Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178361 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jeshika Febi Kusumawati
"Pada anak usia sekolah, pertumbuhan linier ditentukan berdasarkan kriteria kurva pertumbuhan WHO/2007 dan CDC/2000 serta persentase tinggi badan menurut Waterlow/1977. Perbedaan kriteria yang digunakan akan menimbulkan perbedaan prevalens perawakan pendek. Penentuan kejar tumbuh anak juga masih mengalami perdebatan karena parameter kejar tumbuh dapat dinilai secara relatif (height-age z-score) dan absolut (height-age-differences). Kejar tumbuh linier yang terutama terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan dinilai dapat terus terjadi hingga usia sekolah. Studi potong lintang dilakukan pada 302 anak usia sekolah di Jakarta Barat. Semua anak diukur tinggi badan sewaktu penelitian dan saat subyek berusia 7 tahun. Perawakan pendek ditentukan dengan menggunakan kriteria WHO/2007, CDC/2000, dan persentase Waterlow/1977. Setiap kelompok usia diukur perbedaan nilai height-age z-score (HAZ) dan height-age-differences (HAD) dalam dua waktu pengukuran yang berbeda untuk melihat kejar tumbuh. Prevalens perawakan pendek pada anak usia sekolah berdasarkan kriteria WHO/2007 adalah 8,55%, berdasarkan CDC/2000 sebesar 13,75%, dan berdasarkan Waterlow/1977 sebesar 7,80%. Nilai Kappa WHO/2007 dan CDC/2000 adalah 0,5, WHO/2007 dan Waterlow/1977 adalah 0,8, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 adalah 0,7. Nilai HAZ anak perempuan adalah -1,78 SD dan anak lelaki -1,44 SD. Nilai HAD anak perempuan adalah -10,83 cm untuk anak lelaki adalah -8,83 cm. Kesesuaian perawakan pendek anak WHO/2007 dan CDC/2000 memberikan hasil yang sama sebanyak 50%, WHO/2007 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 80%, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 70%. Kesan terdapat kejar tumbuh pada anak usia sekolah di Jakarta Barat berdasarkan adanya perbaikan nilai HAZ dan HAD pada pengukuran kedua dibandingkan dengan pengukuran pertama.

Linear growth in school children is determined by using WHO/2007 and CDC/2000 growth chart, also height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Those classification resulted in different prevalence of short stature. Linear catch-up growth is considered to continue beyond the first thousand days of life, at least until school age. It could be relatively (height-age z score) or absolutely (height-age difference) assessed. A cross-sectional study was conducted in 302 school age children in West Jakarta. Body height was measured at 7 years old and at the time of study. Short stature was defined by using WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Height-age z score (HAZ) and height age differences (HAD) was measured in each group to assess catch-up growth. The prevalence of short stature in school children was 8.55%, 13.75%, and 7.80%, according to WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria, respectively. Kappa values were 0.5, 0.8, and 0.7, between WHO/2007-CDC/2000, WHO/2007-Waterlow/1977, and CDC/2000-Waterlow/1977, respectively. HAZ was -1.78 and -1.44 SD in female and male subjects, respectively. HAD was -10.83 and -8.83 cm in female and male subjects, respectively. WHO/2007 and Waterlow/1977 has the highest agreement, while WHO/2007 and CDC/2007 has the lowest agreement. Linear catch-up growth was observed among our subjects as determined by HAZ and HAD improvement compared to the first measurement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Yasmine Dyahputri
"Pendahuluan: Perawakan pendek merupakan masalah pertumbuhan yang banyak dijumpai di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi anak usia sekolah dasar dengan perawakan pendek mencapai 23,6% pada tahun 2018. Perawakan pendek pada anak dikaitkan dengan masalah psikososial yang diduga disebabkan oleh bullying, stigmatisasi, dan isolasi sosial yang dihadapi anak. Namun, penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik ini telah menghasilkan hasil dan angka yang bervariasi
tidak memadai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar. Metode: Rancangan penelitian potong lintang digunakan pada anak usia sekolah dasar di SDN 01 Kampung Melayu. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kelompok tinggi badan
anak dengan masalah psikososial hasil skrining menggunakan kuesioner PSC-17, yang menilai tiga subskala masalah perilaku (internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian). Hasil: Prevalensi anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu mencapai 15,28%. Prevalensi anak dengan masalah psikososial adalah 18,12% dan prevalensi anak perawakan pendek dengan masalah psikososial adalah 22,73%. Hasil analisis perawakan pendek pada masalah psikososial pada anak menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistik, baik secara umum (p = 0,268), subskala internalisasi (p = 0,532), eksternalisasi (p = 0,400), perhatian (p = 0,414), dan skor total PSC-17 (p = 0,614). Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar.
Introduction: Short stature is a common growth problem in developing countries. In Indonesia, the prevalence of primary school-age children with short stature reached 23.6% in 2018. Short stature in children is associated with psychosocial problems which are thought to be caused by bullying, stigmatization, and social isolation faced by children. However, previous studies dealing with this topic have yielded varying results and figures inadequate. Therefore, this study aims to determine the relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children. Methods: A cross-sectional study design was used on elementary school-aged children at SDN 01 Kampung Melayu. The study was conducted by comparing the height group Children with psychosocial problems were screened using the PSC-17 questionnaire, which assessed three behavioral problem subscales (internalization, externalization, and attention). Results: The prevalence of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu reached 15.28%. The prevalence of children with psychosocial problems was 18.12% and the prevalence of short stature children with psychosocial problems was 22.73%. The results of the analysis of short stature on psychosocial problems in children showed a statistically insignificant relationship, both in general (p = 0.268), internalization subscale (p = 0.532), externalization (p = 0.400), attention (p = 0.414), and score total PSC-17 (p = 0.614). Conclusion: There is no significant relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuana Lestari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kualitas attachment anak pada ibu dan kompetensi sosial anak pra-sekolah. Pengukuran kualitas attachment menggunakan modifikasi dari alat ukur Parent/Child Reunion Inventory (P/CRI) yang dibuat oleh Marcus (2001) dengan menggunakan insecurity scale dan pengukuran kompetensi sosial menggunakan modifikasi dari alat ukur Social Skill Rating System (SSRS) yang dibuat oleh Gresham & Elliot (1990) yang diukur melalui keterampilan sosial dan perilaku bermasalah. Partisipan berjumlah 100 orang ibu yang memiliki anak berusia 3 - 5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kualitas attachment dengan keterampilan sosial anak (pearson correlation = -0.446, p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01), dan juga menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas attachment dengan perilaku bermasalah (pearson correlation = 0.374, p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Karena menggunakan insecurity scale untuk mempermudah skoring, maka hasil yang didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas insecure attachment anak pada ibu, maka akan semakin rendah keterampilan sosial yang dimiliki anak. sebaliknya semakin tinggi kualitas insecure attachment anak pada ibu, maka anak akan semakin sering menampilkan perilaku bermasalah.

This research was conducted to find the correlation between children to mother attachment quality and the children social competence in pre-school. The attachment quality was measured by modification of P/CRI tool (created by Marcus, 2001) using insecure scale method. The measurement of the social competence was measured by modification of SSRS tool (created by Gresham & Elliot, 1990) that measured through social skills and problem behavior. The participants of this research are 100 mothers whose having a child between 3 to 5 years old. The main results of this research show that the attachment quality negatively correlated significantly with and the children’s social competence (pearson correlation = -0.446, p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). The attachment quality also positively correlated significantly with the problem behavior (pearson correlation = 0.374, p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). Because of this study using insecurty scale to easier the skoring, this result show that the higher is children’s insecurity attachment to mother, the lower is the children’s social competence. In reverse, the higher is the children’s insecurity attachment to mother, children will more often showed problem behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Elistyowati Pramandani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepuasan hidup remaja yang bersekolah di sekolah formal dan remaja jalanan yang bersekolah di sekolah non formal. Life satisfaction merupakan konstruk yang penting dalam penelitian positive psychology karena hubungannya sangat dekat dengan kebahagiaan sepanjang penelitiannya termasuk dalam lingkup positive personal, tingkah laku, psikologis dan social outcomes (Zumbo, 2011). Suldo dan Huebner (2005) mengkonseptualisasikan life satisfaction sebagai sebuah pemikiran atau kognisi, penilaian global individu yang dilakukan ketika mempertimbangkan kepuasan mereka terhadap kehidupannya secara keseluruhan atau dalam domai-domain tertentu seperti keluarga, lingkungan, teman dan diri sendiri. Peningkatan pemahaman life satisfaction pada remaja sangat penting karena dapat digunakan untuk mengembangkan karakteristik individu seperti social adjustment, kesehatan mental dan prestasi sekolah, selain itu life satisfaction juga berkaitan erat dengan lingkup akademis, sosial, dan kesehatan fisik (Hudkins & Shafer, 2011). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe penelitian deskriptif komparatif. Pengukuran kepuasan hidup dilakukan dengan menggunakan Multidimensional Student Life Satisfaction Scale (MSLSS) yang dikembangkan oleh Huebner di tahun 2001 dengan mengukur 5 dimensi, yaitu dimensi keluarga, dimensi teman, dimensi sekolah, dimensi lingkungan dan dimensi diri sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan hidup antara kedua kelompok remaja ini pada dimensi-dimensi tertentu. Remaja di sekolah formal memiliki kepuasan hidup pada dimensi keluarga, lingkungan dan diri sendiri yang lebih tinggi dibandingkan remaja jalanan di sekolah non formal. Sedangkan pada dimensi teman dan sekolah kedua kelompok ini tidak memiliki perbedaan. Hasil penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan memperbanyak jumlah partisipan penelitian agar perbedaan pria dan wanita dapat diteliti. Selain itu, menggunakan teknik wawancara mendalam termasuk mewawancarai orang tua akan bermanfaat untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana remaja, baik yang bersekolah di sekolah formal maupun remaja jalanan di sekolah non formal memaknai hidup mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57653
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hannisa Rizka Setiawati
"Pendahuluan: Di Indonesia, diperkirakan 23,6% anak berusia 5-12 tahun berperawakan pendek, oleh karena itu perawakan pendek dijadikan sebagia salah satu prioritas kesehatan. Anak dengan perawakan pendek berkaitan pada tingkat kognitif yang rendah, sehingga akan berdampak pada kualitas hidup.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara studi potong lintang pada SDN 01 Kampung Melayu di wilayah Jakarta, Indonesia. Subjek adalah anak dengan perawakan pendek yang berusia 6-12 tahun. Data diambil dengan cara pengukuran tinggi badan menurut umur dengan menggunakan kurva Centers for Disease Control and Prevention-National Center for Health Statistics (CDC-NCHS) dan nilai total penilaian kognitif yang menggunakan instrumen Cognitive Test Battery for Individuals with and without Intellectual Disabilities (CIID). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menilai kognitif pada anak Sekolah Dasar dengan perawakan pendek.
Hasil: Pada penelitian ini terdapat sekitar 14,61% anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu. Hasil tes CIID, Skor Total di dapatkan rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54. Skor Non Verbal di dapatkan rentang 7-39, dengan rerata dan simpang baku 21,94±7,51. Hopkins Verbal Learning Test di dapatkan rentang 6-31, dengan rerata dan simpang baku 19,36±5,90. Verbal Fluency di dapatkan rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, subjek dengan perawakan pendek memiliki nilai menyerupai anak dengan perawakan normal. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara anak perawakan pendek dengan status gizi kurang dan anak perawakan pendek dengan status gizi normal, yaitu dengan p = 0,369.
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat 14,61% anak perawakan pendek dengan skor total rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54.

Introduction: In Indonesia, an estimated 23.6% of children aged 5-12 years are short stature, therefore short stature is made one of the health priorities. Children with short stature are associated with low cognitive levels, so that it will have an impact on quality of life.
Method: This research was conducted in a cross-sectional study at SDN 01 Kampung Melayu in the Jakarta, Indonesia. Subjects are children with short stature aged 6-12 years. Data was taken by measuring height according to age according to the curve used by the Centers for Disease Control and Prevention-National Center for Health Statistics (CDC-NCHS) and total value from cognitive assessment using the Cognitive Test Battery for Individuals with and without Intellectual Disabilities (CIID) instrument. This research was conducted aiming to assess cognitive in elementary school children with short stature.
Results: In this study there were about 14.61% of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu. CIID test results, Total Score obtained in the range of 5-26, with a mean and standard intersection of 13.59 ± 4.54. Non Verbal Score was obtained in the range 7-39, with mean and standard deviations of 21.94 ± 7.51. Hopkins Verbal Learning Test obtained range 6-31, with mean and standard deviations of 19.36 ± 5.90. Verbal Fluency is obtained in the range of 5-26, with mean and standard intersections 13.59 ± 4.54. When compared with previous studies, subjects with short stature have values similar to those of children with normal stature. No significant difference was found between short stature children with underweight nutritional status and short stature children with normal nutritional status, with p=0.369.
Conclusion: In this study there were 14.61% of short stature children with a total score ranging from 5-26, with a mean and standard crossing of 13.59 ± 4.54."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeria Allen Friskila
"ABSTRAK
Perilaku sehat pada anak usia sekolah harus diperkenalkan sejak dini agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang sehat. Keluarga memiliki peran dan fungsi penting tempat anak usia sekolah bertumbuh dan berkembang membentuk perilaku. Tujuan penelitian ini untuk menguraikan secara mendalam makna peran dan fungsi keluarga dalam meningkatkan perilaku sehat pada anak usia sekolah. Metode penelitian yang digunakan adalah studi fenomenologi deskriftif. Hasil penelitian didapatkan tujuh tema, yaitu pengetahuan keluarga tentang perilaku sehat, ragam perilaku sehat pada anak usia sekolah, upaya pembiasaan perilaku sehat, ragam sumber informasi dalam mengoptimalkan perilaku sehat, keterbatasan dalam menerapkan perilaku sehat, harapan keluarga, dan pembiasaan perilaku sehat. Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi keperawatan yaitu untuk pengembangan ilmu keperawatan keluarga khususnya perilaku keluarga yang menjadi contoh anak berperilaku sehat.

ABSTRACT
Healthy behaviors in school age children should be introduced early in order to become the next generation a healthy nation. The family has an important role and function of a school age children grow and develop shaping behavior. The purpose of this study to describe in depth the meaning of the role and function of the family in promoting healthy behaviors in school age children. The method used is descriptive phenomenological study. The result showed seven themes, namely family knowledge about healthy behaviors, types of health behavior in school age children, efforts habituation healthy behaviors, types of resources in optimizing healthy behaviors, limitations in implementing healthy behavior, family expectations, and habituation healthy behaviors. The results of this study have implications for nursing is to the development of nursing science communities, especially the behavior of the family is an example of a healthy child behaves."
2017
T47301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The purpose of this research was to describe the snacking behavior among school children in Jakarta. It was already known that the pupils are prominent consumers of ubhealthy snack widely sold near schools...."
150 PJIP 1:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Paula Beatrix Rusly
"ABSTRAK
Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan manusia Iain untuk mengembangkan
dirinya secara optimal. Interaksi ini dimulai sejak ia berada dalam kandungan, dan terus
berlanjut sepanjang hidupnya.
Pada mula interaksi ini hanya antara individu dan kedua orang tuanya, tetapi lama
kelamaan semakin meIuas. Pada mass usia sekolah interaksinya tidak hanya dengan -orang
tua saja, melainkan juga dengan guru dan teman sebayanya. Pada masa ini hubungan
dengan teman sebaya memegang peranan yang penting dalam perkernbangan anak,
terutama dalam perkembangan sosialnya.
Bentuk hubungan dengan teman sebaya ini ada dua bentuk, yaitu persahabatan dan
penerimaan oleh teman sebaya. Kedua hal ini memiliki peranan yang berbeda dalam
perkembangan sosial anak. Melalui persahabatan seorang anak dapat mengembangkan rasa
percaya dan kesensitifan pada orang Iain, anak juga dapat belajar mengenai hubungan
timbal balik. Melalui penerimaan oleh teman sebaya anak dapat belajar mengenai kerja
sama., belajar mengkoordinir aktivitasnya, dan.belajar mematuhi aturan dan norma-norma
dalam suatu kelompok; [Parker dan Asher, 1993 dalam Sroufe et. al. 1996).
Adanya kesenjangan pengetahuan mengenai bagaimana hubungan antara kedua
konsep ini dalam perkembangan sosial anak mendorong penulis untuk melakukan
penelitian mengenai hal ini.
Penelitian ini dilakukan di suatu sekolah dasar di Jakarta pada anak usia 10-
11 tahun. Penelitian ini mecoba mencari ada tidaknya perbedaan kualitas persahabatan
antara anak yang memiliki tingkat penerimaan tinggi dan anak yang memiliki tingkat
penerimaan rendah. Hal ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan menggunakan alat
ukur sebagai berikut, Sosiometri Roster-dan Rating, Sosiometri Nominasi, dan Kuesioner
Kualitas Persahabatan.
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode non probability
sampling dengan teknik cluster sampling untuk pengambilan sampel siswa usia sekolah.
Sampel yang diambil dipisahkan ke dalam dua kelompok yaitu, (1) Kelompok Tingkat
Penerimaan Tinggi (TPT), 30 orang, dan (2) Kelompok Tingkat Penerimaan Rendah
(TPR) 30 orang.
Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya .perbedaan kualitas persahabatan yang
signifikan antara kedua kelompok tersebut. Dari hasil analisa keenam aspek kualitas
persahabatan juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok tersebut, kecuali pada aspek yang terakhir yaitu aspek konflik dan
pengkhianatan.
Pada analisa lebih lanjut, yaitu dengan memisahkan kelompok TPR dan TPT
berdasarkan jenis kelaminnya, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara
kelompok TPT dan TPR pada anak perempuan. Perbedaan ini muncul pada aspek
pertolongan dan bimbingan, dan aspek konflik dan pengkhianatan.
Hasil yang demikian diduga disebabkan oleh peranan faktor budaya, faktor jenis
kelamin, adanya social desirability. Diduga faktor-faktor ini bekerja secara simultan
sehingga menimbulkan hasilkan hasil yang demikian.
Saran peneliti, untuk masa yang akan datang dapat dilakukan penelitian mengenai
kualitas persahabatan pada laki-laki dan perempuan, mengenai hubungan kelekatan dengan
persahabatan dan penerimaan oleh teman sebaya. Juga dapat dilakukan penelitian
mengenai persahabatan dalam budaya Indonesia, untuk itu diperlukan pengembangan alat
ukur kualitas persahabatan yang lebih lanjut lagi dalam budaya Indonesia."
1997
S2545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Mulyono
"Masalah kesehatan akibat makanan yang tidak aman di Indonesia masih sering terjadi, terutama pada kelompok anak usia sekolah untuk itu dikembangkan sebuah model yang melibatkan pihak sekolah, orang tua dan siswa. Penelitian ini merupakan bagian dari sebuah penelitian besar. Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh model kolaborasi guru, siswa, dan keluarga (KOGUSIGA) terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru tentang keamanan makanan pada siswa Sekolah Dasar (SD). Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu dengan pre-post test dengan menggunakan kelompok kontrol. Subjek sampel penelitian menggunakan total sampling sebanyak 28 responden guru. Kelompok intervensi diberi perlakuan berupa proses kelompok yang dilakukan selama 10 minggu sebagai implementasi model KOGUSIGA dengan kelengkapan modul untuk guru. Hasil penelitian menunjukkan model KOGUSIGA berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan pengetahuan (p= 0,003) dan keterampilan (p= 0,015) guru tentang keamanan makanan pada anak usia sekolah. Model KOGUSIGA diharapkan dapat menjadi program intervensi dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan disarankan perawat kesehatan sekolah menjadi koordinatornya."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
610 JKI 20:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>