Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95909 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dede Badriaturrahmah
"PPOK merupakan penyakit kronis yang memerlukan manajemen jangka panjang terhadap farmakoterapi. Salah satu faktor kunci yang mendukung keberhasilan obat inhalasi adalah kemampuan pasien untuk menggunakan perangkat dengan benar. Namun, banyak pasien PPOK tidak mencapai hasil yang optimal dari perawatannya karena teknik penggunaan inhaler yang salah dan pelatihan perangkat yang tidak memadai. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran teknik edukasi terkini mengenai penggunaan inhaler pada pasien PPOK, menganalisis hambatan, efektivitas, dan mengidentifikasi faktor utama keberhasilan teknik edukasi yang digunakan. Pencarian literatur dilakukan secara sistematis dengan melakukan pencarian artikel pada database seperti Sciencedirect, Scopus dan PubMed yang diterjemahkan dari Januari 2016 hingga Juni 2020. Berdasarkan hasil pencarian literatur terdapat 10 jurnal yang sesuai dengan kriteria. Kriteria artikel yang direview adalah artikel dengan subjek subjek penelitian pasien PPOK, mencantumkan luaran berupa skor inhaler dan juga peningkatan jumah pasien yang mengunakan inhaler secara benar. Berdasarkan beberapa jurnal yang ditemukan dapat disimpulkan bahwa teknik peninggunaan inhaler meningkat secara signifikan pada edukasi yang dilakukan secara berulang, dan dievaluasi secara berkala. Selain itu, edukasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lebih berpengaruh terhadap perbaikan cara penggunaan inhaler jika dibandingkan edukasi yang dilakukan selain tenaga kesehatan. Kemampuan kognitif pasien yang menurun sesuai usia dan beragamnya jenis inhaler menjadi hambatan dalam pemberian edukasi.

COPD is a chronic disease that requires long-term management of pharmacotherapy. One key factor that supports the success of inhalation drugs is the patient's ability to use the device properly. However, many COPD patients do not achieve optimal results from their therapy due to incorrect use of inhalers and inadequate device training. This review aims to provide an overview of the latest educational techniques using inhalers in COPD patients to analyze their obstacles, effectiveness, and to observe the main factors of their success. The literature search was conducted systematically by conducting research articles searches on databases such as ScienceDirect, Scopus, and PubMed, which were published from January 2016 to June 2020. Ten journals meet the criteria. The criteria are the article with the subject is COPD patients, and the outcome is the score of the inhaler and the increase in the patient using the inhaler correctly. Based on several journals found, it can be concluded that the inhaler technique increased significantly in education carried out repeatedly, and evaluated periodically. Also, education carried out by health workers is superior to the improvement of inhaler techniques when compared to education carried out other than health workers. Decreased patient's cognitive ability and diverse types of inhaler devices are barriers in education delivery."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anyta Hera Wahyuni
"Penurunan fungsi paru berperan pada peningkatan insiden PPOK  pada lansia. Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi ketepatan penggunaan inhaler dapat berdampak negatif terhadap prognosis. Tujuan Penelitian mengetahui hubungan fungsi kognitif dengan ketepatan penggunaan inhaler pada lansia PPOK. Metode penelitian menggunakan cross sectional dengan lokasi penelitian di poliklinik Paru Asma-PPOK. Sampel pada penelitian dipilih melalui teknik consecutive sampling berjumlah 96 responden lansia PPOK. Analisis data terdiri dari analisis univariat, analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dan analisis multivariat menggunakan uji Regresi Logistik. Hasilnya responden mengalami gangguan fungsi kognitif dengan kategori tidak tepat dalam penggunaan inhaler sebanyak 46 responden (55.2%). Uji statistik regresi logistik didapatkan variabel fungsi kognitif berhubungan dengan ketepatan penggunaan inhaler (p=0,001; OR=40,524; CI 95% 12,537- 130,984). Kesimpulan ada hubungan antara fungsi kognitif dengan ketepatan penggunaan inhaler pada lansia PPOK setelah dilakukan uji statistik. Lansia mengalami gangguan fungsi kognitif tidak optimal dalam penggunaan inhaler. Pemberian edukasi pada lansia serta keluarga/caregiver dengan metode disesuaikan kemampuan kognitif lansia, seperti demonstrasi langsung, video instruksional, dan materi visual.

Decreased lung function contributes increased incidence of COPD in older adults. Impairment cognitive function affect accuracy of inhalers could have bad prognosis. Aim of study was to determine relationship between cognitive function with accuracy of inhaler usage in older adults with COPD. The research method used cross sectional location at polyclinic Asma-PPOK. The respondents were selected method through consecutive sampling technique, totalling 96 older adults with COPD. Data analysis consisted of univariate analysis, bivariate analysis using the Chi-square / Pearson Chi-square test, and multivariate analysis using the Logistic Regression test. Result respondents impaired cognitive function with inappropriate  use of inhalers as many as 46 respondents (55.2%). Logistic regression statistical obtained cognitive function correlated with accuracy of inhaler use (p=0.001; OR=40.524; CI95% 12.537- 130.984). Conclusion there correlation between cognitive function with accuracy of inhaler usage in older adults with COPD after statistical analysis. Older adults with impaired cognitive function are not optimal use inhalers. Providing education to older adults and caregivers by methods adjusted cognitive function, such as direct demonstrations, instructional videos, and visual materials."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasby Pri Choiruna
"ABSTRAK
Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dapat memiliki efikasi diri dan kualitas
hidup yang rendah akibat gejala sesak napas dan batuk. Penggunaan inhaler dengan
benar dapat mengatasi gejala-gejala tersebut. Mayoritas pasien PPOK masih
menggunakan inhaler dengan tidak tepat. Latihan penggunaan inhaler dapat
memperbaiki teknik penggunaan inhaler serta diharapkan dapat meningkatkan efikasi
diri dan kualitas hidup pasien PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh latihan penggunaan inhaler terhadap efikasi diri dan kualitas hidup pasien
PPOK. Desain penelitian yang digunakan yaitu quasi experiment dengan nonequivalent
control group pretest-postest. Tiga puluh enam pasien PPOK dipilih menggunakan
consecutive sampling dan dibagi menjadi kelompok yang mengikuti latihan penggunaan
inhaler dan kelompok yang tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat peningkatan efikasi diri pasien PPOK secara bermakna sebesar
9,33 skor setelah latihan penggunaan inhaler (p=0,001; p<0,05) dan terdapat perbedaan
perubahan efikasi diri secara bermakna sebesar 6 skor dibandingkan pasien PPOK yang
tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler (p=0,000; p<0,05). Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kualitas hidup pasien PPOK secara bermakna
dengan penurunan skor sebesar 10,355 setelah latihan penggunaan inhaler (p=0,001;
p<0,05) dan terdapat perbedaan perubahan kualitas hidup secara bermakna sebesar 6,55
skor dibandingkan pasien PPOK yang tidak mengikuti latihan penggunaan inhaler
(p=0,000; p<0,05). Terdapat pengaruh latihan penggunaan inhaler terhadap efikasi diri
dan kualitas hidup pasien PPOK sehingga latihan penggunaan inhaler direkomendasikan
kepada perawat untuk diberikan kepada pasien PPOK.

ABSTRACT
Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) can have low selfefficacy
and quality of life due to symptoms of shortness of breath and cough. Proper
use of inhaler is able to overcome these symptoms. The majority of COPD patients are
still using inhaler incorrectly. Inhaler use training can improve technique of inhaler use
and is expected to improve self-efficacy and quality of life in COPD patients. The
purpose of this study was to determine the effect of inhaler use training on self-efficacy
and quality of life in COPD patients. The research design used quasi experiment with
nonequivalent control group pretest-postest. Thirty-six patients with COPD were
selected using consecutive sampling and were divided into groups that followed the
inhaler use training and those who did not follow the inhaler use training. The results
showed that there was a significant improvement on self-efficacy in COPD patients by
9.33 score after the inhaler use training (p=0.001; p<0.05) and there was a significant
difference on self-efficacy change of 6 scores compared to COPD patients who did not
follow the inhaler use training (p=0.000; p<0.05). The results also showed that there
was a significant improvement on the quality of life in COPD patients with a decrease
in the score of 10.355 after the inhaler use training (p=0.001; p<0.05) and there was a
significant difference on the quality of life change of 6.55 scores compared to the
COPD patients who did not follow the inhaler use training (p=0.000; p<0.05). There
was an influence of the inhaler use training on self-efficacy and quality of life in COPD
patients so that the inhaler use training is recommended to the nurses to be given to
COPD patients."
2018
T49011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kusumawati Susanti
"Aplikasi kesehatan berbasis selular yang memungkinkan penggunanya untuk mengetahu rencana dan manajemen terapi, diharapkan dapat menjadi sarana monitoring dan evaluasi terapi pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kornis). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh aplikasi kesehatan seluler terkait penggunaan obat inhalasi dan kualitas hidup pada pasien PPOK. Penelitian dilakukan dengan desain kuasi-eksperimental dengan pretest dan post test pada 88 reponden yang terdiri dari kelompok intervensi (n=46 orang), yang mendapatkan konseling oleh apoteker dan akses aplikasi Pharcare dan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan konseling oleh apoteker (n=42 orang). Hasil uji beda rerata menunjukan perbedaan yang signifikan pada nilai ketepatan dan kualitas hidup antar kedua kelompok. Hasil uji T menunjukan adanya perbedaan yang bermakna pada kelompok interveni pada nilai kualitas hidup sebelum dan sesudah intevensi diberikan (P<0.001). Hasil analisi multivariat memperlihatkan bahwa intervensi mengggunakan aplikasi menyebabkan perbaikan kualitas hidup 5 kali dibanding pemberian konseling saja (95% CI 1,803-15,254). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi kesehatan berbasis seluler mengenai penggunaan obat inhalasi dapat meningkatkan ketepatan penggunaan obat inhalasi dan kualitas hidup pasien.

A cellular-based health application that allows its users to know about therapy plans and management, is expected to be a means of monitoring and evaluating therapy for COPD (Cornis Obstructive Pulmonary Disease) patients. This study aims to evaluate the effect of mobile health applications on the use of inhaled drugs and quality of life in COPD patients. The study was conducted using a quasi-experimental design with pretest and posttest on 88 respondents consisting of the intervention group (n=46 people), who received counseling by pharmacists and access to Pharcare applications and the control group who only received counseling by pharmacists (n=42 people).). The mean difference test results showed a significant difference in the value of accuracy and quality of life between the two groups. The results of the T test showed that there was a significant difference in the intervention group in the value of quality of life before and after the intervention was given (P<0.001). The results of the multivariate analysis showed that the intervention using the application resulted in an improvement in quality of life 5 times compared to counseling alone (95% CI 1.803-15.254). From this study it can be concluded that the use of mobile-based health applications regarding the use of inhaled drugs can improve the accuracy of using inhaled drugs and the patient's quality of life."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferina Angelia
"ABSTRAK
Pendahuluan:Penggunaan kortikosteroid KS inhalasi dalam tatalaksana penyakit paru obstruktif kronik PPOK diduga berkaitan dengan risiko pneumonia. Penelitian yang ada memberikan hasil yang tidak konsisten. Belum jelas pengaruh perbedaan jenis, dosis, dan durasi KS terhadap pneumonia. Hal tersebut mendasari pentingnya mengetahui hubungan dan pengaruh pola penggunaan KS inhalasi dengan kejadian pneumonia. Metode:Penelitian kasus kontrol retrospektif ini menggunakan data rekam medik pasien PPOK yang di rawat inap dan jalan di RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo dan RS Dr.Ciptomangunkusumo Kencana periode 1 Januari 2012 sampai 30 November 2016. Kelompok kasus dipilih acak dari pasien dengan pneumonia yang ditunjang data radiologis n=67 . Kontrol dipasangkan berdasarkan kategori usia dan penyakit penyerta dengan kasus n=67 . Pada kedua kelompok dinilai pajanan dan pola penggunaan kortikosteroid, lalu dianalisis deskriptif dan analitik. Hasil:Terdapat perbedaan gambaran pajanan kortikosteroid pada kasus dan kontrol. Terdapat hubungan penggunaan kortikosteroid dengan pneumonia p 0,005;OR 0,31;95 CI 0,13-0,71 . Pajanan kelompok kasus didominasi oleh flutikason propionat, sedangkan kontrol adalah budesonid. Tidak ada hubungan jenis dengan pneumonia. Penggunaan terbanyak dosis rendah dan durasi 1 bulan. Ada hubungan dosis dengan pneumonia p 0,019 , tetapi tidak dengan durasi p 0,683 . Kesimpulan:Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek antiinflamasi dan imunosupresan. Pajanan kortikosteroid bersifat protektif karena digunakan dengan dosis rendah sehingga meminimalkan risiko pneumonia.

ABSTRACT
Introduction Treatment with inhaled corticosteroids ICS is well established for chronic obstructive pulmonary disease COPD , but might be linked to pneumonia. However, results differed widely between studies. The magnitude of risk and how this compares with different ICS, dose, and duration, remain unclear. The objective of this study was to determine if the use of ICS is associated with pneumonia and impact of different ICS regiment. Method A retrospective, case ndash control study was conducted using medical record data of COPD patient at RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo and RS Dr.Ciptomangunkusumo Kencana January 1 rsquo 2012 November 30 rsquo 2016 . Sixty seven patient with radiographically confirmed pneumonia cases were matched to 67 controls by age and comorbid. Statistical analysis used to estimate the odds ratio OR and impact of different ICS regiment. Result There are differences in ICS exposure between cases and controls. Treatment with ICS is protective p0.005 OR0.31 95 CI0.13 0.71 . Exposure to ICS in case was dominated by fluticasone propionate and budesonide in control. There is no relationship between types of ICS with pneumonia. Mostly ICS are used in low dose and short duration. There is a relationship between dose with pneumonia p0.019 , but not with duration p0.683 . Conclusion ICS has antiinflammation and immunosuppressant effect. ICS shows protective effect due to lower dose use."
2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handoko
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit komorbid pada PPOK berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan, mempengaruhi lama perawatan bahkan kematian. Osteoporosis merupakan komorbid yang cukup sering ditemukan pada PPOK. Di Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data prevalens osteoporosis pasien PPOK stabil.
Objektif: Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Disain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek diperiksa densitas mineral tulang menggunakan dual energy x-ray absorptiometry (DXA) dan diperiksa kadar vitamin D darah. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, penilaian status gizi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji statistik.
Hasil: Subjek terbanyak adalah laki-laki (90,6%) dengan kelompok usia 65-75 tahun (53,1%), riwayat merokok terbanyak (84,4%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD II (46,9%) dan grup B (50%) dengan menggunakan kortikosteroid sebanyak (65,7%). Pada penelitian ini didapatkan prevalens osteoporosis sebesar 37,5%, artinya lebih dari sepertiga pasien mengalami osteoporosis. Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara grup PPOK, derajat PPOK, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat kortikosteroid, usia, kadar 25-OHD, faal paru dengan terjadinya osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p>0,05). Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada IMT yang rendah sebagai faktor risiko osteoporosis pada PPOK stabil (p<0,001).
Kesimpulan: Prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 37,5%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT dengan osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p<0,001).

ABSTRACT
Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Comorbid diseases in COPD contributing to low health status, affecting the duration of treatment and even death. Osteoporosis is a quite often comorbid that found in COPD. In Indonesia, particularly in Persahabatan Hospital there are no data of prevalence on osteoporosis in patient with stable COPD.
Objective: The purpose of this research is to get the prevalence?s data of osteoporosis in patients with stable COPD at Persahabatan Hospital-Jakarta.
Method: The studie?s design was cross-sectional. Patients with stable COPD who came to the Asthma/COPD policlinic at Persahabatan Hospital-Jakarta who meet the criteria of inclusion and exclusion. Subjects had an examined of bone mineral density using dual energy x-ray absorptiometry (DXA) and had an examined of vitamin D blood level. At the time of visit, conducted anamnesis of symptoms, exacerbations, history of smoking, used of corticosteroid (oral or inhaled), comorbid, assessment of nutritional status. Then we did statistical test for analysis.
Results: Subjects were dominated with male (90.6%) in the age group 65-75 years old (53.1%), and smoking history (84.4%). The most degree of COPD of the subject were GOLD II (46.9%) and group B (50%) that using corticosteroid (65.7%). In this study we found prevalence of osteoporosis was 37.5%, meaning that approximately more than one third of the patients have had osteoporosis. There were no statistically significant relationship between COPD group, the degree of COPD, sex, smoking history, history of corticosteroid, age, levels of 25-OHD, pulmonary function with the occurrence of osteoporosis in patients with stable COPD (p>0.05). We found a significant relationship on low BMI as a risk factor for osteoporosis in stable COPD (p<0.001).
Conclusion: The prevalence of osteoporosis in patients with stable COPD in Persahabatan Hospital-Jakarta is 37.5%. There are a statistically significant relationship between BMI with osteoporosis in patients with stable COPD (p <0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Mariska Taruli Godang
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit komorbid yang sering ditemui pada pasien PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik dipertimbangkan sebagai faktor risiko berkembangnya diabetes tipe 2 melalui beberapa mekanisme antara lain inflamasi sitemik, merokok, stres oksidatif, obesitas dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. Prevalens DM pada pasien PPOK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Diabetes melitus sebagai penyakit komorbid pada pasien PPOK akan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan analisis deskriptif yang dilakukan di poliklinik asma ndash;PPOK Rumah sakit umum pusat Persahabatan pada bulan Februari ndash; Maret 2017 untuk melihat kejadian diabetes pada pasien PPOK. Enam puluh empat pasien PPOk di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Pada penelitian ini diambil 64 pasien PPOK lakilaki: 60, perempuan : 4 dengan usia rata rata 65 8.7 tahun. Sebanyak 12 subjek 18.8 sudah memiliki riwayat DM sebelumnya dan pasien ini dimasukan kedalam kelompok DM tanpa memandang hasil laboratorium. Dari 52 81.3 subjek yang belum diketahui status DM ditemukan 2 subjek 3,1 dengan diagnosis DM. Prevalens DM pada pasien PPOK pada penelitian ini sebesar 21.9. Ditemukan 16 subjek 25 dengan kadar HbA1c sesuai dengan prediabetes. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, riwayat merokok, sataus gizi, hambatan aliran udara dan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan kejadian DM pada pasien PPOK.
Kesimpulan: Prevalens DM pada pasien PPOK dalam penelitian ini adalah sebesar 21..9 . Penapisan komorbid DM penting dilakukan secara berkala.

Background: Type 2 diabetes mellitus DM is a common comorbidity of COPD. COPD may be considered as a risk factor for new onset type 2 DM via multiple pathophysiological alterations such as systemic inflammation, smoking, oxidative stress, obesity and inhaled corticosteroid use. Exact prevalence of DM in COPD patients in Indonesia are still unclear. Co morbid conditions like DM have great impacts on the outcome of COPD in the form of severity, morbidity and mortality
Method: A cross sectional study with descriptive analysis was done in Asthma COPD clinic Persahabatan Hospital from February to March 2017 to screen COPD patients for DM. Sixty four subjects were recruited consecutively. Interview, physical examination and laboratory testing were performed in all subjects.
Results: A total of 64 patients with COPD Males 60, Female 4 with mean age 65 8.7 were screened for DM. Patients with known history of DM were 12 18.8 and were enrolled as Known DM cases. Remaining 52 81.3 patients whose DM status were unclear and screened by random or fasting blood sugar and HbA1c. Two subjects 3.1 were considered as newly diagnosed DM cases. Prevalence of DM in present study was 21.9. Number of patients with prediabetes were 16 subjects 25. There were no significant relationship among gender, age, smoking, nutritional status, airflow limitation and inhaled corticosteroid use in occurrence of DM among COPD patients.
Conclusion: Prevalence of DM in COPD patients in the present study is 21.9. It is important to screen all COPD patients for DM routinely.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alyanisa Ulfathinah
"Penyakit paru obstruktif kronik dapat menyebabkan seseorang mengalami keluhan pernapasan seperti sesak napas, batuk, sputum berlebih. Keluhan pernapasan dan berbagai faktor dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur pada pasien PPOK. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan purposive sampling. Sebanyak 200 sampel diambil di tiga rumah sakit daerah jakarta pada Mei-Juni 2018. Kuesioner menggunakan COPD Assesment Test dan Pittsburgh Sleep Quality Index.
Hasil penelitan menunjukkan 66 pasien PPOK memiliki kualitas tidur buruk dengan masalah tertinggi yaitu durasi tidur. Kualitas tidur buruk ditemukan rata-rata pada usia 62 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SD/SMP, pendapatan kurang lebih Rp.2.000.000, menikah, IMT normal, memiliki >1 penyakit penyerta, terdiagnosis PPOK 12 bulan. Pasien PPOK yang mengalami kualitas tidur buruk mayoritas memiliki keluhan pernapasan sedang-berat. Tingkat keluhan pernapasan memiliki hubungan dengan kualitas tidur p = 0,016;OR:2,28. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas tidur pasien PPOK.

Chronic obstructive pulmonary disease can cause someone experience respiratory complaints such as shortness breath, coughing, excessive sputum. Respiratory complaints and many factors can influence sleep quality. This study purpose to describe sleep quality in COPD. Design used cross sectional purposive sampling in May June 2018. Respondents was 200 at three hospitals in Jakarta. Questionnaire used COPD Assesment Test and the PSQI.
Results showed that 66 COPD had poor sleep quality, the highest problems was sleep duration. Poor sleep quality was found average at 62 years old, male, education level in elementary junior high school, income Rp.2.000.000, married, had normal BMI and 1 comorbidities, diagnosed COPD for 12 months. Most of COPD who experience poor sleep had moderate severe respiratory complaints. There was relationship between respiratory complaints and poor sleep quality in COPD p 0.016 OR 2,28 . Nurses as caregivers is expected to correct or improve sleep quality in COPD.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia. PPOK mengganggu proses masuk dan keluarnya udara sehingga dapat menimbulkan gejala seperti batuk, sesak, dan produksi sputum berlebih. Aktivitas fisik penting untuk pasien PPOK. Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko hospitalisasi dan mortalitas. Tujuan penelitian ini, yaitu melihat gambaran karakteristik dan aktivitas fisik pada pasien PPOK. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional pada 200 responden dengan teknik purposive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) untuk aktivitas fisik. Hasil penelitian didapatkan 66 orang (33%) aktivitas fisik ringan, 74 orang (37%) aktivitas fisik sedang, dan 60 orang (30%) aktivitas fisik berat. Pada 200 orang responden yang mengikuti penelitian ini paling banyak melakukan aktivitas fisik sedang, sehingga mayoritas responden aktivitas fisiknya terpenuhi. Pada aktivitas fisik ringan disarankan untuk menggunakan bronkodilator sebelum beraktivitas atau mengikuti rehabilitasi paru sehingga dapat meningkatkan aktivitas fisik.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the fourth leading cause of death in the world. COPD interferes with air entry and discharge, causing symptoms such as coughing, dyspnea, and excessive sputum production. Physical activity is important for COPD patients. Physical activity could reduce the risk of hospitalization and mortality. This study is aimed to describe the characteristic of physical activity on patients with COPD. Its design was cross-sectional with 200 samples and selected through purposive sampling technique. Physical activity were identifies using International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). The results showed there were 66 patients (33%) who had mild physical activity, 74 patients (37%) with moderate, and 60 patients (30%) which had severe physical activity. This study found that the majority of patients had a good physical activity. This study reccomends patients with mild physcial activity uses bronchodilator before joining the lung rehabilitation or other activities to improve the intensity of physical activity."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
"Penyajian serial kasus ini bertujuan untuk menganalisis dukungan nutrisi optimal pada penderita paru-paru obstruktif kronis. Pemilihan kasus berdasarkan karakteristik yang terdapat pada pasien paru-paru obstruktif kronis, yaitu usia lansia, sedang mengalami eksaserbasi akut, terdapat komplikasi dan faktor komorbid, serta malnutrisi (underweight atau obesitas), yang dirawat di rumah sakit. Kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan perhitungan rumus Harris Benedict dan dikalikan dengan faktor stres yang sesuai. Komposisi protein 1,2–1,7 gr/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 50–60%. Hasil analisis dari dua kasus didapatkan rerata pencapaian asupan lebih dari 90% kebutuhan energi basal pada hari terakhir perawatan, satu kasus mencapai 70%, dan satu kasus lagi telah mencapai mencapai 85% kebutuhan energi total. Hanya satu kasus yang mendapat suplementasi mikronutrien lengkap dosis RDA. Monitoring dan evaluasi yang diberikan meliputi klinis, imbang cairan, toleransi asupan, dan analisis asupan. Dukungan nutrisi yang optimal, pemberian edukasi serta motivasi kepada pasien dan keluarganya, akan memberikan toleransi asupan yang baik disertai perbaikan klinis.

The aim of this serial case is to analyze optimal nutritional support in patients with COPD. The cases selection based on the characteristics of COPD patients, i.e. older age, acute exacerbation, complications, and comorbidity factor, as well as malnutrition (underweight or obese), who were hospitalized. Basal energy requirement were determined by the Harris-Benedict equotion and was multiplied by stress factor to calculate total energy requirement. Macronutriens compositions for protein ranged from 1.2 - 1.7 g/kg bw /day, lipids 25-30%, and carbohydrate 50-60% of total calories requirement. Intake analysis from two cases showed a mean intake over 90% of basal energy needs on the last day of treatment, one case reached 70%, and other case reached up to 85% of total energy needs. Only one case received full-dose micronutrient supplementation equal to RDA. Monitoring and evaluation included clinical status, fluid balance, intake tolerance, and intake analysis. Optimal nutritional support, provision of education and motivation to patients and their families, will enhanced intake tolerance along with clinical improvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>