Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Brahmantyo Ardhi Wicaksono
"

Untuk menggambarkan penggunaan kriteria diagnostik Rome oleh dokter anak Indonesia dan penatalaksanaannya dalam menghadapi kasus konstipasi fungsional pada balita. Kami mendesain sebuah kuesioner dengan Rome IV sebagai landasannya dibawah bimbingan ahli untuk mengukur pengetahuan dan penatalaksanaan konstipasi fungsional.. Didapatkan total 101 responden. Krtiteria Rome secara umum diketahui oleh dokter anak Indonesia (91.1%), namun tidak semua menggunakannya (81.2%), dan sekitar setengah menggunakan kriteria Rome IV yang terbaru. Ditemukan bahwa secara umum dokter anak Indonesia memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang kriteria diagnosis konstipasi fungsional dan tanda bahayanya dengan rata-rata nilai 12.44 ± 3.27. Nilai tatalaksana secara umum lebih rendah dengan rata-rata 6.95 ± 2.17. Penggunaan kriteria Rome pada praktik sehari-hari memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik (p = 0.047). Dokter yang menggunakan kriteria Rome memiliki rerata nilai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan (12.78 ± 3.12 vs. 10.95 ± 3.55). Dokter anak Indonesia secara umum memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai kriteria Rome IV dan tanda bahaya dari konstipasi fungsional. Namun pengetahuan mengenai kriteria Rome IV terbaru dan penatalaksanaan dapat ditingkatkan. Sebaiknya penyebaran informasi tentang Rome IV dan tatalaksana yang bersifat evidence-based ditingkatkan.

 


To reveal the usage of the Rome diagnostic criteria by Indonesian pediatricians, and their therapeutic approach regarding the management in Infant functional constipation, We designed a questionnaire with the Rome IV criteria as its foundation under expert guidance to gauge the knowledge and therapeutic approach of pediatricians. A total of 101 respondents were obtained. The Rome criteria is widely known (91.1%), but not all apply it in daily practice (81.2%), and only slightly more than half do use the updated Rome IV criteria (65.4%). It was discovered that while Indonesian pediatricians were generally knowledgeable with a mean score of 12.44 ± 3.27 about the Rome IV criteria and alarm symptoms, scores for therapeutic approach were overall lower with a mean of 6.95 ± 2.17. Usage of Rome criteria in daily practice was found to have a statistically significant association with total knowledge scores of pediatricians (p = 0.047), Usage of Rome criteria in daily practice was found to have a statistically significant association with total knowledge scores of pediatricians (p = 0.047), those using the Rome criteria had higher mean scores compared to those who did not (12.78 ± 3.12 vs. 10.95 ± 3.55). Indonesian pediatricians are generally familiar with the Rome criteria for functional constipation, but their knowledge of the latest Rome IV criteria, and management of functional constipation may be lacking. Emphasis should be placed on disseminating the Rome IV criteria and evidence-based recommendations for the management of FC.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Tini Sridevi
"Pendahuluan: Kolik infantil adalah salah satu gangguan saluran cerna fungsional yang cukup banyak ditemukan pada bayi dibawah usia 6 bulan dengan prevalens sekitar 20%. Meskipun keadaan ini bersifat self-limiting, bila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kualitas hidup bayi dikemudian hari. Diagnosis dan tata laksana menjadi hal penting. Kriteria diagnosis yang dipakai saat ini adalah Kriteria Rome IV yang dipublikasi pada tahun 2016 sebagai revisi kriteria sebelumnya. Data mengenai pemahaman kolik infantil berdasarkan Kriteria Rome IV dan tata laksana bayi dengan kolik infantil oleh dokter spesialis anak di Indonesia belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengisi celah informasi tersebut.
Metode: Peneliti menggunakan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan dan pendekatan terapi para dokter spesialis anak terhadap kolik infantil. Kuesioner dibagikan kepada sampel yang dipilih secara acak. Skor pengetahuan dan perilaku dianalisis dengan menggunakan variabel lama pengalaman klinis, akreditasi institutsi, tempat praktek, dan sumber informasi. Analisis dilakukan dengan SPSS 20.0.
Hasil: 75 dari 131 (57.3%) dokter anak mengaku sudah menggunakan Rome IV pada praktek sehari-hari, dari mana mean skor mereka adalah 14.24±3.32 dari total 20 poin. Rata-rata skor pengetahuan adalah 14.38±3.17 dari 20 dan skor pendekatan terapi adalah 11.50±2.80 dari 16.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara variable dengan skor pengetahuan maupun pendekatan terapi. Hasil pengetahuan dan pendekatan dokter spesialis anak terhadap kolik infantil masih belum optimal, sehingga masih perlu disiapkan sarana pembelajaran efektif oleh pihak yang berkepentingan demi meningkatkan capaian yang ada saat ini.

Introduction: Infant colic is one many FGIDs that occur in infants under 6 months with an approximate prevalence of 20%. Even though this condition is self-limiting in nature, inappropriate therapy does affect the babys quality of life in the future. Hence, diagnosis and therapeutic approach becomes essential. The diagnostic criteria currently used is Rome IV which was published in 2016 as an update of the previous version. Unfortunately, data regarding Indonesian pediatricians understanding of infant colic according to Rome IV criteria and their therapeutic approach in managing infant colic has not been reported. Hence this research was conducted to fill in those gaps in information.
Methods: Researcher uses questionnaire aimed at assessing pediatricians knowledge and therapeutic approach towards the management of infant colic. The questionnaire were then given out to samples which were randomly selected. The scores of both knowledge and therapeutic approach are analyzed with variables which are: years of clinical experience, institution accreditation, place of practice, and source of information. The analysis was performed using SPSS 20.0.
Results: 75 out of 131 (57.3%) pediatrician claims to have use Rome IV in their daily practice, from which mean score were 14.24±3.32 of a total 20 points. Mean of knowledge score is 14.38±3.17 out of 20 and mean of therapeutic approach score is 11.50±2.80 out of 16.
Conclusion: There were no significant relationship between the other variables with the knowledge nor behavior scores. The results of pediatricians knowledge and approach towards infant colic was not optimal yet, so those with interest must improve the means for effective learning to allow improvement better that what is now achieved.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Setyo Nugroho
"Latar belakang. Dispepsia fungsional merupakan masalah yang sering pada anak dan dapat mengganggu kualitas hidup anak. Belum ada penelitian yang mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan dispepsia fungsional di Indonesia menggunakan kritereia Rome IV. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalens, kualitas hidup, dan faktor risiko dispepsia fungsional pada anak sekolah menengah atas (SMA). Metode. Penelitian potong lintang ini melibatkan anak/sederajat SMA di Jakarta Pusat yang dipilih menggunakan metode cluster random sampling. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan tentang sosiodemografi dan faktor risiko, kuesioner Rome IV yang sudah dilakukan adaptasi budaya, serta Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) 4.0 Generic Core Scale Laporan Remaja. Hasil. Terdapat 875 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Prevalens dispepsia fungsional pada anak SMA/sederajat di Jakarta Pusat sebesar 3,1% (27 dari 875 subjek). Anak dengan dispepsia fungsional memiliki kualitas hidup yang secara signifikan lebih rendah (p < 0,001). Faktor risiko yang memengaruhi dispepsia fungsional anak adalah keluarga dekat memiliki sakit berat (p 0,034, adjusted OR 2,46, IK95% 1,072 – 5,625). Kesimpulan. Dispepsia fungsional secara signifikan menurunkan kualitas hidup anak. Keluarga dekat memiliki sakit berat merupakan faktor yang memengaruhi dispepsia fungsional anak.

Background. Functional dyspepsia is commonly found in children and affects quality of life. There is no study assessing the risk factors associated with functional dyspepsia in Indonesia based on the Rome IV criteria. Objectives. This study describes the prevalence, quality of life, and risk factors of functional dyspepsia in high school students. Method. This cross-sectional study involved high school students in Central Jakarta who were selected using cluster random sampling method. This study was conducted using questionnaire consisted of questions on sociodemographic and risk factors, the Rome IV questionnaire which has undergone cultural adaptation, and Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) 4.0 Generic Core Scale self-report form for teens. Result. A total of 875 subjects were included in this study. The prevalence of functional dyspepsia in high school students in Central Jakarta is 3,1%. Children with functional dyspepsia had significantly lower quality of life (p < 0,001). The risk factor associated with functional dyspepsia is serious illness in a close family member (p 0,034, adjusted OR 2,46, IK95% 1,072 – 5,625). Conclusion. Functional dyspepsia significantly reduces children’s quality of life. Serious illness in a close family member is associated with functional dyspepsia in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransesco Bernado Hubert Jonathan
"Latar Belakang: Regurgitasi bayi adalah salah satu penyakit gastrointestinal fungsional yang paling sering ditemukan dan terjadi pada bayi berumur 3 hingga 12 bulan. Sebagai penyakit fungsional, regurgitasi bayi rentan untuk mendapat diagnosis yang tidak tepat dan tatalaksana yang tidak sesuai. Secara alami, regurgitasi bayi akan hilang dengan sendirinya seiring bertumbuhan usia bayi. Orang tua daripada anak-anak dengan penyakit gastrointestinal fungsional sering kali harus melakukan uji-uji diagnostik yang banyak yang sebenarnya tidak diperlukan dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dokter anak dalam mendiagnosis dan tatalaksana regurgitasi bayi berdasarkan Rome IV.
Metode: Penelitian ini menerapkan studi analitik cross-sectional observational. Sebuah kuesioner dirumuskan berdasarkan Rome IV dan sumber rujukan terbaru. Kuesioner ini divalidasi menggunakan prinsip face-validation oleh ahli dan 30 orang subjek uji coba untuk uji reliabilitas dan korelasi. Kuesioner tersebut kemudian dibagikan secara elektronik kepada dokter anak yang sudah di acak dan merupakan anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia, Cabang DKI Jakarta yang lulus spesialis antara 2005-2019. Analisis data menggunakan 131 sampel data dengan program SPSS 20.
Hasil: Data terkumpul diekspresikan sebagai mean ± SD, median(range), p-value. Dokter anak yang menggunakan Rome IV sebagai sumber informasi mendapatkan skor pengetahuan sebesar 14.87 ± 2.540, 16 (8-20), p = 0.110 dan skor tatalaksana sebesar 9.10 ± 2.264, 10 (4-12), p = 0.486. Nilai p didapatkan dengan uji Mann-Whitney U dan tidak ditemukan signifikasi statistik dalam penelitian ini (p > 0.05).
Kesimpulan: Rome IV diketahui dan digunakan cukup baik oleh dokter anak di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua dokter anak telah mengetahui dan/atau menggunakan kriteria Rome IV saat menangani pasien regurgitasi bayi. Walaupun tidak ada data maupun variabel yang signifikan dalam penelitian ini, dapat diinterpretasikan bahwa ketepatan diagnosis dan tatalaksana regurgitasi bayi oleh dokter anak bergantung oleh banyak faktor.

Introduction: Infant Regurgitation is one of the most prevalent functional gastrointestinal disorders (FGIDs) in the world, affecting infants ages 3 to 12 months old. As an FGID, infant regurgitation is susceptible to be misdiagnosed and managed with improper therapeutic approaches. Naturally, infant regurgitation will resolve on its own as the infant grows older. FGID patients have been subjected to extensive diagnostic work-ups that are deemed unnecessary and very costly. This research intends to analyze the factors that affect the pediatricians' decisions in making diagnosis and therapeutic approaches based on Rome IV.
Method: This research applies a cross-sectional observational analytical study. A questionnaire is formulized based on Rome IV and up-to-date studies. The questionnaire is validated at face-level by an expert and tested for both reliability and correlation using 30 test respondents. The questionnaire is then distributed electronically to randomized pediatricians that are members of the Indonesian Pediatric Society, DKI Jakarta branch, who graduated between 2005-2019. Data analysis uses 131 sample data with SPSS 20 program.
Results: Collected data is expressed as mean ± SD, median(range), p-value. Pediatricians who use Rome IV as their source of knowledge achieved a diagnostic knowledge score of 14.87 ± 2.540, 16 (8-20), p = 0.110 and a therapeutic knowledge score of 9.10 ± 2.264, 10 (4-12), p = 0.486. P-value was obtained using Mann-Whitney U Test and no statistical significance is found in this research (p > 0.05). Conclusion: Rome IV is well recognized and used by Indonesian pediatricians. However, not all pediatricians have known and/or used the Rome IV criteria when dealing with infant regurgitation. Even though no data or variable in this research is statistically significant, it can be inferred that the accuracy of pediatricians in diagnosing and managing infant regurgitation depends on a myriad of factors.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wira Febrisandi Irsan
"Latar belakang: Kolik infantil merupakan tangisan berlebih tanpa tanda gagal tumbuh atau sakit. Salah satu penyebab kondisi ini adalah bonding ibu-bayi yang tidak adekuat. Ibu yang mengalami depresi dan tidak mendapat dukungan dalam pengasuhan dapat meningkatkan risiko terjadinya kolik infantil. Kolik infantil dapat menyebabkan bayi mengalami admisi berulang ke instalasi gawat darurat, pemberian terapi yang tidak rasional, serta mendapatkan perlakuan salah. Ibu peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berisiko mengalami jam kerja berlebih sehingga mengurangi waktu membentuk bonding dengan bayinya, burnout, hingga depresi yang merupakan faktor risiko terjadinya kolik infantil. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai prevalens dan faktor risiko kolik infantil pada bayi dari ibu peserta PPDS.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 67 bayi dari ibu peserta PPDS berasal dari tujuh senter pendidikan di Sumatra dan Jawa dengan menggunakan kuesioner laporan orangtua untuk anak usia 0-3 tahun yang telah diterjemahkan secara resmi dari Rome Foundation dan kuesioner Mother Infant Bonding Scale versi bahasa Indonesia. Kuesioner diisi secara daring, dengan tautan yang diberikan melalui aplikasi WhatsApp© kepada ibu peserta PPDS.
Hasil: Sebanyak 18 (26,8%) subjek mengalami kolik infantil, dan bayi dari ibu peserta PPDS dengan risiko tinggi masalah bonding ibu-bayi memilki risiko kolik infantil lebih tinggi dengan P<0,046, OR:2,922 (IK95%: 1,07-4,87). Jenis pemberian nutrisi berupa ASI atau kombinasi susu formula dan ASI tidak menunjukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap kejadian kolik infantil dengan P=0,602, OR: 1,333 (IK95%: 0,451-3,940).
Simpulan: Risiko tinggi masalah bonding ibu-bayi dapat meningkatkan risiko kejadian kolik infantil pada bayi dari ibu peserta PPDS.

Background: Infantile colic is excessive crying without signs of failure to thrive or illness. Inadequate mother-infant bonding is one of the possible causes, and the risk is increased in mothers with depression and lack of family support. Infantile colic could lead to recurrent admission to the emergency department, irrational therapy, and child abuse. Mothers participating in medical residency training programs could experience excess working hours, less time to bond with their babies, burnout, and depression, which could increase the risk of infantile colic. Until recently, there has been no data on the prevalence and associated factors of infantile colic in infants of mothers participating in medical residency training program.
Methods: This is a cross-sectional study of 67 infants of mothers participating in medical residency training programs from seven training centers in Java and Sumatra, using a Parent Report Questionnaire for Children Aged 0-3 years which had been officially translated into Indonesian language from the Rome Foundation and the Indonesian version of the Mother-Infant Bonding Scale Questionnaire. In addition, an online link to fill online questionnaire was distributed via the WhatsApp© application.
Results: As many as 18 (26.8%) subjects experienced infantile colic. A high risk of mother-infant bonding problems is associated with infantile colic with P<0.046, OR:2.922 (95% CI: 1.07-4.87). The type of nutrition in the form of breast milk or a combination of formula and breast milk was not statistically significantly different, with P=0.602, OR: 1.333 (95% CI: 0.451-3.940).
Conclusion: High risk of mother-infant bonding issues can increase the likelihood of infantile colic in babies born to mothers participating in medical residency training programs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Dian Ika Ratnasari
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom dispepsia fungsional merupakan gejala gastrointestinal
yang bersifat kronis atau rekuren dan tidak dapat dijelaskan, karena abnormalitas
biokimia atau struktural pada evaluasi menggunakan pemeriksaan diagnostik
standar tidak menunjukkan adanya abnormalitas. Pada penelitian ini ingin
diketahui apakah pekerja rumah sakit yang bekerja dengan sistem kerja gilir
berhubungan dengan sindrom dispepsia fungsional dibandingkan dengan pekerja
yang tidak bekerja secara gilir.
Metode: Desain studi yang digunakan adalah komparatif potong lintang yang
membandingkan antara pekerja dengan sistem kerja gilir dengan pekerja bukan
dengan sistem gilir. Data yang digunakan adalah data primer (kuesioner dan
wawancara), dan data sekunder (rekam medis serta data kepegawaian). Subjek
terdiri dari 218 pekerja (109 pekerja gilir dan 109 pekerja bukan gilir).
Hasil penelitian: Prevalensi dispepsia fungsional pada pekerja rumah sakit
Jakarta adalah 42,2%. Pada analisis multivariat didapatkan bahwa kerja gilir
(OR=2,22 (1,212-4,086) p=0,010), usia (OR=0,39 (0,209-0,752) p=0,005), pola
makan (OR=1,90 (1,045-4,455) p=0,035), dan status perkawinan (OR=2,49
(1,097-5,651) p=0,029) mempunyai hubungan bermakna dengan dispepsia
fungsional.
Pembahasan: Kerja gilir, usia, pola makan, dan status perkawinan merupakan
faktor risiko sindrom dispepsia fungsional. Usia dan jenis kelamin menjadi faktor
protektif. Usia menjadi faktor protektif karena adanya mekanisme adaptasi
dispepsia. Jenis kelamin sebagai faktor protektif mungkin disebabkan pada
perempuan tingkat kesadaran terhadap kesehatan lebih tinggi yang menyebabkan
angka mortalitas lebih kecil daripada laki-laki

ABSTRACT
Background: Functional dyspepsia syndrome is a gastrointestinal symptoms that
are chronic or recurrent and can not be explained, because the biochemical or
structural abnormalities in the evaluation using standard diagnostic examination
showed no abnormalities. In this study, we want to know whether the hospital
workers who worked shift work system associated with the syndrome of
functional dyspepsia compared with workers who do not work in shifts.
Method: The study design used was a comparative cross-sectional comparing
between workers with shift work system to workers who work not with the shift
system. The data used are primary data using questionnaires and interviews, and
secondary data through medical records and employment data. Subjects consisted
of 218 employees (109 workers with shift work and 109 workers without shift
work).
Results: The prevalence of functional dyspepsia at Jakarta hospital workers was
42.2%. On multivariate analysis, it was found that shift work (Adj. OR=2.22
(1.212-4.086) p=0.010), age (Adj. OR=0.39 (0.209-0.752) p=0.005), diet (Adj.
OR=1.90 (1,045-4.455) p=0.035) and marital status (Adj. OR=2.49 (1.097-5.651)
p=0.029) had a significant relationship with functional dyspepsia.
Discussion: Shift work, age, diet, and marital status are risk factors syndrome
functional dyspepsia. Age and sex becomes a protective factor. Age becomes a
protective factor for their adaptation mechanism of dyspepsia. Gender as a
protective factor may be due to the level of awareness of women's health is
higher that causes of mortality rate is smaller than the male"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Yunita
"

Konstipasi fungsional merupakan salah satu gangguan saluran cerna fungsional yang cukup sering ditemukan pada bayi dengan prevalensi 0,7% - 29,6%. Tidak jarang ibu membawa bayinya ke dokter karena gangguan buang air besar. Indonesia juga merupakan sebuah negara multikultur dan memiliki populasi yang beragam. Pengetahuan dan perilaku ibu mengenai konstipasi fungsional juga masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi konstipasi fungsional serta tingkat pengetahuan dan perilaku ibu terhadap konstipasi fungsional juga faktor-faktor yang memengaruhinya. Data pada penelitian ini didapat dari kuesioner yang disebarkan secara daring kepada seratus ibu yang telah dipilih secara acak yang melahirkan atau berkunjung ke Poliklinik Anak RS Premier Bintaro, Tangerang Selatan. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat antara masing-masing faktor terhadap pengetahuan atau perilaku ibu. Peneliti mendapatkan 51 dari 100 bayi (51%) mengalami gangguan buang air besar dan 24 diantaranya (24%) terdiagnosis konstipasi fungsional berdasarkan Kriteria Roma IV. Nilai median untuk pengetahuan dan perilaku ibu terhadap konstipasi fungsional secara berurutan adalah 10 dan 12 dari nilai maksimal 12 dan 14. Peneliti tidak menemukan hubungan bermakna antara faktor usia ibu, pendidikan ibu, status sosioekonomi keluarga, dan jumlah anak dengan pengetahuan dan perilaku ibu terhadap konstipasi fungsional. 


Functional constipation is one of functional gastrointestinal disorders that has high prevalence in baby with prevalence 0,7% - 29,6%. Mothers often bring their children to the practicer because of the defecation problems. In another side, Indonesia is a multicultural country that has different kinds of population. Information about mothers’ knowledge and therapeutic approach to functional constipation are still limited. Aim of this research is to discover the prevalence of functional constipation and mothers’ knowledge and theurapeutic approach to functional constipation with the related factors. The data is collected from online questionnaire that distributed to a hundred mothers that have been randomly selected from those who gave birth or visit children polyclinic. Researcher is using bivariate analysis to analyze each variable to knowledge and therapeutic approach. Researcher gets 51 from 100 baby (51%) have defecation problem and 24 among them (24%) diagnosed with functional constipation due to Rome Criteria IV. Median of mothers’ knowledge and therapeutic approach is 10 and 12 with maximum score is 12 and 14 respectively. There are no significant relationship between mothers’ and education, family sosioeconomic status, and number of children with mothers’ knowledge and therapeutic approach to functional constipation. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Suciah Khaerani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Konstipasi pada anak merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Konstipasi pada anak memiliki dampak penurunan kualitas hidup pada orang tua dan anak, serta menimbulkan beban ekonomi untuk segi pelayanan kesehatan. Konstipasi fungsional pada anak bersifat multifaktorial. Faktor-faktor risiko konstipasi anak bervariasi pada setiap tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko konstipasi fungsional pada anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2013-2016. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder rekam medis yang terdapat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dengan desain penelitian potong lintang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan prevalensi konstipasi anak di RSCM adalah 6,85 dengan 84 diantaranya merupakan konstipasi fungsional. Melalui analisis bivariat, didapatkan hasil konsumsi ASI eksklusif p=0,088, status gizi p=1,000, riwayat keluarga p=0,332, urutan anak dalam keluarga p=0,076, dan riwayat toilet training p=1,000 tidak berhubungan bermakna dengan kejadian konstipasi fungsional anak. Pada analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik, didapatkan variabel yang paling berhubungan dan signifikan terhadap konstipasi fungsional anak adalah jenis kelamin OR 6,696; IK95 1,224-36,620; p=0,028. Kesimpulan: Jenis kelamin adalah faktor paling berhubungan terhadap konstipasi fungsional anak, hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

ABSTRACT
Background Childhood constipation is one of the health problem with high prevalence worldwide. It affects both patients and parents quality of life. It also causes economic burdens especially for health services. Childhood constipation is multifactorial. Risk factors of childhood functional constipation differs from one place to another. This study aimed to determine factors associated with childhood functional constipation in Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta year of 2013 2016. Methods This cross sectional study used secondary data from medical records in the Pediatrics Department RSCM. Results The results showed that the prevalence of childhood constipation is 6.85 with 84 among those are functional constipation. Through the bivariate analysis, it was found that exclusive breast milk consumption p 0.088, nutritional status p 1.000, family history p 0.332, the order of children in the family p 0.076, and history of toilet training p 1.000 were not significantly related with childhood functional constipation. On multivariate analysis with logistic regression, it was found that gender was associated with childhood functional constipation OR 6.696 IK95 1.224 36.620 p 0.028 . Conclusion It was found that gender was associated with childhood functional constipation. This result differs from other previous studies. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Pitarini Utari
"Pendahuluan: Konstipasi kronik merupakan masalah kesehatan yang memiliki dampak signifikan dari segi kualitas hidup dan sosioekonomi. Studi konstipasi kronik menggunakan kriteria baku belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kejadian konstipasi di populasi dewasa Indonesia serta faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain potong lintang yang dilakukan di komunitas sebagai bagian dari Global Epidemiology Study on Functional Gastrointestinal Disorders. Subjek diminta menjawab pertanyaan kuesioner dengan bantuan pewawancara yang telah mendapat pelatihan. Sejumlah 2000 orang subjek dikumpulkan dari kawasan urban dan rural di Indonesia. Konstipasi kronik ditegakkan menurut kriteria Rome IV yang telah divalidasi. Analisis multivariat dilakukan terhadap faktor yang berhubungan dengan konstipasi kronik.
Hasil: Penelitian ini mengevaluasi 1935 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Prevalensi konstipasi kronik di populasi dewasa di Indonesia adalah 12,3%. Kawasan urban (OR 0,472, p<0,001) dan jenis kelamin wanita (OR 2,67, p<0,001) berhubungan dengan konstipasi kronik di populasi dewasa di Indonesia. Usia, indeks massa tubuh, dan tingkat Pendidikan ditemukan tidak berhubungan dengan konstipasi kronik. Analisis lebih lanjut terhadap tingkat pendidikan di kawasan rural mendapatkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik (OR 0,519, p<0,05) antara tingkat pendidikan rendah dan konstipasi kronik.
Kesimpulan: Prevalensi konstipasi kronik pada populasi dewasa di Indonesia adalah 12,3%. Kawasan urban dan jenis kelamin wanita merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian konstipasi kronik.

Introduction: Chronic constipation is a medical problem with significant quality of life reduction and socioeconomic impact. Chronic constipation study with validated criteria never been conducted in Indonesia. This study aim to find prevalence rate of chronic constipation and its associated factors in Indonesian adult population.
Methods: This was a population-based cross-sectional study and a part of Global Epidemiology Study on Functional Gastrointestinal Disorders. Subject answered questions from a questionnaire with the help of traineed-interviewers. A total of 2000 subjects were recruited from urban and rural area in Indonesia. Diagnosis of chronic constipation based on validated Rome IV criteria. Multivariat analysis was performed for associated factors with chronic constipation.
Results: There were 1935 subjects that enrolled in this study. The prevalence of chronic constipation in Indonesian adult population was 12.3%. Urban area (OR 0.472, p<0,001) and female (OR 2.67, p<0.05). Age, body mass index, and education level were not statistically significant factors associated with chronic constipation. Lower education level was associated with chronic constipation only in rural area (OR 0.519, p<0.05).
Conclusion: The prevalence of chronic constipation in Indonesian adult population was 12.3%. Urban area and female were factors associated with chronic constipation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Anindyah
"Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas serius yang mengancam nyawa jika tidak ditangani dengan cepat. Data epidemiologi mengenai reaksi anafilaksis di Indonesia masih sangat kurang yang ditandai dengan belum adanya laporan yang secara spesifik meneliti prevalens dan insidens kasus anafilaksis di Indonesia. Diagnosis dan penanganan yang tepat dan cepat oleh tenaga medis penting untuk menangani pasien dengan kasus anafilaksis, termasuk pasien anak. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan negara lain, pengetahuan dokter, termasuk dokter spesialis anak mengenai reaksi anafilaksis masih kurang baik. Penelitian cross-sectional ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dokter spesialis anak yang tergabung dalam Ikatan Dokter Spesialis Anak cabang Jakarta mengenai reaksi anafilaksis dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengetahuan mengenai reaksi anafilaksis serta faktor yang memengaruhinya didapatkan dari responden dengan pengisian kuesioner secara tertulis. Pada akhir penelitian, sampel yang didapat berjumlah 104 orang. Penelitian ini menunjukkan bahwa 52,9% memiliki pengetahuan cukup, 26,9% memiliki pengetahuan kurang, dan 20,2% memiliki pengetahuan baik mengenai reaksi anafilaksis. Pada analisis antara tingkat pengetahuan dan faktor yang memengaruhinya, hasil uji Chi-Square dan/atau Jonckheere-Terpstra menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama praktek sebagai dokter spesialis anak, jumlah kasus anafilaksis yang pernah ditangani, serta jumlah sumber pengetahuan mengenai reaksi anafilaksis terhadap tingkat pengetahuan responden (p>0,05). Sebagai kesimpulan, pengetahuan sebagian dokter spesialis anak mengenai reaksi anafilaksis cukup dan faktor-faktor yang diuji tidak berhubungan terhadap tingkat pengetahuan responden.

Anaphylaxis is a severe hypersensitivity reaction that can be fatal if not treated properly. Epidemiological data and research on anaphylaxis in Indonesia are generally scarce. Due to its fast onset and possible fatal outcomes, proper diagnosis and treatment of patients with anaphylaxis, including pediatric patients, by physicians are very important. Based on several studies conducted in other countries, a considerable proportion of physicians, including pediatricians, still have low level of knowledge on the diagnosis and treatment of anaphylaxis. This cross-sectional study aims to understand the level of knowledge about anaphylaxis among pediatricians of the Jakarta branch of Indonesian Pediatric Society. Level of knowledge on anaphylaxis and several possible related factors were measured/obtained with a questionare. By the end of the study, 104 valid questionares were analized. This study found that 52,9% of respondents have moderate level of knowledge, 26,9% have low level of knowledge, and 20,2% have high level of knowledge on anaphylaxis.  Chi-Square and/or Jonckheere-Terpstra analysis on the correlation between level of knowledge and its possible influencing factors indicated that there is no correlation between years of practice as a pediatrician, number of anaphylaxis cases treated, and source of study materials to the pediatricians’ level of knowledge of anaphylaxis (p>0,05). In conclusion, the level of knowledge among pediatricians of the Jakarta branch of Indonesian Pediatric Society is mostly moderate, with no related factors found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>