat diterapkan pada pasien post operasi laparatomi.

Perforation is the main complication of appendicitis which requires Laparatomy to prevent Peritonitis and Sepsis. Patient who is contracted with appendicitis and COVID 19 ofter cause misunderstanding in diagnosis due to similar signs and symptoms of COVID 19 with appendicitis that leads to delay in handling causing perforation. During post surgery, optimal measures should be taken to prevent complication. One of measures taken during post operative laparotomy exploration is to ensure the smooth flow of NGT decompression, drain or incision site. Providing patient in lateral positioning is helpful in maintaining flow patency by giving lateral positioning. For 5 days of intervention, left lateral positioning and right lateral positioning given to post laparatomy patient, NGT flow and wound drain were more patent, especially in left lateral positioning with head elevated 45 o. Seeing the effectiveness of left lateral positioning with head elevated of 45o in maintaining the patency of NGT flow and wound drain drainage, this procedure can be used as an intervention  that can be applied to post-laparatomy patient."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>