Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Guspita Arfina
"Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi.

The process of filling the position of constitutional court justices is one of the fundamental issues in judicial system, especially the Constitutional Court. Under the provisions of Article 24C Paragraph 3 of 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian Constitutional Court has nine justices, nominated by Supreme Court, People 39 s Legislative Assembly, and President. The three state institutions have differences in selecting justices because of lack of clear regulation as standard for the selection. Therefore, research is conducted to find out current regulations and mechanisms of selecting justices so that later the ideal concept can be formulated, particularly for the President. The research method is juridical normative method that refers to legal norms in legislation. Analysis is conducted by discussing the conformity between the implementation of transparency, participation, objectivity and accountability principles that have been regulated in the Constitutional Court Law with practices conducted by President. The lack of clear regulation encourages the formulation of regulation that clearly regulates standard selecting justices through applicable laws for three state institutions or presidential decree specifically for President. Furthermore, the research will try to advise the implementation of open selection through selection committee to fulfill the implementation of principles in selecting the justices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harga Adi Prabawa
"Sebagaimana diatur dalam Pasal 24(C) ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa hakim konstitusi dalam proses pengisian jabatan dipilih oleh lembaga negara yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi dengan independensi hakim konstitusi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 24 tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2011 telah mengatur bahwa pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi harus memperhatikan asas tranparansi dan partisipatif dengan diatur oleh masing-masing lembaga yang mengisi jabatan hakim konstitusi, namun saat ini aturan tersebut belum dibuat,sehingga diperlukan sebuah aturan yang memastikan asas-asas itu dilaksanakan dalam rangka menjamin independensi hakim konstitusi.

As regulated in Article 24 (C) of paragraph (3) of the Constitution of 1945, that Constitutional judges in the process of filling the positions chosen by state institutions, namely the Supreme Court (Mahkamah Agung), House of Representatives and President. This thesis aims to determine how the relationship between the filling position with the independence of the constitutional judges. The method used is a normative juridical that refers to the legal norms contained in legislation. Law No. 24 2003 jo Law No. 48 of 2011 has mandated that the implementation of filling the post of constitutional judges should observe the principle of transparency and participatory regulated by each institution to fill the post of constitutional judge, but this time the regulation has not been made , so we need a rule that ensure the principles are carried out in order to guarantee the independence of the constitutional judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Suradijaja Natasondjaja
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S25248
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchyar Yara
"Election and occupation fulfillment system of president and vice president in Indonesia."
Jakarta: Nadhilah Ceria Indonesia, 1995
321.804 2 MUC p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yustina Sari
"Penelitian ini didasarkan pada pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstiusi yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder. Penelitian ini membahas tiga permasalahan utama. Pertama, konsep pengawasan internal yang dilaksanakan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini terkait dengan pengisian jabatan dan pengawasan hakim di Mahkamah Konstitusi. Kedua, perubahan susunan, kedudukan, dan peran Majelis Kehormatan dalam menjalankan fungsi pengawasan atas hakim konstitusi. Ketiga, menganalisis perubahan susunan, kedudukan, dan peran Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan relasinya dengan pengisian jabatan hakim konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan yang bersifat internal di lingkungan hakim di masa lalu dianggap tidak berjalan dengan efektif sehingga memunculkan gagasan perlunya pengawasan yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus. Adanya peran pihak eksekutif dan legislatif maupun lembaga non-yudisial dalam proses perekrutan hakim, tidaklah dianggap sebagai hal yang dapat mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Adanya keinginan untuk mengaktifkan kembali pengawasan eksternal memberikan pengaruh yang cukup besar pada susunan, kedudukan dan peran Majelis Kehormatan termasuk di dalamnya keterlibatan 3 (tiga) lembaga negara yang berperan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi di dalam susunan Majelis Kehormatan di Indonesia secara langsung.

This research is based on the establishment of Constitutional Court of honor assembly which is regulated in Act No.24/2003 regarding Constitutional court and its amendments, Act No. 8/2011. The method used in this study is a yuridis normatif by using the secondary data. First, the concept of internal control which is implemented in the judial power, in this case related to recruitment system and surveillance mechanism in the constitutional court. Second, the amendment in the composition, position and role of the Constitutional Court of Honor Assemblies in performing supervisory functions. And the third is to analyze the changes in the composition, position and role of the Constitutional Court of honor assemblies in performing supervisory functions and ts relation to recruitment system of Constitutional Judges. There results showed that the internal surveillance in the past is considered ineffective, and this leads to the idea of the need for supervision by the special agency. On the other hand, the participation of the executive, legislatif and/or non-judicial body in recruitment system of Constitutional Court Judges should not be considered as a threat to judicial independency. There is an inclination to re-enable the external supervision to constitutional judges which leads to a significant change of the composition, position, and role of the Constitutional Court of Honor Assemblies, including the involvement of the executive, legislative and judiciary in its honor assemblies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Aries Mujiburohman
"Pasca pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Indonesia yang diakibatkan krisis multidimensi, jatuhnya Presiden Soeharto membuka kesempatan bagi berlangsungnya reformasi demokratis di Indonesia. Untuk memenuhi aspirasi rakyat dan tuntutan yang di suarakan masyarakat untuk memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan Pasca Orde bare, tuntutan tersebut antara lain sebagai berikut: Pertama, Amandemen DUD 1945. Kedua, Penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Ketiga Penegakan Supremasi Hukum, Penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Keempat, Desentralisasi dan Hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah (otonomi daerah). Kelima, Mewujudkan kebebasan pers. Keenam, Mewujudkan Kehidupan Demokrasi. Maka Sebagai salah satu tuntutan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia, pada akhirnya, UUD 1945 telah diamandemen MPR sebanyak empat kali menuju kepada Konstitusi yang demokratis, amendemen pertama DUD 1945 pada tanggal 19 oktober 1999, amandemen kedua UUD 1945, pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000, amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001, amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus Tahun 2002.
Terdapat lima alasan yang melatarbelakangi pemikiran mengapa MPR melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, adapun lima alasan tersebut adalah; Pertama, Kekuasaan tertinggi di MPR, Kedua, Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden. Ketiga, Pasal-pasal yang terlalu "luwes" sehingga dapat menimbulkan multi tafsir. Keempat Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelengara Negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Termasuk juga amandemen terhadap pengisian jabatan Presiden sebagai penguatan kedaulatan rakyat dan reformasi konstitusi tentang pengisian jabatan presiden pasca amandemen, maka pasal 6 ayat (2) undang-undang dasar 1945 diamandemen dengan pasal 6A DUD 1945. Ketentuan pasal ini merupakan langkah maju konstitusi, sebagai penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi, karena; Pertama, amandemen pasal 6A DUD 1945 oleh MPR merupakan mencabut sendiri kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden dan mengantinya pemilihan presiden langsung oleh rakyat.Kedua, keterlibatan rakyat dan penguatan kedaulatan rakyat, karena proses pemilihan presidern tidak lagi diserahkan kepada Majelis Permuswaratan Rakyat, Ketiga, Keterlibatan Partai-partai politik peserta pemilu untuk mengajukan Calon preseiden dan wakilnya, sehingga dapat juga disebut kedaulatan partai.
Amandemen UUD 1945 berimplikasi terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia meliputi sistem pelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan Negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk amandemen terhadap pengisian jabatan presiden yang berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia dan pada intinya amandemen terhadap UUD 1945 sebagai penguatan tentang kedaulatan rakyat, rakyat diberikan peran yang besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional. Pemilihan presiden langsung berdasarkan berimplikasi bahwa lembaga presiden menjadi lebih kuat ketimbang lembaga legislatif, pemilihan presiden langsung adalah satu cara menciptakan keseimbangan yang baik antara lembaga DPR/MPR dan lembaga presiden, yang sekaligus mewakili kepentingan seluruh masyarakat dan menjamin kehadiran pusat pengambilan keputusan yang efektif. Jenis penelitian adalah Penelitian Hukum Normatif yakni penelitian hukum yang di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau data skunder atau Library Research."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T17328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herti Septhiany
"Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi sebagai penegak konstitusi yang putusannya bersifat final dan sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kewenangan pengisian jabatan hakim konstitusi didelegasikan kepada tiga lembaga berwenang, yaitu Mahkamah Agung. DPR dan Presiden. Pengisian jabatan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga berwenang tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi, obyektif dan akuntabel. Transparansi diartikan sebagai keterbukaan. Artinya dalam setiap proses pengisian jabatan hakim konstitusi baik MA, DPR dan Presiden harus melaksanakan publikasi dan memberikan segala informasi terkait dengan proses yang dilaksanakan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Namun, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara spesifik dan tidak adanya standarisasi aturan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi dan indikator pelaksanaan prinsip transparansi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi yang transparan mempengaruhi pembentukan independensi personal hakim. Semakin baik pelaksanaan prinsip transparansi dalam pengisian jabatan hakim konstitusi, semakin baik pula terwujudnya independensi hakim. Untuk mewujudkan independensi hakim, tentunya harus diterapkan pula mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi. Perbandingan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi di negara lainnya dapat menjadi sebuah inspirasi untuk membentuk mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi untuk memperkuat independensi hakim konstitusi.

Constitutional Court is a judicial institution that has function as constitutional enforcer which have final decisions and as first and final level judiciary. According to the Law of Constitutional Court, the authority to fill the positions of constitutional judges is delegated to three institutions, those are MA, DPR and President. The filling the positions of constitutional judges by those institutions must be implemented based on the principles of transparency, participation, objectivity and accountability. Transparency is defined as openness. This means in every process of filling positions of constitutional judges, both of MA, DPR and President, must carry out publications and provide all information related to process in filling positions of constitutional judges. However, the Law on the Constitutional Court does not specifically regulated and there is no standardization of rules in filling positions of constitutional judges and indicators of implementation principle of transparency. The transparent process of filling position of constitutional judge affects personal independence of judges. Implementation the principle of transparency in filling the positions of constitutional judges makes higher independence of judges will be. To realize the independence of judges, of course, the mechanism for filling the position of an ideal constitutional judge based on the principle of transparency must also be applied. Comparison of mechanisms for filling the positions of constitutional justices in other countries can be an inspiration to form an ideal mechanism for filling the positions of constitutional judges based on the principle of transparency to strengthen the independence of constitutional judges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Maulana
"Tesis ini mengkaji tentang perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan konstitusionalitas pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini. Masalah konstitusional kedudukan wakil kepala daerah dan persoalan pemaknaan pemilihan kepala daerah secara demokratis haruskah untuk seluruh daerah, termasuk daerah istimewa menjadi bagian dari kajian. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konsep juga pendekatan sejarah digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Bahan hukum yang ada dianalisis dengan menggunakan silogisme dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya pernah diberlakukan pengaturan pengisian jabatan kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah tersebut dipengaruhi dan ditentukan oleh corak peraturan perundang-undangan otonomi daerah yang ditetapkan oleh rezim pemerintahan yang berlaku. Pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini tidak memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dasar hukum pelaksanaannya cenderung merujuk pada politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menafsirkan makna pemilihan demokratis sebagai pemilihan umum. Kedudukan Wakil Kepala Daerah dan pemilihan umum untuk memilih wakil kepala daerah yang dilaksanakan satu paket dengan kepala daerah meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam konstitusi adalah konstitusional. Pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan demokratis tidak harus dimaknai dengan pemilihan langsung untuk seluruh daerah. Menurut konstitusi pengaturan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berbedabeda untuk setiap daerah termasuk untuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa.

This thesis examines the development of position filling mechanism of regional and vice regional head in the constitution that has been issued by Indonesian Government before and the constitutionality of position filling problem through the current elections of regional and vice regional head. The constitutional position problem of the Vice Regional Head and meaning issue in democratic local elections, whether or not it should be for the entire region including a special area, becomes part of the study. This study examines the use of normative legal research methods. Law approach, case and concept approach, and historical approach are used to assess research problems. Legal materials are analyzed by using syllogisms and interpretation.
The results show that the development of position filling mechanism of the regional and vice regional head amended from time to time. In its development, direct and indirect position filling regulations have ever been imposed. Changes in the mechanism of position filling of the regional head is affected and determined by the mode of legislation of regional autonomy regime stipulated by government regulations. The position filling through the current elections of regional and vice regional head does not have a strong constitutional basis.
The legal basis for its implementation tends to refer to the legal politics of the legislators who interpret the meaning of democratic elections as elections.Position of Regional Head and general elections to elect representatives of regional heads that was conducted together with the head region election is constitutional, although not set explicitly in the Constitution. Filling the position of the regional head through democratic elections should not be interpreted as direct elections for the entire region. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of government, including special regions. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of local government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30110
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>