Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210049 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nia Astarina
"Latar belakang: Clostridium difficile merupakan bakteri anaerob gram positif yang sering menyebabkan diare pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Manifestasi klinis diare karena C. difficile bervariasi dapat berupa diare ringan sampai keadaan klinis yang berat seperti kolitis, komplikasi megakolon toksik, perforasi, serta syok. Faktor risiko yang berperan meningkatkan diare karena C. difficile salah satunya adalah pengunaan antibiotik namun masih dapat disebabkan oleh hal lainnya. Penelitian ini merupakan studi untuk mengetahui prevalens, faktor risiko, dan gambaran klinis diare karena C. difficile pada anak. Metode: Penelitian ini merukapan studio potong lintang, dilakukan pada pasien 105 anak dengan keluhan diare di Poliklinik Anak dan ruang rawat inap pada bulan Mei 2019 sampai Januari 2020 dengan mendeteksi antigen toksin A/B C. difficile menggunakan metode ELISA. Hasil: Prevalens diare pada anak karena C. difficile sebesar 13,3%.Usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile 3,84 kali dibandingkan dengan pasien usia lebih dari 2 tahun dan penggunaan PPI atau H2 antagonis meningkatkan risiko terjadinya diare karena C. difficile 5,48 kali dibandingan dengan kelompok yang tidak menggunakan PPI atau H2 antagonis. Semua subyek menderita diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik. Golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang dominan terkait dengan diare karena C. difficile (92,9%), diikuti aminoglikosida 7,1%. Gambaran klinis pasien diare karena C. difficile pada penelitian ini sebagian besar mengalami frekuensi diare 6-9 kali/24 jam, lama diare 14 hari,  nyeri perut, diare dengan dehridrasi berat ataupun ringan, leukosit tinja 10/LPB, dan terdapat darah samar tinja. Diagnosis penyakit yang mendasari pada penelitian ini meliputi infeksi paru 4 subyek, penyakit lain (kongenital dan malnutrisi) 4 subyek,  penyakit hematologi dan onkologi 3 subyek, penyakit imunologi 2 subyek, dan neurologi 1 subyek. Kesimpulan: Penggunaan PPI atau H2 antagonis serta usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile. Semua subyek yang mengalami diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik lebih dari tujuh hari.

Background and aim: Clostridium difficile is a gram-positive anaerobic bacterium that often causes diarrhea in patients who are hospitalized. Clinical manifestations of diarrhea due to C. difficile can vary from mild diarrhea to severe clinical conditions such as colitis, toxic megacolon complications, perforation, and shock. Risk factors that play a role in increasing diarrhea due to C. difficile one of which is the use of antibiotics but can still be caused by other things. This study is a study to determine the prevalence, risk factors, and clinical picture of diarrhea due to C. difficile in children. Methods: This study was a cross-sectional study, conducted on 105 pediatric patients with diarrhea complaints in the Children's Polyclinic and inpatients in May 2019 to January 2020 by detecting C. difficile A/B toxin antigen using the ELISA method. Results: The prevalence of diarrhea in children due to C. difficile is 13.3%. Age less than 2 years increased the risk of occurrence of diarrhea due to C. difficile 3,84 times compared with patients aged more than 2 years and the use of PPI or H2 antagonists increased the risk of diarrhea due to C. difficile 5,48 times compared to the group who did not use PPI or H2 antagonists. All subjects suffered from diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use. Cephalosporins are the dominant antibiotics associated with diarrhea due to C. difficile (92.9%), followed by aminoglycosides 7.1%. The clinical features of diarrhea patients due to C. difficile in this study are the frequency of diarrhea 6-9 times/24 hours, duration of diarrhea 14 days, abdominal pain, diarrhea with severe or mild dehridration, stool leukocytes 10/LPB, and fecal faint blood. Diagnosis of the underlying disease in this study included 4 subjects lung infection, other diseases (congenital and malnutrition) 4 subjects, hematological and oncological diseases 3 subjects, immunological diseases 2 subjects, and neurology 1 subject.
Conclusion: The use of PPI or H2 antagonists and age less than 2 years increases the risk of diarrhea due to C. difficile. All subjects who had diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use for more than seven days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Yasma Yanti
"Infeksi Clostridium difficile toksigenik meningkat tajam pada satu dekade terakhir, menyebabkan pseudo membran colitis (PMC) dan Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). Salah satu faktor risikonya adalah penggunaan antibiotik. Tujuan penelitian adalah mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik subyek dengan Clostridium difficile toksigenik serta menilai kemampuan rapid test toksin terhadap real time PCR. Subyek penelitian prospektif ini adalah 90 subyek dewasa dengan terapi antibiotik lebih dari 2 minggu. Hasil pemeriksaan menggunakan rapid test dan real time PCR disajikan dalam tabel 2x2, dilakukan uji statistik dengan chi square. Hasil penelitian menunjukkan 2 spesimen dieksklusi karena hasil invalid, 24 spesimen positif dan 64 negatif dengan rapid test toksin; 33 spesimen positif dan 55 negatif dengan real time PCR. Prevalensi Clostridium difficile toksigenik berdasar rapid test toksin adalah 27,3% dan real time PCR 37,5%. Terdapat perbedaan bermakna antara konsistensi feses dan jumlah antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik (p<0,05). Terdapat hubungan antara lama terapi antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik menggunakan real time PCR (p=0,010, RR=2,116). Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif rapid test toksin terhadap real time PCR berturut-turut adalah 69,7%; 98,2%; 95,8%; 84,4%; 39,2 dan 0,31. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa prevalensi Clostridium difficile di RSCM lebih tinggi dibanding Malaysia, Thailand dan India; subyek dengan terapi antibiotik lebih dari 4 minggu berisiko terdeteksi Clostridium difficile toksigenik 2 kali lebih besar dibanding subyek dengan terapi antibiotik kurang dari 4 minggu; rapid test toksin dapat digunakan sebagai alat deteksi Clostridium difficile toksigenik.

Toxigenic Clostridium difficile infection have increased sharply in the last decade, causing a pseudo membrane colitis (PMC) and Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). One of the biggest risk factor is the use of antibiotics. The purpose of the study was to determine the prevalence and characteristics of subjects with toxigenic Clostridium difficile and assess the ability of the toxin rapid test compared to real-time PCR. Ninety adult subjects with antibiotic therapy more than 2 weeks were enrolled to this prospective study. The results of toxin rapid test and real-time PCR were presented in 2x2 table, statistical tests was calculated with chi square. Two specimens were excluded due to invalid results. The results showed 24 positive and 64 negative specimens by toxin rapid test; 33 positive and 55 negative specimens by real-time PCR. The prevalence of toxigenic Clostridium difficile based on toxin rapid test were 27.3% and 37.5% by real-time PCR. There were significant differences between stool consistency and number of antibiotics that were used with the detection of toxigenic Clostridium difficile. There was a relationship between duration of antibiotic therapy with detection of toxigenic Clostridium difficile using real-time PCR (p = 0.010, RR = 2.116). Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio and negative likelihood ratio of toxin rapid test against real-time PCR were 69.7%; 98.2%; 95.8%; 84.4%; 39.2 and 0.31, respectively. The study concluded that the prevalence of Clostridium difficile in RSCM was higher than Malaysia, Thailand and India; subjects with antibiotic therapy for more than 4 weeks had double risk to have toxigenic Clostridium difficile than subjects with antibiotic therapy for less than 4 weeks and toxin rapid test could be used as a tool to detect toxigenic Clostridium difficile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lucia Sri Sunarti
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Clostridium docile merupakan salah satu kuman anaerob penyebab infeksi nosokomial. Infeksinya dapat berupa Antibiotic Associated Diarrheae (AM) ataupun Pseudomembranous Colitis (PMC). Bayi dan neonates dianggap sebagai sumber penyebab infeksi nosokomial oleh kuman tersebut karena organisme ini ditemukan sebagai flora normal dalam saluran pencernaannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persentase anak berumur kurang dari 1 tahun yang dalam fesesnya ditemukan Clostridium difficile toksigenik. Deteksi toksin dilakukan dengan uji koaglutinasi lateks terhadap filtrat kultur organisme dan dibandingkan dengan uji sitotoksisitas menggunakan biakan sel BHK-21. Isolasi organisme dilakukan pada media Cycloserine Cefoxitin Fructose Agar (CCFA) dan Cycloserine Cefoxitin Manitol Agar (CCMA). Penggunaan media CCMA bertujuan untuk memperoleh cara identifikasi Clostridium dicile yang mudah dan praktis.
Hasil dan kesimpulan : Ditemukan 11,7 % anak berumur kurang dari 1 tahun mengandung Clostridium difficile toksigenik dalam fesesnya. Uji koaglutinasi lateks yang dilakukan terhadap filtrat kultur organisme memberikan nilai sensitivitas sebesar 100 %, nilai spesifisitas 100 %, nilai prediktif positif 100 % ,don nilai predlktif negatif 100 % ,dengan menggunakan uji sitotoksisitas sebagai gold standard. Jumlah dan jenis bakteri yang tumbuh pada media CCFA dan CCMA adalah sama, koloni Clostridium dif,ficile yang tumbuh pada media CCMA memiliki warna yang spesifik yaitu loaning sedang koloni spesies Clostridium lain berwarna merah muda. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa 11,7 % anak membawa Clostridium difficile toksigenik dalam saluran cernanya, uji koaglutinasi lateks dengan filtrat kultur organism memberikan hasil yang sama dengan uji sitotoksisitas dengan biakan sel BHK-21, penggunaan media CCMA tidak berpengaruh terhadap tingkat isolasi Clostridium difficile bahkan memberikan gambaran koloni yang lebih spesifik sehingga mempermudah dan mempersingkat waktu identifikasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T8306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mahrani
"ABSTRAK
Latar belakang: Anak HIV yang hidup di daerah endemis campak harus memiliki antibodi campak yang protektif karena mereka memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi dan mendapatkan komplikasinya. Belum ada laporan mengenai seroprevalens antibodi campak pada anak HIV di Jakarta. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seroprevalens antibodi campak dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya pada anak-anak HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM pada Desember 2019 hingga Februari 2020. Kriteria inklusi
adalah anak usia 1-18 tahun yang telah didiagnosis terinfeksi HIV dan bersedia ikut dalam penelitian. Sampel darah diperiksa untuk mengetahui nilai IgG anti campak.
Seroprotektif jika nilai IgG anti campak ≥330 IU/l. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Dari 74 subjek, didapatkan laki-laki 44 orang (59,5%), 64,9% anak didiagnosis terinfeksi HIV dan mendapatkan terapi ART pada usia 12 sampai 60 bulan, 73% anak mendapatkan vaksin campak pertama mereka pada usia kurang dari 12 bulan, 52,7% mendapat vaksin campak yang terakhir pada usia sekolah, dan 55,4% mendapatkan vaksinasi campak sebanyak dua kali atau lebih. Sebagian besar pasien tanpa imunodefisiensi (86,5%), dan 50% subjek memiliki status seroprotektif antibodi campak. Tidak ada hubungan bermakna antara status seroprotektif antibodi campak dengan usia, usia vaksinasi campak pertama, frekuensi vaksinasi campak, dan status imunodefisiensi.
Simpulan: Sebesar 50% anak HIV memiliki antibodi campak protektif. Status seroprotektif ini tidak memiliki hubungan bermakna dengan usia, usia vaksinasi campak
pertama, frekuensi vaksinasi campak, dan status imunodefisiensi.

Background: HIV children living in endemic measles areas must have protective measles antibodies because they have a higher risk to be infected and get complications. There are no reports of measles antibody seroprevalence in HIV children in Jakarta. Aim: The aim of this study was to determine the seroprevalens of measles antibodies
and its related factors in HIV children. Methods: This is a cross-sectional study conducted at the RSCM Allergy-Immunology Clinic from December 2019 to February 2020. Inclusion criteria were children aged 1- 18 years who had been diagnosed with HIV and were willing to participate in this study. Blood samples were examined to determine the value of anti-measles IgG. Seroprotective if IgG anti-measles titre ≥330 IU/l. Data is collected and analyzed using logistic regression test. Results: Of 74 samples, there were 44 men (59.5%), 64.9% of children were diagnosed
with HIV and received ART at 12 to 60 months, 73% of children received their first measles vaccine before 12 months of age, 52.7% got their last measles vaccine at school age, and 55.4% got measles vaccinations twice or more. The majority of patients without immunodeficiency (86.5%), and 50% of the sample had seroprotective status
for measles antibodies. There was no significant relationship between seroprotective status of measles antibody with age, age of first measles vaccination, frequency of measles vaccination, and immunodeficient status. Conclusion: As 50% HIV children have seroprotective measles antibody. There is no significant relationship between seroprotective status and age, age at first meaasles vaccination, number of measles vaccination, and immunodeficiency status."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Naulita
"Latar Belakang: Meskipun kontroversial, hospital readmission (HR) dapat mencerminkan keadaan pasien saat dipulangkan dan sebagai indikator untuk mengevaluasi mutu perawatan rumah sakit (RS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi dan faktor risiko HR pada pasien infeksi intrakranial.
Metode Penelitian: Studi kohort retrospektif pasien infeksi intrakranial periode April 2019-November 2021, menggunakan data Indonesian Brain Infection Study dan telusur rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Insidensi HR pasien infeksi intrakranial sebesar 28,45%. Mayoritas subjek mengalami HR sebelum 30 hari (64,7%). Penyebab HR terbanyak adalah penyakit lain yang berbeda dengan diagnosis awal (55,9%). Komorbid penyakit ginjal meningkatkan risiko HR (aOR=7,2, IK 95%=2,2-23,8,p=0,000). Gejala klinis saat perawatan awal berupa kelemahan motorik dan kejang juga meningkatkan risiko HR (aOR=2,27,IK 95%=1,28-4,01, p=0,001) dan (aOR=1,93,IK 95%=1,02-3,62, p=0,037). Sedangkan ketersediaan pelaku rawat dapat menurunkan risiko HR (aOR=0,07,IK 95%=0,03-0,45, p=0,002).
Kesimpulan: Insidensi HR pada pasien infeksi intrakranial dalam waktu 6 bulan sebesar 28,45%. Penyakit ginjal, gejala klinis kelemahan motorik dan kejang pada perawatan awal merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko HR, sedangkan ketersediaan pelaku rawat merupakan faktor yang dapat menurunkan risiko HR. 

Background: Although controversial, hospital readmission (HR) can reflect the patient's condition at discharge and as an indicator to evaluate the quality of hospital care. This study aims to determine the incidence and risk factors for HR in intracranial infections.
Method: A retrospective cohort study of intracranial infection patients, in period April 2019-November 2021, using secondary data from the Indonesian Brain Infection Study and tracing medical records. Bivariate analysis using Chi Square and Mann Whitney test, followed by multivariate logistic regression analysis.
Results: The incidence of HR in patients with intracranial infections was 28.45%. The majority of subjects experienced HR before 30 days (64.7%). The most common cause of HR was other diseases that were different from the initial diagnosis (55.9%). Kidney disease comorbidity increased HR risk (aOR=7.2;95%CI=2.2-23.8;p=0.000). Clinical symptoms during initial treatment such as motor weakness and seizures also increased the risk of HR (aOR=2.27;95%CI=1.28-4.01;p=0.001) and (aOR=1.93;95%CI=1.02-3.62;p=0.037). Meanwhile, the availability of caregivers can reduce HR risk (aOR=0.07;CI 95=0.03-0.45;p=0.002).  
Conclusion: The incidence of HR in patients with intracranial infection within 6 months was 28.45%. Kidney disease, motor weakness and seizures are factors that can increase the risk of HR, while the availability of caregivers is a factor that can reduce the risk of HR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Subekti
"Latar Belakang. Infeksi sitomegalovirus (CMV) merupakan infeksi oportunistik tersering yang menjadi penyulit pascatransplantasi hati anak. Infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati diperkirakan terjadi tidak hanya karena faktor serologi donor dan resipien, tetapi juga karena nilai Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) atau Model for End-stage Liver Disease (MELD), penggunaan kombinasi imunosupresan, dan klinis rejeksi yang pernah dialami.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol pada pasien anak yang telah menjalani transplantasi hati selama satu tahun atau lebih sejak tahun 2010 hingga tahun 2022di RSCM dengan stratifikasi risiko menengah. Sumber data diperoleh dari rekam medis dan hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) CMV di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI. Hubungan antarvariabel dianalisis dengan menggunakan Fisher’s exact test dan t-test untuk dua populasi independen. Nilai p < 0,05 dianggap bermakna secara statistik pada analisis bivariat.
Hasil. Insidens CMV aktif pascatransplantasi hati pada periode satu tahun pertama adalah 26,7%. Kesintasan kumulatif bebas infeksi CMV aktif pada bulan ke-12 adalah 73,3% dan incidence rate tertinggi pada bulan ke-3. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai PELD/MELD antara kelompok CMV aktif dan kelompok non-CMV aktif (IK 95% -5,24-3,14, p = 0,61). Penggunaan kombinasi imunosupresan dan klinis rejeksi yang pernah dialami sebelumnya tidak berhubungan dengan terjadinya infeksi CMV aktif (RO 1,50, IK 95% 0,33-6,68, p = 0,72; dan RO 1,36, IK 95% 0,36-5,10, p = 0,65). Post-hoc power dari masing-masing uji hipotesis yang digunakan adalah 50-76%.
Kesimpulan. Insidens infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati anak pada periode satu tahun pertama pada subjek dengan stratifikasi risiko menengah adalah 26,7%. Nilai PELD/MELD, penggunaan kombinasi imunosupresan, dan klinis rejeksi yang pernah dialami tidak berhubungan dengan risiko infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati. Namun, power penelitian ini rendah sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan dengan desain prospektif dan mengikutsertakan subjek yang lebih besar.

Background. Cytomegalovirus (CMV) infection is the most common opportunistic infection after pediatric liver transplantation. Active CMV infection after liver transplantation was considered to be affected not only by serology status of recipient and donor, but also by Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) score or Model for End-stage Liver Disease (MELD) score, combination of immunosuppressive agents, and previous clinically rejection.
Method. Case control study was designed in this study, and children who experienced liver transplantation beyond one year from 2010 to 2022 at RSCM with moderate risk stratification were included in this study. Source data was obtained from medical record and polymerase chain reaction (PCR) CMV in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine University of Indonesia. Analysis of two variables was explained using Fisher’s exact test and t-test for two independent population. A p value < 0.05 was considered to be statistically significant in bivariate analysis.
Result. Incidence of active CMV infection after liver transplantation within first one year was 26.7%. Cumulative survival of free CMV infection at 12th month was 73.3% and the highest incidence rate was in the first 3 months. There was no statistically significant difference between PELD/MELD score in active CMV group and not-active-CMV group (CI 95% -5.24-3.14, p = 0.61). Combination of immunosuppressive agents and previous cellular rejection were not associated with active CMV infection (OR 1.50, CI 95% 0.33-6.68, p = 0.72; and OR 1.36, CI 95% 0.36-5.10, p = 0.65). Post-hoc power of each hypothesis test was 50-76%.
Conclusion. Incidence of active CMV infection within first year after pediatric liver transplantation among moderate risk stratification group was 26.7%. PELD/MELD score, combination of immunosuppressive agents, and previous clinically rejection were not associated with risk of active CMV infection. However, this study was underpower that further studies need to be conducted with a prospective design and enrolled more participants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ajib Diptyanusa
"Status imunodefisiensi pada individu yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat mengakibatkan adanya peningkatan risiko infeksi, salah satunya adalah diare kronis yang disebabkan oleh Cryptosporidium spp. dan Giardia duodenalis. Pada populasi anak, infeksi tersebut dapat berdampak pada gangguan fungsi kognitif dan tumbuh kembang. Gambaran beban kedua penyakit tersebut masih belum jelas, sehingga diagnosis dan tata laksana menjadi terhambat. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi prevalensi, mendeskripsikan karakteristik klinis, dan mengidentifikasi faktor risiko infeksi Cryptosporidium dan Giardia pada anak yang terdiagnosis HIV. Penelitian bersifat potong lintang pada anak terdiagnosis HIV berusia 6 bulan hingga <18 tahun di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta selama tahun 2021. Penegakan diagnosis infeksi Cryptosporidium dan Giardia adalah berdasarkan hasil pemeriksaan PCR feses setelah diskrining secara mikroskopis dan pemeriksaan coproantigen. Karakteristik klinis dan identifikasi faktor risiko didapatkan dari data rekam medis dan pengisian kuesioner oleh pasien/walinya. Dari total 52 subjek, prevalensi kriptosporidiosis adalah 42,3%, sedangkan prevalensi giardiasis adalah 3,8%. Tidak ditemukan infeksi ganda Cryptosporidium spp. dan G. duodenalis. Gejala yang paling banyak dilaporkan adalah penurunan berat badan (19/52; 36,5%) dan diare (11/52; 21,2%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa adanya gejala diare (AOR 6,5; 95%CI 1,16–36,67), sumber air minum air sumur (AOR 6,7; 95%CI 1,83–24,93), dan air minum yang tidak direbus (AOR 5,8; 95%CI 1,04–32,64) merupakan faktor risiko independen kejadian kriptosporidiosis pada studi ini. Penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi kriptosporidiosis asimtomatik dengan faktor prediktor adanya diare, sumber air minum berupa air sumur, dan air minum yang tidak direbus, sedangkan prevalensi giardiasis rendah dengan gejala yang tidak spesifik.

Immunodeficiency in individuals infected with Human Immunodeficiency Virus (HIV) may lead to increased risk of infection, particularly chronic diarrhea caused by Cryptosporidium spp. and Giardia duodenalis. These parasitic infections may cause long-term impact in children, including impaired growth and cognitive function. Actual disease burden is not well studied, hence delay in diagnosis and patient management. Current study aimed to estimate prevalence of cryptosporidiosis and giardiasis, to describe their clinical characteristics, and to identify risk factors of disease transmission in pediatric HIV patients. The cross-sectional study involved participants of children aged 6 months through 18 years with confirmed HIV infection in Sardjito General Hospital, Yogyakarta. Diagnosis of cryptosporidiosis and giardiasis was made using PCR after being screened with microscopic and coproantigen examinations. Clinical characteristics and risk factors were obtained from medical records and structured questionnaires. A total of 52 participants were included in the final analysis. The prevalence of cryptosporidiosis was 42.3%, while prevalence of giardiasis was 3.8%. There was no mixed infection observed. Most frequently reported symptoms include weight loss (19/52; 36.5%) and diarrhea (11/52; 21.2%). Multivariate analysis identified the following variables as independent risk factors of cryptosporidiosis: presence of diarrhea (AOR 6.5; 95%CI 1.16–36.67), well water as drinking water source (AOR 6.7; 95%CI 1.83–24.93), drinking untreated water (AOR 5.8; 95%CI 1.04–32.64). Current study showed the prevalent asymptomatic cryptosporidiosis with risk factors including diarrhea, well water for drinking, and drinking untreated water, whereas prevalence of giardiasis was found to be low with nonspecific symptoms."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Putriasih
"Latar belakang. Pemakaian kotrimoksazol sedini mungkin sejak diberikan ARV bermanfaat mencegah infeksi oportunistik terkait HIV (PCP dan toksoplasmosis) dan mengurangi mortalitas terkait pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV perlu dicari sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan tata laksana pada anak terinfeksi HIV di Indonesia.
Tujuan. Evaluasi pemakaian kotrimoksazol dan hubungannya terhadap mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV di RSCM pada tahun 2005-2018.
Metode. Uji deskriptif-analitik menggunakan analisis kesintasan yang dilakukan secara kohort retrospektif di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) menggunakan data rekam medis periode Januari 2005 - Desember 2018. Subyek adalah anak berusia 1 bulan-18 tahun yang mendapat ARV pertama kali di RSCM. Hubungan pemakaian kotrimoksazol dengan mortalitas dianalisis dengan uji log rank. Faktor-faktor risiko selanjutnya dianalisis secara multivariat.
Hasil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 403. Proporsi pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV pada anak terinfeksi HIV adalah 88%. Tidak terdapat hubungan antara pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV dengan mortalitas (HR 1,498; IK 95% 0,620-3,618, p=0,369), namun pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada kondisi imunodefisiensi berat (HR 2,702; IK 95% (1,036-7,049); p=0,042). Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang mendapat terapi ARV adalah stadium HIV (stadium 3-4).
Kesimpulan. Pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada anak terinfeksi HIV dengan imunodefisiensi berat. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV adalah stadium HIV 3-4.

Background. The use of cotrimoxazole as early as possible since being administered antiretroviral drugs is beneficial in preventing HIV-related opportunistic infections (PCP and toxoplasmosis) and reducing mortality associated with HIV patients with low CD4 counts. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received antiretroviral drugs need to be sought so that they can help clinicians in providing HIV-infected children in Indonesia.
Objective. Evaluation of the use of cotrimoxazole and its association with mortality in HIV-infected children who had received ARV at RSCM in 2005-2018.
Methods. Descriptive analytic test using survival analysis were carried out in a retrospective cohort in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital using medical record data for the period January 2005 - December 2018. Subjects were children aged 1 month - 18 years who have received ARV for the first time at RSCM. The association of cotrimoxazole use with mortality was analyzed by log rank test. Risk factors are then analyzed multivariately.
Results. This study involved 403 subjects. The proportion of cotrimoxazole use at ARV initiation in HIV-infected children was 88%. There was no association between the use of cotrimoxazole at ARV initiation and mortality (HR 1.498; 95% CI 0.620-3.618; p=0,369), but the use of cotrimoxazole at ARV initiation reduced mortality in severe immunodeficiency conditions (HR 2.702; 95% CI 1,036-7,049; p=0.042). Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who received ARV therapy are stages of HIV (stage 3-4).
Conclusion. The use of cotrimoxazole at ARV initiation reduces mortality in HIV-infected with severe immunodeficiency. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received ARV are stage 3-4.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armen Muchtar, Author
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0173
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Golang Nuhan
"Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan program residensi Ners Spesialis Keperawatan Anak dalam bentuk kegiatan praktik residensi I dan II. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran aplikasi Model Konservasi Levine pada asuhan keperawatan anak dengan penyakit infeksi dan pencapaian kompetensi baik sebagai pemberi asuhan, pendidik, advokad, konsultan, dan pembaharu selama praktik residensi. Menurut Model Konservasi Levine , tropicognosis risiko kerusakan integritas kulit : luka tekan merupakan gangguan dari konservasi integritas struktur. Lima kasus kelolaan terpilih ditemukan adanya masalah risiko kerusakan integritas kulit. Intervensi yang diberikan berdasarkan empat prinsip konservasi yaitu mengkaji faktor risiko kerusakan integritas kulit menggunakan skala Braden Q, menjaga kebersihan dan perawatan kulit, memberikan perubahan posisi pasien, memberikan nutrisi yang adekuat, edukasi serta kolaborasi pemberian terapi. Hasil evaluasi akhir dari trophicognosis risiko kerusakan integritas kulit pada lima kasus kelolaan terpilih menunjukkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit : luka tekan.

This final assignment provides an overview about the implementation residency practices of the specialist pediatries nurse program in the form practical activities residency I and II. The aim of this final assignment is provide overview application conservation model Levine on nursing care of children with infectiosus diseases and the achicvement of competencies such as a caregiver, educator, advocator, counselor, and change agents during practice residency. According Levine conservation models, trophicognosis risk of damage to integrity of the skin pressure sores is a disorder the conservation of structural integrity. The five selected cases, indicating risk of damage to skin integrity. Intervention given bassed on the four principles of conservation the examined risk of damage to integrity skin using the Braden scale Q, hygiene and skin care, providing patient position changes, adequate nutrition, education and collaboration therapy. The evaluation results of trophicognosis the risk of damage to skin integrity on selected five cases showd no damage to skin integrity pressure sores."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>