Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Selvy Violita
"Tesis ini membahas tentang mengapa back channel negotiation atau negosiasi tertutup berhasil mewujudkan Oslo Agreement antara Israel dan Palestina. Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah teori back channel negotiation. Keberhasilan dari back channel ini tidak terlepas dari empat kategori ketidakpastian yang menjadi alasan para peserta negosiasi untuk menjalankan negosiasi back channel. Empat kategori ketidakpastian tersebut meliputi ketidakpastian terhadap the cost of entry, spoilers, kepentingan dan prioritas, serta hasil. Hasil penelitian pada tesis ini menemukan bahwa kedua belah pihak mengalami kesemua kategori ketidakpastian tersebut. Sehingga dari keputusan untuk menggunakan negosiasi back channel, kesepakatan Oslo dapat dicapai.

This thesis discussed about why the back channel negotiation was successful created Oslo Agreement between Israel and Palestine. The theory that was used to reply this research question was the theory of the back channel negotiation. The success from the back channel was not free from four categories of the uncertainty that became the reason of the participants in negotiations to undertake negotiations in a manner was closed (the back channel). Four categories of this uncertainty covered the uncertainty against the cost of entry, spoilers, the interests and the priorities, and outcome. Results of the research to this thesis found that the two sides experienced all the category of this uncertainty. So as from the decision to use the back negotiations channel, the Oslo agreement could be achieved."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26762
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noorayni Rahmawati
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti mengenai keberhasilan upaya Pemerintah Palestina meraih
status Negara Pengamat non anggota di PBB yang menandakan meningkatnya
dukungan internasional pada kemerdekaan Palestina dan kegagalan diplomasi
Israel dan Amerika. Presiden Palestina telah menyatakan bahwa upaya Palestina
untuk meraih keanggotaan di PBB sangat perlu dilakukan untuk menangani
kebuntuan negosiasi dengan Israel. Dukungan internasional meningkat dengan
adanya perubahan arah politik Negara Barat khususnya Negara Eropa yang mulai
mendukung dan mengakui Negara Palestina. Komunitas Internasional mendukung
terwujudnya Negara Palestina yang hidup berdampingan dalam damai dengan
Israel. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus dengan
pendekatan deskriptif ? analitik dan ditulis dengan data yang diperoleh dari
dokumentasi, arsip (buku, artikel atau jurnal, dan situs ? situs website resmi) dan
hasil wawancara dengan Duta Besar Palestina. Konsep kebijakan luar Negeri dan
diplomasi digunakan untuk menjelaskan langkah Palestina di PBB dan teori
perdamaian Hans Morgenthau digunakan untuk menganalisa dampak serta tujuan
upaya Palestina di PBB. Hasil penelitian adalah Upaya Palestina di PBB
menghasilkan dampak positif bagi status Internasional Palestina, namun juga
menimbulkan dampak negatif pada proses perdamaiannya dengan Israel. Respon
penolakan Israel atas status baru Palestina menyebabkan konflik kembali
meningkat. Akan tetapi penulis berargumen dengan menekankan bahwasannya
upaya Palestina sangatlah penting dilakukan untuk mencapai kesetaraan dengan
Israel.

ABSTRACT
This thesis examines the success of the Palestinian Government's efforts to
achieve non-member observer state status at the United Nations which signifies
the increasing international support to the independence of Palestine and also
signifies the failure of Israeli and American diplomacy. President Mahmoud
Abbas has declared that the Palestinian effort to achieve membership in the
United Nations was needed to deal with deadlocks in negotiations with
Israel. International support increased with the change of political direction of the
West, especially the European countries which began to support and recognize the
State of Palestine. The international community supports the establishment of a
Palestinian State coexisting in peace with Israel. This study uses qualitative case
study with descriptive - analytical approach and written with data obtained from
the documentation, archives (books, articles or journals, and official website) and
the results of interviews with Palestinian Ambassador. The concept of the State's
foreign policy and diplomacy are used to describe the Palestinian gambit in UN
and also peace theory of Hans Morgenthau is used to analyze the impact and
purpose of the Palestinian efforts at the UN. The results showed that the
Palestinian effort in UN resulted in a positive impact for International status of
Palestine, but also have a negative impact on the peace process with
Israel. Israel's refusal on the new status of the Palestinian cause increasing
conflict. The authors argue by emphasizing that Palestinian efforts is essential to
achieve equality with Israel"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Yeanny
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perundingan perdamaian konflik Israel - Suriah pada masa pemerintahan PM. Rabin. Dalam kenyataannya, proses perundingan yang sebelumnya diharapkan menghasilkan perjanjian perdamaian final dalam menyelesaikan konflik Golan temyata hanya menghasilkan dokumen ?Aims and Principles of the Security Arrangement". Dengan menggunakan pertanyaan penelitian ?Apakah dinamika politik domestik Israel mempunyai hubungan dengan proses penyelesaian konflik Golan", maka penulis mencoba mengkaji dinamika politik dalam negeri dan kaitannya dengan penyelesaian konflik Golan. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat politik dalam negeri Israel yang dinamis diasumsikan bersinergi dengan implementasi politik Iuar negeri, khususnya dalam hal penyelesaian konflik dan proses perdamaian antara Israel - Suriah.
Kerangka pemikiran yang digunakan berasal dari pendekatan realis dengan menggunakan pemikiran H. H. Lemtner mengenai salah satu faktor domestik penentu kebijakan Iuar negeri, yaitu unstable determinants berupa persepsi dan perilaku massa. Dalam kaitan ini, kebijakan Israel untuk melakukan negosiasi damai dengan didorong oleh dinamika yang terjadi dalam politik dalam negeri. Kondisi tersebut berkaitan dengan dinamika yang terjadi di dalam tubuh partai yang berkuasa, pemerintahan yang berkuasa, opini publik maupun dinamika yang terjadi dalam proses perundingan itu sendiri.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan data yang digunakan merupakan hasil analisa data sekunder. Data didapatkan dengan mengumpulkan dan mempelajari data data terkait dengan permasalahan dari buku, artikel, terbitan berkala dan website resmi.
Berdasarkan data yang ada maka dapat diketahui bahwa dinamika yang terjadi di Partai Buruh berupa : perbedaan antara visi Rabin dengan anggota partai Iainnya berkenaan dengan pemberian konsesi Dataran Tinggi Golan, reformasi yang dilakukan Rabin di Partai Buruh, opini publik yang kontra terhadap konsesi wilayah dan ketidakpercayaan pihak Israel terhadap Suriah merupakan faktor yang mempengaruhi posisi Israel dalam proses perundingan damai dengan Suriah. Pada akhir penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dinamika politik dalam negeri Israel berpengaruh terhadap kebijakan Israel dalam proses perundingan perdamaian dengan Suriah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Jamilah
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses perdamaian Israel-Palestina dari perspektif feminis multikultural dengan menfokuskan pembahasan pada partisipasi perempuan Israel. Pandangan feminisme secara umum berasumsi bahwa perempuan dinilai lebih damai dibanding dengan laki-laki, serta kesetaraan gender secara alami mendukung kebijakan yang mengarah kepada perdamaian. Meskipun demikian Israel yang memiliki tingkat kesetaraan gender tertinggi di kawasan Timur Tengah dengan level 72 berdasarkan Global gender gap index 2016 masih menghadapi konfrontasi militer dengan Palestina hingga saat ini. Kontradiksi antara asumsi feminis dan fakta-fakta yang terjadi di Israel dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dari Miles dan Huberman dan menggunakan teori perdamaian feminisme Brock Utne. Tesis ini menemukan bahwa terdapat tiga hambatan dalam partisipasi perempuan Israel sebagai peace maker pencipta perdamaian , yang pertama diskriminasi perempuan dalam politik dan dalam gerakan perdamaian yang disebabkan oleh dominasi patriarki dalam masyarakat Israel yang militer sentrik, yang kedua diskriminasi terhadap perempuan Mizrahi yang disebabkan oleh dominasi perempuan Ashkenazi dan yang terakhir hambatan dari nilai tradisional Yahudi yang menghambat aktivitas perempuan dalam ruang publik. Kata kunci: Perempuan Israel, proses perdamaian, Israel-Palestine, feminis multikultural.

ABSTRACT
This thesis is conducted to explore Israel Palestine peace process from multicultural feminism perspective by enlightening Israeli women participation. Feminism generally assumes that women are inherently more peaceful than men and gender equality will naturally support policy that lead to peace. Nevertheless Israel whose highest level of gender equality in Middle East Region with level 72 based on global gender gap index 2016 , still face military confrontation with Palestine until recent day. The contradiction between feminist assumption and facts that occurred in Israel is analyzed by using qualitative method and descriptive analysis approach of Miles and Huberman and using Brock Utne rsquo s feminist peace theory . This thesis finds that there are three obstructions in Israel women participation as peace keeper, first is women discrimination in politic and peace activism caused by domination of patriarchy in military centric society, second is Mizrahi women discrimination caused by Ashkenazi women domination and the last obstruction comes from Jewish traditional value that constrain women activity in public realm.Keywords Israeli women participation, peace process, Israel Palestine, multicultural feminism."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Musthafa Abd. Rahman
Jakarta: Kompas, 2002
956.94 MUS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Avias
"Sejak negara Israel berdiri pada tahun 1948, bangsa Palestina hidup dalam penjajahan dan penindasan. Karena terns mengalami penindasan, maka rakyat Palestina pun bangkit melawan. Mereka kemudian mendirikan organisasi-organisasi perlawanan guna melawan penjajahan yang di lakukan oleh Israel. Perlawanan tersebut pada awalnya dilandasi oleh semangat kebangsaan (Nasionalisme) dan paham-paham seperti sosialis-marxis, yang sekuler. Tahun 1960-an tercatat munculnya organisasi-organisasi seperti Arab Nationalist Movement (ANM) yang di pimpin oleh George Habbash, dan Palestine Liberation Organization (PLO) pads tahun 1964 yang dipimpin oleh Ahmad Syuqairi.
Dengan meredupnya popularitas PLO sebagai sebuah organisasi terbesar di Palestina, muncullah Hamas sebagai rival utama PLO. Hamas kemudian kian popular di mata rakyat Palestina. Masa depan bangsa Palestina yang tidak menentu, pemerintahan PLO yang korup, membuat rakyat palestina kemudian bersimpati dengan apa yang diperjuangkan oleh Mamas. Maka puncak dari itu semua adalah sebuah hal yang tidak di duga-duga khususnya oleh dunia Internasional,-dimana ketika itu Hamas memenangkan secara mutlak pemilu yang diadakan secara demokratis pads tanggal 25 Januari tahun 2006, dimana llamas mengalahkan Fatah secara telak.
Kemenangan Hamas ini kemudian direspon dengan negatif terutama oleh Israel, Amerika Serikat (AS), Inggris dan Uni Eropa (UE). Hal ini disebabkan Hamas selama ini telah di bed citra yang buruk sebagai sebuah organisasi teroris. Ditolakya perjanjian Oslo 1993 (Declaration of Principles) oleh Hamas, dilakukannya berbagai aksi born jihad yang inenewaskan banyak warga Israel oleh Hamas, menyebabkan Israel dengan keras menolak dan menentang kemenangan pemilu llamas walaupun terbukti demokratis. Bagi Israel, Hamas adalah teroris, garis keras, fundamentalis, ekstrim, dan radikal. Karenanya, Hamas hares dihancurkan. Disamping itu Hamas juga mempunyai agenda untuk mernusnahkan Israel. Hamas juga tidak mau mengakui Israel sebagai sebuah negara.
Oleh karena pets konflik yang kian merumit, maka pasca kemenangan gerakan Hamas pada pemilu tahun 2006, perdamaian di Palestina menjadi semakin jauh dad harapan. Bukan di sebabkan oleh Mamas yang keras kepala tidak mau berdarnai, tapi karena Israel juga tidak pemah mau berubah. Seandainya PLO yang memenangkan pemilu pada saat itupun perdamaian hakiki belum tentu akan terwujud. Hamas siap berdamai dan meletakkan senjata, asalkan keadilan ditegakkan. Perdamaian yang halaki adalah apabila penyelesaian atas konflik yang berlarut-larut itu dapat diiakukan secara adil dan komprehensif, sehingga dapat di terima oleh semua pihak. Bukan sebalikaya, hanya menguntungkan satu pihak saja.

Since the state of Israel was created in 1948, the Palestinians have been living under colonization and oppression. This condition makes them rise and fight against the colonizers and oppressors. They, then founded organizations in opposition to the Israel. The opposition was in the beginning based on the spirit of nationalism and other isms like socialism, marxism; the secularism. In 1960s rose the opposing organizations like the Arab Nationalist Movement (ANM) led by George Habbash, and in 1964 the Palestine Liberation Organization (PLO) led by Ahmad Syuqairi.
By the weakening popularity of the PLO as the biggest organization in the Palestine, rose Hamas as the first competitor against the PLO. Hamas gains more and more popularity from the Palestinians. The uncertainty of the Palestinian future, corruption in the government of PLO, turn the Palestinians to the Hamas. As the result of their support for the Hamas was the unpredictable event when llamas became the absolute winner against al-Fatah in the general election held democratically on January 25, 2006. This Hamas big victory was internationally unpredicted.
The Hamas victory, how ever, was responded negatively mostly by the Israel, the U.S.A., the British, and the United Europe (UE). To them the Hamas is no other than a bad organization; as a terrorist organization. The Hanias's rejection upon the Oslo Agreement 1993 (The Declaration Of Principles), the suicide bombings that killed many Israelis, cause the Israel reject strongly the victory of the llamas in the election, though democratically held. For the Israel, the llamas is terrorist, extreme loyalist, fundamentalist, and radicalist Therefore it must be crushed-up. On the other hand the llamas also has the agenda to terminate the Israel. The Hamas, similary never acknowledge the Israel as a state.
In the post general election 2006 in which the llamas got its absolute victory peace will fall short of expectations due to aggravating conflicts. It is not only because of the stubborn llamas who are not willing to negociate but also the Israel who will never change their position. Even if the PLO had won the general election 2006 the real peace might not be achieved. The Hamas are ready to negociate and to cease fire on condition that justice is in store. The real peace will be achieved if the peace making process is held comprehensively and justily and be agreed by all parties.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyrofah
"Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan bagian dari sejarah yang dimiliki Timur Tengah. Di antara konflik-konflik yang terjadi, konflik Israel-Palestina merupakan konflik terlama dan belum sepenuhnya terselesaikan, Terobosan sangat signifikan yang dilakukan Israel dan PLO dalam konteks proses perdamaian di Timur Tengah ketika mereka mengadakan Kesepakatan Oslo I (13 September 1993) dan Kesepakatan Oslo II (28 September 1995). Namun, proses perundingan itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, baik dalam proses awal perjanjian maupun sampai pada tahap implementasi hasil kesepakatan.
Melihat fakta ini, PLO di bawah kepemimpinan Yasser Arafat bersama pejabat-pejabat senior PLO berupaya melakukan proses diplomasi dengan pihak Isarel, yang akhirnya menghasilkan Kesepakatan Oslo I dan II. Peran PLO dalam Kesepakatan tersebut, tidak terlepas dan tujuan PLO yang fungsinya berubah dari pembebasan Palestina menjadi pembangunan sebuah negara yang berdampingan dengan Israel. Alat-alat untuk mencapai tujuan tersebut telah berubah dari perjuangan militer menjadi diplomasi aktif. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengajukan pertanyaan riset yaitu Bagaimana peranan PLO melalui jalur diplomasi aktif dalam Perjanjian Oslo I dan II ?
Untuk menjawab pertanyaan riset di atas, penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif yaitu metode studi kasus untuk memaparkan upaya-upaya PLO dalam proses perundingan tersebut serta faktor-faktor dan kendala-kendala yang mempengaruhi jalannya proses perundingan damai di Oslo. Yaitu dengan menganalisa upaya PLO dalam perundingan damai dengan Israel, serta sikap Israel terhadap proses perundingan tersebut. Kemudian proses awal perundingan hingga tercapainya Kesepakatan Oslo I dan II. Pada penyelesaian konflik Israel-Palestina ini, PLO menggunakan instrumen politik luar negeri berupa diplomasi aktif melalui mekanisme negosiasi. Terakhir, penulis menggambarkan peranan PLO sebagai aktor perunding yang terlibat aktif pada Perjanjian Oslo I dan II.
Berdasarkan sistematika penulisan yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa peran PLO dalam perjanjian Oslo I dan II dilandaskan pada tujuan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui meja perundingan serta mendirikan Negara Palestina Merdeka.

The conflict between Israel and Palestine is part of the history of the Middle East. Among the many conflicts that have occurred in the Middle East, the Israeli-Palestine conflict is the longest conflict, which has not completely been solved. The significant breakthrough in the context of the peace process in the Middle East, however, are made by Israel and PLO in Oslo Agreement I (September 13, 1993) and Oslo Agreement II (September 28, 1995). However, the agreement process did not run smoothly as had been expected, both in the initial process of the agreement and in the stage of its implementation.
From the beginning, PLO under the leadership of Yasser Arafat along with his senior officials had launched diplomatic initiatives with Israel, which led to Oslo Agreement I, and U. The role the PLO played in the Agreement was closely related to the PLO goals whose functions had changed from Palestine liberation to the development of a state in co-existence with Israel. The tools to achieve that goal have been changed from military struggle to active diplomacy. From what has been described above, the writer put forth the research question, i.e. what is the role of PLO through active diplomacy-in Oslo Agreement I and II?
To answer the above research question, the writer has adopted qualitative methodology, i.e. case study method to make clear the efforts of the PLO in the agreement process as well as the factors and constraints which had influences on the peace process in Oslo. This is done by analyzing PLO efforts in the peace process with Israel, the Israeli attitude toward the peace process and then the initial process of the agreement up to the achievement of Oslo Agreement I and IL In the resolution of Israeli-Palestine conflict, the PLO has adopted a foreign policy instrument in the form of active diplomacy through negotiation. In the last part, the writer has described the role of the PLO as an active actor in Oslo Agreement I and II.
Based on the above description, the writer has come to the conclusion that the role of the PLO in Oslo Agreement I and II was based on the goal to end the Israeli- Palestine conflict by means of negotiation and to establish an Independent Palestine State.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zis Muzahid
"Konflik Palestina-Israel, yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, telah menimbulkan pengaruh luas dalam konstelasi politik internasional. Getarannya, tak hanya terasa di kawasan Timur Tengah, tetapi juga di Barat dan seluruh dunia Islam. Dalam sepanjang sejarahnya sejak pecah pada tahun 1948 hingga sekarang, konflik tersebut tampaknya tengah mengarah pada perbenturan kepentingan antara negaranegara Timur Tengah khususnya Palestina versus Israel, dan bahkan membenturkan antara dunia Islam vis a vis dunia Barat.
Pada awalnya, konflik itu disulut oleh perebutan sejengkal tanah di Yerusalem yang menjadi kota penting bagi agama-agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Namun, di balik itu sesungguhnya konflik tersebut menyimpan sebuah agenda besar kaum Yahudi (kaum zionis internasional) untuk mendirikan national home-nya yang disebut dengan negara Israel. Negara idaman tersebut akhirnya dideklarasikan oleh David Ben Gurion, pada 14 Mei 1948.
Negara Israel terbentuk tidak dengan serta merta melainkan dengan perjuangan panjang dan pergumulan Reims selama berpuluh abad, dan tidak jarang disertai dengan langkah-langkah picik. Pengalaman pengembaraan kaum Yahudi ke setiap penjuru dunia secara naluriah telah mematangkan semangat mereka untuk memiliki tempat tinggal permanen. Sedikitnya dalam masa 2.000 tahun kaum Yahudi mengalami diaspora, terbuang dari tanah kelahirannya. Diaspora itu terjadi pertama kali ketika Ibrahim beserta pengikutnya menjadi kafilah pengembara setelah diusir oleh penguasa Babilonia menuju Kanaan yang sekarang disebut Palestina.
Pada generasi Yusuf, kaum Yahudi berpindah dari Kanaan ke Mesir atas undangan Raja Mesir, Ramses I, yang meminta bantuan Yusuf untuk menyelamatkan Mesir dari ancaman kelaparan. Namun, setelah Yusuf berhasil mengatasi bahaya kelaparan, penguasa Mesir tak berterimakasih kepada kaum Yahudi. Sebaliknya, Ramses II - yang meneruskan kekuasaan pendahulunya -- memberikan perlakukan kejam. Kaum Yahudi laki-laki dibantai, sedangkan yang perempuan dan anak-anak dibiarkan hidup dan diperlakukan sebagai budak.
Perbudakan ini berakhir, setelah Musa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga kerajaan memimpin kaum Yahudi melakukan aksi pembangkangan dan perlawanan terhadap Ramses II. Musa meminta Ramses II membebaskan kaum Yahudi dari jerat perbudakan, Selanjutnya, Musa memimpin kaum Yahudi pulang ke Palestina yang ternyata sudah dikuasai kaum Kanaan yang perkasa dan kejam, sehingga kaum Yahudi harus berperang lagi.
Diaspora kaum Yahudi selama berabad-abad terus terjadi secara generasi demi generasi, turun-temurun mulai dari Ibrahim, Yusuf, Musa, Sulaiman hingga keturunan Yahudi membentuk sebuah organisasi yang bergerak untuk mewujudkan cita-cita, memiliki sebuah negara Yahudi di muka bumi. Seiring dentum gerakannya, organisasi yang meliputi berbagai aspek yang menyeluruh, baik ditinjau dari sudut politik, ekonomi dan sosial-budaya, mendapatkan dukungan dan simpati yang semakin luas. Maka, gerakan tersebut berkembang secara terarah sejak tampilnya tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl dan Meyer Amschel Rothschild, masing-masing sebagai penggerak politik dan penopang ekonomi bagi organisasi zionis internasional. Kemudian, gerakan tersebut semakin menemukan momentum sangat berarti dengan terselenggaranya Konperensi Zionis Internasional, di Basle, Swiss.
Momentum tersebut berlanjut dengan tampilnya sejumlah tokoh Yahudi yang menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan negara - khususnya di Eropa - mereka berpijak. Perjuangan pada sektor politik kian menampakkan hasilnya ketika mereka secara nyata mendapatkan jaminan dukungan politik dari Inggris dan Prancis sebagaimana kedua negara tersebut mengikat perjanjian Sykes-Picot yang menyepakati rencana pendirian sebuah negara Yahudi di tanah yang dijanjikan (promised land) di atas wilayah mandat, Palestina.
Konsep negara Yahudi seperti dirumuskan Herzl diperkenalkan melalui jalur diplomasi ke berbagai pihak untuk meyakinkan "niat baik" itu. Pihak yang menyambut secara positif gagasan negara Yahudi itu adalah Inggris dan Prancis yang pada waktu menjadi Ujung tombak era kolonisasi dan imperialisme Barat. Kedua negara tersebut memang menjadi target kaum Yahudi karena melalui keduanya mereka bisa mendomplengkan langkah-langkah perjuangannya dengan menggunakan sarana sentimen Kristen yang anti-Islam. Pada pasca-Perang Dunia II, kaum Yahudi mendapatkan dukungan penuh dari negara adi daya, Amerika Serikat.
Faktor dukungan Inggris, Prancis dan Amerika Serikat itulah yang memungkinkan terbukanya jalan bagi kemerdekaan Israel. Dengan berdirinya negara Israel, kaum Yahudi yang terdiaspora di negeri asing dapat kembali ke Palestina. Dalam pandangan Prancis, dengan mendukung pendirian negara Israel di Palestina, hal itu bisa membantu melanggengkan agenda imperialismenya di Timur Tengah. Demikian juga Inggris, yang malah memfasilitasi semua keperluan untuk eksodus kaum Yahudi ke Palestina dan bahkan ikut mendesak warga Arab Palestina agar menerima imigrasi kaum Yahudi. Keberpihakan Amerika Serikat tercermin dalam kebijakan politik luar negerinya yang secara gamblang mendukung pendirian negara Israel.
Meski pada awalnya bangsa Arab terpaksa harus menerima eksodus kaum Yahudi, namun membengkaknya para emigran Yahudi di Palestina ternyata telah mendorong timbulnya berbagai masalah baru yang kian menyakitkan bagi warga Arab. Apalagi setelah kemerdekaan Israel, kekuatan negara dengan milisi sipil dan kelompok gangster Yahudi gencar melakukan aksi teror dan pengusiran terhadap warga Arab, yang pada gilirannya tak dapat mengelakkan pecahnya konflik terbuka antara Arab dan Yahudi, bukan hanya pada tingkat warga melainkan bahkan sampai ke tingkat negara.
Konflik itu kemudian melahirkan pecahnya enam kali perang besar antara Israel dan negara-negara Arab, sejak 1948 hingga 1982, yang menelan ribuan korban jiwa dan harta benda. Dukungan luas dan penuh yang diberikan negara-negara tersebut tidak terbatas pada bantuan ekonomi dan politik saja, melainkan juga pada bantuan militer. Bahkan di medang perang sekalipun, negara-negara Barat itu - khususnya Amerika Serikat - pun menerjunkan bala pasukannya. Hal ini terjadi misalnya pada perang Mesir - Israel pada tahun 1967, sehingga Arab selalu mengalami kekalahan.
Nafsu mengenyahkan bangsa Arab dari Palestina dipenuhi Israel bukan hanya di medan perang melainkan pada suasana damai pun Israel terus melakukan praktik ethnic cleansing terhadap warga Arab Palestina seperti tragedi Shabra dan Shatila. Proses perdamaian pun ditempuh, mulai dari Camp David I tahun I979, kemudian Ice Oslo tahun 1993 dan 1995, dan Wye River 1997, terakhir Camp David II tahun 2000. Kendati demikian, proses perdamaian tersebut tidak menelorkan hasil yang signifikan bagi terwujudnya perdamaian yang langgeng hingga kini.
Melihat latar belakang masalah tersebut, penelitian ini dimulai dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut; (1) apa saja varian konflik Palestina-Israel, (2) apa setiap varian konflik terdapat aktor dan kepentingannya, (3) mengapa Israel begitu kuat ingin menaklukkan Palestina, dan (4) apakah terdapat konspirasi antara Israel dengan AS, (5) proses damai apa saja yang sudah ditempuh untuk meredakan konflik. Kemudian, disusun tujuan penelitian yaitu, bahwa penelitian ini bertujuan; pertama, mengurai akar-akar konflik Palestina-Israel dan menyingkap para aktor di balik konflik serta apa kepentingannya. Kedua, menjelaskan dugaan konspirasi antara Israel dengan Amerika dan antara Amerika Serikat dengan anasir Arab, yang dirancang untuk melumpuhkan kekuatan Arab Palestina. Ketiga, mengurai proses damai yang dirintis sejak Camp David I hingga Camp David II, yang semua berakhir dengan kegagalan. Keempat, memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu terutama dalam disiplin hubungan internasional, khususnya menyangkut masalah Timur Tengah.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan paling tidak bisa menjadi pelengkap alternatif untuk memahami masalah Timur Tengah, terutama konflik Palestina-Israel. Memang, telah cukup banyak buku mengulas konflik Palestina-Israel, tetapi kerap uraiannya terjebak ke arena emosi antara pemihakan dan pengutukan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menempatkan perhatian pada realitas obyektif berdasarkan prosedur ilmiah dan fakta-fakta empiris untuk memahami konflik Palestina-Israel secara proporsional. Pada akhirnya, penelitian ini pun diharapkan dapat menambah khazanah rumusan teoretik tentang konflik Palestina-Israel dan perkelindanan dalam proses perdamaiannya yang perlu diketahui khalayak, terutama kalangan akademisi dan praktisi hubungan internasional Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh tentang konflik Palestina-Israel, kajian ini dimulai dengan suatu rumusan asumsi dan kerangka teori untuk menjawab bangunan asumsi tentang konflik yang paling lama dalam kancah konflik global ini. Diasumsikan bahwa (1) konflik Palestina-Israel tidak bersifat by accident, melainkan disengaja dan direncanakan secara sistematis sebagai suatu paket strategis, (2) untuk mencapai tujuan kepentingan nasional Israel, (3) proses damai tidak dijadikan tujuan penyelesaian konflik melainkan untuk mengukuhkan dan mengabsahkan capaiancapaian kepentingan Israel maupun kepentingan Barat yang didominasi Amerika Serikat, (4) Israel berkonspirasi dengan Barat (Kristen) untuk melakukan pengusiran warga Arab (Islam) Palestina.
Atas dasar asumsi tersebut, permasalahan kemudian diklarifikasi dengan teori-teori yang dalam hal ini lebih banyak memanfaatkan disiplin sosiologi dengan teori konfliknya. John H Davis (1968:1-3) menengarai bahwa konflik Palestina-Israel ini berawal dan gerakan Zionisme Internasional. Gerakan ini mengusung inisiatif untuk mewujudkan tempat kembali kaum Yahudi yang terdiaspora, yang pada gilirannya mengarah pada gerakan politik bersenjata dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Dari sudut pandang teoretis ini, kalangan akademisi memetakan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; (I) pergolakan perebutan sejengkal tanah, yaitu Yerusalem, (2) terkait dengan masalah agama, yaitu status kota suci Yerusalem yang diperebutkan tiga agama besar - Islam, Kristen dan Yahudi, (3) terkait dengan perbenturan kepentingan strategis yang lebih banyak didominasi Barat yang kerap dipresentasikan oleh Amerika Serikat.
Joseph S Nye (1993:147-148) menyimpulkan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; masalah agama, nasionalisme dan politik keseimbangan global. Sedangkan James Turner Johnson (2002:9-41) menyorot keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah yang tidak hanya sekadar untuk tujuan mempertahankan hegemoni imperialismenya, melainkan lebih jauh lagi untuk mengalahkan gerakan Jihad, karena Jihad menyimpan konflik peradaban yaitu pertentangan nilai-nilai Jihad dengan peradaban Barat. Dalam konteks kekinian, Jihad lebih diidentikkan oleh Barat sebagai gerakan terorisme yang menyerang Barat.
Persoalannya, ternyata konflik Palestina-lsrael cenderung berlama-lama atau seperti `dilestarikan'. Dari sudut teoretis, ternyata konflik bisa juga digunakan sebagai instrumen perjuangan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, konflik memang dirancang sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan. Setidaknya hal itu diakui oleh Morris Janowitz (1970:vii) yang menganggap konflik timbal akibat benturan kepentingan baik yang bersifat personal maupun sosial, bahkan konflik merupakan sebuah bentuk perjuangan.
Pendapat senada juga diungkapkan Lewis A. Coser (1956:8) yang melihat konflik sebagai sarana perjuangan atas nilai dan tuntutan untuk mencapai status, kekuasaan dan sumber daya. Dalam perspektif itu, konflik tidak selalu diartikan sebagai malapetaka, alih-alih malah dianggap sebagai hikmah. Setidaknya dari segi teoretis, konflik dalam makna ini pun diakui oleh Alfred Whitehead sebagai bukan musibah melainkan peluang untuk mencapai tujuan akhir. Dalam eskalasinya, konflik juga mengarah kepada pola kerusuhan, dalam konteks ini pun kerusuhan bisa dianggap sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan perjuangan atau tujuan luhur dari pihak yang berkonflik (Lewis A Coser, I956:10). Karena alasan itu, Ralf Dahrendorf (1959:212) pun berpendapat bahwa kerusuhan hanya merupakan instrumen yang dipilih oleh kelompok yang bertikai untuk mengekspresikan permusuhannya.
Dalam berkonflik, untuk memenangkan pertarungan kerap ditempuh dengan jalan konspirasi. Konspirasi adalah upaya satu pihak dengan pihak lain yang bersepakat tanpa diketahui pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan tertentu, hal ini sangat wajar dilakukan dalam berbagai medan sosial terutama dalam berkonflik (baca Mathias Brockers, 2002:75). Dengan demikian konflik dapat dikatakan bisa menjadi instrumen strategi untuk pencapaian tujuan perjuangan seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestine. Kerap kali upaya pencanaian tujuan tersebut ditempuh melalui konspirasi. Itulah sebabnya, bisa jadi konflik kedua bangsa ini memang sengaja `dilestarikan' agar tujuan-tujuan atau kepentingan nasional strategis jangka panjang pihak yang bertikai dan berkepentingan bisa terwujud secara sistematis. Fenomena ini dapat dilihat secara jelas antara lain dari upaya-upaya perdamaian yang selalu gagal atau mengahadapi jalan buntu.
Karena penelitian ini hendak menyingkap masalah yang rumit, maka harus dipilih metodologi penelitian yang memadai. Penelitian konflik Palestina-Israel ini memakai format studi kasus (case study), dengan memakai metode ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengkaji subject matter (materi) penelitian secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif Fokus studi ini adalah menelaah secara mendalam materi penelitian dari sudut teoretik yang diklarifikasi dengan data-data dam temuan-temuan dari sumber sekunder. Studi terutama menyorot konflik terbuka yang dimulai sejak tahun 1948, ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Jalinan peristiwa demi peristiwa, momen demi momen, disorot secara ketat. Dalam berbagai peristiwa dan momen itulah peneliti melihat berbagai varian dan memprediksi para aktor dan kepentingannya serta motif yang ingin dicapai sebagaimana layaknya fenomena dalam sebuah permainan. Untuk memahami momen yang akan disorot, sebelumnya peneliti memahami secara mendalam berbagai teori konflik dalam disiplin sosiologi.
Penelitian ini banyak mengandalkan data sekunder, karena keterbatasan untuk menjangkau lokasi penelitian. Kendati demikian, diharapkan tak mengurangi makna komprehensif dan keluasan penelaahan studi. Selain faktor ketakterjangkauan lokasi penelitian, sebab lainnya adalah sumber sekunder tentang Palestina-Israel dan Timur Tengah sudah banyak dipublikasikan dan dapat diperoleh dengan mudah. Sumber-sumber ini, misalnya didapatkan dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, dan sejumlah publikasi lainnya. Karena sumber sekunder merupakan hasil pikiran orang lain yang tidak jarang disertai maksud tertentu, maka peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang sesuai dengan materi penelitian. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pemerhati dan penghimpunan dokumen. Untuk menguji validitas data, dilakukan beberapa cara, yaitu dengan melakukan diskusi dengan peneliti lain yang menaruh minat pada bidang perhatian yang sama, dan melakukan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran informasi dengan sejumlah pakar dan pemerhati. Proses selanjutnya adalah merekonstruksi data mentah, dari bentuk awalnya menjadi bentuk yang dapat memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena yang diamati. Fase ini meliputi pemeriksaan data mentah, membuat tabel, baik secara manual maupun dalam komputer. Setelah data disusun dalam kelompokkelompok serta hubungan-hubungan yang dapat diurai, maka dilakukan pengolahan data dengan analisis dan interpretasi serta komparasi antara hubungan-hubungan dengan fenomena lain yang terkait untuk menjawab masalah-masalah yang diteliti.
Dalam pembahasan masalah, berbagai gambaran mengenai diaspora bangsa Yahudi diuraikan. Begitu juga, dinamika konflik dalam hubungannya dengan konspirasi AS-Israel serta proses perdamaian dalam konflik Palestina-Israel, Jika dilihat dari sekian banyak faktor yang menyebabkan konflik Timur Tengah yang berkepanjangan ini, setidaknya ada tiga faktor dominan: masalah agama, politik dan .peradaban. Dalam faktanya, ketiga faktor itu tidak selalu berdiri sendiri, melainkan terkait erat satu sama lain, meski juga di antara ketiganya ada yang paling dominan.
Konflik di Timur Tengah, kalau dirunut dari akar historisnya berawal dari kisah pengembaraan Ibrahim yang melahirkan Ismail (Bapak Bangsa Arab) dan Ishak (Bapak Bangsa Israel). Lamanya masa diaspora kaum Yahudi seolah telah meninggalkan kesan historis hilangnya klaim sejarah Yahudi atas tanah Kanaan (Palestina) yang telah ditinggalkan selama berpuluh-puluh abad. Sejak kejayaan kekhilafahan Islam, Palestina menjadi bagian dari wilayah integral dalam kekuasaan Islam. Penderitaan kaum Yahudi selama diaspora yang lebih banyak ditimbulkan oleh perilaku penguasa yang mendzalimi mereka sehingga mereka terbuang dan mengembara di negeri-negeri asing. Pengalaman pahit ini telah mendorong mereka untuk mewujudkan kembali negara Israel.
Pengembaraan yang dimulai dari Babilonia ke Palestina, dan kemudian berlanjut ke Semenanjung Arab, Afrika Utara, Eropa dan seluruh belahan dunia telah mengilhami kaum Yahudi untuk menggunakan segala cars termasuk merangkul penguasa negara mereka berpijak untuk memberikan dukungan terhadap cita-citanya Babakan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dapat dibagi dalam tiga babakan, yaitu (I) babakan Pra-Perang Dunia I sampai Perang Dunia I dengan memberikan dedikasi kepada penguasa negara kolonialis-imperialis; (2) babakan Pasca-Perang Dunia I sampai Perang Dunia II dengan mendompleng pada misi kolonialisme-imperialisme; (3) babakan pasca-Perang Dunia II dengan menempuh langkah-langkah konspiratif dan memanfaatkan keadidayaan Amerika Serikat. Semua langkah perjuangan ini dilaksanakan di bawah payung dan koordinasi organisasi zionisme internasional.
Berdirinya negara Israel merupakan hasil perjuangan mereka. Namun, sejak masa emigrasi ke Palestina hingga proklamasi kemerdekaan Israel, negara Yahudi ini terlibat dalam gejolak konflik berkepanjangan sebagai akibat penolakan Arab terhadap pencaplokan negara Israel di atas tanah sah Arab. Titik pergolakan konflik ini bertolak dari kepentingan sejarah masa lalu, klaim agama dan kepentingan politik yang lebih luas. Pencaplokan negara Israel yang difasilitasi Inggris ini kemudian menjadi titik api yang meletuskan konflik berskala regional dan menarik peran internasional. PBB yang merupakan lembaga penegak perdamaian dunia telah menangai konflik ini dengan mengeluarkan Resolusi No 181 yang membagi wilayah Palestina sebagian untuk Israel dan sebagian besar untuk Palestina.
Ketakrelaan Arab menerima konflik tersebut telah membuatnya lengah dan terlambat memproklamasikan negara Palestina, dan malah menghabiskan tenaga dan biaya untuk melancarkan peperangan melawan Israel. Negara-negara Arab belum pernah memperoleh kemenangan dalam enam kali peperangan karena Israel didukung habis-habisan oleh negara sekutunya, khususnya Amerika Serikat. Sejak itu, PBB berkali-kali mengeluarkan resolusi tentang konflik Israel-Palestina, tetapi semua itu hingga kini belum mampu mewujudkan perdamaian sebagaimana mestinya. Seiring dengan berlanjutnya emigrasi Yahudi ke Israel, Israel pun semakin giat memenuhi nafsu ekspansionistisnya dengan mencaplok tanah Palestina melebihi tapal batas yang ditentukan Resolusi 181.
Selama bertahun-tahun, proses perdamaian telah ditempuh sejak Camp David I hingga Camp David II, temyata hanya menghasilkan kerugian relatif belaka bagi Arab. Hal ini disebabkan semakin lemahnya posisi Arab yang ditandai dengan pudarnya persatuan Arab dan semakin kuatnya lobi Yahudi di Amerika Serikat yang kerap merancang berbagai upaya konspirasi untuk membela kepentingan nasional Israel. Yang lebih mengenaskan, bukan saja Palestina terancam oleh berkurangnya wilayah sahnya melainkan juga terusirnya warga Palestina yang mengungsi ke sejumlah negara tetangga.
Dalam konstelasi konflik ini, salah satu faktor politik yang membuat Israel berada di atas angin adalah adanya dugaan konspirasi antara Israel dan Amerika Serikat untuk melestarikan konflik ini bagi kepentingan strategis kedua negara tersebut. Bukti-bukti empiris tentang hal ini dapat ditemukan dari kukuhnya Israel untuk mempertahankan wilayah pendudukan dan sejumlah klaim koersif Israel terhadap penguasaan secara permanen wilayah yang lebih luas, serta sulitnya lembaga-lembaga dunia termasuk PBB sendiri untuk memaksa Israel kembali ke posisi wilayah kedaulatan semula dan lambannya proses-proses perdamaian yang telah berlangsung selama ini.
Pengamatan dan penelitian secara seksama terhadap perkembangan konflik Timur Tengah dengan mengarahkan perhatian pada perilaku politik Israel baik yang didemonstrasikan di dalam negeri Israel oleh para petinggi Israel dan di luar negeri oleh para pelobi Israel di Washington secara eksplisit menegaskan adanya konspirasi jangka panjang. Inilah yang menjadi faktor penghambat bagi terwujudnya perdamaian abadi di Timur Tengah dan sekaligus faktor pelancar bagi tercapainya kepentingan regional dan global Israel plus Amerika Serikat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demi mengukuhkan eksistensi negara Israel dan memantapkan agenda-agenda konspiratifnya bersama Amerika Serikat untuk kepentingan strategis sepihak, konflik ini digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Implikasinya, konflik ini sulit diselesaikan kecuali jika terbangun kembali semangat persatuan Arab atau timbulnya kesadaran Israel dan Amerika Serikat untuk menghentikan langkah-langkah konspirasinya demi kehidupan yang damai dan sejahtera di Timur Tengah.

Middle East Conflict As a Strategy to Enforce the Existence of Israel State (A Case Study on the Conflict and Peace Process in The Palestine-Israel Conflict)This thesis discusses the Jewish diaspora which has in such an extent inspired the Jews to settle a national home (Jewish state) in Palestine. This phenomenon has one at a time prompted them to make a long conflict with the Arab in the Middle East region. The dynamics of the conflict and its relation with the Israel - US conspiracy and the Middle East peace process are seriously elaborated, as well.
Judged from umpteen factors, the conflict that has flashed six wars are broken out by three dominant factors namely religion, politics and power. Based on this research, the objective facts proved that the three factors do not stand separately but overlap one another, though among the three factors there is a most dominant one.
Traced from its history, the Middle East conflict is broken out by the descendants of Abraham who produced offspring of Ismael (offspring of the Arab nation) and Isaac (offspring of the Israeli nation) who lived in Kanaan (currently called Palestine). The Jewish diaspora which began from Babylonia to Palestine, then proceeded to the Arab gulf areas, North Africa, Europe and the other parts of the earth for thousand years left a historical claim on Palestine where the Jews occupy. Since the glory of Islamic caliphates till the fall of Ottoman empire, Palestine was an integral part of the caliphates, and defended by Arab till nowadays. As long as the diaspora, the Jews experienced such cruel treatments by the emperors of the countries where they stay. This experienced pushed them to go back to Palestine by fighting the Arab. In fighting the Arab, the Jews have used all means including raid and conspiracy supported by Western countries to achieve the ends.
The struggle of the Jews to set up a Jewish state can be divided in three phases: (1) the Pre-World War I till World War I Phase, by demonstrating dedication to the colonial-imperial powers, (2) the Post-World War 1 till World War II, by hitchhiking on the colonial-imperial missions, (3) the Post World War II, by taking conspiracy steps and making use of the US power. All these struggling exertions were taken under the umbrella and coordination of international Zionist organization. The set-up of the state of Israel constitutes the end result of their struggle.
However, since the Jewish emigration to Palestine till the proclamation of the Israel, the Jewish state deeply involved in a troubled conflict with the Arab countries as a consequence of their rejection against the existence. The sparkling point of this conflict was drawn from the historical interest and further political interests. The inclusion of the state of Israel in Palestine was at that period forced by the British government that controlled the mandate of Palestine. Alternately, this pulled the international role of the United Nations as the world peace settler to mediate the conflict. The United Nations then issued a resolution number 181 that divides the territory partly for Israel and most part for Palestine. Corresponding to the resolution, the Israel government enhanced the emigration of the Jews to Israel progressively and intensified its expansionistic program by seizing the Palestinian territory far beyond the boundary defined by the United Nations under resolution number 181.
Unfortunately, the issuance of the resolution has made the Arab countries ignorant and inertial in responding the opportunity to proclaim a Palestine country like that executed by Israel. Instead of proclaiming a state of Palestine, the Arab countries were occupied by a strong desire to crush Israel, using huge energies and uncountable costs to launch wars against Israel.
Within the six wars ever fired, the Arab countries never gained any victory now that Israel was extremely backed by its alliances, especially the US. Since then, the United Nations issued several resolutions on the Israel - Palestine conflict, but implementation of all the resolutions was blocked by the US.
For years, the two countries have come to the table to seek peace mediated by the US, starting from Camp David I in 1979 to Camp David II in 2000, but these peace processes resulted nothing but relative losses for the Arab countries. This was made happen due to ever weakening position of Arab in facing Israel backed by the Jewish lobbyists in the US Congress. Here they persistently make a conspiracy plan to defeat Arab through the conflict and strengthen the existence of Israel. In the meantime, it's very fearing that the Palestinian territory is further grabbed hold of by Israel and its people driven away from there to flew to the surrounding neighbor countries.
In the conflict constellation, a political factor that makes Israel in a far better position is the progressively advanced conspiracy between the Jewish state and the United States in order to achieve a strategic national interest of both countries. The empirical evidences obviously show the truth of this case, as it can be judged from the stronger will of Israel to defend and expand the occupied territory and to control and possess the territory permanently. In meantime, the United Nations is factually not so powerful to compel Israel to get away from there and return to the former position as defined by the UN resolution, whilst at the same time the peace processes have been running so leisurely so far.
Through meticulous research and close observation over the Middle East conflict, we finally could find a judgment on the Israel's political behavior both demonstrated domestically by the Israel's authorities at home and externally by the Israel's lobbyists in Washington, that the conspiracy between the two countries explicitly asserts the hidden agenda of strategic national interests of theirs. It is this that remains a blocking factor for the achievement of an eternal peace in the Middle East, and a smoothening factor for the attainment of both regional and global interests of Israel and the US.
Hence, it is obvious that both Israel and the US are keen on maintaining this conflict in order to strengthen the existence of the state of Israel, in addition to attain their broader strategic interests. This problem brings about an implication that the conflict is rather difficult to solve but if the Arab countries revive their unitary spirit and the US and Israel halt their conspiracy.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>