Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106465 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendy Kurniawan
"Latar belakang: Migren vestibular (MV) merupakan salah satu penyebab tersering vertigo berulang. Beberapa penelitian telah melaporkan karakteristik klinis dan hasil abnormal pemeriksaan cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) pada pasien MV. Indonesia belum memiliki penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan pemahaman MV dan pemeriksaan cVEMP di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang melibatkan 18 subyek MV dan 25 subyek normal. Fungsi vestibular dinilai secara klinis dan menggunakan cVEMP. Seluruh subyek dengan MV menjalani pemeriksaan selama periode bebas serangan/interiktal.
Hasil: Keluhan utama migren atau gejala vestibular terbagi merata (50%). Karakteristik sakit kepala lebih banyak dengan intensitas berat (66,7%), berdenyut (100%), unilateral (61,1%), fotofobia (83%), fonofobia (94,4%), mual dan/atau muntah (88,9%), dan diperberat aktivitas (100%). Karakteristik gejala vestibular lebih banyak non-spinning vertigo (50%). Hasil pemeriksaan cVEMP didapatkan amplitudo yang lebih rendah pada MV (128,84µV [55,01-623,52]). Proporsi absennya gelombang cVEMP lebih tinggi pada MV (55,6%). Terdapat korelasi positif kuat antara frekuensi serangan MV dengan latensi n1 cVEMP.
Kesimpulan: Abnormalitas pemeriksaan cVEMP didapatkan pada pasien MV. Absennya gelombang cVEMP dan penurunan amplitudo merupakan hal yang dapat ditemukan pada pasien MV.

Background: Vestibular migraine (MV) is one of the most common cause of recurrent vertigo. Several studies have reported clinical characteristics and abnormal results of cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) in VM. Indonesia does not have research on this matter. Therefore this research is expected to be a reference for developing VM understanding and cVEMP examination in Indonesia.
Methods: This research is a cross-sectional study involving 18 VM subjects and 25 healthy subjects. Vestibular function is assessed clinically and by using cVEMP. All VM subjects underwent examination during the interictal period.
Results: The chief complaint either migraine nor vestibular symptoms were evenly distributed (50%). More headache with severe intensity (66,7%), throbbing (100%), unilateral (61,1%), photophobia (83%), phonophobia (94,4%), nausea and/or vomiting (88,9%), and aggravation by routine physical activity (100%). Characteristics of vestibular symptoms are more non-spinning vertigo (50%). cVEMP revealed lower amplitudes in VM (128,84µV [55,01-623,52]). The proportion of absence of cVEMP waves is higher in VM (55,6%). There is a strong positive correlation between the frequency of VM attacks with cVEMP n1 latency.
Conclusions: Abnormality of cVEMP are found in VM patients. The absence of cVEMP waves and decreases in amplitude can be found in VM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendy Kurniawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Migren vestibular (MV) merupakan salah satu penyebab tersering vertigo berulang. Beberapa penelitian telah melaporkan karakteristik klinis dan hasil abnormal pemeriksaan cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) pada pasien MV. Indonesia belum memiliki penelitian mengenai hal tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk pengembangan pemahaman MV dan pemeriksaan cVEMP di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang melibatkan 18 subyek MV dan 25 subyek normal. Fungsi vestibular dinilai secara klinis dan menggunakan cVEMP. Seluruh subyek dengan MV menjalani pemeriksaan selama periode bebas serangan/interiktal.
Hasil: Keluhan utama migren atau gejala vestibular terbagi merata (50%). Karakteristik sakit kepala lebih banyak dengan intensitas berat (66,7%), berdenyut (100%), unilateral (61,1%), fotofobia (83%), fonofobia (94,4%), mual dan/atau muntah (88,9%), dan diperberat aktivitas (100%). Karakteristik gejala vestibular lebih banyak non-spinning vertigo (50%). Hasil pemeriksaan cVEMP didapatkan amplitudo yang lebih rendah pada MV (128,84µV [55,01-623,52]). Proporsi absennya gelombang cVEMP lebih tinggi pada MV (55,6%). Terdapat korelasi positif kuat antara frekuensi serangan MV dengan latensi n1 cVEMP.
Kesimpulan: Abnormalitas pemeriksaan cVEMP didapatkan pada pasien MV. Absennya gelombang cVEMP dan penurunan amplitudo merupakan hal yang dapat ditemukan pada pasien MV.

ABSTRACT
Background: Vestibular migraine (MV) is one of the most common cause of recurrent vertigo. Several studies have reported clinical characteristics and abnormal results of cervical Vestibular Evoked Myogenic Potential (cVEMP) in VM. Indonesia does not have research on this matter. Therefore this research is expected to be a reference for
developing VM understanding and cVEMP examination in Indonesia.
Methods: This research is a cross-sectional study involving 18 VM subjects and 25 healthy subjects. Vestibular function is assessed clinically and by using cVEMP. All VM subjects underwent examination during the interictal period.
Results: The chief complaint either migraine nor vestibular symptoms were evenly distributed (50%). More headache with severe intensity (66,7%), throbbing (100%), unilateral (61,1%), photophobia (83%), phonophobia (94,4%), nausea and/or vomiting (88,9%), and aggravation by routine physical activity (100%). Characteristics of vestibular symptoms are more non-spinning vertigo (50%). cVEMP revealed lower
amplitudes in VM (128,84µV [55,01-623,52]). The proportion of absence of cVEMP waves is higher in VM (55,6%). There is a strong positive correlation between the frequency of VM attacks with cVEMP n1 latency.
Conclusions: Abnormality of cVEMP are found in VM patients. The absence of cVEMP waves and decreases in amplitude can be found in VM patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggri Murtia
"Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) merupakan pemeriksaan keseimbangan yang dapat dilakukan dalan keadaan duduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesesuaian antara nilai SVV dengan cVEMP.
Metode penelitian: Penelitian ini pada bulan September-November 2020, menggunakan disain potong lintang dilakukan pada 37 orang orang dewasa, orang perempuan dan 13 laki-laki dan 24 perempuan tanpa gangguan keseimbangan yang diperiksa dengan alat SVV dan VEMP di Poliklinik THT Neurotologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo untuk menilai kesesuaian hasil pemeriksaan SVV dan VEMP menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil penelitian: Pada orang tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata SVV ≤2,5ᵒ. Hasil pemeriksaan cVEMP pada orang dewasa tanpa gangguan keseimbangan nilai rata-rata p13 terkecil dan terbesar yaitu 16,58±0,95 dan 18,69±2,54 dan untuk nilai rata-rata n23 terkecil dan terbesar yaitu 25,50±1,50 dan 27,69±2,75. Nilai rata-rata amplitudo cVEMP terkecil dan terbesar yaitu 46,96±25,20 dan 69,76±34,2 mV serta didapatkan nilai rata-rata rasio asimetri untuk terkecil dan terbesar perempuan yaitu 0,09±0,11dan 0,18±0,14. Pada uji korelasi Spearman didapatkan r < 0,2 sehingga penilaian SVV dengan nilai asimetri cVEMP tidak memiliki kesesuaian.
Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian nilai pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dengan cervical Vestibuler Evoked Myogenic Potential (VEMP) pada orang tanpa gangguan keseimbangan

Background: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations are balance examination that can be performed while sitting. This study aims to describe the comformity between SVV with cVEMP.
Methods: This study was conducted in September-November 2020, using a cross-sectional design carried out on 37 adults, 13 men and 24 women without balance disorders who were examined with the SVV and VEMP tools at the ENT Neurotology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital for assess the conformity of the SVV and VEMP results using the Spearman correlation test.
Results: People without balance disorders the average value of SVV ≤2.5. The results of cVEMP examination in adults without balance disorders, the smallest and largest average p13 values are 16.58±0.95 and 18.69±2.54 and for the smallest and largest average values of n23 are 25.50± 1.50 and 27.69±2.75. The average values of the smallest and largest cVEMP amplitudes are 46.96±25.20 and 69.76±34.2 mV and the average asymmetry ratio values for the smallest and largest women are 0.09±0.11 and 0.18 ±0.14 In the Spearman correlation test, it was found that r <0.2, so that the SVV assessment with the asymmetry cVEMP was not corralated.
Conclusion: There is no comformity between the Subjective Visual Vertical (SVV) examination scores with Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) in people without balance disorders
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Kartika Nursyahbani
"Latar belakang: Pemeriksaan Subjective Visual Vertical (SVV) dan Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) adalah pemeriksaan fungsi organ otolith yang dinilai cukup nyaman bagi usia lanjut karena dilakukan dalam posisi duduk. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara nilai rerata SVV metode bucket dengan oVEMP dan cVEMP. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 41 subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan di poliklinik geriatri dan neurotologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek menjalani pemeriksaan SVV metode bucket dan VEMP dengan stimulus tone burst pada intensitas 95 dB dan 100 dB. Hasil penelitian: Nilai median SVV adalah 1,8° (0,8°–3,8°). Rerata masa laten awal dan akhir oVEMP adalah 11,7±2,6 ms dan 16,5±3,8 ms. Rerata masa laten awal dan akhir cVEMP adalah 16,4±3,9 ms dan 25,0±4,2 ms. Terdapat korelasi antara pemeriksaan SVV dengan asimetri cVEMP pada intensitas 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) dan 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). Tidak ditemukan korelasi SVV dengan pemeriksaan oVEMP. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara rerata SVV dengan cVEMP pada subyek geriatri tanpa keluhan gangguan keseimbangan.

Introduction: Subjective Visual Vertical (SVV) and Vestibular Evoked Myogenic Potential (VEMP) examinations evaluated otolith organ function which were considered comfortable for the elderly because they were carried out in a sitting position. This research aims to determine the correlation between the SVV value of the bucket method with oVEMP and cVEMP. Methods: A cross-sectional study on 41 geriatric subjects without complaints of balance disorders at the geriatrics and neurotology clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects underwent bucket method SVV and VEMP examinations with tone burst stimuli at 95 dB and 100 dB intensity. Results: The median SVV value was 1,8° (0,8°–3,8°). The mean n1 and p1 of oVEMP were 11,7 ± 2,6 ms and 16,5 ± 3,8 ms. The mean p1 and n1 of cVEMP were 16,4 ± 3,9 ms and 25,0 ± 4,2 ms. There was a correlation between SVV and cVEMP asymmetry at intensities of 95 dB (r = 0,310; p = 0,049) and 100 dB (r = 0,586; p = 0,001). No correlation was found between SVV and oVEMP examination. Conclusion: There was a correlation between the mean SVV value and cVEMP in geriatric subjects without complaints of balance disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
"ABSTRAK
Latar Belakang. Visual Evoked Potentials VEP digunakan untuk menilai jaras visual dari nervus optikus hingga korteks visual. Respon VEP normal terhadap stimulus adalah munculnya gelombang defleksi positif pada latensi sekitar 100 milidetik. Gelombang VEP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis dan non-fisiologis yang sebagian dapat dikontrol sebagian lagi tidak, sehingga diperlukan referensi nilai normal latensi dan amplitudo gelombang VEP untuk di setiap laboratorium.Metode. Studi ini dilakukan secara potong lintang pada 110 subyek sehat yang terdiri dari 55 subyek laki-laki dan 55 subyek perempuan berusia antara 18 hingga 55 tahun.Hasil. Pada perekaman dengan ukuran kotak 32 rsquo;, nilai batas atas latensi gelombang P100 pada adalah 117 milidetik pada laki-laki dan 119 milidetik pada perempuan. Nilai batas atas perbedaan latensi interokular pada perekaman dengan ukuran kotak yang sama adalah 10,96 milidetik untuk laki-laki dan 10,2 milidetik untuk perempuan. Tidak ada perbedaan bermakna antara latensi gelombang P100 pada kelompok laki-laki dan perempuan, tetapi terdapat perbedaan amplitudo P100 yang bermakna antara kelompok laki-laki dan perempuan.Kesimpulan. Pada penelitian ini, jenis kelamin mempengaruhi amplitudo gelombang P100 tetapi tidak mempengaruhi latensi. Kata kunci: Visual Evoked Potentials, P100, latensi, amplitudo

ABSTRACT
Background. Visual Evoked Potentials VEP are used to assess the visual pathways through the optic nerves and brain. A normal VEP response to a stimulus is a positive occipital peak that occurs at a mean latency of 100 ms. The value of VEP parameters can be affected by physiological and non physiological factors that some can be controlled, some others not. Thus, every laboratory need its own normative values.Methods. The study was a cross sectional study involving 110 normal healthy subjects consist of 55 males and 55 females which age ranging from 18 to 55.Results. Upper normal limit of P100 latencies values in recording at checker size of 32 rsquo are 117 ms in male and 119 ms in female. Upper normal limit of interocular latencies difference values in recording at checker size of 32 rsquo are 10,96 ms in male and 10,2 ms in female. No significant differences of P100 latencies between male and female but there is significant differences in amplitudes.Conclusions. In our population, gender is an important factor affecting P100 amplitudes but not P100 latencies. Keywords Visual Evoked Potensials, P100, latency, amplitude "
2016
T55591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin
"Karakteristik dari berkas proton secara teori lebih menguntungkan untuk jaringan normal dibanding dengan berkas foton. Karakteristik bragg peak dari berkas proton memungkinkan untuk mereduksi distribusi dosis pada jaringan normal. Oleh karena itu, penggunaan berkas proton mampu mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping pada jaringan normal. Penggunaan Intensity Modulated Proton Therapy (IMPT) memungkinkan untuk memberikan dosis optimal pada PTV dengan tetap memberikan distribusi dosis yang baik, sehingga tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemungkinan penggunaan IMPT untuk kasus vestibular schwannoma serta membandingkan kualitas pencitraan IMPT dengan IMRT, VMAT, dan TOMO. Setiap perencanaan dilakukan dengan menggunakan teknik stereotactic radiosurgery (SRS), perencanaan IMPT dilakukan dengan multifield optimizatin (MFO) dan single field optimization (SFO). Hasil perencanaan didapat nilai conformity indeks (CI) dari tertinggi ke terendah adalah 3MFO-NC, 5MFO-NC, 3MFO, 5MFO, IMRT, 3SFO-NC, VMAT, 3SFO, dan TOMO. Perencanaan proton memiliki gradient indeks lebih baik dari foton. Equivalent Unoform Dose (EUD) berkas proton lebih rendah dibandingkan dengan foton. Nilai Normal Tissue Complication Probability perencaan proton lebih rendah dari foton. Selain itu, perencanaan proton memiliki dosis pada OAR yang lebih rendah dibanding foton.

The characteristics of the proton beam are theoretically more favorable for normal tissues than the photon beam. The characteristic of the proton beam Bragg Peak can provide minimum dose distribution in normal tissues. Therefore, the use of proton beams can reduce the possibility of side effects in normal tissues. In addition, Intensity Modulated Proton Therapy (IMPT) produces an optimal dose for PTV while still providing a good dose distribution. In this study, the purpose was to determine the quality of planning IMPT for cases of Vestibular Schwannoma and compare with planning with IMRT, VMAT, and TOMO. The stereotactic Radiosurgery (SRS) technique was employed for all treatment planning. Furthermore, IMPT planning was performed using Multifield Optimization (MFO) and Single Field Optimization (SFO). The study described Conformity Index (CI) values from the highest to the lowest are 3MFO-NC, 5MFO-NC, 3MFO, 5MFO, IMRT, 3SFO-NC, VMAT, 3SFO, and TOMO. Additionally, the Gradient Index (GI) of the proton beam is better than photons planning. However, the Equivalent Uniform Dose (EUD) and Normal Tissue Complication Probability (NTCP) of the proton beam are lower than that of the photon. In addition, proton plans have a lower OAR dose than photons."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulika Harniza
"Tujuan: Menilai perubahan latensi dan amplitudo P100 PRVEP pada kelompok yang
diberikan suplementasi sitikolin oral dibandingkan dengan terapi oklusi saja.
Metode: Penelitian ini merupakan studi double masked randomized clinical trial
Proses randomisasi membagi pasien menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan
pemberian sirup sitikolin 500 mg (n: 15 S-ambliopia) dan sirup placebo (n: 15 Pambliopia).
Jumlah subjek pada akhir follow-up bulan ke-3 sebanyak 12 subjek
kelompok sitikolin dan 11 subjek kelompok plasebo. Pemeriksaan oftalmologi
lengkap dan PRVEP (checkerboard 15 min arc dan 60 min arc) dilakukan sebelum
intervensi, follow up bulan ke-1 dan follow up bulan ke-3.
Hasil: 23 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Dari seluruh subjek, 65,2% adalah
perempuan dan 34,8% adalah laki-laki dengan usia rata-rata 9,1 ± 2,11 tahun. Tidak
terdapat perbedaan bermakna secara statistik perubahan nilai amplitudo (15 min arc
p=0,806; 60 min arc p=0,975) dan latensi (15 min arc p=0,218; 60 min arc p=0,734)
P100 PRVEP pada follow up ke-3 pada kelompok sitikolin dibandingkan dengan
kelompok plasebo.
Kesimpulan: Perubahan nilai amplitudo dan latensi P100 PRVEP serta proposional
kenaikan tajam penglihatan pada kelompok sitikolin tidak berbeda dibandingkan
dengan kelompok plasebo. Tidak adanya korelasi antara perubahan amplitudo dan
latensi terhadap proporsional kenaikan tajam penglihatan pada pasien ambliopia.

Objectives: To assess the changes in amplitude and latency P100 PRVEP in the group
given oral citicoline supplementation compared to occlusion therapy alone.
Methods: This study was a double-masked, randomized clinical trial. The
randomization process divided patients into two groups, namely the group with 500
mg of citicoline syrup (n: 15 C-amblyopia) and placebo syrup (n: 15 P-amblyopia).
The number of subjects at the end of the 3rd-month follow-up was 12 subjects in the
citicoline group and 11 subjects in the placebo group. Complete ophthalmological
examination and PRVEP (checkerboard 15 min arc and 60 min arc) were performed
before the intervention, a month follow-up, and a three-month follow-up.
Results: 23 subjects were included in this study. Of all the subjects, 65.2% were
female, and 34.8% were male with a mean age of 9.1 ± 2.11 years. There was no
statistically significant difference in changes in the amplitude (15 min arc p=0,806;
60 min arc p=0,975) and latency (15 min arc p=0,218; 60 min arc p=0,734) values of
the P100 PRVEP 3rd-month follow-up in the citicoline group compared to the placebo
group.
Conclusion: Changes in the amplitude and latency values of the PRVEP P100 and
the mean proportional improvement in visual acuity in the citicoline group were not
different compared to the placebo group. There was no correlation between changes
in amplitude and latency with a mean proportional improvement in visual acuity in
amblyopia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rommel Aleddin
"ABSTRAK
Tujuan: Mengetahui perubahan nilai latensi dan amplitudo VEP pada berbagai tingkat tajam penglihatan subjektif. Metode: Dilakukan pengukuran nilai latensi dan amplitudo menggunaan pattern reversal visual evoked potential berdasarkan tajam penglihatan normal dan tajam penglihatan yang dilakukan induksi defocus sehingga menghasilkan visus 6/18, 6/30, dan 6/60 menggunakan checkerboard berukuran kecil dan besar. Hasil Terdapat pemanjangan nilai latensi dan penurunan nilai amplitudo pada kelompok pria dan wanita seiring dengan perburukan visus. Penggunaan checkerboard 18 min arc dan 48 min arc memberikan hasil yang paling mendekati nilai rujukan. Simpulan: Perbedaan nilai VEP berdasarkan jenis kelamin didapatkan pada nilai amplitudo, namun tidak pada nilai latensi.

ABSTRACT
Purpose To study changes in VEP latency and amplitude value according to various subjective visual acuity levels. Methods Latency and amplitude values were measured with pattern reversal visual evoked potential. Measurement was performed on normal visual acuity and defocus induced visual acuity to the value of 6 18, 6 30, and 6 60, using small and large sized checkerboard stimuli. Results Prolonged latency and decreased amplitude were found on both male and female subject groups, which corresponded with decreasing visual acuity levels. Usage of 18 min arc and 48 min arc sized checkerboards gave results approximating to reference value. Conclusions Difference in VEP value according to subjects 39 gender was found in amplitude, but not on latency."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Aurika
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stereotactic Radiosurgery (SRS) merupakan salah satu modalitas non invasif dalam tatalaksana kasus schwannoma vestibular. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membandingkan parameter dosimetri antara tiga teknik SRS yaitu Intensity-Modulated Radiotherapy Step and Shoot IMRT-SS , Volumetric-Modulated Arc Therapy VMAT , dan Helical Tomotherapy HT pada kasus schwannoma vestibular. Metode: Dilakukan planning IMRT-SS, VMAT, dan HT pada sebelas data CT plan kasus schwannoma vestibular. Dosis tepi yang diberikan adalah 12 Gy dengan fraksi tunggal. Hasil: Rerata ukuran tumor 8,23 cm 5,08 cm3. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata CI, GI, V100 , dan V50 antara ketiga teknik. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata dosis maksimal pada batang otak, cochlea ipsilateral, chiasma opticum, nervus opticus ipsilateral dan kontralateral antara ketiga teknik. Terdapat perbedaan bermakna rerata dosis maksimal pada cochlea kontralateral antara teknik IMRT-SS dan VMAT. Rerata durasi penyinaran terpanjang didapatkan dengan teknik HT yaitu 1209,18 390,20 detik, diikuti teknik IMRT-SS yaitu 665,05 73,40 detik, dan yang terpendek dengan teknik VMAT yaitu 362,87 24,55 detikTerdapat perbedaan bermakna rerata MU dan durasi penyinaran antara teknik IMRT-SS vs VMAT, VMAT vs HT, serta IMRT-SS vs HT. Kesimpulan: Teknik VMAT dapat dijadikan pilihan untuk tatalaksana SRS kasus schwannoma vestibular mengingat dapat memberikan konformitas dan gradient index sama baik dengan teknik IMRT-SS dan HT, dengan menyelamatkan cochlea kontralateral lebih baik dibandingkan dengan teknik IMRT-SS, dan terutama karena memberikan durasi penyinaran yang jauh lebih singkat dibandingkan IMRT-SS dan HT. ABSTRACT
Background: Stereotactic Radiosurgery SRS is non-invasif modality in management of vestibular schwannoma. There is limited study comparing dosimetric parameters between three techniques SRS in vestibular schwannoma cases, thus Intensity-Modulated Radiotherapy Step and Shoot IMRT-SS , Volumetric-Modulated Arc Therapy VMAT , and Helical Tomotherapy HT . Method: Treatment planning with IMRT-SS, VMAT, and HT on eleven CT plan data for schwannoma vestibular cases. The marginal dose is 12 Gy with single fraction. Results: Mean tumor size was 8.23 ?? ??cm 5.08 cm3. No significant difference were found in the mean CI, GI, V100 , and V50 among the three techniques. There were no significant difference in maximal dose to brainstem, ipsilateral cochlea, optic chiasm, ipsilateral and contralateral optic nerve between the three techniques. There was significant difference of maximum dose on contralateral cochlea between IMRT-SS and VMAT techniques. The longest beam-on time was done with HT technique 1209,18 390,20 second , followed by IMRT-SS technique 665,05 73,40 second , and the shortest was with VMAT technique 362,87 24,55 second . There was significant difference in mean MU and beam on time between IMRT-SS vs. VMAT, VMAT vs HT, and IMRT-SS vs HT. Conclusion: VMAT technique could be an option for SRS of vestibular schwannoma cases to provide conformity and gradient index as well as IMRT-SS and HT techniques, with better rescue to contralateral cochlea compared with IMRT-SS techniques, and provides much shorter beam-on time rather than IMRT-SS and HT."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sigiro, Vindina Rettha Arianingrum
"ABSTRAK
Latar belakang. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) kongenital merupakan faktor non genetik yang paling sering menjadi penyebab terjadinya ketulian sensorineural pada bayi dan anak. Infeksi CMV dapat memberikan tanda dan gejala namun dapat juga tidak memberikan gejala pada yang terinfeksi. Ketulian akibat infeksi CMV kongenital tidak memiliki konfigurasi patognomik sehingga penelitian terhadap infeksi CMV kongenital pada pendengaran masih sangat diperlukan. Pengetahuan tentang ketulian akibat infeksi CMV kongenital di negara-negara luar yang semakin berkembang membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran gangguan pendengaran anak dengan infeksi CMV kongenital di Indonesia, khususnya RS Cipto Mangunkusumo. Tujuan. Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada anak usia 0-5 tahun yang mengalami infeksi CMV kongenital berdasarkan pemeriksaan DPOAE dan BERA click. Metode. Penelitian cross sectional ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2015-Mei 2016 pada 27 subjek anak usia 0-5 tahun yang telah didiagnosa terinfeksi CMV kongenital. Hasil. Gambaran gangguan fungsi pendengaran pada subjek anak usia 0-5 tahun dengan infeksi CMV kongenital berdasarkan pemeriksaan DPOAE dan BERA click pada unit telinga adalah tuli sensorineural sebanyak 58,0%. Didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik (p = 0,002) antara keterlambatan tumbuh kembang dengan terjadinya tuli sensorineural. Keterlambatan tumbuh kembang memiliki risiko 6,57 (CI 95%; 1,88 – 22,87) kali lebih besar dibandingkan pasien dengan tumbuh kembang normal untuk mengalami gangguan pendengaran sensorineural.

ABSTRACT
Background. Congenital cytomegalovirus (CMV) infection is a non genetical factor that is most commonly found asthe etiology of sensorineural hearing loss in infants and children. CMV does not always cause signs and symptoms.Hearing loss caused by CMV infection does not have a patognomonic configuration hence further research is needed. The development on the knowledge on hearing loss caused by congenital CMV infection in foreign countriesis the reason the author decide to investigate on the profile of hearing impairment in children with congenital CMV infection in Indonesia, especially in Cipto Mangunkusumo Hospital. Purpose. To know the profile of hearing impairment in children age 0-5 years old with congenital CMV infection based on DPOAE and BERA click. Methods.This cross-sectional study was conducted in Cipto Mangunkusum Hospital since November 2015-May 2016 in 27 subjects, children age 0-5 years old with congenital CMV infection. Results.Hearing impairment in subjects children age 0-5 years old with congenital CMV inefection, based on DPOAE and BERA click on ear unitsis 58,0% with sensorineural hearing loss. There is a significant relationship (p=0,002) between developmental delay and the incidence of sensorineural hearing loss. Developmental delay has a 6,57 times (CI 95%; 1,88 – 22,87) higher the risk for subjects to experience sensorineural hearing loss compared to normal development.;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>