Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Tri Prasetyo
"ABSTRACT
Background: Tadalafil is a PDE5I which has been licensed for the treatment of erectile dysfunction (ED) since 2003, is effective from 30 minutes after administration and its efficacy is maintained for up to 36 hours. More recently, it is also given OAD in a lower dose to allow spontaneous sexual activities. However, whether OAD administration is more effective than PRN administration in improving the EF is yet to be established. This study aimed to evaluate whether OAD administration of tadalafil leads to a better improvement of erectile function (EF) in patients with erectile dysfunction (ED) compared to PRN administration. Methods: literature search of electronic database was performed through Medline, Scopus, Cochrane Library, and CINAHL databases. Cochrane Risk of Bias Tool was then employed to assess the risk of bias in each study. Results: initial literature search resulted in 231 hits, but only four studies were included in final selection. Based on our judgements, the study by Kang et al. was the most applicable in our clinical setting. This study showed that subjects who received tadalafil OAD had statistically significant higher increases of mean IIEF-EF (6,5 (SD 4,5) vs 4,9 (SD 4,2), p=0,032), proportion of yes responses to SEP-2 (81,8% vs 64,7%, p=0,025), and proportion of yes responses to SEP-3 (77,3% vs 60,3%, p= 0,034). Conclusion: administration of tadalafil OAD leads to a better improvement of EF compared to PRN administration."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irham Arif Rahman
"Latar Belakang: Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu penyakit sering ditemukan pada mereka yang menderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Meskipun transplantasi ginjal memperbaiki masalah ini pada beberapa pasien, sebanyak 20 hingga 50% penerimanya terus menderita DE. Sampai saat ini, literatur mengenai efek transplantasi ginjal terhadap DE masih kontroversial. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa pasien mendapatkan kembali fungsi ereksi setelah transplantasi ginjal, sedangkan penelitian lain menunjukkan efek minimal transplantasi terhadap status DE. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk merangkum efek transplantasi ginjal terhadap status DE.
Metode: Pencarian literatur sistematis di PubMed, Cochrane, dan Scopus, dilakukan pada bulan April 2020 dengan menggunakan kata bebas dan istilah MeSH. Kami memasukkan semua penelitian prospektif yang menyelidiki skor IIEF sebelum dan sesudah transplantasi pada penerima transplantasi ginjal dengan DE.
Hasil: Pencarian database awal di PubMed dan Google Scholar menghasilkan 4.052 makalah. 42 makalah dipertimbangkan untuk analisis teks lengkap. Dari 42 teks lengkap yang dicari, empat diantaranya dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Sebanyak 152 dari 230 subjek menunjukkan peningkatan fungsi ereksi melalui skor IIEF-5 setelah transplantasi ginjal. Meta-analisis yang dilakukan terhadap skor IIEF dan kadar Testosteron menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah transplantasi.
Kesimpulan: Temuan kami telah mengkonfirmasi bahwa transplantasi ginjal meningkatkan fungsi ereksi. Dengan demikian, peningkatan signifikan dalam skor testosteron dan IIEF pasca transplantasi terbukti secara statistik dalam penelitian ini. Namun, karena jumlah penelitian yang ada terbatas, bukti yang ada pun terbatas. Penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang lebih baik dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk menyelidiki pengaruh transplantasi ginjal pada fungsi ereksi.

Introduction: Erectile dysfunction (ED) is a major health burden worldwide frequently found in those with end-stage renal disease (ESRD) Although renal transplant improves the problem in some patients, as many as 20 to 50% of recipients continue to suffer ED. To this date, literature regarding the effect of kidney transplantation on ED has been contradictory. Majority of studies have shown that patients regain erectile function following renal transplant, whereas other studies showed minimal effect of transplantation on the status of ED.1,2 We did a systematic review to summarize the effects of kidney transplantation on the status of ED.
Methods: A systematic literature search on PubMed, Cochrane, and Scopus, were carried out in April 2020 by using both free words and MeSH terms. We included all prospective studies investigating the pre- and post-transplant IIEF scores of renal transplant recipients with ED.
Results: The initial database search on PubMed and Google Scholar produced 4,052 papers. 42 papers were considered for full-text analysis. Out of 42 full texts sought, four were included in the systematic review. A total of 152 out of 230 subjects showed improvement of erectile function by means of IIEF-5 score after renal transplantation. Meta-analysis performed on IIEF score and Testosterone level show significant differences pre and post-transplantation.
Conclusion: Our findings have confirmed that renal transplantation improves erectile function. Thus, significant improvement in testosterone and IIEF score post- transplantation were proven statistically in this study. However, as there were only a limited number of studies, the evidence is limited. Further studies with better methodology and larger sample size are needed to investigate the effect of renal transplantation on erectile function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman
"Pendahuluan: Meskipun penghambat enzim fosfodiesterase tipe-5 (PDE5i) memiliki
efek yang baik sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan disfungsi ereksi (DE),
masih terdapat tingkat kegagalan sebesar 30-40%. Extracorporeal shockwave therapy
(ESWT) menjadi pilihan alternatif non-invasif yang berpotensi memberikan benefit
pada pasien yang tidak bisa mengkonsumsi PDE5i. Studi ini bertujuan untuk
membandingkan efikasi dari ESWT dengan PDE5i dalam menangani pasien DE yang
masih sensitif pengobatan, dengan menggunakan kuisioner IIEF-5 sebagai parameter
hasilnya.
Metode: Desain studi ini adalah kohort prospektif dengan sampel yaitu pasien DE yang
berkunjung ke Rumah Sakit Muhammad Diamil, Padang pada bulan Februari hingga
April 2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan
sebelumnya. Pasien yang masuk ke dalam studi ini dibagi ke dua kelompok yaitu
ESWT dan PDE5i. Terapi ESWT diberikan sesuai protokol standar satu kali per minggu
dengan interval 4 minggu dan PDE5i diberikan Tadalafil 10 mg satu kali sehari selama
4 minggu. Hasil primer yang diukur adalah perubahan skor IIEF-5 dari sebelum dan
sesudah terapi. Perubahan dari derajat keparahan DE juga diukur dalam studi ini.
Hasil: Terdapat 40 pasien yang termasuk dalam studi dari Februari hingga April 2018
yang kemudian dialokasikan ke kelompok ESWT (n=20) dan PDE5i (n=20). Usia ratarata
pasien adalah 61.7±11.8, dengan waktu median sejak keluhan dirasakan yaitu 12
(2-180) bulan. Parameter laboratorium menunjukan adanya perbedaan yang signifikan
dari kedua kelompok. Secara umum, terdapat peningkatan skor IIEF-5 sebesar 15% dari
semua pasien, dengan median skor 3 (-12-16) (p 0.003). Peningkatan skor IIEF-5
terjadi pada kedua kelompok, dengan kelompok ESWT yaitu 45% mengalami
peningkatan skor sebesar 4 (-12-16) (p 0.040); dan kelompok PDE5i yaitu 30%
dengan peningkatan skor 0 (-4-7) (p 0.049). Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan
signifikan dalam hal peningkatan skor IIEF-5 antara kelompok ESWT dan PDE5i (p
0.084).
Kesimpulan: Kedua modalitas terapi yaitu ESWT dan PDE5i merupakan terapi
independen yang efektif dalam meningkatkan skor IIEF-5 pada pasien DE. Terapi
ESWT dapat menjadi terapi alternatif yang baik pada pasien yang tidak mampu
mengkonsumsi PDE5i, dengan memberikan hasil yang serupa dengan PDE5i.

Introduction: Though phosphodiesterase type 5 inhibitors(PDE5i) is a beneficial firstline
therapy for Erectile dysfunction (ED), failures were reported in 30-40% patients.
Extracorporeal shock wave therapy (ESWT) became a potential non-invasive option for
patients who cannot tolerate PDE5i. This study would like to compare the efficacy of
ESWT with PDE5i in treating treatment naïve ED, using IIEF-5 as an outcome
parameter.
Methods: This prospective cohort study recruited patients with ED from Muhammad
Djamil Hospital Padang within the period of February-April 2018, using predetermined
inclusion and exclusion criteria. Included patients were assigned for ESWT and PDE5i
intervention groups. ESWT were given using standardized protocol once a week
interval for 4 weeks and PDE5i were given using Tadalafil 10 mg once daily for 4
weeks. Primary outcome measure was changes in IIEF-5 score between pre and post
treatment, and improved in severity condition for each patient were reported.
Results:Forty patients treated for ED were included in the study from the period of
February-April 2018 allocated to ESWT treatment group (n=20) and PDE5i treatment
group (n=20). Patients were at mean age of 61.7±11.8, with complaints persisting for a
median time of 12(2-180) months. Laboratory parameters showed a comparable level
between two treatment groups. Overall IIEF-5 Score response of the patients was
reported to improve in 15% of the patients, with a median score improvement of 3(-12-
16) (p 0.003). Similar improvements were reported in each treatment group; ESWT in
45% of the patients with score improvement of 4(-12-16) (p 0.040); PDE5i in 30% of
the patients with score improvement of 0(-4-7) (p 0.049).However, difference in score
improvements between the ESWT group and PDE5i group were not statistically
significant (p 0.084).
Conclusion: Both ESWT and PDE5i are beneficial as independent therapy for ED in
improving IIEF-5 score of the patients. ESWT may become a treatment of choice when
patients cannot tolerate PDE5i, providing comparable outcome with PDE5i."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ajeng Rembulan
"Latar Belakang : Disfungsi seksual dialami oleh 22-86% perempuan pada periode pascapersalinan. Alasan yang dikemukakan untuk menunda hubungan seksual adalah kekhawatiran mengenai nyeri perineum, perdarahan, dan kelelahan. Disfungsi seksual seringkali tidak disadari, baik oleh pasien maupun oleh klinisi. Penelitian ini dilakukan untuk menilai fungsi seksual perempuan dalam waktu enam bulan setelah melahirkan spontan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan kuesioner female sexual function index (FSFI) yang didistribusikan di antara 47 responden dalam periode September-Desember 2012. Tiap hasil individu digunakan untuk menilai fungsi seksual secara umum dan disfungsi seksual per domain. Karakteristik responden kemudian dianalisis bivariat dengan disfungsi seksual.
Hasil : Dalam enam bulan setelah persalinan spontan, 44 responden (93,6%) telah memulai kembali aktivitas seksual. Dari 47 responden, 27 (57,5%) menderita disfungsi seksual. Nilai p untuk analisis bivariat antara kelompok usia, tingkat pendidikan, paritas, derajat robekan perineum, status menyusui dan disfungsi seksual secara berturut-turut, yaitu: 0,064; 0,437; 0,836; 0,761; 0,723.
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan bermakna antara berbagai variabel yang dianalisis dengan disfungsi seksual, baik secara umum maupun per domain, dalam periode enam bulan pascapersalinan spontan.

Background : Sexual dysfunction is experienced by 22-86% women after giving birth. The reasons to delay resuming sexual intercourse is due to anxiety about perineal pain, bleeding, and fatigue. Sexual dysfunction is usually unnoticed either by patients or clinicians. This study was conducted to assess sexual function in women during six months period after spontaneous delivery.
Methods : This was a cross-sectional study using female sexual function index (FSFI) questionnaires which were distributed among 47 subjects during period of September-December 2012. Each individual results was assessed for general sexual function and per domain sexual dysfunction. Subjects characteristics were analyzed bivariately with sexual dysfunction prevalence.
Results : During six months after spontaneous delivery, 44 subjects (93.6%) had resumed sexual activity. Out of 47 subjects, 27 (57.5%) suffered from sexual dysfunction. P value for bivariate analysis between patients? age group, education level, parity, perineal rupture, breastfeeding and sexual dysfunction status were respectively 0.064; 0.437; 0.836; 0.761; 0.723.
Conclusion : There was no significant difference between various variables analyzed and sexual dysfunction, either general or per domain, in six months period after spontaneous delivery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weirna Winantiningtyas
"Latar Belakang: Stratifikasi risiko dan prediksi prognosis pasien yang menjalani perawatan di Unit Perawatan intensif (UPI) merupakan hal yang penting dalam tatalaksana pasien UPI. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan sistem penilaian disfungsi organ yang mencatat skor penilaian hanya dari kondisi fisiologis pasien. LODS dikembangkan untuk stratifikasi tingkat keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien di unit perawatan intensif (UPI).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesahihan penilaian LODS dalam memprediksi mortalitas pasien-pasien yang dirawat di UPI RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien yang dirawat di UPI RSCM Januari-Desember 2017. Dilakukan pencatatan skor LODS hari pertama perawatan UPI, selanjutnya dinilai kondisi pasien 30 hari, apakah pasien meninggal atau bertahan hidup. Prediksi mortalitas penilaian LODS didapat melalui regresi logistik sederhana. Kemampuan prediksi mortalitas LODS dilakukan dengan analisis diskriminasi dengan ROC untuk mencari nilai AUC, dan ketepatan prediksi mortalitas dilakukan dengan analisis kalibrasi uji goodness of fit Hosmer Lemeshow. Dilakukan analisis bivariat dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan persamaan regresi logistik berganda untuk melihat variabel yang paling bermakna dalam prediksi mortalitas.
Hasil: Dari 498 subjek yang dirawat di UPI RSCM, mayoritas pasien merupakan kasus bedah elektif, didapatkan LODS mempunyai nilai diskriminasi dan kalibrasi yang baik dengan AUC= 0,81 (IK95% 0,74-0,87) dan hasil uji Hosmer-Lemeshow kalibrasi p=0,94. Nilai titik potong ditetapkan pada nilai LODS=3, dimana sensitivitas 80,8%, spesifisitas 63,2%, PPV 20,4%, NPV 96,6%, likelihood ratio positif 2,2 dan likelihood ratio negatif 0,3. Variabel LODS yang secara statistik mempunyai pengaruh kuat terhadap mortalitas 30 hari adalah penggunaan ventilasi mekanik dan rasio PaO2/FiO2, kreatinin dan bilirubin, dengan rumus model akhir regresi logistik y= -3,877 + (3,339 x PaO2/FiO2 <150) + (2,226 x kreatinin 1,2-1,59mg/dL) + ( 1,384 x bilirubin >2 mg/dL) + (1,369 x PaO2/FiO2 >150) + (1,33 x kreatinin <1,2mg/dL).
Simpulan: Sistem penilaian LODS hari pertama sahih dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien di UPI RSCM.

Background : Risk stratification and prognosis prediction for ICU patients are essentials for medical management. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is a scoring system which objectively evaluate ICU patients’ physiological condition and can be used to determine organ severity stratification and to predict mortality.
Objective: This study was conducted to evaluate the validity of LODS in predicting mortality of ICU patients in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Jakarta.
Methods : We retrospectively reviewed medical records of ICU patients who were admitted in January-December 2017. We calculated LODS score from the first 24-hour ICU admission, and we recorded the patients’ outcome (mortality) in 30 days. Mortality prediction was calculated from simple logistic regression. The LODS performance was analyzed with Receiver Operating Characteristics (ROC) to evaluate area under the curve (AUC) for discrimination analysis, and the precision was analyzed with Hosmer Lemeshow goodness of fit. We evaluated bivariate analysis and multivariate logistic regression to determine the most significant variable as mortality predictor.
Results: The majority case from 498 subjects admitted in ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital were elective surgeries. LODS had a good discrimination and calibration, with AUC 0.81 (95% CI 0.74-0.87) and p = 0.94 with Hosmer Lemeshow goodness of fit test. Cut off LODS value was 3, with sensitivity 80.8%, specificity 63.2%, PPV 20.4%, NPV 96.6%, positive likelihood ratio 2.2, and negative likelihood ratio 0.3. Three variables were statististically significant in predicting 30 days mortality: mechanical ventilation and PaO2/FiO2, creatinine and bilirubin with final model equation y = -3,877 + (3,339 x PaO2/FiO2 <150) + (2,226 x kreatinin 1,2-1,59 mg/dL) + ( 1,384 x bilirubin >2 mg/dL) + (1,369 x PaO2/FiO2 >150) + (1,33 x kreatinin <1,2mg/dL).
Conclusion: First day LODS score is valid in predicting 30 days mortality of ICU patients in RSCM"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwi Athia Rahmini
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi klien BPH terhadap disfungsi seksual. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif sederhana. Responder: adalah klien BPH di ruang mwat inap dan poljklinik urologi RSPAD Gatot Soebroto pada 11 - 31 Desember 2004. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Hasil analisis menunjukkan bahwa gambaran persepsi klien BPH terhadap disfungsi seksual berada pada persepsi baik dengan mean keseluruhan 2.665, faktor yang mempengaruhi dilihat dari dimensi emosional berada pada persepsi baik (65%) dengan SD 1.70, dimensi Esik beradapada persepsi baik (75%) dengan SD 1.14, dimensi intelektual berada pada persepsi baik (60%) dengan SD 1.69, dimensi lingkungan berada pada persepsi baik (70%) dengan SD 1.22, sosiokultur berada pada persepsi baik (55%) dengan SD 1.39, dan dimcnsi spiritual berada pada persepsi baik (85%) dengan SD 0.55. Peneliti menyimpulkan bahwa mean dimensi fisik dan spiritual merupakan dimensi yang nilainya lebih besar terhadap persepsi klien. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah penelitian lebih lanjut tentang pengaruh BPH pasca TUR terhadap disfungsi seksual dengan populasi yang lebih besar."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5402
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Gede Kayika
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
D1791
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iin Dewi Astuty
"Penyakit Dekompresi (DCS) merupakan keadaan patologis yang mempengaruhi penyelam, astronot, pilot dan pekerja udara terkompresi akibat dari gelembung yang timbul dalam tubuh selama atau setelah penurunan tekanan ambien. Divers Alert Network melaporkan kasus DCS pada penyelam rekreasi sebanyak 651kejadian (23%) dari 2,866. Chichi Wahab, dkk melaporkan sebanyak 62 orang (53%) dari 117 menderita Penyakit Dekompresi pada penyelam tradisional. Reaksi Inflamasi merupakan salah satu penyebab DCS. Di Indonesia belum ada penelitian tentang pengaruh penyelaman dekompresi terhadap perubahan fungsi endotel sebagai pemicu terjadinya DCS.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental rancangan pola silang. Data subjek adalah data primer yang di dapat melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Sampel dipilih dengan cara random sistematik, diambil 20 orang sebagai subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok secara random. Kelompok A diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari pertama dan pada hari kedua diberi perlakuan masuk RUBT tanpa tekanan. Kelompok B yang diberi perlakuan tanpa tekanan pada hari pertama dan diberi perlakuan dengan tekanan 280 kPa pada hari berikutnya. Tiap Subjek Penelitian dilakukan pemeriksaan Interleukin-1α dengan menggunakan ELISA sandwich teknik kuantitatif sebanyak 3x yaitu sebelum diberikan perlakuan, setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa dan setelah perlakuan tanpa tekanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi Interleukin-1α baik setelah mendapatkan perlakuan dengan tekanan, maupun perlakuan tanpa tekanan, namun kenaikan ekspresi Interleukin-1α lebih besar setelah mendapat perlakuan dengan tekanan. Rerata kenaikan ekspresi Interleukin-1α setelah diberikan perlakuan dengan tekanan sebesar 0.01±0.01 pg/ml.
Kesimpulan dan Saran: Dibuktikannya peningkatan ekspresi Interleukin-1α yang bermakna pada subjek penelitian setelah diberikan perlakuan dengan tekanan 280 kPa.

Decompression Illness (DCS) is a pathological condition that affects divers, astronauts, pilots and workers who work in compressed air, as a result of bubbles arising in the body during or after drop in ambient pressure. Divers Alert Network reported cases of DCS in recreational divers as many as 651 events (23%) of 2.8663. Chichi Wahab et al reported 62 people (53%) of 117 suffered from decompression illness in traditional divers. Inflammatory reaction is one of many causes of DCS. In Indonesia, there is no research on the effects of decompression dives to changes in endothelial function as a trigger of DCS.
This study used experimental study design with Cross Over. Primary data was collected through questionnaires, physical examination and laboratory. Samples were selected, systematic randomly 20 people as research subjects each for two groups. The subjects were randomly assigned to a group. Group A was treated with a pressure of 280 kPa on the first day and on the second day entered the RUBT without pressure. Group B were treated with no pressure on the first day and was treated with pressure of 280 kPa on the next day. Each study subject was examined Interleukin-1α using ELISA sandwich quantitative techniques 3 times: before the study, after being given treatment with a pressure of 280 kPa and after treatment without pressure.
The results showed that an increase expression of Interleukin-1α better after getting treatment with pressure, or treatment without pressure, but the increase expression of Interleukin-1α larger after being treated with pressure. The mean increase e expression of Interleukin-1α after being treated with pressure is 0:01 ± 0.01 pg/ml.
Conclusions and Recommendations : Good evidence increasing expression of Interleukin-1α meaningful research on the subject after being given treatment with pressure of 280 kPa.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Eureka
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah adalah salah satu komplikasi pembedahan jantung yang telah diketahui. Hipoperfusi jaringan otak diduga sebagai penyebabnya, terutama dihubungkan dengan penggunaan mesin pintas jantung-paru. Near-infrared spectroscopy muncul sebagai alat pemantauan saturasi oksigen otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai NIRS dan kandungan oksigen intrabedah dengan kejadian disfungsi kognitif pascabedah jantung terbuka.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 60 pasien elektif yang akan menjalani bedah jantung terbuka dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Disfungsi kognitif pascabedah dinyatakan jika terdapat penurunan >20% dari nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 ranah kognisi. Pemantauan saturasi oksigen regional (rSO2¬) menggunakan probe NIRS yang ditempel pada dahi subjek penelitian. Nilai rSO2¬ secara kontinu direkam sepanjang pembedahan. Desaturasi rSO2 adalah penurunan rSO2>20% nilai baseline, nilai terendah, durasi desaturasi rSO2, luas area under the curve rSO2 yang dihitung oleh INVOS 5100 dalam satuan min% dicatat pada berbagai fase pembedahan. Analisis bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel-variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan dalam regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 31 dari 60 pasien (51,6%) mengalami POCD. Durasi desaturasi rSO2>20% secara signifikan lebih lama pada kelompok POCD dibandingkan non-POCD, terutama pada fase intraCPB dan pascaCPB. Didapatkan desaturasi total rSO2 dan nilai AUC rSO2 yang lebih panjang pada kelompok POCD dibandingkan kelompok non-POCD (median 55 [0-245] vs 0 (0-140) menit, p= 0.007) dan (412 [0-4875] vs 0 [0-472], p= 0,003). Hasil analisis multivariat menunjukkan AUC rSO2 sebagai variabel yang paling berpengaruh terhadap POCD. Kualitas persamaan regresi logistik baik dengan AUC 83,5% (CI 95%; 72,8%-94,2%).

Introduction. Cardiac surgery has been known to cause postoperative cognitive dysfunction (POCD). Cerebral hypoperfusion is suspected as the cause, mainly related to the use of cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Near infrared spectroscopy had been introduced as a method to monitor cerebral oxygen saturation. This study aims to investigate the role of near infrared spectroscopy (NIRS) monitoring in preventing POCD after cardiac surgery.
Purpose: To evaluate association between intraoperative Near-Infrared Spectroscopy value and arterial oxygen content with POCD in open heart surgery
Methods. This prospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included sixty adult patients scheduled for elective open-heart surgery and assessed their cognitive function 1 day before surgery and postoperative day 5. To measure regional oxygen saturation (rSO¬¬2), NIRS probe was placed on the subjects forehead, the values were recorded until the end of surgery. A decrease in rSO2 >20% of baseline value was considered as rSO2 desaturation. The lowest rSO2 value and duration of desaturation were recorded before, during, after CPB. Another variable of NIRS value was Area under the curve of rSO2; an output measured by INVOS 5100 labelled as AUC rSO2 in min%. Data were compared using Students t test or the Mann-Whitney U test with SPSS 20.0 software. Logistic regression was applied to variables with p-value above 0.25 on bivariate analysis.
Results: In this study 31 out of 60 patients (51.6%) developed POCD. Duration of rSO2 desaturation 20% baseline was significantly higher in POCD group, espescially during and after CPB phase. We observed a median of 55 (0-245) minutes of total desaturation time in POCD group, compared to the non-POCD group, who experienced a median desaturation time of 0 (0-140) minutes (p = 0.007). Quality of regression equity based on good discrimination with AUC was 83.5% (CI 95%; 72.8%-94.2%). From multivariate analysis, it was found that variables of NIRS AUC could affect logistic regression equity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshua Baktiar
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah (postoperative cognitive
dysfunction/POCD) merupakan komplikasi pascabedah yang sering ditemui pada
pasien yang menjalani bedah jantung terbuka yang mengganggu fungsi sosial dan
ekonomi serta berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Patofisiologi POCD belum
diketahui secara jelas, namun diperkirakan melibatkan hipoksia serebral.
Penurunan kandungan oksigen dan penurunan ekstraksi oksigen perioperatif
diperkirakan berkontribusi terhadap POCD. Penggunaan pemantauan nearinfrared
spectroscopy (NIRS) memungkinkan pengukuran status oksigenasi pada
jaringan otak. Protein S100B adalah penanda biologis kerusakan jaringan otak.
Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh kandungan oksigen dan ekstraksi
oksigen intra dan pascabedah, desaturasi serebral dan peningkatan kadar protein
S100B terhadap kejadian POCD.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah kohort prospektif di unit Pelayanan Jantung
Terpadu RS dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dimulai setelah mendapatkan persetujuan
komite etik dan ijin lokasi. Kriteria penerimaan adalah pasien berusia ≥18 tahun yang
dijadwalkan menjalani bedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin
cardiopulmonary bypass (CPB), sehat secara mental, dapat membaca dan berbahasa
Indonesia. Pasien akan menjalani evaluasi kognitif menggunakan 6 tes psikometrik pada 1
hari prabedah dan diulang pada 5 hari pascabedah. POCD didefinisikan sebagai penurunan
>20% skor kognitif pascabedah dibandingkan prabedah pada 2 atau lebih tes. Sampel darah
arteri dan vena diambil untuk menilai kandungan dan ekstraksi oksigen pada 5 waktu: (1)
sebelum induksi, (2) intra-CPB, (3) pasca-CPB, (4) enam jam pascabedah, dan (5) 24 jam
pascabedah. Pemantauan saturasi serebral menggunakan NIRS dilakukan sepanjang pembedahan. Kadar protein S100B diukur pada 2 waktu: sebelum induksi dan 6 jam
pascabedah. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan piranti lunak SPSS
versi 20.
Hasil:Lima puluh lima subyek mengikuti penelitian ini. POCDditemukan pada 31 (56,4%)
subyek. Kandungan oksigen dan ekstraksi oksigen ditemukan tidak berbeda bermakna di
antara kedua kelompok pada seluruh waktu. Desaturasi serebral ditemukan lebih lama (55
[0-324] vs. 6 [0-210], p=0,03) dan nilai AUC rScO2 lebih tinggi (228 [0-4875] vs. 33 [0-
1100], p <0,01) pada pasien yang mengalami POCD dibandingkan yang tidak. Dengan
analisis ROC ditemukan nilai AUC rScO2 >80 menit% berpengaruh terhadap kejadian
POCD (RR 3,38, IK 95%: 1,68-6,79, p <0,01). Kadar protein S100Bmeningkat 1,5x lebih
tinggi pada pasien POCD, namun tidak mencapai kemaknaan statistik.
Simpulan:Desaturasi serebral yang diukur menggunakan NIRS berpengaruh pada kejadian
POCD.

Background: Postoperative cognitive dysfunction/POCD is commonly found
postoperative complication after cardiac surgery with profound social and
economic effect and also known correlated with mortality. The pathophysiology
remains unclear and multifactorial, but hipoxia have been postulated as one of the
mechanisms. Reduced arterial oxygen content (CaO2) and reduced oxygen
extraction perioperatively may contribute to POCD. Use of near-infrared
spectroscopy (NIRS) monitoring may provide oxygenation status on brain tissue.
S100B protein is known brain injury biological marker. This trial aims to
investigate effects of perioperative oxygen content and extraction, cerebral
oxygenation status and S100B protein level changes to POCD.
Methods: This prospective cohort study was conducted at Integrated Heart Service unit of
RS dr. Cipto Mangunkusumo, a tertiary teaching hospital in Jakarta, Indonesia. This study
was started after ethical approval obtained. Inclusion criteria was 18 years old or above
patients scheduled for open-heart surgery using cardiopulmonary bypass machine, healthy
mental status, and can speak/read Indonesian language. Subjects were undergone 6
psychometric evaluation on day prior to surgery and 5 days after surgery. POCDdefined as
decrease of >20% score from baseline on 2 or more tests. Arterial and venous blood samples
were taken on 5 moments: (1) before induction of anesthesia, (2) during CPB, (3) After
separation of CPB, (4) six hours after surgery, and (5) 24 hours after surgery. NIRS
monitoring was applied continously during surgery. S100B protein level was measured on
before induction of anesthesia and 6 hours after surgery.Data was analyzed with appropriate
statistical tests using SPSS 20 software.
Results: Fifty-five subjects were included in this study. POCD was found in 31 (56.4%)
subjects. Oxygen contents and extractions were found not differ in both groups at all times.
Cerebral desaturation was found more longer (55 [0-324] vs. 6 [0-210]mins, p = 0.03) and
severe (AUC rScO2 228 [0-4875] vs. 33 [0-1100] min%, p <0,01) in subjects with POCD
compared to non-POCD. Using ROC analysis, it is determined subjects with AUC rScO2
>80 min% were exposed with higher risk of POCD(RR3.38x, 95%CI: 1.68-6.79, p <0.01).
S100B protein level increased higher in subjects with POCDbut no statistical significant was
found.
Conclusion: Cerebral desaturation measured by NIRSmonitoring contributes to POCD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>