Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54789 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamida Fatimah Zahra
"Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian berbagai jenis kanker pada banyak studi. Namun demikian, hubungan nya dengan risiko tumor otak masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan adanya korelasi positif, negatif, atau bahkan tidak sama sekali antara keduanya. Tumor otak tidak menyumbang pada sebagian besar kasus kanker, tetapi memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dengan rata-rata kelangsungan hidup yang rendah, sementara terapi masih sangat terbatas. Penulisan review ini bertujuan untuk menilai hubungan antara diabetes melitus dengan risiko tumor otak dan kaitannya dengan kelangsungan hidup pasien, serta melihat potensi terapi antidiabetes terhadap tumor otak. Review bersifat sistematik berdasarkan acuan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) tahun 2009 dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pencarian literatur dilakukan pada Oxford Journals, ProQuest, PubMed, ScienceDirect, Scopus, SpringerLink, dan Wiley, serta melalui daftar referensi pada artikel terkait. Hasil pencarian didapatkan delapan artikel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Berdasarkan analisis pada artikel tersebut, perbedaan hubungan antara diabetes melitus dengan tumor otak dapat terjadi akibat sub kelompok yang berbeda, yaitu jenis kelamin, ras, serta jenis studi. Tingginya nilai HbA1c dapat dijadikan prediktor bagi kelangsungan hidup yang lebih rendah. Meskipun hasil ini tidak bersifat independen, kontrol glikemik merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tumor otak. Terkait hubungannya dengan terapi antidiabetes, metformin menunjukkan adanya potensi sebagai terapi adjuvan bagi pasien tumor otak dikarenakan meningkatkan kelangsungan hidup yang lebih lama pada pasien glioma stadium III dibandingkan dengan insulin dan sulfonilurea, adanya potensi efek antiproliferatif pada sel glioma, dan tidak menyebabkan hipoglikemia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risyifa Audinia
"ABSTRAK
Penyakit ginjal diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal stadium akhir, sehingga dibutuhkan penanda biologis yang spesifik dan sensitif untuk mengantisipasi progresi penyakit. Sistem renin-angiontensin aldosteron diketahui memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan awal penyakit ginjal diabetes, sehingga renin sebagai salah satu komponen sistem renin-angiotensin aldosteron memiliki potensi sebagai penanda awal penyakit ginjal diabetes. Penulisan review article ini bertujuan untuk mengkaji literatur-literatur terkini yang meneliti hubungan kadar renin pada urin dengan perkembangan kerusakan ginjal. Review bersifat sistematik berdasarkan acuan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses Guidelines (PRISMA) tahun 2009 dengan pendekatan kualitatif. Literatur yang dikaji diperoleh melalui pencarian internet pada database ScienceDirect, PubMed, dan SpringerLink. Sebanyak 5 literatur dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Hasil analisis literatur menunjukkan bahwa potensi renin urin sebagai penanda biologis penyakit ginjal diabetes cukup besar dikarenakan renin urin akan meningkat pada kondisi kerusakan ginjal. Selain itu, renin urin juga dapat menggambarkan aktivitas sistem renin-angiotensin aldosteron intrarenal dan memiliki korelasi positif dengan albuminuria. Hasil analisis literatur juga menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi antara eLFG dan renin urin pada pasien dengan penyakit ginjal diabetes. Namun, renin urin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik dibandingkan dengan pasien dengan penyakit ginjal kronis.

ABSTRACT
Diabetic kidney disease is one of the main causes of end-stage renal disease, therefore there is a need for specific and sensitive biological markers to anticipate progression of the disease. The renin-angiontensin aldosterone is known to have a significant role in the early development of diabetic kidney disease, that means renin as one of the components of the renin-angiotensin aldosterone system has a potential as an early biomarker for diabetic kidney disease. This review article aims to review latest literatures that studied the relationship of renin levels in urine with the development of kidney damage in patients with diabetes or chronic kidney disease. This systematic review was written based on the Reference Reporting Item Options for Systematic Review and Meta-Analysis Guide (PRISMA) of 2009 with a qualitative approach. The literature studied was obtained through an internet search in the ScienceDirect, PubMed, and SpringerLink databases. A total of 5 literatures were chosen based on specified criteria. The results of the literature analysis showed that urinary renin has a promising potential as a biological marker for diabetic kidney disease because urinary renin will likely increase in presence kidney damage. In addition, urinary renin can also describe the activity of the intrarenal renin-angiotensin aldosterone system and positively corelates with albuminuria. The results of the literature analysis also showed no correlations between eGFR and urinary renin in patients with diabetic kidney disease. However, urinary renin were significantly high in patients with diabetic kidney disease compared to patients with chronic kidney disease."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
"

Pendahuluan. Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular dengan peningkatan low density lipoprotein sebagai mekanisme utama terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama sehingga kaitannya dengan aterosklerosis saat ini sedang banyak diteliti. Beberapa studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten.

Metode. Penelitian ini berbentuk telaah sistematis yang telah didaftarkan di PROSPERO. Penelusuran pustaka sesuai panduan PRISMA dilakukan pada tanggal 18 Juli – 02 September 2020. Setelah dilakukan penilaian risiko bias dengan Newcastle Ottawa Scale kemudian dilakukan telaah naratif pada pustaka yang didapatkan oleh dua penilai independen.

Hasil. Didapatkan 4 studi yang relevan dengan total subjek 430. Tiga studi memiliki kategori kualitas tinggi sementara satu studi dengan kualitas sedang. Hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2 didapatkan pada studi oleh Guo dkk. dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041 – 1,204), p: 0,002 dan studi oleh Ma, dkk. dengan p: <0,05. Sementara dua studi lainnya melaporkan tidak ada hubungan antara kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada penyandang DM tipe 2, Cheng, dkk. Melaporkan nilai β: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75) dan Xie, dkk melaporkan nilai p: 0,334 (IK 95% -18 – 10).

Simpulan. Belum ada bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 sehingga penelitian primer yang bersifat longitudinal dibutuhkan.

 


Introduction. Type 2 diabetes melitus is the leading cause of cardiovascular event with high level of low density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 is playing a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis had been investigated but the result is inconsistent. The aim of this study is to see an association of PCSK9 level with atherosclerosis in people with type 2 diabetes.

Methods. Literature searching was done in July 18 – September 02, 2020 and registered in PROSPERO. Risk of bias of each study was analyzed with Newcastle Ottawa Scale tools. The studies that involved in this study then narratively analyzed by two independent reviewers.

Results. There are 430 subjects involved from 4 studies. Guo, et al. reported that there is a significant association between PCSK9 level with atherosclerosis in type 2 diabetes melitus (OR: 1,12 (CI 95% 1.041 – 1.204), p: 0.002), those association was also reported by Ma et al. with p value <0,05. While a different result came from Xie et al. (p: 0,334 (CI 95% -18 – 10)

And Cheng, et al. (𝛽: 1,08 (IK 95% -0,59 -2,75).

Conclusions. There is still insufficient evidence that show the association between PCSK9 level and atherosclerosis in type 2 DM. Longitudinal primary research is needed to see the association.

Keywords: Atherosclerosis, PCKS9, Type 2 diabetes mellitus

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Melia
"ABSTRAK
Penyakit ginjal diabetes merupakan komplikasi mikrovaskuler yang menyerang pasien diabetes melitus tipe 2. Dalam perkembangan penyakit ginjal diabetes, sistem renin-angiotensin intrarenal merupakan faktor yang berperan penting.. Hal ini menjadikan angiotensinogen sebagai salah satu komponen sistem renin-angiotensin yang berpotensi menjadi penanda kerusakan ginjal. Article review ini bertujuan untuk menelusur dan menelaah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengukuran kadar angiotensinogen dalam urin sebagai penanda klinis penyakit ginjal diabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penyusunan article review dilakukan dengan mengumpulkan jurnal-jurnal penelitian pada pangkalan data daring, yaitu ScienceDirect, Pubmed, dan Scopus. Penelusuran menghasilkan tujuh jurnal penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Studi artikel menunjukkan bahwa angiotensinogen memiliki korelasi positif yang signifikan dengan ekspresi mRNA angiotensinogen, kreatinin urin, dan faktor terkait spesi oksigen reaktif. Angiotensinogen juga menunjukkan korelasi negatif yang signifikan terhadap estimasi laju filtrasi glomerulus. Hasil telaah beberapa artikel menunjukkan bahwa angiotensinogen memiliki performa yang baik dalam menggambarkan kondisi ginjal subjek penelitian. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang signifikan antara angiotensinogen dengan parameter-parameter lain yang terlibat dalam patofisiologi penyakit ginjal diabetes melitus yang terdiri dari estimasi laju filtrasi glomerulus, ekspresi mRNA angiotensinogen, kadar faktor spesi oksigen reaktif, dan kadar albumin kreatinin urin."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Putri Salma
"Hingga tahun 2021 IDF melaporkan sekitar 537 juta orang dewasa hidup dengan diabetes dan diproyeksikan akan terus meningkat, serta 90% diantaranya adalah tipe 2. Salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan risiko Diabetes melitus tipe 2 adalah polusi udara termasuk polutan PM2.5. Namun, penelitian dengan topik ini belum banyak diteliti terutama di Indonesia sehingga untuk menelaah lebih jauh penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor terkait pajanan PM2.5 serta faktor individu dalam meningkatkan risiko kejadian Diabetes melitus tipe 2 berdasarkan kajian sistematis terhadap literatur. Sebanyak 12 literatur berupa artikel jurnal ilmiah dari berbagai negara yang dipublikasikan pada tahun 2013-2021 disintesis dalam penelitian ini. Berdasarkan kajian sistematis, diketahui bahwa faktor risiko pajanan PM2.5 jangka panjang, konsentrasi PM2.5 yang tinggi, dan tinggal pada daerah padat penduduk, dekat dengan jalan raya, serta pada daerah dengan aktivitas industri dapat meningkatkan risiko Diabetes melitus tipe 2. Kejadian ini kemudian dapat lebih berisiko pada populasi dengan usia lebih tua (>40 tahun) dan IMT kelebihan berat badan (25 kg/m3 -30 kg/m3) dan obesitas (≥30 kg/m3). Namun untuk faktor risiko jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki dan pada yang sudah berhenti atau tidak pernah merokok, yang mana hasil ini merupakan penemuan baru yang berbeda dari teori dan penelitian sebelumnya sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut beserta faktor risiko lainnya.

Until 2021, the IDF reports that around 537 million adults live with diabetes and that number is projected to continue to increase, and 90% of them are type 2. One of the main factors that can increase the risk of type 2 Diabetes mellitus is air pollution, including PM2.5 pollutants. However, research on this topic has not been widely studied, especially in Indonesia, so to examine further, this study was conducted to determine the description of factors related to PM2.5 exposure and individual factors in increasing the risk of type 2 diabetes mellitus based on a systematic review of the literature. A total of 12 literatures in the form of scientific journal articles from various countries published in 2013-2021 were synthesized in this study. Based on a systematic study, it is known that the risk factors for long-term PM2.5 exposure, high PM2.5 concentrations, and living in densely populated areas, close to roads, and in areas with industrial activity can increase the risk of type 2 Diabetes mellitus. They may be more vulnerable in the population with an older age (> 40 years) and a BMI of overweight (25 kg/m3-30 kg/m3) or obese (30 kg/m3). However, the risk factors for sex are higher in men and in those who have stopped or have never smoked, which is a new finding that is different from previous theories and research, so further research needs to be done along with other risk factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farissa Luthfia
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tersering diseluruh dunia dengan diabetes mellitus tipe 2 sebagai penyebab tersering, mekanisme yang mendasari adalah adanya peningkatan kolesterol LDL pada keadaan diabetes melitus tipe 2 sehingga menyebabkan terjadinya aterosklerosis. PCSK9 adalah regulator reseptor LDL utama dan prediktor kuat aterosklerosis. Studi mengenai hubungan kadar PCSK9 dengan aterosklerosis pada pasien DM tipe 2 telah tersedia namun bersifat inkonsisten sehingga perlu dilakukan sebuah telaah sistematis. Penelusuran literatur dilakukan melalui Pubmed, Scopus, CINAHL, Proquest, Global index mediscus, perpustakaan Universitas Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, studi tambahan didapatkan melalui penulusuran daftar pustaka pada studi yang tersaring. Telaah sistematis dilakukan oleh dua penilai secara independen pada studi observasional dengan terminologi pencarian: PCSK9, type 2 diabetes mellitus. Didapatkan 4 studi yang memenuhi kriteria. Berdasarkan penilaian risiko bias, 3 studi memiliki kualitas tinggi sementara 1 studi memiliki kualitas sedang. Dari 4 studi yang digunakan, didapatkan 1 studi dengan desain kohort dan 3 studi dengan desain potong lintang. Dilakukan telaah naratif pada ke-empat studi tersebut. Dua studi menunjukan adanya hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada DM tipe 2, dengan nilai OR: 1,12 (IK 95% 1,041-1,204), p: 0,002 pada penelitian oleh Guo, dkk serta p <0,05 oleh penelitian dari Ma, dkk. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan PCSK9 dengan aterosklerosis namun pada pasien DM tipe 2 berdasarkan penilaian subanalisa tidak ditemukan hubungan. Berdasarkan telaah sistematis ini, belum didapatkan adanya bukti yang kuat untuk menggambarkan hubungan antara PCSK9 dengan aterosklerosis pada DM tipe 2.

Type 2 diabetes melitus is one of the leading causes of cardiovascular event with high level of low density lipoprotein as the main predictor marker of atherosclerosis. PCSK9 is playing a role in LDL-receptor regulation, its association with atherosclerosis in type 2 DM had been investigated but the result is inconsistent. The aim of this study is to see an association of PCSK9 level with atherosclerosis in Type 2 diabetes patient. Literature searching was made through Pubmed, Scopus, CINAHL, Proquest, Global index mediscus, Universitas Indonesia library and national library of Republic of Indonesia, and several national digital libraries with search terms: PCSK9 and Type 2 Diabetes Mellitus. There are 3 cross-sectional studies and 1 cohort study found through literature searching. According to risk of bias assessment that reviewed by two reviewers independently, 3 of the studies found were classified as a high quality study while 1 study was classified as a moderate study. All the studies narratively reviewed. Two studies showed that there is an association between PCSK9 and atherosclerosis in Type 2 DM with OR: 1.12 (IK 95% 1,041-1,204), p: 0,002 (Guo, et al) and p < 0,05 (Ma, et al), while two others showed that PCSK9 is associated with atherosclerosis but not in type 2 DM by subanalytic analysis. There’s still insufficient evidence that show the association between PCSK9 level and atherosclerosis in type 2 DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Adeline
"Latar belakang: Disfungsi seksual pada perempuan/ female sexual dysfunction (FSD) merupakan komplikasi penting diabetes melitus (DM) yang seringkali diabaikan. Data perihal FSD pada DM tipe 2 di Indonesia masih jarang dan meta-analisis terkait belum ada, padahal Indonesia mempunyai populasi DM terbesar ke-7 di dunia.
Tujuan: Menilai prevalensi dan faktor yang memengaruhi FSD penyandang DM tipe 2 di Indonesia.
Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian artikel dilakukan di PubMed/Medline®, CINAHL®, Embase®, Proquest®, Scopus®, serta jurnal/ portal lokal di Indonesia. Artikel dicari dengan kata kunci “seksual”, “diabetes”, dan “Indonesia” dengan MesH terms (dalam bahasa Inggris dan Indonesia), yang mencakup studi observasi maupun eksperimental. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan STATA untuk mencari besar prevalensi FSD dan odd ratio faktor yang berhubungan dengan FSD.
Hasil: Sepuluh studi dengan desain potong lintang mencakup 572 perempuan DM tipe 2 di komunitas maupun rumah sakit. Rentang prevalensi pada kesepuluh studi ini adalah 9,8 – 78,2% dengan pooled prevalence 0,52 (IK 95% 0,49 – 0,56; I-squared 93,9%, p = 0,000) dan 0,62 (IK 95% 0,58 – 0,66; I-squared 68,7%, p = 0,001) jika satu studi dikeluarkan dari analisis karena penggunaan skor FSFI yang tidak standar. Usia di atas 45 tahun, menopause, penggunaan obat anti-hipertensi, dan kadar HbA1C berhubungan dengan FSD. Studi ini mempunyai keterbatasan berupa heterogenitas dan risiko bias artikel yang tinggi, luaran yang beragam, serta teks lengkap artikel yang sulit diperoleh. Studi ini juga menunjukkan adanya bias publikasi.
Kesimpulan: Disfungsi seksual perempuan DM tipe 2 di Indonesia mempunyai prevalensi yang tinggi dan kemungkinan berhubungan dengan proses penuaan dan metabolik. Implikasi studi ini adalah bahwa perempuan dengan DM tipe 2 dianjurkan untuk evaluasi FSD secara rutin.

Background: Female sexual dysfunction (FSD) is a neglected major complication of diabetes mellitus (DM). However, there is scarcity of data in Indonesia, which is currently ranked as the 7th in the world for the number of people with DM.
Objective: Our study aims to analyze the prevalence and factors of FSD among type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients in Indonesia.
Methods: This systematic review was conducted using the PRISMA standard. Literature searching was performed in PubMed/Medline®, CINAHL®, Embase®, Proquest®, Scopus®, Indonesian local journals/ databases, and libraries, by considering human clinical studies. All observational and experimental studies in searching keywords “sexual”, “diabetes”, and “Indonesia” with MeSH terms (in English and Bahasa) were included, without time of study or language restriction. Pooled prevalence and odds ratio of associated factors of FSD were analyzed using STATA.
Results: Ten studies with cross-sectional design comprised of 572 females with T2DM, in both community and hospital settings. The prevalence of FSD ranged 9,8 – 78,2% and with random-effect model, it showed pooled prevalence 0,52 (95% CI 0,49-0,56; I-squared 93,9%, p = 0.000). After removing one study that was conducted with unstandardized FSFI cut off value, the prevalence of FSD was 0,62 (95% CI 0,58-0.66; I-squared 68,7%, p = 0.001). Age more than 45 years old, menopause, the use of antihypertensives, and HbA1c level were associated with FSD. Limitations of this article were its publication bias, in addition to its high heterogeneity and risk of bias among studies.
Conclusions: FSD was prevalent among T2DM patients in Indonesia and might associated with aging and metabolic factors. This conclusion implicated that females with T2DM need to be routinely evaluated for FSD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Famila Takhwifa
"Tumor otak merupakan jenis tumor yang sangat sulit ditangani dan menyebabkan mortalitas serta morbiditas yang berat. Saat ini, kombinasi radioterapi, kemoterapi (temozolomid dan agen lainnya), serta kortikosteroid menjadi terapi utama untuk berbagai jenis tumor, termasuk tumor otak. Walaupun demikian, data menunjukkan bahwa kombinasi terapi tersebut tidak memberikan perbaikan pada kondisi klinis pasien. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pencarian senyawa baru atau repurposing terapi yang sudah ada yang dapat memperbaiki prognosis pasien tumor otak. Metformin, suatu agen antidiabetes yang telah dikenal, belakangan ini banyak diteliti potensinya sebagai antineoplasma. Metformin berperan memberi efek apoptosis, autofagi, dan antiproliferasi melalui jalur p53 dengan aktivasi adenosine 5’-monophosphate (AMP)-activated protein kinase (AMPK). Review article ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan studi terkini mengenai efek metformin pada pasien tumor otak melalui tinjauan klinisnya. Penelusuran literatur dilakukan dengan sistematis pada pangkalan data PubMed, ScienceDirect, dan SpringerLink yang diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Manfaat klinis obat dinilai melalui Overall Survival (OS) dan Progression Free Survival (PFS) pasien tumor otak. Studi juga menunjukkan efek sinergis kombinasi metformin dengan temozolomid, tetapi tidak dengan kortikosteroid. Melalui kombinasi dengan temozolomid yang diberikan pasca radioterapi, potensi antineoplasma menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik. Meskipun demikian, efikasi dan keamanan metformin perlu diuji klinis lebih lanjut pada populasi yang lebih luas.

 


Brain tumors are a type of tumor that is very difficult to handle and causes severe mortality and morbidity. Currently, the combination of radiotherapy and chemotherapy (temozolomide and other agents), as well as corticosteroids become the primary therapy for various types of tumors, including brain tumors. However, data indicating that the combination of therapy does not provide improvement in the patient's clinical condition. This leads to the need for a new compound search or repurposing existing therapies that can improve the prognosis of brain tumor patients. Metformin, a known antidiabetic agent, has recently been examined by its potential as a antineoplastic. Metformin is responsible for the effects of apoptosis, autophagy, and antiproliferative via the p53 line with adenosine 5’-monophosphate (AMP)-activated protein kinase (AMPK) activation. This article review aims to examine the recent study developments on the effects of metformin in brain tumor patients through its clinical reviews. The literature search is systematically performed on the PubMed, ScienceDirect, and SpringerLink selected based on the defined inclusion and exclusion criteria. The clinical benefits of the drug are assessed through Overall Survival (OS) and Progression Free Survival (PFS) brain tumor patients. Studies have also demonstrated a synergistic effect of metformin combinations with temozolomide, but not with corticosteroids. Through a combination with temozolomide given post radioterapy, the potential of antineoplastic results in better survival. Nonetheless, the efficacy and safety of metformin need further clinical testing in the wider population.

 

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Rosana, examiner
"Latar Belakang: Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan salah satu komplikasi makrovaskular pada penyandang diabetes melitus tipe 2 (DMT2) yang menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hingga saat ini, belum ada telaah sistematis dan komprehensif mengenai faktor risiko kejadian PAP pada penyandang DMT2.
Tujuan: Mengetahui efek estimasi kumulatif dari berbagai faktor risiko kejadian penyakit arteri perifer pada penyandang diabetes melitus tipe 2.
Metode: Telaah sistematis dan mata-analisis ini disusun berdasarkan standar PRISMA.
Penelusuran literatur secara sistematis dan komprehensif dilakukan pada PubMed/MEDLINE, ProQuest, dan EMBASE, untuk mencari studi kohort dan kasus kontrol yang melaporkan faktor risiko PAP pada DMT2. Selain itu kami juga melakukan penelusuran terhadap grey literature. Risiko bias tiap studi yang diinklusi dinilai menggunakan the Newcastle-Ottawa Scale. Data dianalisis menggunakan RevMan versi 5.4 untuk mencari efek estimasi kumulatif dari tiap faktor risiko.
Hasil: Didapatkan 10 studi yang dimasukkan ke dalam telaah sistematis ini, dengan total 73.834 pasien DMT2. Semua studi memiliki kualitas baik berdasarkan Newcastle-Ottawa Scale. Hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kejadian PAP pada DMT2 didapatkan pada kelompok dengan usia ≥ 70 tahun (OR 3.44; IK 95% 2.11, 5.62), durasi diabetes ≥ 5 tahun (OR 1.81; IK 95% 1.24, 2.64), riwayat penyakit jantung koroner (OR
1.55; IK 95% 1.30, 1.83), hipertensi (OR 1.43; IK 95% 1.10, 1.86), dan peningkatan LDL (OR 2.51; IK 95% 1.38, 4.56). Semua bukti temuan memiliki tingkat keyakinan moderate (GRADE rating)
Kesimpulan: Usia ≥ 70 tahun, durasi diabetes ≥ 5 tahun, riwayat penyakit jantung koroner, hipertensi, dan peningkatan LDL merupakan faktor risiko kejadian PAP pada DMT2

Background: Peripheral arterial disease (PAD) is one of the macrovascular complications of type 2 diabetes mellitus (T2DM), which cause serious rate of
morbidities and mortality. To date, there have not been any systematic and comprehensive review regarding the risk factors of incidence of PAD in T2DM populations.
Objective: Our study aims to analyze the pooled effect estimates of each risk factors of PAD incidence in T2DM populations. factors of PAD incidence in T2DM populations.
Methods: This systematic review and meta-analysis was conducted using the PRISMA standard. A systematic and comprehensive literature searching was conducted in
PubMed/MEDLINE, ProQuest, and EMBASE database, to obtain any cohort or casecontrol studies reporting the risk factors of PAD incidence in T2DM populations. We also
conducted searching on gray literature and hand-searching. We assessed risk of bias using
Newcastle-Ottawa Scale assessment tool. The pooled effect estimates of each risk factors was analyzed using RevMan version 5.4.
Results: Ten studies were included in this review comprising 73834 T2DM patients in total. All the studies had good quality based on Newcastle-Ottawa Scale. Significant association with the incidence of PAD in T2DM was found in the group of age ≥ 70 years
old (OR 3.44; 95% CI 2.11, 5.62), diabetes duration ≥ 5 years (OR 1.81; 95% CI 1.24, 2.64), coronary artery disease history (OR 1.55; 95% CI 1.30, 1.83), hypertension (OR
1.43; 95% CI 1.10, 1.86), and increased LDL (OR 2.51; 95% CI 1.38, 4.56). All the evidence has moderate certainty (GRADE rating).
Conclusion: Age ≥ 70 years old, diabetes duration ≥ 5 years, coronary artery disease history, hypertension dan increased LDL are significant risk factors of PAD incidence in T2DM population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>