Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138323 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wilsa Naomi Wijaya
"Komunitas adat kerap termarjinalisasi dalam kehidupan bernegara. Hal ini berimplikasi pada pengabaian hak-hak komunitas adat terhadap hutan adatnya dalam praktik pembangunan dengan pandangan modernisasi yang diturunkan oleh pemerintah. Secara khusus penelitian ini berbicara tentang hak Kasepuhan Cisitu untuk melakukan kegiatan penambangan emas skala kecil (PESK) di Blok Cikidang yang berada di dalam hutan adatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan asumsi-asumsi teoritis dari teori standpoint yang melihat bahwa semua pengetahuan terletak dalam suatu lokasi sosial dan terdapat lokasi sosial yang lebih baik untuk dijadikan titik awal produksi pengetahuan. Pengetahuan tersebut dipahami berdasarkan pengalaman serta pemaknaan individu yang menempati lokasi sosial tersebut. Alhasil, penelitian ini akan mengeksplorasi pengalaman komunitas adat Kasepuhan Cisitu dalam kegiatan PESK dalam kaitannya dengan praktik pembangunan yang ada. Penelitian ini menggunakan strategi penelitian fenomenologi dan paradigma kritis. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat upaya pemerintah untuk memaksakan pandangan tentang kepemilikan hutan yang dikontestasikan oleh komunitas adat Cisitu melalui upaya menempuh jalur hukum untuk mendapat pengakuan dan izin tambang dari pemerintah, keputusan untuk tetap melakukan kegiatan PESK terlepas dari pelarangan yang ada, serta tidak menjadikan pandangan tersebut sebagai kacamata utama dalam memaknai kegiatannya.

Indigenous communities are often marginalized in state life. This condition neglects the rights of indigenous communities to their customary forests in development practices that have modernization view passed down by the government. Specifically, this research talks about Kasepuhan Cisitus right to carry out small-scale gold mining activities in the Cikidang Block, which is located in their customary forest area. This research uses theoretical assumptions approach from standpoint theory that sees that all knowledge is socially located and that there is a better social location to be the starting point of knowledge production. This knowledge is explored based on the experiences and meanings of individuals who occupy this social location. Hence, this research will examine the experiences of Kasepuhan Cisitus small scale gold mining activities concerning existing development practices. This research uses a phenomenological research strategy and a critical paradigm. This study found that there was an attempt by the government to impose a view on forest ownership. However, that was contested by the Cisitu indigenous community through efforts to take legal action to obtain recognition and mining license from the government, by the decision to continue conducting small scale gold mining activities regardless of the prohibition, and by not making that view as the primary lens in interpreting it.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
UI-IJIL 6 (1-4) 2008/2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nitis Kinasih
"Ilustrasi merupakan salah satu unsur penting dalam sebuah buku bacaan untuk para anak-anak yang baru belajar membaca. Buku Pim en Mien (1925) karya Jan Ligthart dan Hindericus Scheepstra adalah salah satu buku yang digunakan sebagai bahan bacaan pada masa Hindia Belanda. Dalam buku tersebut terdapat ilustrasi-ilustrasi masyarakat pribumi yang digambar oleh Cornelis Jetses, seorang ilustrator terkenal di kalangan buku anak-anak pada masa Hindia Belanda. Penelitian ini membahas sosok pribumi dalam ilustrasi-ilustrasi karya Jetses dalam buku Pim en Mien (1925) dengan fokus pada peran dan posisi sosok pribumi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah dengan pendekatan poskolonial. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat tujuh dikotomi oposisi biner yang terdapat pada ilustrasi-ilustrasi tersebut. Selain itu, peran pribumi yang digambarkan oleh Jetses adalah sebagai pembantu yang bekerja untuk keluarga Eropa. Sosok pribumi juga hanya dijadikan figuran dalam ilustrasi karya Cornelis Jetses dalam buku Pim en Mien (1925). Penelitian ini menyimpulkan meskipun buku belajar membaca ini untuk anak-anak namun melalui ilustrasi dan narasinya tidak lepas dari ideologi dan praktik kolonial. Selain itu, anak-anak juga diperkenalkan dengan sosok-sosok pribumi yang merupakan bagian dari rumah tangga bangsa Eropa (Belanda) di Hindia Belanda.

An illustration is one of the essential elements in a reading book for children just learning to read. The book Pim en Mien (1925) by Jan Ligthart and Hindericus Scheepstra is one of the books used as reading material during the Dutch East Indies. The book contains illustrations of indigenous people drawn by Cornelis Jetses, a famous illustrator among children's books during the Dutch East Indies. This research discusses the figure of the native in the illustrations by Jetses in the book Pim en Mien (1925), focusing on the role and position of the native figure. This research is qualitative research using historical methods with a postcolonial approach. The result of this research is that there are seven binary opposition dichotomies contained in the illustrations. In addition, the role of natives depicted by Jetses is as servants who work for European families. The indigenous figure is also only used as an extra in the illustrations by Cornelis Jetses in the book Pim en Mien (1925). This research concludes that although this learning-to-read book is for children, through its illustrations and narrative, it cannot be separated from colonial ideologies and practices. In addition, children are also introduced to indigenous figures who are part of European (Dutch) households in the Dutch East Indies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winarsih
"Free, prior and informed consent FPIC merupakan salah satu prinsip yang muncul dari deklarasi dan konvensi internasional. Indonesia merupakan negara yang aktif dalam beberapa konvensi dan deklarasi tersebut. Akan tetapi dalam regulasi nasional belum terdapat pengakuan yang secara eksplisit menyerap elemen-elemen FPIC secara utuh. Di sisi lain terdapat konflik yang berkepanjangan antara masyarakat Samin dengan pemrakarsa yang diakibatkan oleh berbagai macam permasalahan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terkait FPIC dalam regulasi di Indonesia, pentingnya penerapan FPIC, dan analisis FPIC dalam pembangunan pabrik semen di masyarakat Samin. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan bahan pustaka sebagai sumber utama dan wawancara sebagai data pendukung.
Hasil dari penelitian ini adalah: Pertama, FPIC pada dasarnya sudah mulai diakui dalam regulasi di tingkat pusat. Meskipun demikian pengakuan tersebut masih bersifat parsial dan implisit. Dalam regulasi di tingkat daerah beberapa elemen FPIC juga sudah mulai diserap dan diakui secara eksplisit. Hal ini ditandai dengan penyusunan pedoman umum pelaksanaan FPIC dalam bentuk Peraturan Gubernur. Kedua, FPIC merupakan suatu hal yang sangat penting dan fundamental dalam mementukan kesuksesan sebuah investasi di masyarakat adat atau lokal. Selain itu FPIC dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak baik pemrakarsa, masyarakat maupun pemerintah. Ketiga, FPIC dalam pembangunan pabrik semen belum dimaknai secara baik. Hal ini ditandai dengan proses penyampaian informasi yang hanya melibatkan masyarakat yang pro terhadap proyek dan pemrakarsa cenderung memaparkan dampak positif dari pembangunan. Selain itu saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat tidak dijadikan sebagai salah satu faktor untuk menetukan kebijakan atau keputusan terkait pendirian pabrik semen.

Free, prior and informed consent FPIC is one of the principles emerging from international declarations and conventions. Indonesia is a country which is active in several conventions and declarations. However, in national regulations there is no recognition that explicitly absorbs the elements of FPIC as a whole. On the other hand, there is a prolonged conflict between the Samin community and the project proponent caused by various problems.
This research aims to analyze FPIC on regulation in Indonesia, the importance of FPIC implementation, and FPIC analysis in the construction of cement factory in Samin community. This research uses normative juridical method by using library material as main source and interview as supporting data.
The results of this study are The first FPIC has basically been recognized in the regulation at the central level. However, the recognition is still partial and implicit. In regulation at the regional level, some elements of FPIC have also begun to be absorbed and acknowledged explicitly. This is marked by the making of general guidelines for the implementation of FPIC in the form of a Governor 39 s Regulation. The second, FPIC is a very important and fundamental in determining the success of an investment in indigenous or local communities. In addition FPIC can provide benefits for every party, both the the project proponent, the community and the government. The third, FPIC in the construction of a cement factory has not been well understood. This is characterized by a process of delivering information that involves only pro project communities and the project proponent tends to expose the positive impact of development. In addition, suggestions, opinions and responses from the communty are not used as one of the factors to determine the policy or decision related to the establishment of a cement factory."
2018
T51516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Rahmawati
"Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan, faktor pendukung dan penghambat, serta dampak yang muncul dari pelaksanaan program. Dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Landasan yang digunakan mengacu pada konsep Pengembangan Komunitas dan menaruh perhatian pada pentingnya peran pelaku perubahan. Temuan lapangan menunjukkan Depsos melakukan diskresi dengan menunjuk orsos KKKS (sebelumnya bernama FKKS) Batam sebagai pelaksana. Program ini merupakan wujud dari kewajiban negara dengan berlatar belakang pada letak strategis Kota Batam yang merupakan wilayah perbatasan negara Indonesia yang berdampak pada stabilitas keamanaan negara serta semakin termarjinalisasinya komunitas suku laut dalam pembangunan sosial yang ada di Batam, dengan out put penempatan pemukiman suku laut di pulau Bertam-Kota Batam. Kesimpulan menunjukkan pentingnya pemerintah memperhatikan keberlanjutan program dengan tetap mempertimbangkan dampak yang diakibatkan dari pelaksanaan program khususnya PKAT.

This research focuses on implementation, strength, weakness and impact program activities to the seanomade community at Bertam Island. This study used qualitative methodology to describe in detail the implementation of programs and behavioral changes in society which became the target of the program. Explanation of the program refers to the development community that has been implemented. Based on the findings of this research: DEPSOS pointed ORSOS which known by KKKS (previously called FKKS) to implemented. The strategic location of Batam city which is the Indonesian border into the background of the implementation of this program. This program is a form of state obligations with a background in strategic location of Batam, which is the border state of Indonesia to give effect to the stability and state security and the marginalization of seanomade of social development in Batam. The results of this study addressed the importance of government attention to the sustainability of the program while considering the impact resulting from the implementation of programs, especially programs PKAT."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28911
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Herwini Wahyu Susanti
"Disertasi ini membahas tentang Pilot Proyek Model Klaster Kampung Berbasis Adat dan Sumber Daya Alam, yang digagas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk pemberdayaan masyarakat di Kampung Usku Distrik Senggi Kabupaten Keerom Papua, melalui pemberian pengetahuan dan keterampilan bercocok tanam secara budidaya di lahan pekarangan, dengan harapan masyarakat mau menjadi petani menetap, tidak lagi berburu ke hutan, sehingga pemberian akses kesehatan, pendidikan, dan teknologi informasi bisa lebih mudah diberikan. Penelitian Disertasi ini bertujuan untuk menganalisis strategi pelaksanaan, kendala-kendala yang dihadapi pada pelaksanaan pilot proyek Pemberdayaan Masyarakat Model Klaster Kampung Berbasis Adat dan SDA, serta pengaruh Insensitivitas Budaya terhadap ketidakberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pilot proyek di Kampung Usku tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, melalui studi kasus, dan pengumpulan data dilakukan melalui indepth interview terhadap sejumlah informan yang berasal dari tokoh dan masyarakat Kampung Usku, beberapa pejabat dari Disktrik Senggi, Pemda Kabupaten Keerom, dan Kementerian Desa, PDTT. Analisis dilakukan secara induksi untuk menemukan suatu konsep tentang model pemberdayaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada lokasi yang menjadi studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tahapan-tahapan yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat Model Klaster Kampung Berbasis Adat dan SDA kurang memperhatikan aspek budaya masyarakat Kampung Usku. Kendala-kendala muncul baik dari masyarakat setempat ataupun dari pemerintah dan pelaku pemberdayaan, yang hampir semuanya terkait dengan budaya masyarakar setempat. Pada akhirnya, insensitivitas terhadap budaya masyarakat lokal (Kampung Usku) ternyata menjadi faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pilot proyek tersebut dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, perlunya menyempurnakan Model Klaster Kampung Berbasis Adat dan SDA sebagai model pemberdayaan masyarakat, dengan memasukkan sensitivitas budaya sebagai unsur penting dalam menyusun desain, implementasi, dan evaluasi program pemberdayaan masyarakat, serta menjadikannya sebagai unsur penting yang harus dimiliki dan menyertai pelaku pemberdayaan (community worker) ketika bekerja pada masyarakat.

This Dissertation discusses the Village Cluster Model Pilot Project Based on Customs and Natural Resources, which was initiated by The Ministry of Village, Development of Disadvantaged Areas and Transmigration for community empowerment at the Usku Village, Senggi District, Keerom Regency, Papua, through providing knowledge and skills to cultivate cultivation in home garden, with the hope that the community will become permanent farmers, no longer hunting in the forest, so that providing access to health, education, and information technology can be more easily provided. This Dissertation research aims to analyze the implementation strategy, the constraints faced in the implementation of the Community Empowerment of Village Cluster Model Based on Customs and Natural Resources Pilot Project, as well as to analyze the effect of cultural insensitivity on the failure of community empowerment through the pilot project in Usku Village.
The study was conducted with a qualitative approach, through case study. Data collection is carried out through indepth interviews with a number of informants from leaders and communities of Usku Village, several officials from the Senggi District, Keerom Regency Government, and The Ministry of Village, Disadvantage Areas and Transmigration. The analysis was carried out by induction to find a concept about the community empowerment model that is according to a case study.
The results showed that the stages used in community empowerment of Village Cluster Model Based on Customs and Natural Resources did not attention to the cultural aspects of the people of Usku Village. Contrains arise both from the local community or from the government and empowerment actors, almost all of which are related to local community culture. In the end, insensitivity to culture of the local community (Usku Village) turned out to be a factor affecting the failure of community empowerment through the pilot project to achieve the stated objectives.
The conclusion of this study is, an improvement is needed for The Village Cluster Model Based on Customs and Natural Resources as a model for community empowerment, by including cultural sensitivity as an important element in design, implementations and evaluations of communitu empowerment, and making it as an important element that must be owned and supported by the empowerment actors (community worker) when working in the community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danu Kurnianto
"Pendidikan masyarakat adat merupakan salah satu media artikulasi hak-hak masyarakat adat. Beragam persoalan akibat pembangunan di berbagai wilayah adat dianggap meminggirkan posisi masyarakat adat dan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil selama ini menyuarakan perlunya entitas pendidikan masyarakat adat yang mampu berpihak bagi kepentingan masyarakat adat. Tesis ini, memberikan perhatian pada konsep artikulasi (ekspresi pengucapan untuk menunjukan posisi dan identitas kelompok) yang dapat memiliki efek berbeda ketika digulirkan sebagai suatu program. Penelitian ini menunjukan bahwa artikulasi melalui pendidikan masyarakat adat oleh sejumlah LSM di tingkat nasional, tidak selamanya berkesesuaian dengan program pendidikan masyarakat adat yang mereka garap di tingkat lokal. Penelitian ini juga menunjukan adanya keragaman perbedaan artikulasi yang dilakukan oleh beragam aktor yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di tingkat nasional, regional dan lokal. Berbagai persoalan penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat di lapangan terkadang bekerja tidak sejalan dengan kepentingan yang diartikulasikan secara nasional oleh banyak LSM. Penelitian etnografis ini dilakukan dengan membandingkan dua bentuk penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat yang dikoordinasikan oleh dua LSM yang berbeda wilayah Banten Kidul, Kabupaten Lebak. Komparasi dilakukan terhadap aktivitas penyelenggaraan Sekolah Adat Birawa dan pendidikan masyarakat adat Kisancang untuk melihat bagaimana artikulasi-artikulasi yang ada mengalami gejolak di lapangan. Berdasarkan persoalan pembangunan yang terjadi di sekitar wilayah adat, didapatkan fakta bahwa pendidikan masyarakat adat menggunakan strategi yang berbeda untuk penyelenggaraan aktivitas mereka. Penulis berpendapat bahwa terdapat dinamika artikulasi dalam penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat dapat dipengaruhi oleh perbedaan strategi dan pendekatan metode yang ada dalam materi-materi pembelajaran di kedua komunitas tersebut.  Perbedaan artikulasi yang ada di tingkat lokal tersebut juga menunjukan adanya perbedaan posisi, dan cara mereka mengidentifikasi diri ketika menghadapi persoalan masing-masing yang bergantung pada konteks sejarah dan lansekap yang berbeda.

Education of indigenous peoples is one of the media for articulating the rights of indigenous peoples. Various problems resulting from development in various traditional areas are considered to marginalize the position of indigenous peoples and threaten their survival. A number of civil society organizations have been voicing the need for indigenous community education entities that are able to side with the interests of indigenous communities. This thesis pays attention to the concept of articulation (pronunciation expressions to show group position and identity) which can have different effects when rolled out as a program. This research shows that the articulation of indigenous peoples' education by a number of NGOs at the national level is not always in accordance with the indigenous peoples' education programs that they work on at the local level. This research also shows the diversity of different articulations carried out by various actors related to the implementation of education for indigenous peoples at the national, regional and local levels. Various problems in implementing education for indigenous peoples in the field sometimes work not in line with the interests articulated nationally by many NGOs. This ethnographic research was carried out by comparing two forms of implementation of indigenous community education coordinated by two different NGOs in the Banten Kidul area, Lebak Regency. A comparison was made of the activities of implementing the Birawa Traditional School and the education of the Kisancang traditional community to see how the existing articulations experienced turmoil in the field. Based on development issues that occur around customary areas, the fact is that indigenous community education uses different strategies to organize their activities. The author believes that there are dynamics of articulation in the implementation of indigenous community education which can be influenced by differences in strategies and method approaches in learning materials in the two communities. The differences in articulation at the local level also show differences in positions and the way they identify themselves when facing their respective problems which depend on different historical contexts and landscapes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhila Khairina Isnan
" ABSTRAK
Jurnal ini membahas mengenai analisis kritis terhadap buku tarian bumi Bagaimana penulis buku melakukan framing mengenai realitas masyarakat adat Bali dari pandangan seorang penulis feminis yang pernah mengalami kehidupan dalam masyarakat bali yang sangat patriarkis Penulis menggunakan metode Critical Discourse Analysis milik Norman Fairclough Dalam analisis kritis ini menghasilkan bahwa buku ini berusah menjabarkan mengenai permasalahan yang ada dibalik masyarakat yang masih terkukung dalam sebuah sistem budaya yang sarat akan nilai patriarkis yang melegitimasikan subordinasi akan wanita dan juga merupakan bentuk media perlawanan dari penulis buku sendiri

ABSTRACTThis journal discusses the earth dance book on how did the author frame the reality of Bali indigenous peoples The book author captured a perspective of a feminist writer who has experienced life in Bali patriarchal society I use Critical Discourse Analysis method from Norman Fairclough Based on the critical analysis can be concluded that this book try to describe the problems that exist behind the people who are still shackled in a culture system that is full of patriarchal values which legitimized the women subordination This book reflecs the author rsquo s beliefs and also a form of media resistance from her "
[, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia], 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Nur Maulidya
"Pengabaian hak akan kesehatan menyebabkan munculnya disparitas kesehatan antaramasyarakat adat. Suku Baduy Dalam merupakan masyarakat adat di Indonesia yangmenolak mengikuti perkembangan kehidupan modern. Capaian pelayanan kesehatanpada masyarakat Baduy Dalam sebagai indikator kinerja pemerintah dalam meratakanpelayanan kesehatan belum tercatat dengan baik. Ketersediaan, keterjangkauan, danketerimaan Pelayanan kesehatan sebagai hal fundamental dalam pemerataan hak akankesehatan perlu ditelaah lebih lanjut.Penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan paradigma Hak Asasi Manusiabertujuan untuk menggali informasi mendalam mengenai pelayanan kesehatan padamasyarakat Baduy. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dan informandipilih berdasarkan teknik purposif untuk memenuhi kesesuaian dan kecukupan informasipenelitian. Informan dalam penelitian ini adalah instansi pemerintah di bidang kesehatan,tenaga kesehatan, stakeholder di Desa Kanekes, kader kesehatan, dan masyarakat. Hasilpenelitian dianalisis menggunakan matriks dan menggunakan content analysis untukmenyimpulkan fenomena tematik. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan penelaahandokumen dan literatur terkait topik penelitian sebagai triangulasi.Adanya larangan menggunakan alat transportasi ke wilayah Baduy Dalam membuattenaga kesehatan tidak memiliki pilihan lain selain berjalan kaki melewati jalan setapakyang terjal. Pemberian pelayanan kesehatan mobile terkendala dengan jumlah tenagakesehatan dan kemampuan masyarakat dalam menerima pelayanan kesehatan modern.Pelayanan kesehatan modern belum bisa dilakukan karena masih terdapat anggapanpelayanan kesehatan modern mengancam kelestarian adat. Keterlibatan dan perhatianinstansi pemerintah terhadap pelayanan kesehatan pun sangat rendah.Kesimpulan dari penelitian ini adalah pelayanan kesehatan untuk Baduy Dalam belumdilaksanakan dengan baik karena adanya kendala dari sisi ketersediaan tenaga kesehatan,akses geografis, dan penerimaan terhadap pelayanan kesehatan modern yang rendah.

Differences in rights to health cause a disparity between indigenous communities andpeople in general, which should be avoidable. The Baduy Dalam Tribe is one of theindigenous communities in Indonesia that refuses to follow modern developments. Theprovision of health services to the Baduy Dalam community has become an indicator ofthe government rsquo s performance, in an effort to better equalize undocumented healthservices. Availability, affordability, and acceptance of health services as a fundamentalequalizer of rights to health needs to be further analyzed.This qualitative research uses a Basic Human Rights paradigm approach to obtain indepthinformation regarding health services among the Baduy community. The methodused was in depth interviews, and informants were chosen using a purposive techniqueto achieve correct and adequate information for this research. The informants includedthe government health department, healthcare personnel, Kanekes Village stakeholders,health cadres, and the community. Results were analyzed using a matrix and contentanalysis to identify the thematic information. To maintain validity, document review andliterature review on the subject were conducted.Restrictions to use vehicles in the Baduy Dalam area caused healthcare personnel toalways have to walk on a narrow road to reach the area. The provision of mobilehealthcare services is also made difficult due to the lack of healthcare personnel andcommunity acceptance of modern healthcare services. The community does not acceptthese services as there is an assumption that it threatens the survival of their traditions.Involvement of government institutions in these healthcare programs is also minimal.Healthcare services to the Baduy Dalam Community is not performed well as there arevarious obstacles in the availability of healthcare personnel, geographical access, and lowacceptance level of modern healthcare services."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdu Silta Wenti
"Penelitian ini menganalisis pemberdayaan masyarakat adat di era desentralisasi dengan studi kasus pemberdayaan komunitas adat terpencil terhadap Suku Anak Dalam di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi Tahun 2004-2006. Penelitian ini beragumen, bahwa desentralisasi mengakomodasi masyarakat adat melalui ketentuan legal di dalam UU No.32 Tahun 2004, namun desentralisasi belum mempengaruhi dalam aspek pembuatan program pemberdayaan komunitas adat terpencil.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori multikulturalisme yang berasal dari Kymlicka, Raz, dan Parekh. Serta, konsep desentralisasi politik, pemberdayaan masyarakat, dan masyarakat adat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai data primer, dan data sekunder seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan studi pustaka lainnya.
Penelitian ini menemukan beberapa hasil, diantaranya; Pertama¸ pemerintah daerah tidak membuat program pemberdayaan komunitas adat terpencil dengan mekanisme bottom up, melainkan dengan pandangan subjektif terhadap Suku Anak Dalam yang harus di modernisasi. Kedua¸ program pemberdayaan terhadap Suku Anak Dalam tidak sesuai dengan kondisi budaya dan tidak memenuhi akses pelayanan sosial. Ketiga¸ pemerintah daerah masih bergantung terhadap mekanisme pemberdayaan dan anggaran pemberdayaan yang diberikan pemerintah pusat.

This research analyzes the empowerment of indigenous community in decentralization era with the case study of the empowerment of remote indigenous community towards Suku Anak Dalam in Kabupaten Muaro Jambi, Jambi Province in 2004-2006. This research argues that decentralization accommodates indigenous community within legal provision in UU No.32 Tahun 2004, but decentralization is not yet to take effect on affecting the manufacture of remote indigenous community programs.
This research uses the multiculturalism theory from Kymlicka, Raz, and Parekh. In addition, the researcher is also using political decentralizations concept, the concept of community empowerment, and indigenous community concept. This research employment qualitative methods with in-depth interviewing technique as the primary source of data, and legal provisions like law, government regulations, and other literature study, as the secondary sources.
This research find out that, First, the local government does not make the remote indigenous community empowerment program with a bottom up mechanism, rather with a subjective view towards Suku Anak Dalam that needs to be modernized. Second, the empowerment program for Suku Anak Dalam does not match the cultural condition. Third, the local government still depends on the empowerment mechanism and the empowerment budget that is given by the central government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S64370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>