Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148670 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prayoga Byantara
"Buah merupakan salah satu unsur penting dari makanan sehari-hari tetapi penurunan kualitasnya sangat cepat karena memiliki aktivitas metabolik yang tinggi. Salah satu buah yang memiliki sifat mudah rusak (perishable) dan memiliki umur simpan yang sangat singkat yaitu buah stroberi. Pelapis yang dapat dimakan (edible coating) pada buah merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan memperpanjang masa penyimpanan buah. Edible coating dapat diproduksi dari mikroalga dengan kandungan protein yang tinggi, seperti Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis. Bahan lain yang dibutuhkan yaitu gliserol sebagai plasticizer untuk meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas serta surfaktan yaitu carboxymethyl cellulose (CMC) sebagai pengental, stabilisator, dan pengemulsi. Buah yang dijadikan sampel untuk penelitian ini yaitu buah stroberi (Fragaria sp.). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jenis dan konsentrasi mikroalga pada edible coating yang sesuai serta suhu penyimpanan yang optimum untuk menjaga kualitas buah stroberi. Dalam penelitian ini, hal yang divariasikan adalah konsentrasi mikroalga Chlorella vulgaris, yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1% (b/v); konsentrasi mikroalga Spirulina platensis, yaitu 0,5%, 0,75%, dan 1% (b/v); dan suhu, yaitu suhu kulkas (± 4-7oC) dan suhu ruang (± 25-27oC). Pengujian yang dilakukan yaitu kuantifikasi protein pada larutan edible coating serta sifat fisik (uji organoleptik; warna, bau & tekstur, dan susut bobot) dan sifat kimiawi (pH dan vitamin C) pada buah.

ABSTRACT
Fruit is one of the important elements of daily food, but undergo rapid deterioration due to their high metabolic activity. One of fruit that has perishable properties and has a very short shelf life is strawberry. Edible coating on fruit is one of alternative that can be used to improve quality and prolong shelf life of fruit. Edible coating can be produced from microalgae with high protein content, such as Chlorella vulgaris and Spirulina platensis. Other materials needed are glycerol as a plasticizer to increase flexibility and elasticity as well as surfactant which is carboxymethyl cellulose (CMC) as a thickener, stabilizer, and emulsifier. Strawberry (Fragaria sp.) is being used as a sample in this study. This study aims to analyze the influence on the type and concentration of microalgae on the appropriate edible coating and the optimum storage temperature to maintain the quality of strawberries. In this study, what varied are the concentration of Chlorella vulgaris microalgae, which are 0,5%, 0,75%, and 1% (w/v); concentration of Spirulina platensis microalgae, which are 0,5%, 0,75%, and 1% (w/v); and temperature, which are fridge temperature (± 4-7oC) and room temperature (± 25-27oC). There are three tests carried out, which are protein quantification on edible coating solution, physical properties (organoleptic test; color, odor & texture, and weight loss) and chemical properties (pH and vitamin C) on fruit.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Hardi Surya
"Efek kesehatan dari ekstrak klorofil untuk suplementasi penyakit diabetes tipe 2 sebagian besar telah diteliti selama beberapa tahun terakhir. Namun, sumber klorofil belum dievaluasi secara ekstensif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki potensi penggunaan dua mikroalga berbeda, Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis yang mudah ditemukan di lingkungan sebagai sumber dari ekstrak klorofil dengan daun bayam sebagai pembanding.
Dalam studi ini, para vulgaris mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis dibudidayakan di fotobioreaktor pelat datar volume 6 liter selama 1 bulan, diendapkan dan dikeringkan pada suhu kamar. Daun bayam dibeli di supermarket lokal, dikeringkan pada suhu kamar, dan dihancurkan oleh blender. Setiap biomassa kering kemudian diekstraksi dengan tiga pelarut yang berbeda: 96% Etanol, Aseton dan Kloroform secara terpisah, disentrifugasi, dan supernatan diukur dalam Spectrophotometer untuk kuantifikasi klorofil.
Pengaruh Waktu Homogenisasi juga diselidiki. Dalam rentang waktu 0, 45, 90, 135, dan 180 menit. Chlorella vulgaris memiliki ekstrak klorofil tertinggi dengan kloroform dengan 7944,35 µg klorofil / g biomassa, di mana Spirulina platensis dan bayam daun memiliki ekstrak klorofil tertinggi dengan aseton, dengan hasil 3.506,63 µg klorofil / g biomassa dan 6676,23 µg klorofil / g biomassa, berturut-turut. Waktu Homogenisasi yang optimal untuk Chlorella vulgaris, Spirulina platensis dan daun bayam adalah 90, 45 dan 90 menit, berturut-turut. Kesimpulannya, dibandingkan dengan daun bayam, Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis memiliki potensi sumber baru ekstrak klorofil untuk suplementasi penyakit diabetes tipe 2.

The health effect of the chlorophyll extract for the diabetes type 2 disease supplementation has been largely investigated for the past few years. However, the source of chlorophyll has not been evaluated extensively. The aim of this study is to investigate the potential use of two different microalgae, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis that easily found in the environment as the source of the chlorophyll extract with the spinach leaf as the comparison.
In this study, the microalgae Chlorella vulgaris and Spirulina platensis was cultivated in 6 liters? volume flat plate photobioreactor for 1 months, precipitated and dried at the room temperature. The spinach leaf was purchased on local supermarket, dried at the room temperature, and crushed by the blender. Each dried biomass then extracted with three different solvents: 96% Ethanol, Acetone and Chloroform separately, centrifuged, and the supernatant was measured in Spectrophotometer for chlorophyll quantification.
The effect of the extraction time also investigated at 0, 45, 90, 135 and 180 minutes. Chlorella vulgaris has the highest chlorophyll extract with chloroform with 7944.35 µg chlorophyll/g biomass, where Spirulina platensis and spinach leaf has the highest chlorophyll extract with acetone, with the result of 3506.63 µg chlorophyll/g biomass and 6676.23 µg chlorophyll/g biomass, consecutively. The optimum extraction time for Chlorella vulgaris, Spirulina platensis and spinach leaf was 90, 45 and 90 minutes, consecutively. In conclusion, compared with the spinach leaf, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis has the potential for the new source of chlorophyll extract for the diabetes type 2 disease supplementation.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Santoso
"Krisis energi menyebabkan kebutuhan akan biodiesel meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Chlorella vulgaris diteliti karena memiliki lipid yang potensial untuk sintesis biodiesel. Akumulasi lipid pada mikroalga dapat ditingkatkan dengan mengontrol kandungan nitrogen. Salah satu pengontrol kandungan nitrogen alami ialah cyanobacteria seperti Spirulina platensis. Penggunaan S. platensis sebagai agen simbiosis dapat memungkinkan akumulasi lipid pada produksi skala pabrik menggunakan medium komersiil seperti kompos dan limbah organik. Pada studi ini, C. vulgaris dan S. platensis dikultur dengan medium BG-11 pada fotobioreaktor datar dengan melihat biomassa dan produktivitas lipid. Komposisi koloni optimum ditentukan dengan intensitas pencahayaan kontinu tertentu untuk menghasilkan lipid tertinggi. Penggunaan S. platensis meningkatkan laju pertumbuhan akibat biosintesis simbiotik dengan yield lipid yang lebih tinggi. Koloni 3:2 (S. platensis 40%wt) menghasilkan yield 6,72% pada intensitas pencahayaan 3000 lux, lebih tinggi dibandingkan kontrol 100% C. vulgaris (5,13%). Hal ini mengkonfirmasi bahwa keberadaan S. platensis menginduksi akumulasi lipid pada mikroalga. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memahami proses biosintesis dalam koloni.

Due to energy crisis, demand on biodiesel inclines significantly year by year. In order to cope with that, Chlorella vulgaris is often observed for having potential amount of lipid for synthesizing biodiesel. Lipid accumulation in potential C. vulgaris could be induced by controlling nitrogen concentration in optimum level. One of natural nitrogen controller is cyanobacteria. The use of Spirulina platensis as symbiosis agent could enable higher lipid content in non-synthetic, more economic, plant scale medium such as compost and bio-waste. In this study, C. vulgaris and Spirulina platensis were cultured in BG-11 medium in microalgal flat plate photobioreactor to assess biomass and lipid productivity. We also determine optimum colony composition on certain light intensity to yield highest lipid amount. Colony composition 3:2 (40%wt S. platensis) gives highest lipid yield (6.72%) in continuous illumination 3000 lux compare to control sampel (100% C. vulgaris) which only yields 5,13%. This confirms that the existence of cyanobacteria induces lipid accumulation in microalgae Chlorella vulgaris. Further study is needed to understand better biosynthesis in colony and optimum parameters for plant scale establishment.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S55491
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Enggar Fiasti
"Ketersediaan energi menjadi kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia, namun saat ini produksi energi masih bergantung pada konsumsi bahan bakar fosil. Meningkatnya permintaan energi yang disertai dengan menipisnya cadangan bahan bakar fosil, menyebabkan ketertarikan untuk mencari sumber energi terbarukan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satunya melalui penggunaan sistem berbasis biologis, yaitu Microalgae-Microbial fuel cell (MmFC). Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC) merupakan perangkat biokimia yang memanfaatkan,proses fotosintesis mikroalga untuk mengubah energi matahari menjadi listrik melalui reaksi metabolisme simultan dengan bakteri. Bakteri yang digunakan pada sistem ini dapat berupa kultur murni ataupun kultur campuran yang berasal dari limbah. Berangkat dari kondisi tersebut maka terdapat 2 optimasi yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu optimasi jenis bakteri (bakteri indigenous limbah tempe dan bakteri Acetobacter aceti) dan optimasi waktu inkubasi limbah tempe (0 hari, 3 hari, 7 hari, dan 14 hari). Kinerja MmFC pada optimasi jenis bakteri ditinjau berdasarkan power density, sedangkan pada optimasi waktu inkubasi limbah tempe ditinjau berdasarkan power density dan bioremediasi limbah (%penurunan BOD dan COD). Hasil optimasi jenis bakteri, menunjukkan bahwa bakteri indigenous limbah tempe memberikan nilai power density lebih besar daripada bakteri A. aceti (PDmaks = 812,746 mW/m2; PDrata-rata = 438,310 mW/m2). Sementara itu, hasil optimasi waktu inkubasi limbah tempe, menunjukkan bahwa inkubasi limbah tempe selama 14 hari merupakan waktu inkubasi yang paling optimal ( PDmaks = 1146,876 mW/m2; PDrata-rata = 583,491 mW/m2; %penurunan COD = 46,011%; %penurunan BOD = 47,172%)

The availability of energy is an essential need for human life, but currently, energy production still depends on the consumption of fossil fuels. The increasing energy demand, accompanied by the decrease of fossil fuel reserves, has caused interest in finding sustainable and environmentally friendly renewable energy sources. One of them is through the use of a biological-based system, namely Microalgae-Microbial fuel cell (MmFC).Microalgae-microbial Fuel Cell (MmFC) is a biochemical device that utilizes the photosynthetic process of microalgae to convert solar energy into electricity through simultaneous metabolic reactions with bacteria. The bacteria used in this system can be pure cultures or mixed cultures from waste. Based on these conditions, there are 2 optimizations carried out in this research, namely optimization of the type of bacteria (indigenous bacteria of tempeh waste and Acetobacter aceti bacteria) and optimization of incubation time of tempeh waste (0 days, 3 days, 7 days, and 14 days). The performance of MmFC on the optimization of bacterial species was reviewed based on the power density, while the optimization of incubation time for tempeh waste was reviewed based on the power density and waste bioremediation (% decrease in BOD and COD). The results of the optimization of the type of bacteria showed that the indigenous bacteria of tempeh waste showed a power density value greater than that of A. aceti bacteria (PDmax = 812.746 mW/m2; PDaverage = 438.310 mW/m2). Meanwhile, the optimization results of tempeh waste incubation time showed that incubation of tempeh waste for 14 days was the most optimal incubation time (PDmax = 1146.876 mW/m2; PD average = 583,491 mW/m2; % decrease in BOD = 46.011%; % decrease in COD = 47.172%)"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Najwa Eliva
"Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang memberikan warna kuning, jingga, dan merah pada tumbuhan. Karotenoid dikenal karena pigmentasinya, memiliki sifat antioksidan serta memberikan banyak manfaat terhadap kesehatan. Meskipun dapat diproduksi secara kimiawi, karotenoid alami lebih diminati karena tidak menghasilkan efek samping terhadap kesehatan. Salah satu sumber bahan alam yang dapat memproduksi karotenoid adalah mikroalga. Karena fleksibilitasnya, mikroalga memiliki potensi yang besar sebagai sumber karotenoid sehingga upaya optimasi kultivasi mikroalga banyak dilakukan. Pada kultivasi mikroalga, terdapat beberapa faktor yang penting untuk dikonsiderasi, salah satunya adalah cahaya. Penggunaan cahaya yang optimal akan meningkatkan laju fotosintesis sehingga pertumbuhan sel turut mengalami peningkatan. Seiring meningkatnya pertumbuhan mikroalga, fenomena self-shading dapat terjadi sehingga menurunkan laju pertumbuhan dan produksi biomassa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, peningkatan intensitas cahaya yang disesuaikan dengan kerapatan sel mikroalga dapat dilakukan. Pada penelitian ini digunakan konsorsium mikroalga Chlorella vulgaris dan Spirulina platensis karena keduanya merupakan sumber karotenoid yang potensial. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pada rasio konsorsium 1:1, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,39 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,9 g/L dengan cahaya konstan. Pada rasio konsorsium 1:2, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,49 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 2,01 g/L dengan cahaya konstan. Pada rasio konsorsium 2:3, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 2,33 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,81 g/L dengan cahaya konstan. Pada monokultur Spirulina platensis, dihasilkan perolehan biomassa sebesar 1,51 g/L dengan alterasi cahaya dan sebesar 1,35 g/L dengan cahaya konstan. Melihat peningkatan perolehan biomassa kering, dapat disimpulkan bahwa fenomena self-shading dapat diatasi. Kandungan karotenoid yang terkandung dari mikroalga diperoleh sebesar 0,084 – 0,099 mg/g biomassa kering, dan peningkatan intensitas cahaya tidak memberikan dampak yang terlalu signifikan pada peningkatan kandungan karotenoid.

Carotenoid is a group of pigment that gives colours such as yellow, orange, and red to wide range of plants. Carotenoid is widely known for its pigmentation, antioxidant activity and lots of benefits for health. Although it can be produced synthetically, natural carotenoid is preferable because it doesn’t give additional side effects for health. One of many natural sources that can produce carotenoids is microalgae. Due to its flexibility, microalgae is stated as a very potential source of carotenoid, leading to many researches are carried out to optimize microalgae cultivation. There are several factors to consider during microalgae cultivation, one of them is light utilization. Optimal light intensity will increase photosynthetic rate and microalgae growth rate. However, the increase in microalgae growth rate can lead to a phenomenon called self-shading, that can reduce microalgae growth rate and biomass production. To overcome this problem, periodic increase in light intensity can be applied. In this study, Chlorella vulgaris and Spirulina platensis consortium is used. From the conducted study, it is known that in the ratio of 1:1, increasing light intensity results in 2,39 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1,9 g/L dry biomass. In the ratio of 1:2, increasing light intensity results in 2,49 g/L dry biomass and constant light intensity results in 2,01 g/L dry biomass. In the ratio of 2:3, increasing light intensity results in 2,33 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1,81 g/L dry biomass. In Spirulina platensis monoculture, increasing light intensity results in 1,51 g/L dry biomass and constant light intensity results in 1.35 g/L dry biomass. The results indicate that the self-shading phenomenon can be overcome. The carotenoid content in microalgae is reported reached 0,084 – 0,099 mg/g dried biomass, and the increasement of light intensity didn’t give a significant effect in increasing carotenoid content."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ambar Khalis
"Dewasa ini, sampah plastik merupakan isu lingkungan terbesar. Semenjak penggunaan plastik konvensional berasal dari polimer fossil, sehingga sulit diuraikan oleh bakteri. Solusi yang tepat adalah menggantikanya dengan bioplastik. Penelitian ini menggunakan Chlorella vulgaris dan PVA sebagai bahan pembuatan bioplastik. C. vulgaris dipercaya memiliki potensi sebagai bahan campuran pembuatan plastik dikarenakan tingginya kandungan biopolimer Protein, karbohidrat. Namun, C. vulgaris/ PVA memiliki beberapa kelemahan seperti sifat fisik-kimia yang buruk. Compatibilizer dan plasticizer diperlukan untuk meningkatkan homogenitas, kompatibilitas dan elastisitas campuran alami dan sintetis karena kedua bahan memiliki sifat yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi maleat anhidrat dan gliserol terbaik sebagai compatibilizer dan plasticizer. PVA graft maleat anhidrat PVA-g-MAH disintesis dengan memadukan PVA, Maleic anhydride 2, 4, 6 berat PVA, DMSO dan KPS dengan suhu 120 oC. C. vulgaris dimodifikasi menjadi termoplastik dengan mencampur aquadest dan variasi gliserol 15, 20, 25, 30 v dari berat C. vulgaris. Pada penelitan ini komposisi terbaik diperoleh pada penambahan maleat anhidrat 6 dengan gliserol 15 karna menghasilkan sifat mekanik terbaik yaitu kuat tarik 42 kgf/cm2 dan elongasi 13. Selain itu, dapat dindikasikan bahwa penambahan compatibilizer dan plasticizer dapat meningkatkan homogenitas dan elastisitas film plastik PVA-Chlorella.

Nowadays, plastic waste is the biggest environmental issues. Since the usage of conventional plastic which come from fossil polymer that can not be decomposed by decomposer. One of the solution is bioplastic. This study used Chlorella vulgaris and PVA as the based materials to made bioplastic. Chlorella is chosen as the new potential of raw material for its high amount of biopolymer Protein, carbs. However, Chlorella PVA has some weakness such as poor physical chemical properties. Compatibilizer and plasticizer are needed to improve the homogeneity, compatibility and elasticity of natural and synthetic mixtures as both materials have different properties.
This study aims to obtain the best maleic anhydrides and glycerol concentration as compatibilizer and plasticizer. Maleic anhydrate grafted PVA PVA g MAH was synthesized by blending PVA, Maleic anhydride 2, 4, 6 wt PVA, DMSO and KPS with temperature 120 oC. Chlorella was modified by mixing aquadest and glycerol variations 15, 20, 25, 30 v wt of Chlorella. In this research, the best composition was obtained in addition of 6 maleic anhydride with 15 glycerol because it yielded the best mechanical properties with tensile strength 42 kgf cm2 and elongation 13. In addition, it can be indicated that the addition of compatibilizer and plasticizer can improve the homogeneity and elasticity of PVA Chlorella plastic films.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risnia Dwi Atriansari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan maksimum mikroalga yang dikultivasi dalam medium NPK Urea dan kandungan protein pada sampel kering mikroalga dengan metode uji absorbansi spektrofotometri uv-visible. Jenis mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chlorella vulgaris dan Spirulina plantesis. Laju pertumbuhan maksimum diperoleh dari tiga metode hitung yaitu haemositometer, absorbansi dan kapasitansi. Laju pertumbuhan maksimum Chlorella vulgaris diperoleh pada hari ketujuh masa kultivasi dengan jumlah 4.752.000 sel/ml dan Spirulina plantesis pada hari keenam dengan jumlah 64.000 sel/ml. Pengujian kandungan protein menggunakan alkaline copper reagen (ACR) yang memanfaatkan reaksi antara larutan tembaga (Cu2+), NaOH dan sampel. Perubahan warna sampel menjadi ungu menandakan adanya reaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida atau protein. Besarnya konsentrasi protein dapat diketahui dengan melihat nilai serapan pada panjang gelombang 520 nm. Kandungan protein yang dihasilkan dari berat kering sampel (w/w) dalam penelitian ini sebesar 14,78% untuk Chlorella vulgaris dan 16,06% untuk Spirulina plantesis. Jenis asam amino yang teridentifikasi berdasarkan perbandingan grafik BSA dengan sampel adalah tyrosin, phenylalanine dan tryptophan.

This study has purpose to determine the maximum growth rate of microalgae cultivation in the NPK Urea medium and protein content on a dry microalgae sample with UV-visible absorbance spectrophotometry assay method. Type of microalgae used in this study was Chlorella vulgaris and Spirulina plantesis. The maximum growth rate is calculated using three methods: haemocytometer, absorbance and capacitance. Chlorella vulgaris maximum growth rate obtained on the seventh day of cultivation period with the number 4.752.000 cells/ml and Spirulina plantesis on the sixth day with the number 64.000 cells/ml. The protein content was tested using alkaline copper reagent (ACR) which utilizes the reaction between copper (Cu2+), NaOH and samples. The color change of samples turn to purple indicates there are reaction between Cu2+ and peptide bonds or protein. The amount of protein concentration can be determined by looking the absorption value at 520 nm wavelength. The result of protein content of the dry sample weight (w/w) in this study amounted to 14.78% for Chlorella vulgaris and 16.06% for Spirulina plantesis. Types of amino acid were identified by comparison with a standart BSA is tyrosine, phenylalanine and tryptophan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S59632
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul Hadi B
"ABSTRAK
Salah satu dampak kekurangan gizi mikro di Indonesia adalah rendahnya
tingkat kesehatan ibu hamil. Pemberian sumplemen yang mengandung omega-3
dan 6 (DHA, EPA, dan AA), dapat menjadi solusi permasalahan tersebut. Salah
satu sumber lain yang sangat potensial adalah mikroalga yang dikultivasi
heterotrof. Pada penelitian ini dilakukan kultivasi mikroalga dari spesies
S.platensis, B. braunii, C aureius, dan P.cruentum yang dikoleksi oleh Balai Besar
Bioteknologi dan Perikanan, Slipi, Jakarta. Penelitian dilakukan dari kultivasi
masing-masing mikroalga tersebut secara normal (autotrof), kemudian
dikondisikan secara heterotrof dengan pemberian glukosa 0,5 g/L. Hasil penelitian
menunjukkan spesies S.platensis, B. braunii, C aureius, dan P.cruentum memiliki
kandungan lipid berturut-turut sebesar 5,297, 0,173, 0,528 dan 2,116 (% berat
biomass kering). Kandungan DHA, EPA, dan AA dari S. platensis,B. braunii, C.
aureus dan P. cruentum berturut-turut sebesar 0,003, 0,915 .10-3, 0,682 .10-3,
0,103 .10-3, 3,228 .10-5, 2,157. 10-5, 0,323 .10-3, 0,152 .10-3, 0,120 .10-3 dan 1,380
.10-3, 0,430 .10-3, 0,401 .10-3 (mg/g biomassa kering).

ABSTRACT
One of effects in deficient of micronutrient in Indonesia is the lower level of
healthy pregnant mother. Giving suplemen containing omega-3 and omega-6
(DHA, EPA, and AA) can be solution for the problem. One of the other sources is
heterotrophic cultivated microalgae. In this study, microalgae from species S.
platensis, B. braunii, C. aureius, and P. cruentum that collected from Balai Besar
Bioteknologi dan Perikanan, Slipi, Jakarta, will be cultivated. Once each
microalgae are cultivated autotrophically, the culture were transformed to
heterotrophic condition with glucose 0.5 g/L as carbon source. Results show that
yield lipid from S.platensis, B. braunii, C aureius, and P.cruentum respectively
are 5.297, 0.173, 0.528, and 2.116 (% w/w dry biomass). Composition of DHA,
EPA, and AA from S. platensis B. braunii, C aureius, and P.cruentum
respectively are 0.003, 0.915 .10-3, 0.682 .10-3, 0.103 .10-3, 3.228 .10-5, 2.157. 10-5,
0.323 .10-3, 0.152 .10-3, 0.120 .10-3 and 1.380 .10-3, 0.430 .10-3, 0.401 .10-3 (mg/g
dry biomass).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43817
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desya Pramadhanti
"Sabun antibakteri merupakan sabun yang paling diminati di Indonesia sebagai agen pembersih. Sayangnya, sabun antibakteri yang selama ini digunakan memiliki beberapa masalah, seperti bahan antibakteri yang digunakan. Bahan antibakteri yang biasa digunakan dalam sabun, seperti triclosan, triclocarban, dan lainnya, telah dilarang penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat karena berbahaya untuk penggunaan jangka panjang. Namun, sabun antibakteri tetap diperlukan di tempat-tempat yang memiliki tingkat penyebaran bakteri yang tinggi, seperti rumah sakit. Untuk itu, diperlukan bahan antibakteri yang aman, baik digunakan dalam jangka panjang maupun pendek. Mikroalga Spirulina platensis merupakan salah satu microflora dengan kandungan zat esensial yang beragam serta berpotensi sebagai zat antibakteri. Di samping itu, jenis mikroalga ini memiliki khasiat lain yang sangat banyak bagi kulit. Selain bahan, bentuk sabun juga perlu dipertimbangkan untuk menghindari kontaminasi. Bentuk sabun dengan lapisan tipis merupakan bentuk yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh suhu reaksi saponifikasi dan konsentrasi NaOH yang optimal. Variasi suhu reaksi yang digunakan adalah 50, 60 dan 70oC, sedangkan variasi massa NaOH yang digunakan adalah 3,75, 5, 6,25, dan 8,75 M. Konsentrasi NaOH yang optimal untuk pembuatan sabun antibakteri ini berkisar 5-6,25 M dengan suhu 60oC. Namun, berdasarkan kualitas sabun dengan konsentrasi 5 M dan suhu 60oC merupakan sampel terbaik dengan kadar air 13,86, kadar asam lemak bebas 0,18 dan nilai konsentrasi hambat minimum 0 atau tidak ada bakteri yang hidup hingga pengenceran 25.

Antibacterial soap is the most popular soap in Indonesia as a cleaning agent. Unfortunately, antibacterial soap has some issues, such as the antibacterial ingredients used. Antibacterial ingredients commonly used in soaps, such as triclosan, triclocarban and others, have been banned from use by the United States Food and Drug Administration (FDA) because they are dangerous for long-term use. However, antibacterial soap is still needed in places that have high levels of bacterial spread, such as hospitals. For this reason, we need safe antibacterial ingredients for long and short term use. Microalgae Spirulina platensis is one of microalgae that contains safe antibacterial compound. In addition, these types of microalgae have other compounds that are very beneficial for skin. Besides the ingredients, the form of soap also needs to be considered to avoid bacterial contamination. The form of soap with a thin layer is the right form to solve this problem. This research aims to obtain the optimal saponification reaction temperature and NaOH concentration. The variation of reaction temperature used is 50, 60 and 70oC, while the mass variations of NaOH used are 3.75, 6.25, and 8.75 M. Optimal NaOH concentration for making this anti-bacterial soap is about 5-6.25 M at 60oC. But, based on quality, soap that made of 5 M NaOH concentration solution at 60oC is the best sample with 13.86 of water, 0.18 of free fatty acid and minimum inhibitory value 0 or no bacteria growth until 25 of dilution.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Prasetyo
"Metode penghitungan dan pertumbuhan sel mikroaga dengan kapasitor plat sejajar terbukti dapat dilakukan. Karakteristik sel mikroalga hidup dan mati dapat diamati dengan memberikan fungsi frekuensi pada kapasitor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kurva pertumbuhan, nilai kapasitansi satu unit sel dan perbedaan kapasitansi sel hidup dan mati pada Scenedesmus sp. dan Chlorella vulgaris. Metode yang digunakan adalah membandingkan nilai kapasitansi terhadap absorbansi dari spektrofotometer dan perhitungan jumlah sel menggunakan Neubauer chamber. Karakteristik sel hidup dan mati diamati dengan pemberian fungsi frekuensi menggunakan alat LCR meter.
Hasil analisis perbandingan nilai kapasitansi terhadap absorbansi dan perhitungan jumlah sel menunjukkan tingkat kelinearan yang tinggi, sehingga hasil kurva pertumbuhan dapat merepresentasikan kondisi sebenarnya. Pada rentang frekuensi 50 kHz sampai 1 MHz, frekuensi 900 kHz pada Scenedesmus sp. dan frekuensi 50 kHz pada Chlorella vulgaris merupakan frekuensi dengan tingkat pengkarakteristik yang cukup baik karena memberikan nilai perbedaan cukup besar pada kapasitansi sel hidup dan mati. Penambahan fungsi frekuensi mempengaruhi nilai kapasitansi satu unit sel. Kapasitansi satu unit sel Scenedesmus sp. berkisar dari 3,2 x 10-7 pF sampai 1 x 10-6 pF, sedangkan pada Chlorella vulgaris berkisar dari 2,56 x 10-8 pF sampai 3,23 x 10-7 pF.

Method of measuring the amount and growth of microalgae cells with parallel plate capacitor has been proven. Characteristics of microalgae cell life and death can be observed by giving the frequency function on the capacitor. This study aims to determine the growth curve, the capacitance of the unit cell and cell capacitance difference of life and death on Scenedesmus sp. and Chlorella vulgaris. The method used is to compare the capacitance value of the absorbance of the spectrophotometer and calculating the number of cells using a Neubauer chamber. Characteristics of live and dead cells were observed by giving the frequency function using a LCR meter.
Results of comparative analysis of the capacitance value of the absorbance and the calculation of the number of cells show a high degree of linearity, so that the growth curve can represent actual conditions. In the frequency range of 50 kHz to 1 MHz, a frequency of 900 kHz at Scenedesmus sp. and a frequency of 50 kHz at Chlorella vulgaris is a fairly good level of characteristics as it gives value large enough difference in capacitance cell life and death. The addition of frequency function affects the capacitance value of the unit cell. The capacitance of the unit cell Scenedesmus sp. ranging from 3,2 x 10-7 pF to 1 x 10-6 pF, whereas the Chlorella vulgaris ranging from 2,56 x 10-8 pF to 3,23 x 10-7 pF.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
S62143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>