Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126304 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Urfianty
"Latar belakang: Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik dan memiliki risiko
tinggi untuk mengalami gangguan kognitif yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Pemeriksaan Intelligence quotient (IQ) memerlukan waktu pemeriksaan yang lama dan
biaya yang mahal, diperlukan alat skrining untuk mendeteksi gangguan kognitif pada
pasien epilepsi anak yaitu School Years Screening Test For Evaluation Of Mental
Status-Revised (SYSTEMS-R)
Tujuan: Mengetahui seberapa besar nilai diagnostik dari School Years Screening Test
For Evaluation Of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R) dalam mendeteksi gangguan
kognitif pada anak epilepsi usia 6-15 tahun.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta terhadap subjek berusia 6-15 tahun dengan epilepsi. Pada sampel dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilanjutkan pemeriksaan fungsi kognitif dengan
School Years Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R)
dan kemudian dilakukan pemeriksaan baku emas IQ oleh psikolog.
Hasil: Prevalensi gangguan kognitif pada pasien epilepsi usia 6-15 tahun sebesar
86,3%. School Years Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised
(SYSTEMS-R) memiliki sensitivitas 84%, spesifisitas 91%, nilai prediksi positif 98%,
nilai prediksi negatif 47%, rasio kemungkinan positif 10,11, rasio kemungkinan negatif
0,17 dan akurasi 85%.
Simpulan: School Years Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised
(SYSTEMS-R) memiliki nilai diagnostik yang baik dan dapat menjadi pilihan dalam
deteksi dini gangguan kognitif pada pasien epilepsi anak.

Background: Epilepsy is a chronic disease and children with epilepsy are at high risk
of cognitive disorders which can affect the quality of life. Intelligence Quotient (IQ)
examination requires a long examination time and expensive costs, a screening tool for
cognitive clearance is needed in pediatric epilepsy patients, which is School Years
Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R)
Objective: To know the diagnostic value of School Years Screening Test For
Evaluation Of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R) detecting cognitive impairment in
children aged 6-15 years with epilepsy.
Methods: This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta
was conducted on subjects aged 6-15 years with epilepsy. We evaluated history of
illness, physical examination, and cognitive function using School Years Screening Test
For Evaluation Of Mental Status-Revised (SYSTEMS-R) and then a standard gold IQ
examination was carried out by a psychologist.
Results: The Prevalence of cognitive impairment in 6-15 years epilepsy patients is
86,3%. School Years Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised
(SYSTEMS-R) has a sensitivity of 84%, specificity 91%, positive predictive value 98%,
negative predictive value 47%, positive likelihood ratio 10,11, negative likelihood 0,17
and accuracy 85%.
Conclusion: School Years Screening Test For Evaluation Of Mental Status-Revised
(SYSTEMS-R) has good diagnostic value and it can be an option in early detection of
cognitive impairment in paediatric epilepsy patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Indah Hapsari
"Latar belakang: Perkembangan kognitif anak berkaitan erat dengan pertambahan usia dan tingkat pendidikan. Anak rentan dalam mengalami gangguan kognitif. Oleh karena itu, diperlukan suatu pemeriksaan fungsi kognitif pada anak yang dapat berfungsi sebagai alat skrining bagi tenaga medis. SYSTEMS-R merupakan salah satu intrumen skrining fungsi kognitif anak berusia 4 hingga 15 tahun di Australia. Sensitifitas dari instrumen ini adalah 83% dan 92% dengan nilai spesitifitas sebesar 76% dan 95%. Tujuan dari penelitian ini guna mendapatkan nilai normal fungsi kognitif anak menggunakan SYSTEMS-R di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan disain potong lintang menggunakan data primer dengan jumlah total 631 subjek penelitian dari 6 sekolah sejak Januari hingga April 2019. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin etik dan diolah menggunakan SPSS 20.
Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 298 anak laki-laki (47,2%) dan 333 anak perempuan (52,8%). Skor terendah ditemukan pada usia 4 (12; 5-22) dan tertinggi adalah usia 15 (35; 28-40). Berdasarkan tingkat pendidikan, skor terendah 14; 5-26 ditemukan di siswa TK dan tertinggi 35; 28-40 ditemukan di kelas 3 SMP. Waktu rata-rata dalam pelaksanaan membutuhkan 06,23 ± 01,32 menit. Skor SYSTEMS-R meningkat berdasarkan pertambahan usia dan tingkat pendidikan (p <0,05). Cut-off score untuk setiap kelompok umur dan tingkat pendidikan meningkat (p <0,05).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna secara klinis dan statistik antara skor SYSTEMS-R dengan pertambahan usia dan tingkat pendidikan (p < 0,05). Cut-off score yang rendah dapat mengindikasikan adanya gangguan kognitif sehingga diperlukan suatu pemeriksaan neurologis lebih lanjut.

Background: Cognitive development of children is closely related to age and education levels. Children has risk of cognitive impairment so that cognitive function screening tool will be needed. SYSTEMS-R is one of the cognitive function screening tools that used in children aged 4 to 15 years old in Australia. It has a sensitivity value of 83% and 92% and specificity of 76% and 95%. The purpose of the study is to get a normal value and cut off score based on age and education levels in Indonesia.
Methods: A cross-sectional design and observational study with primary data from 631 children from 6 schools in Jakarta had been performed from January to April 2019.
This research has been approved by an ethical committee and processed using SPSS 20.
Results: The subjects consisted of 298 boys (47.2%) and 333 girls (52.8%). The lowest score was found in age 4 (12;5-22) and the highest was in age 15 (35;28-40). Based on education levels, the lowest score of 14;5-26 was found in kindergartens and the highest ​​of 35;28-40 was found in 3rd grade of the junior high school. The average time in sampling requires 06.23±01.32 minutes. The SYSTEMS-R scores increase with age and education levels (p<0.05). The cut off score of each age group and education levels increases (p<0.05).
Conclusions: The relationship was statistically and clinically significant between SYSTEMS-R score with age and education levels (p<0.05). A lower score of cut off score can indicate a cognitive impairment that further neurological examination may be needed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Maria Gani
"Tujuan penelitian ini : 1) memeriksa nilai reliabilitas; 2) memeriksa urutan item berdasarkan tingkat kesukaran; 3) membandingkan data tingkat kesukaran pada saat mengadaptasi alat ukur dengan data yang digunakan sekarang; 4) meningkatkan validitas; 5) memeriksa Item Characteristic Curve (ICC) setiap item dan Test lnjbrmation Function (TIF) setiap subtes; 6) membandingkan tlngkat kesukaran (threshold) antara data politomos dan data politomos (Partial Credit Model) yang didikotomoskan; 7)memeriksa item-item yang tidak fit; 8) mcndctcksi DIF pada alat ukur Wecshler Intelligence Scale for Children Revised (WISC-R). Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis tes klasik dan analisis tes modem, serta dilengkapi dengan pengecekan asumsi-asumsi pada tes modem yaitu unidimensional (dengan analisis faktor), invarian pada parameter tingkat kesukatan.
Metodologi yang dlgunakan untuk pendeteksi DIF adalah metode Mantel-Hacnszei. Rasch Model dan Item Response Theory Likelihood Ratio (IRT LR). Hasil yang diperoleh : 1) nilai reliabilitas baik; 2) urutan tingkat kesukaran perlu dipcrbaiki;3) syarat unidimensional dan asumsi invarian terpenuhi; 4) ada beberapa itcm yang tidak lit dengan model; 5) perlu dilakukan perbaikan untuk item-item yang terdeteksi mengandung DIF yaitu berturut-turut 7, 5, 5, 11, dan 6 item dari subtes Information, Similarities, Arithmetic, Vocabuiary dan Comprehension. lmplikasi dan keterbatasan dalam pcnelitian ini dapat digunakan untuk penelititan di masa yang akan datang.

The current study highlights several components on Weschler's Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R), including : 1) its reliability scores; 2) its item-ordering based on diliiculty level; 3) comparing the level of item difficulty before and aner the adaptation; 4) improving its validity; 5) looking at Test Infomation Function (TIF) on each subtest; 6) comparing the threshold between the original polytomous data and the modified polytomous data into dichotomous data (Partial Credit Model); 7) whether each item is fit or not; and 8) detecting its Differential Item Functioning (DIF). The analyses were conducted using the classical and modem test approaches, along with each approach assumptions such as unidimensionality (factor analysis) and invariant on the parameter ofthe difliculty levels.
The methodologies used to detect DIP were Mantel-Haenszel, Rasch Model and ltem Response Theory Likelihood Ratio (IRT LR). The results were: 1) acceptable degree of reliability; 2) the item-ordering based on difficulty levels needs re-ordering; 3) assumptions on unidimcnsional and invariant were lil; 4) several individual items were not fit; 5) serious consideration needed to modify the items containing severe DIF, including 7, 5, 5, 11, 6 number of items on Information, Similarities, Arithmetic, Vocabulary, and Comprehension, respectively. Limitations and implications of the study are discussed along with recommendations for future research.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34084
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Heptayana
"Penderita epilepsi anak memiliki risiko tinggi mengalami gangguan kognitif yang mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada usia 8-11 tahun menggunakan Mini Mental State Examination MMSE modifikasi Ouvrier. Metode penelitian potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM dan Pasar Rebo pada Mei-Juni 2018. Tiga puluh satu pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki dan perempuan adalah 58,1 dan 41,9 . Sebagian besar subyek berasal dari RSCM 87,1 dengan kelompok usia terbanyak 10-11 tahun 48,4 . Prevalensi gangguan kognitif sebesar 74,2 . Sebanyak 87,5 subyek dengan obat anti epilepsi OAE politerapi mengalami gangguan kognitif. Terdapat perbedaan bermakna jumlah bangkitan 11-100 kali selama hidup dengan gangguan kognitif p

Children with epilepsy are at high risk of cognitive disorders. We performed cross sectional study to evaluate clinical characteristics and prevalence of cognitive disorders in children aged 8 ndash 11 years using Ouvrier rsquo s Modified Mini Mental State Examination MMSE . The study was done in Cipto Mangunkusumo RSCM and Pasar Rebo Hospital from May June 2018. Thirty one patients were enrolled. Male and female were 58,1 and 41,9 . The prevalence of cognitive disorder was 74,2 . There was 87,5 patients with AEDs polytherapy had cognitive disorders. It was significantly different between lifetime seizure frequency 11 100 with cognitive disorder p10 times had 59,5 higher risk, and AEDs polytherapy showed tendency of cognitive impairment risk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rita Damayanti
1987
S2090
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghffira Maura R. A. Dunda
"Epilepsi masih menjadi masalah neurologis pada anak, dengan pertambahan kasus sebesar 75%-80% setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Sudah terdapat banyak pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang tersedia. Sayangnya, mencapai 30% pasien anak yang menjalani pengobatan tidak mencapai bebas kejang, dan berkembang menjadi epilepsi dengan kejang tidak terkontrol, atau disebut dengan epilepsi intraktabel. Perjalanan pengobatan sangat penting pada keadaan epilepsi anak usia di bawah tiga tahun, yang masih dalam masa perkembangan otak, namun belum banyak penelitian yang melihat evolusi faktor risiko dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel. Penelitian ini melihat perubahan atau evolusi faktor risiko pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun pada 3 lokasi penelitian di Jakarta, dengan melakukan studi kasus-kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi peran evolusi faktor risiko untuk memprediksi epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun. Penelitian dilakukan secara retrospektif, menggunakan data sekunder, dengan melihat rekam medis pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun yang diperoleh dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, RS Puri Cinere Depok, dan Klinik Anakku Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan. Total subjek sebanyak 102 rekam medis pasien, dengan perbandingan kasus:kontrol yaitu 1:1. Hasil analisis pearson chi-square memperoleh 3 evolusi faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian epilepsi intraktabel, yaitu: evolusi kelumpuhan motorik kasar (p<0,001; OR 7,86; IK95% 3,142-19,659); evolusi status neurologis (p<0,001; OR 9,84; IK95% 3,934-24,614); dan evolusi gelombang epileptiform EEG (p<0,001; OR 23,25; IK95% 7,657-70,599). Evolusi tipe kejang menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil analisis multivariat kemudian menunjukkan bahwa evolusi gelombang epileptiform EEG baik/buruk memiliki peran paling kuat dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel (p<0,001; OR 0,075; IK95% 0,022-0,253). Evolusi gelombang epileptiform EEG buruk merupakan faktor prediktor epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun yang paling berpengaruh.

Epilepsy is still a neurological problem among children, with an increase in cases of 75% -80% annually in developing countries. There are already many choices of Anti-Epileptic Drugs (AED) available. Unfortunately, up to 30% of pediatric patients who undergo treatment do not achieve seizure-free, and develop epilepsy with uncontrolled seizures, also known as intractable epilepsy. The course of treatment is very important in the epilepsy of children under three years of age, who are still in the process of brain development, but not many studies have looked at the evolution of risk factors in predicting the incidence of intractable epilepsy. This study looked at changes or evolution of risk factors for epilepsy patients under three years of age in 3 study locations in Jakarta, by conducting a case-control study. The objective of this research is to Identified the evolution of risk factors role in predicting intractable epilepsy in children under three years of age. The study was conducted retrospectively, using secondary data, by looking at the medical records of epilepsy children under three years of age obtained from RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta, Puri Cinere Hospital Depok, and Klinik Anakku Pondok Pinang Center, South Jakarta. The total subjects were 102 patient medical records, with a case: control ratio of 1: 1. The results of the Pearson chi-square analysis obtained three significant evolution of risk factors for the incidence of intractable epilepsy, namely: the evolution of gross motor paralysis (p<0.001; OR 7.86; 95% CI 3.142-19.659); evolution of neurological status (p<0.001; OR 9.84; CI95% 3,934-24.614); and EEG epileptiform wave evolution (p<0.001; OR 23.25; IK95% 7,657-70,599). The evolution of seizure types showed no significant effect on the incidence of intractable epilepsy in children. The results of multivariate analysis then showed that the evolution of epileptiform EEG waves good/bad had the strongest role in predicting the incidence of intractable epilepsy (p<0.001; OR 0.075; CI95% 0.022-0.253). The bad evolution of EEG epileptiform waves was the most influential predictor of intractable epilepsy among children under three years of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Gambaran Hasil Wechsler Intelligence Scale for Children-
Revised (WISC-R) Anak dengan Keterbelakangan Mental Ringan.
Masa usia sekolah merupakan saat yang penting bagi perkembangan fisik,
kognitif dan psikososial Sebagian besar anak memiliki perkembangan
yang setara dengan rata-rata anak dalam kelompok usianya sehingga dapat memenuhi tuntutan dari tugas perkembangannya. Namun demikian
beberapa anak dapat memiliki perkembangan yang melebihi ataupun
kurang dari rata-rata, baik dalam satu maupun beberapa aspek
perkembangan. Keterbelakangan mental (mental retardation) adalah satu
fenomena yang terjadi pada masa perkembangan di mana perkembangan
aspek intelektual berada jauh di bawah rata-rata anak-anak yang seusia.
Diagnosis dan pengelompokan keterbelakangan mental diawali dengan
pengukuran taraf inteligensi di mana salah satu alat tes yang digunakan
adalah WISC-R. Berdasarkan hasil dari WISC-R dapat dilihat adanya
kekuatan dan kelemahan pada aspek-aspek inteligensi yang ditampakkan
oleh skor setiap subtest.
Tujuan dari penelitan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
gambaran basil WISC-R pada kelompok anak keterbelakangan mental
ringan. Dengan demikian dapat bermanfaat dalam penyusunan program
intervensi bagi anak keterbelakangan mental, baik yang berupa pendidikan, pendampingan, atau pelatihan. Hal ini dapat memaksimalkan potensi anak keterbelakangan mental sehingga diharapkan mereka dapat berfunggsi secara lebih optimal dalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan melakukan analisis hasil tes inteligensi WISC-R dari sembilan anak dengan keterbelakangan mental ringan yang pemah menjadi klien di Klinik
Perkembangan Anak Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian memiliki IQ
Verbal dan IQ Performance yang setara dengan rata-rata skor yang
diperoleh berada dalam rentang 2, 67 (Picture Arrangement) hingga 6, 78 (Mazes). Pada Skala Verbal subtest yang memperoleh skor paling tinggi yang merupakan kekuatan adalah Comprehension dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah
Vocabulary. Pada Skala Perfomance subtest yang memperoleh skor paling
tinggi yang merupakan kekuatan adalah Mazes dan subtest yang
memperoleh skor paling rendah yang merupakan kelemahan adalah Picture
Arrangement, Terdapat beberapa subtest yang saling berbeda secara
signifikan, antara lain pada subtest: Comprehension dan Information,
Similarities dan Vocabulary, Picture Completion dan Picture Arrangement,Comprehension dan Picture Arrangement, Serta Similarities dan Block Design
Dalam melakukan penelitian yang serupa sebaiknya digunakan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat diperoleh gambaran hasil WISC-R dari sampel yang lebih besar serta analisis yang lebih mendalam lagi mengenai kekuatan dan kelemahan anak keterbclakangan mental ringan Selain itu, pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara langsung oleh peneliti (menggunakan data primer) sehingga hasil yang didapatkan menjadi Iebih luas dan lengkap."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Syukriati Asmir
"Latar belakang: Elektroensefalografi EEG adalah suatu prosedur untuk mendukung diagnosis dan evaluasi pengobatan pada penyakit epilepsi. Perekaman EEG ideal dapat dicapai bila anak mengalami tidur alamiah, yang sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Melatonin, merupakan hormon tidur alami yang dihasilkan oleh kelenjar pineal, mulai dikembangkan sebagai premedikasi EEG yang diharapkan memiliki efek samping lebih kecil dibanding prosedur deprivasi tidur parsial DTP dan obat sedasi.
Tujuan: 1 mengetahui perbandingan awitan tidur, makrostruktur tidur, dan lama tidur pada anak epilepsi yang diberikan melatonin oral dengan yang dilakukan prosedur DTP, 2 mengetahui perbedaan efek samping pemberian premedikasi melatonin dibandingkan prosedur DTP pada anak epilepsi yang direncanakan EEG
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar tunggal secara paralel dilakukan pada 76 subyek berusia 1-18 tahun yang melakukan pemeriksaan EEG di Laboratorium Elektrodiagnostik IKA-RSCM selama periode November 2016 ndash; Januari 2017. Seluruh subyek tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, satu kelompok diberikan premedikasi melatonin per oral, sedangkan kelompok lainnya dilakukan prosedur DTP.
Hasil: Rerata awitan tidur kelompok DTP adalah 42,39 menit sedangkan kelompok melatonin 33,97 menit p le;0,01 . Rerata lama tidur kelompok DTP adalah 22,58 menit, sedangkan kelompok melatonin 25,09 menit p=0,144 . Gambaran makrostruktur tidur p>0,05 dan efek samping prosedur p>0,05 pada kedua kelompok subyek tidak berbeda bermakna.
Simpulan: Awitan tidur pada kelompok melatonin lebih cepat dibandingkan kelompok DTP, dengan durasi tidur yang serupa antar 2 kelompok. Makrostruktur tidur kedua kelompok mirip dengan tidur alamiah. Tidak didapatkan perbedaan efek samping antara kelompok DTP dan kelompok melatonin. Melatonin dapat digunakan sebagai premedikasi EEG pada anak untuk praktik sehari-hari.

Background Electroencephalography EEG is a procedure to support and evaluate therapy in children with epilepsy. Ideally, EEG result can be achieved if the child fell on a natural sleep, but this phase was difficult to gain. Melatonin, a natural sleep hormone that is produced by the pineal gland, was started to developed as a premedication following EEG procedure to produce natural sleep with minimal side effects compared to partial sleep deprivation PSD and other sedative agents.
Aim 1 to discover sleep onset, sleep duration, and sleep macrostructure in children with the oral administration of melatonin compared to partial sleep deprivation, 2 to discover side effects of oral melatonin EEG premedication in epilepsy children
Method In a parallel single blinded randomized clinical trial, 76 children who were referred to EEG Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from November 2016 to January 2017 were evaluated. The children were randomly assigned into two groups to receive PSD procedure control group and oral melatonin treatment group.
Results Mean sleep onset in PSD group was 42.39 minutes, while in melatonin group was 33.97 minutes p le 0,01 . Mean sleep duration in PSD group was 22.58 minutes, while in melatonin group was 25.09 minutes p 0,05 . There were no significant differences in both sleep macrostructure p 0,05 and procedure rsquo s side effects p 0,05 in both groups.
Conclusions Sleep onset was more prompt in melatonin group compares to PDS group, while sleep duration was similar between each groups. Both of sleep macrostructures were similar to natural sleep process. There were no significant differences of side effects in both groups. Melatonin can be use as premedication for EEG examination in epilepsy children."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>