Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180255 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardeno Kristianto
"Latar belakang: Pemberian albumin hiperonkotik intravena lazim dilakukan pada pasien hipoalbuminemia berat (kadar albumin plasma ≤2,5 g/dl). Walaupun demikian, hingga ini, berbagai referensi menunjukkan hasil yang inkonklusif terkait manfaat "koreksi" kadar albumin pada pasien, terutama dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Metode: Penelitian ini menilai karakteristik pasien hipoalbuminemia berat dan pola penggunaan albumin intravena hiperonkotik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Analisis kesintasan dilakukan dengan variabel bebas berupa pemberian albumin intravena, penyakit dasar, kadar albumin saat admisi dan sebelum pemberian, serta durasi hingga temuan hipoalbuminemia berat. Data deskriptif ditampilkan terkait pemberian albumin, yaitu mencakup jumlah yang diberikan dan respons terhadap pemberian albumin.
Hasil dan Diskusi: Mayoritas pasien (79,19%) dengan kadar albumin ≤2,5 g/dl diberikan albumin hiperonkotik intravena. Insidens mortalitas 30 hari pada pasien hipoalbuminemia berat adalah 47,20%. Pemberian albumin intravena didapatkan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kesintasan 30 hari (HR 0,902; IK 95% 0,598-1,361; p=0,624). Faktor yang berhubungan bermakna dengan kesintasan 30 pada pasien hipoalbuminemia berat adalah sepsis, syok hipovolemik, keganasan padat, serta temuan kadar albumin sebelum pemberian ≤2,0 g/dl.
Kesimpulan: Pemberian albumin hiperonkotik intravena pada pasien rawat inap tidak berhubungan dengan kesintasan 30 hari.

Introduction: Intravenous hyperoncotic albumin administration is a common practice to be done to patients with severe hypoalbuminemia (plasma albumin level ≤2.5 g/dl). However, until now, many references has shown inconclusive results associated with "correction" of albumin level in patients, especially in reducing mortality and morbidity.
Method: This study assessed severe hypoalbuminemia patients' characteristics and pattern of use from hyperoncotic albumin intravenously in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Survival analysis was done with independent variables including: intravenous albumin administration, underlying diseases, albumin level during admission and before albumin administration, as well as time duration from admission to severa hypoalbuminemia detection. Descriptive data was also shown associated with albumin administration consisted of amount of albumin given and response after albumin administration.
Result and Discussion: Majority of subjects (79.19%) with albumin level ≤2.5 g/dl was given hyperoncotic albumin intravenously. Incidences of 30-day mortality in severe hypoalbuminemia patients is 47.20%. There as no association between intravenous albumin administration and 30-day survival (HR 0.902; 95 CI% 0,598-1.361; p=0.624). Factors which were found associated with 30-day mortality are sepsis, hypovolemic shock, solid malignancy, and findings of albumin level ≤2.0 g/dl before albumin administration.
Conclusion: Hyperoncotic intravenous albumin administration didn't associate with 30-days survival.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Ginova
"Studi eksperimental hewan memperlihatkan bahwa kadar vasopresin serum yang tinggi berhubungan dengan hiperfiltrasi, albuminuria dan hipertrofi glomerulus, dan dikhawatirkan berlanjut menjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dalam jangka panjang. Namun, belum terdapat laporan yang membuktikan hubungan sebab-akibat antara peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal, beserta lokasi gangguan ginjal tersebut. Studi ini juga ditujukan untuk melihat kemampuan berat jenis (BJ) urin untuk mendeteksi gangguan ginjal.
Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan consecutive sampling di sebuah pabrik sepatu pada bulan Januari–Maret 2020. Subjek adalah pekerja terpajan panas yang dinyatakan sehat berdasarkan medical checkup tahun 2019. Sampel darah dan urin diambil lima jam setelah subjek bekerja. Subjek diperiksakan kreatinin plasma, estimasi LFG berdasarkan CKD-EPI, BJ urin, albuminuria carik-celup, albumincreatinine ratio (ACR) urin, vasopresin serum, kidney injury molecule-1 (KIM-1) urin, dan nefrin urin. Data masa kerja, dan jenis kelamin diperoleh melalui wawancara.
Pada studi ini, diperoleh 119 subjek wanita dengan median usia 38 (31–51) tahun dan median masa kerja 10 (3–14) tahun. Hiperfiltrasi didapatkan pada 18 subjek, LFG tidak menurun pada 104 subjek (87,4%), dan peningkatan nefrin urin pada 104 pekerja (87,4%). Tidak terdapat hubungan antara vasopresin meningkat dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, nefrin urin, dan KIM-1 urin. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan nefrin urin dengan masa kerja ≥ 10 tahun (p = 0,03). Terdapat hubungan peningkatan KIM-1 urin dengan albuminuria (p = 0,008). Terdapat area under the curve (AUC) antara BJ urin dan nefrin urin sebesar 81,7% (95% CI 68,8–94,6%), dengan titik potong BJ urin ≥ 1,018 yang memiliki sensitivitas 71,2% dan spesifisitas 80% untuk kenaikan nefrin.
Sebagai simpulan, peningkatan vasopresin serum tidak berhubungan dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, dan peningkatan KIM-urin. Masa kerja > 10 tahun dihubungkan dengan peningkatan nefrin urin. BJ urin ≥ 1,018 dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi kenaikan nefrin urin pada pekerja terpajan panas.

Animal experimental studies have shown that high serum vasopressin levels are associated with hyperfiltration, albuminuria, and glomerular hypertrophy, which may lead to decreased glomerular filtration rate (GFR) in long-term. However, there was no earlier report that has established the causal relationship between elevated serum vasopressin and renal impairment. This study aims to determine the association between increased serum vasopressin and kidney impairments, along with the location of these impairments. This study is also aimed to look at the ability of urine specific gravity to detect elevated serum vasopressin and kidney impairments.
This study was a cross-sectional study with consecutive sampling in a shoe factory from January–March 2020. Subjects were heat-exposed workers who were declared healthy based on the medical checkup in 2019. Blood and urine samples were taken five hours after the subject worked. Subjects were examined for plasma creatinine, estimated GFR (eGFR) based on CKD-EPI, urine specific gravity, dipstick albuminuria, urine albumin-creatinine ratio (ACR), serum vasopressin, urine kidney injury molecule-1 (KIM-1), and urinary nephrin. Data on age, length of service, and gender were obtained through interviews.
There were 119 female subjects with a median age of 38 (31–51) years and a median length of service 10 (3–14) years. eGFR was not decreased in 104 subjects (87.4%) and urinary nephrin increased in 104 workers (87.4%). There were no increase in urinary albumin excretion and urinary KIM-1. There were significant association between increased urinary nephrin with length of service ≥ 10 years (p = 0.03), normal-increased eGFR with age 30–39 years (p = 0.001), and increased urinary KIM-1 with albuminuria (p = 0.008). There was an area under the curve (AUC) of 81.7% (95% CI 68.8–94.6%) between urine specific gravity and urinary nephrin, with a cut-off point of urine specific gravity > 1.018 having a sensitivity of 71.2% and a specificity of 80% for the increase in urinary nephrin.
In conclusion, increased serum vasopressin does not cause a decrease in GFR, albuminuria, and increase in urinary KIM, but does cause an increase in urinary nephrin. urine specific gravity ≥ 1.018 can be used as a cut-off for detecting increased urinary nephrin in heat-exposed workers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"ABSTRAK
Latar belakang : Albumin mempunyai fungsi perlindungan terhadap fisiologi tubuh manusia. Pada penurunan kadar albumin fungsi homeostasis dapat terganggu, sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses-proses patologis pada tubuh. Hipoalbuminemia dapat terjadi segera pascaoperasi. Penggunaan albumin untuk tatalaksana hipoalbuminemia masih diragukan manfaat dan keamanannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian albumin bermanfaat secara signifikan terhadap menurunya angka mortalitas dan lama rawat di rumah sakit pada pasien hipoalbuminemia pascaoperasi.
Metode : Penelitian ini merupakan observasional, dengan mengambil 224 data pasien hipoalbuminemia pascaoperasi usia 18-65 tahun yang menjalani perawatan di UPI periode 1 Januari 2012 ? 31 Desember 2013. Pasien dengan gangguan fungsi jantung, hepar, ginjal dan sepsis dieksklusi. 112 pasien ditransfusi albumin 20% 48 jam pascaoperasi di UPI dan 112 pasien tidak ditransfusi albumin. Kemudian diobservasi apakah pasien meninggal dalam 28 hari pascaoperasi dan lama rawat di rumah sakit.
Hasil : Hubungan transfusi albumin pasien hipoalbuminemia pascaoperasi dengan mortalitas 28 hari secara statistik bermakna, dimana risiko kematian kelompok yang ditransfusi albumin 0,309 kali dibandingkan dengan tidak ditransfusi albumin. Lama rawat di rumah sakit antara kelompok yang ditransfusi albumin dengan tidak ditransfusi albumin secara statistik tidak berbeda.
Kesimpulan : Transfusi albumin pada pasien hipoalbuminemia 48 jam pascaoperasi dapat mengurangi risiko kematian dan transfusi albumin pada pasien hipoalbuminemia 48 jam pascaoperasi tidak mempengaruhi lama perawatan di rumah sakit.

ABSTRACT
Background : Albumin has a protective function against the physiology of the human body. A decrease in albumin homeostasis function can be disrupted, which can result in pathological processes in the body. Hypoalbuminemia may occur immediately postoperatively. The use of albumin for the treatment of hypoalbuminemia is doubtful efficacy and safety. This study was conducted to determine whether the beneficial albumin administration significantly to the decline in mortality and length of stay in hospital in patients with postoperative hypoalbuminemia.
Method : This is an observational study, taking 224 postoperative patient data hypoalbuminemia aged 18-65 years who underwent treatment at UPI period of 1 January 2012-31 December 2013. Patients with impaired function of the heart, liver, kidney and sepsis were excluded. 112 patients transfused albumin 20% 48 hours postoperatively in the UPI and 112 patients not transfused albumin. Then observed whether patients died within 28 days postoperatively and length of stay in the hospital.
Result : Relations albumin transfusion in postoperative hypoalbuminemia patients with 28 days mortality were statistically significant, where the risk of death transfused group albumin 0.309 times than not transfused albumin. Long hospital stay between groups transfused albumin with albumin transfusion was not statistically different.
Conclusion : Albumin transfusion in patients with hypoalbuminemia 48 hours postoperatively may reduce the risk of death and albumin transfusion in patients with hypoalbuminemia 48 hours postoperatively did not affect the length of stay in hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allan Taufiq Rivai
"Hipoalbuminemia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada penyakit ginjal kronik. Hemodialisis dapat pula menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Kadar albumin kurang dari 4 g/dl termasuk faktor risiko utama mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 dan hubungannya dengan kelompok usia, jenis kelamin dan derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun).
Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pasien yang menjalani hemodialisis di RSCM pada bulan Februari 2009. Data kadar albumin serum dibagi menjadi dua status, yakni normal dan hipoalbuminemia. Hubungan antara kelompok usia, jenis kelamin derajat lama hemodialisis dan status albumin serum diuji dengan uji chi square (p<0,05).
Dari hasil penelitian, didapatkan 108 subjek dengan umur rerata 50,48 (SD 13,44) tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita. Median lama hemodialisis 2,3 (0,3-17,5) tahun. Proporsi hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 4 g/dl) pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM bulan Februari 2009 sebesar 41,7%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok usia (< 50 tahun dan ¡Ý 50 tahun) ataupun jenis kelamin dengan status albumin serum (normal dan hipoalbuminemia). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun) dengan status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 (OR = 2,56; CI: 1,01 ¨C 6,58). Kadar albumin serum cenderung lebih rendah pada pasien dengan lama hemodialisis satu tahun atau kurang.

Hypoalbuminemia is a common complication in chronic renal disease. Hemodialysis can also cause hypoalbuminemia. Serum albumin level less than 4g/dl is a major risk factor for mortality in hemodialysis patients. The objective of the study is to know the state of serum albumin of hemodialysis patients in RSCM on February 2009 and its relationship with group age, sex, and degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year).
The design used was cross sectional study. Subjects were patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009. The data of serum albumin level was categorized into normal or hypoalbuminemia state. The association between group age, sex, and degree of hemodialysis duration with the state of serum albumin were tested using chisquare test (p<0.05).
From the study, there were 108 patients with a mean age of 50.48 (SD 13.44) years old and a median hemodialysis duration of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. Proportion of hypoalbuminemia (serum albumin level < 4 g/dl) in patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009 is 41.7%. There are no significant relationship between group age (< 50 years old and ¡Ý 50 years old) and sex with the state of serum albumin. The relationship between degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year) and the state of serum albumin is significant (OR = 2.56, CI: 1.01 ¨C 6.58). Serum albumin level tend to be lower in patients who undergo hemodialysis for 1 year or less.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Mardhatillah Syafitri
"Kanker serviks merupakan kanker ketiga tersering di seluruh dunia dengan angka kasus baru, morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kesintasan lima tahun pasca radioterapi pasien KSS serviks stadium IIB-IIIB dan hubungannya dengan infeksi HPV serta faktor lain yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan penelitian kohort. Populasi terjangkau adalah pasien karsinoma serviks stadium IIB dan IIIB dengan hasil biopsi serviks KSS yang telah menjalani radioterapi di RSCM dan dilakukan pemeriksan DNA HPV pre dan pasca radiasi pada penelitian terdahulu. Analisis statistik digunakan dengan uji prognostik Kaplan Meier. Dari 31 sampel penelitian pendahuluan, hanya 27 subjek yang dapat didata. Angka kesintasan lima tahun adalah sebesar 35,5%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kesintasan dengan infeksi HPV, infeksi HPV yang menetap, lama radiasi, LVSI, stadium, diferensiasi, ukuran tumor dengan masing-masing nilai p 0,921, 0,586, 0,718, 0,65, 0,139, 0,78, dan 0,139. Terdapat hubungan yang bermakna antara respon radiasi dengan kesintasan, dengan median time survival 2 tahun (p 0,016).

Cervical cancer is the third most common cancer in the world with high number of new cases, morbidity and mortality rates. The objective of this research is to know the proportion of five year survival rate after radiation of cervical cancer stage IIB-IIIB patient and its relationship with HPV infection and other influencing factors. This research method was cohort study. Research population was patients with biopsy result squamous cell carcinoma stage IIB-IIIB who underwent radiation therapy and have been examined for HPV DNA before and after radiation on previous study. Overall survival was assessed and the relationship between prognosis with HPV infection and other factors was calculated. Statistical analysis was calculated using Kaplan Meier to determine prognostic factors of cervical cancer, as well as the median survival rate. From 31 samples on previous study, only 27 patients has been documented. The five year overall survival rate was 35,5%. There were no statistically significant relationship between cervical cancer survival rate with HPV infection, HPV persistence after radiation, duration of radiation, LVSI, staging, grading, tumor size with p result 0,921, 0,586, 0,718, 0,65, 0,139, 0,78, and 0,139 respectively. There was significant relationship between radiation response and survival rate with median 2-year survival (p 0,016)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Pramoedya
"Latar Belakang: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) adalah tindakan endoskopi yang kompleks yang memerlukan sedasi. Sedasi dalam tindakan ini penting untuk imobilisasi pasien sehingga prosedur lebih mudah dilakukan. Propofol cukup ideal sebagai obat sedasi,obat ini disukai karena awitan yang cepat dan waktu pulih yang singkat. Hampir sebanyak 80% propofol berikatan dengan albumin. Kondisi hipoalbuminemia sendiri banyak ditemui pada pasien yang menjalani ERCP. Kondisi hipoalbuminemia dapat memengaruhi kadar propofol dan fentanil bebas dalam plasma. Perbedaan awitan dan waktu pulih pada pasien hipoalbuminemia yang menjalani ERCP dengan sedasi propofol-fentanil belum pernah diteliti.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik Cross sectional, dilakukan secara tersamar. Pengumpulan subjek dilakukan secara consecutive sampling, masing-masing pasien diberikan sedasi dengan propofol kontinyu dosis 4ug/L, kemudian dilakukan pencatatan waktu hilangnya refleks bulu mata dan kembalinya kesadaran yang ditandai dengan kemampuan pasien mengikuti perintah menggenggam. Awitan dan waktu pulih kelompok pasien hipoalbuminemia dibandingkan dengan kelompok pasien kadar albumin normal
Hasil: Sebanyak 48 subjek diawal penelitian, 48 orang masuk kepada kriteria penerimaan. 48 subjek penelitian yang menjalani ERCP dengan sedasi kemudian dianalisis. Tidak terdapat perbedaan onset maupun waktu pulih antara kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal.
Kesimpulan: Perbandingan awitan kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal tidak menunjukkan perbedaan, begitu juga dengan waktu pulih kelompok hipoalbuminemia dan kadar albumin normal.

Background: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) is a complex procedure that requires appropiate sedation. Propofol is considered as an ideal sedative with rapid onset and short recovery time. Almost 80% of propofol binds to albumin. Hypoalbuminemia, is a condition commonly found in patients undergoing ERCP, can affect the levels of free propofol and fentanyl in plasma. Differences in onset and recovery time in hypoalbuminemic patients undergoing ERCP with propofol-fentanyl sedation have not been studied.
Methods Similar number of hypoalbuminemic parients and patients with normal albumin level who underwent ERCP were collected consecutively. Each patient was given a dose of sedation with continuous propofol 4uG / L, then loss of eyelash reflex time and return of consciousness characterized by the ability of patients to follow the gripping command were recorded. The onset and recovery time of hypoalbuminemic patients were compared to patients with normal albumin levels.
Results A total of 48 subjects met the inclusion criteria. The median (range) onset of propofol in hypoalbuminemia group was 2 minutes (1 to 5 minutes), whereas normal albumin group was 3 minutes (1 to 4 minutes). The median (range) recovery time of propofol-fentanyl in hypoalbuminemia group was 10.5 minutes (6 to 17 minutes), while the normal albumin group was 11 minutes (8 to 20 minutes). The differences of onset and recovery time between two groups were not statistically significant (p=0,196 and p=0,422, respectively).
Conclusion: There were no differences in onset and time to recover of propofol and propofol-fentanyl in ERCP procedure between hypoalbuminemia group and normal albumin group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Panca Satriawan
"Latar Belakang : Insidens Pneumonia HCAP semakin meningkat dengan angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksana optimal dapat menurunkan angka mortalitas , salah satunya Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). Pengaruh TFAD pada pasien pneumonia HCAP belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi perbedaan kesintasan 30 hari pasien pneumonia HCAP dewasa terhadap TFAD.
Metode : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan pasien pneumonia HCAP RSCM periode Januari 2011-Desember 2014. Dilakukan ekstraksi data rekam medis jarak waktu pemberian dosis awal antibiotika di IGD, derajat keparahan pneumonia dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitas 30 hari. Derajat keparahan menggunakan Skor CURB-65. TFAD dikelompokkan menjadi TFAD ≤4 jam dan > 4 jam. Perbedaan kesintasan ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan diuji dengan Log-rank test, batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 170 subjek, dalam 30 hari sebanyak 51 subjek (40,5%) meninggal pada kelompok TFAD> 4jam dan 4 subjek (9,1%) meninggal pada kelompok TFAD ≤4jam. Median kesintasan seluruh subjek adalah 25 hari (IK95% 24-27), kelompok TFAD ≤4jam 29 hari (IK95% 27-31) dan kelompok TFAD > 4 jam 24 hari (IK95% 22-26) dengan log rank p 0,01. Kesintasan 30 hari kelompok TFAD ≤4jam sebesar 90,9% sedangkan kelompok TFAD > 4 jam 59,5%. Crude HR pada kelompok TFAD > 4 jam 5,293 (IK95% 1,912-14,652). Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok TFAD> 4 jam sebesar 7,137 (IK95% 2,504-30,337).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien HCAP dewasa pada kelompok TFAD > 4 jam , semakin lama jarak waktu pemberian antibiotik awal, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : The incidence of pneumonia HCAP is increasing with a high mortality rate. Optimal management can reduce mortality, one of which Time to First Antibiotic Delivery (TFAD). TFAD influence on pneumonia patients with HCAP has not been widely studied.
Objective : Obtain information about the differences in 30-day survival adult patients with pneumonia HCAP against TFAD.
Methods : A retrospective cohort study based on analysis of the patient's survival against pneumonia HCAP period January 2011 to December 2014. Extraction of data from the medical records of the interval initial dose of antibiotics in the ED, the severity of pneumonia and confounding factor, then look for the data in 30-day mortality. Severity using CURB-65 score. TFAD divided into two groups, TFAD ≤4 hours and> 4 hours. Differences in survival is shown in Kaplan Meier. The difference in survival were tested by the log-rank test, with significance limit p<0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% CI) with correction for confounding variables.
Results : Of the 170 subjects, within a period of 30 days by 51 subjects (40.5%) died in the group TFAD> 4 hours and 4 subjects (9.1%) died in the group TFAD ≤4 hours. Mean survival of the whole subject is 25 days (IK95% 24-27), the group TFAD ≤4jam 29 days (IK95% 27-31) and group TFAD> 4 hours 24 days (IK95% 22-26) with a log-rank p 0.01 , 30-day survival in the group TFAD ≤4jam by 90.9% while the TFAD> 4 hours 59.5%. Crude HR group TFAD> 4 hours of 5.293 (1.912 to 14.652 IK95%). After adjustment for confounding variables obtained fully adjusted HR group TFAD> 4 hours amounted to 7.137 (2.504 to 30.337 IK95%).
Conclusions : There are differences in 30-day survival of adult patients with HCAP group TFAD> 4 hours; the longer the interval initial antibiotic treatment, the worse the 30-day survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanin
"Pajanan patogen melalui gastrointestinal pada daerah kumuh lebih tinggi dibanding nonkumuh. Hal tersebut mempengaruhi produksi protein globulin yang salah satunya berperan dalam sintesis IgA. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui perbandingan kadar IgA pada daerah kumuh dan nonkumuh serta hubungannya dengan rasio albumin terhadap globulin. Pengukuran kadar IgA dilakukan menggunakan metode radial immunodiffusion test (RIDT), sedangkan data rasio albumin terhadap globulin didapatkan dari penelitian sebelumnya. RIDT bekerja dengan prinsip difusi radial sampel antibodi menjauhi sumur berbentuk silindris. Pada kit, terdapat anti terhadap antibodi spesifik yang akan diukur. Hasilnya berupa ikatan antibodi dengan anti-antibodi membentuk cincin dan diukur diameternya. Nilai IgA dikonversi ke dalam satuan mg/L. Hasil analisis kadar IgA menggunakan uji Mann-Whitney menemukan kadar IgA daerah kumuh lebih tinggi dibandingkan nonkumuh namun tidak bermakna secara statistik (p=0,620). Kadar IgA dan rasio albumin globulin ditransformasi menjadi variabel kategorik dan dikelompokkan menjadi 4 zona. Pada zona 3 dimana rasio albumin terhadap globulin tinggi dan kadar IgA rendah, proporsi subjek didominasi oleh penduduk daerah nonkumuh dibandingkan kumuh (47% vs. 14%). Hasil uji Chi Square menunjukkan perbedaan proporsi subjek tersebut bermakna secara statistik (p=0,041). Hubungan antara rasio albumin terhadap globulin dengan ekspresi IgA dianalisis menggunakan uji Pearson dan ditemukan adanya korelasi negatif yang bermakna secara statistik (r= -0,319 dan p= 0,048). Oleh karena itu, dapat disimpulkan tingginya tingkat pajanan patogen melalui gastrointestinal pada daerah kumuh menyebabkan produksi IgA sebagai respon imun mukosa lebih tinggi dibandingkan dengan nonkumuh. Sintesis IgA tersebut berhubungan dengan rasio albumin terhadap globulin karena globulin merupakan komponen penyusun IgA.
Pathogenic exposure in slum is higher compared to nonslum area and mainly occurs through the gastrointestinal. It will affect the rate of globulin production which used as a component to synthesize immunoglobulin A (IgA) Therefore, author is interested to investigate comparison between IgA of people living in slum and non-slum area and the relation IgA expression with albumin globulin ratio. Measurement of the IgA was done using radial immunodiffusion test (RIDT), while the data of albumin globulin ratio was obtained from the previous research. Result of IgA analysis using Mann whitney test shows that IgA level of people living in slum area is higher than non-slum area but not statistically significant (p=0.620). Data of IgA level and albumin globulin ratio was transformed into categoric form and classified into four zones. Zone 3, where the IgA level is low and albumin globulin ratio is high, the subjects proportion found in this zone are dominated by people living in non-slum area (47% vs. 14%). This result is also supported by the Chi-square test that shows a significance difference between proportion of people living in slum and non-slum area found in the zone 3. Next, relation between albumin globulin ratio to the level of IgA was analyzed using Pearson test. The result shows that there is a significant negative correlation between albumin globulin ratio and IgA level (r= -0.319 dan p= 0.048). Therefore, it can be concluded that high level of pathogenic exposure through the gastrointestinal tract in slum area will lead to an increase of IgA production resulting higher level of IgA found in the serum. This IgA production on both populations has a relation with albumin globulin ratio since globulin is one of the constituent component of IgA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miptah Farid Thariqulhaq
"Penyakit TB MDR merupakan salah satu penyakit infeksi yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia dengan angka keberhasilan pengobatan 45%. Konversi kultur sputum merupakan suatu prediktor kuat dari awal keberhasilan terapi. Waktu konversi yang lambat akan memperpanjang periode penularan dan memprediksi tingkat kegagalan pengobatan yang tinggi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konversi kultur sputum pasien TB MDR. Penelitian terkait faktor risiko kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar albumin dengan waktu konversi kultur sputum di poli MDR terpadu RS Paru Dr M Goenawan Partowidigdo tahun 2022. Penelitian ini menggunakan studi cohort retrospektif dengan sampel yang diambil dari catatan rekam medis dan SITB pasien poli MDR. Variabel yang diteliti adalah kadar albumin < 3,5 gram/dl dan ≥ 3,5 gram/dl dengan variabel covariat usia, jenis kelamin, pendidikan, index masa tubuh, status merokok, gradasi sputum bta, komorbid, regimen pengobatan, dan kepatuhan minum obat . Hasil penelitian berdasarkan analisis multivariat menunjukkan kadar albumin < 3,5 mg/dl memiliki kecepatan waktu konversi 41,8% lebih lambat dengan (HR=0,582, 95% CI 0.344-0.984) untuk mengalami konversi dibanding dengan pasien TB MDR dengan kadar albumin ≥ 3,5 mg/dl setelah memperhitungkan status merokok dan kepatuhan minum obat. Perlunya memperbaiki kadar albumin yang rendah pada pasien TB MDR di rumah sakit dan memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien agar turut berpartisipasi memantau asupan makan pasien yaitu makanan yang mengandung tinggi protein seperti ikan gabus serta ekstra putih telur untuk membantu meningkatkan kadar albumin pasien yang dapat berguna untuk terjadinya konversi kultur sputum.

MDR TB disease is an infectious disease whose prevalence is increasing from year to year in Indonesia with a treatment success rate of 45%. Sputum culture conversion is a strong predictor of initial therapeutic success. Slow conversion time will prolong the period of transmission and predict a high rate of treatment failure. There are several risk factors associated with sputum culture conversion in MDR TB patients. Research related to risk factors for albumin levels and sputum culture conversion time is still very limited. The aim of this study was to determine the relationship between albumin levels and sputum culture conversion time at the integrated MDR polyclinic at Dr M Goenawan Partowidigdo Pulmonary Hospital in 2022. This study used a retrospective cohort study with samples taken from medical records and SITB patients at poly MDR. The variables studied were albumin levels < 3.5 mg/dl and ≥ 3.5 mg/dl with the covariate variables age, sex, education, body mass index, smoking status, sputum gradation, co-morbidities, medication regimens, and drinking adherence drug . The results of the study based on multivariate analysis showed that albumin levels < 3.5 mg/dl had a 41.8% slower conversion time (HR=0.582, 95% CI 0.344-0.984) to experience conversion compared to MDR TB patients with albumin levels ≥ 3.5 mg/dl after taking into account smoking status and medication adherence. It is necessary to improve low albumin levels in MDR TB patients at the hospital and provide counseling to the patient's family to participate in monitoring the patient's food intake, namely foods that contain high protein such as snakehead fish and extra egg whites to help increase the patient's albumin levels which can be useful for the occurrence of sputum culture conversion."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>