Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139314 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nita Corry Agustine Nias
"ABSTRAK
Latar belakang: Diagnosis cepat efusi pleura eksudatif harus mampu mengesampingkan TB sebagai agen penyebab. Cancer ratio, rasio antara serum laktat dehidrogenase (LDH) dan cairan pleura adenosin deaminase (ADA), >20 diprediksi untuk efusi pleura ganas. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati nilai diagnostik dan untuk menetapkan titik potong diagnostik cancer ratio untuk EPG di negara dengan beban TB yang tinggi seperti di Indonesia.
Metode: Penelitian prospektif potong lintang ini melibatkan 65 subjek dari pasien dengan efusi pleura eksudatif yang diduga keganasan yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Indonesia.
Hasil: Cancer ratio> 20 memiliki sensitivitas 61,82%, spesifisitas 80%, nilai duga positif (NDP) 94,44% dan nilai duga negatif (NDN) 27,59%. Nilai titik potong cancer ratio >26 menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 0,43 (IK 95% 0,31-0,55) dan 0,9 (IK 95% 0,82-0,97). Luas AUC 0,76 menunjukkan akurasi yang baik. Rasio kemungkinan positif adalah 4,36 (IK 95% 3,43-5,29) sedangkan rasio kemungkinan negatif pada titik potongini adalah 0,22 (IK 95% 0,13-0,33). Nilai duga positif adalah 0,96 (IK 95% 0,91-1) sedangkan nilai duga negatif pada titik potong ini adalah 0,22 (IK 95% 0,12-0,32).
Kesimpulan: Nilai titik potong cancer ratio >26 sangat prediktif untuk keganasan pada pasien dengan efusi pleura eksudatif di negara dengan beban TB tinggi berdasarkan nilai spesifisitas, nilai duga positif dan rasio kemungkinan positif yang tinggi.

ABSTRACT
Background: Rapid diagnostics of exudative pleural effusion should able to rule-out tuberculosis (TB) as the causative agent. Cancer ratio, a ratio between serum lactate dehydrogenase (LDH) and pleural fluid adenosine deaminase (ADA), of >20 were predictive for malignant pleural effusion. This study was aimed to observe the diagnostic values and to set the cut-off diagnostic level of cancer ratio for MPE in a country with a high burden of TB such in Indonesia.
Method: This prospective cross-sectional study involved 65 subjects from the patients with exudative pleural effusion suspected of malignancy treated at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia
Result: The cancer ratio at >20 possessed a sensitivity of 61.82%, a specificity of 80%, positive predictive value (PPV) of 94.44%, and negative predictive value (NPV) of 27.59%. The cancer ration set at >26 cut-offs showed sensitivity and specificity of 0.43 (95%CI 0.31-0.55) and 0.9 (95%CI 0.82-0.97), respectively. The area under the curve (AUC) of 0.76 suggested good accuracy. The positive likelihood ratio (PLR) was 4.36 (95%CI 3.43-5.29), while the negative likelihood ratio (NLR) at this cut-off was 0.22 (95 % CI 0.13-0.33). The PPV was
0.96 (95% CI 0.91-1), while the NPV at this cut-off was 0.22 (95% CI 0.12-0.32).
Conclusion: The cancer ratio set at >26 cut-offs was highly predictive for malignancy in patients with exudative pleural effusion at high TB burden country based on its high specificity, PLR, and PPV."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Cherkayani Sejati
"Efusi pleura ganas (EPG) sebagai bentuk perluasan dari keganasan sering muncul pada penderita kanker paru, mempersulit penatalaksanaan kanker paru, dan membuat prognosis pasien memburuk dengan rerata angka ketahanan hidup 6 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik dan ketahanan hidup pasien kanker paru dengan EPG di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 2009-2013. Desain penelitian ini adalah kohort longitudinal dengan analisis univariat dan ketahanan hidup. Sampel penelitian ini adalah pasien kanker paru dengan EPG (stadium IIIB atau IV) dari metastasis kanker paru berdasarkan pemeriksaan sitologi atau biopsi dan memiliki rekam medik lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur pasien adalah 58,73 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tidak merokok, dan status pekerjaan terbanyak adalah pensiunan. Mayoritas pasien mengeluhkan gangguan respirasi saat pertama berobat, memiliki jenis sel kanker adenokarsinoma, sudah mencapai stadium IV, dan lokasi efusi berada di paru-paru kanan. Sekitar 68.5% pasien bertahan hidup 6 bulan setelah diagnosis dan median survival adalah 12,5 bulan. Diharapkan ada KIE bagi masyarakat, terutama terkait kebiasaan merokok dan ditujukan untuk populasi berisiko, mengenai kanker paru untuk mengurangi jumlah pasien yang baru berobat setelah kanker mencapai stadium lanjut.

Malignant pleural effusion (MPE) often appears in patients with lung cancer and deteroriates prognosis of patients with mean survival rate of 6 months. This study aims to look at the characteristics and survival of lung cancer patients with MPE (stage IIIB or IV) at Dharmais Cancer Hospital Jakarta in 2009-2013. Study design was longitudinal cohort with univariate and survival analysis. Sample was lung cancer patients with metastatic MPE based on cytology test or biopsy with complete medical record.
Results showed average age of patients was 58.73; most were male, nonsmoker, and pensioner. Majority of patients had respiratory disorder, adenocarcinoma cancer type, reached stage IV, and effusion in the right lung. Approximately 68.5% of patients surviving 6 months after diagnosis and median survival were 12.5 months. IEC is needed for community; especially population with lung cancer risk, to help reducing number of new patients seeking treatment after cancer reaches advanced stage.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56600
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Prawira Putra
"Latar Belakang: Bronkoskopi adalah prosedur yang umum digunakan sebagai tindakan membantu penegakkan diagnosis kasus tumor paru. Hipoksemia disebut sebagai salah satu komplikasi yang sering terjadi pada bronkoskopi diagnostik oleh karena itu diperlukan data untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan dampak klinis yang ditimbulkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi diagnostik dan dilakukan selamaJanuari-April 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Nasional (RSUPRRN) Persahabatan Jakarta. Total 195 pasien diikutsertakan dan dilakukan pengamatan terhadap nilai saturasi oksigen pada tahap premedikasi, durante, pascatindakan. Hipoksemia adalah subjek dengan saturasi oksigen<90% dan diamati berbagai faktor yang dianggap berpengaruh dan dampak klinis yang terjadi.
Hasil:Jumlah kejadian hipoksemia pada bronkoskopi diagnostik sebanyak 40 kasus (20,5%). Waktu kejadian hipoksemia paling banyak pada tahap durante tindakan (20%) dengan median lama hipoksemia berlangsung 15 detik. Proporsi waktu muncul hipoksemia terjadi paling banyak pada 10 menit pertama tindakan (11,3%). Faktor demografi yang bermakna terhadap kejadian hipoksemia adalah jenis kelamin (p=0,04) dan riwayat merokok (p=0,005). Faktor yang dianggap berpengaruh dan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoksemia antara lain lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi (p<0,05). Total 5 pasien dirawat pascatindakan di ruang intensif dan tidak ada kasus kematian yang dilaporkan.
Kesimpulan: Penelitian ini mendapatkan jenis kelamin, riwayat merokok, lama waktu tindakan dan timbulnya komplikasi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian hipoksemia pada tindakan bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru. Hipoksemia yang muncul pada bronkoskopi diagnostik kasus tumor paru tidak menimbulkan dampak klinis yang fatal seperti kematian pada penelitian ini.

Background: Bronchoscopy is a commonly medical procedure perfomed for diagnose lung tumor cases. Hypoxemia often appear as complication related diagnostic bronchoscopy. Therefore, there is a need of research data to knowing related factors and clinical consequences may occur ahead.
Methods:Design of this study is cross sectional with suspicion lung malignancy population who undergoing diagnostic bronchoscopy from January until april 2019 at National Respiratory Center Persahabatan General Hospital Jakarta. Total 195 consecutive patients participated dan observed for oxygen saturation in premedication, during and post-bronchoscopy. Hypoxemia was defined as an desaturation <90% and reviewed several related factor and clinical consequences may appear
Results:Total hypoxemia events on diagnostic bronchoscopy was 40 cases (20,5%). The most frequent occurrence hypoxemia time is during bronchoscopy (20%) with median duration of hypoxemia is 15 seconds. The proportion of time appears hypoxemia is commonly in first 10 minutes bronchoscopy (11,3%). Demographic factors like gender and smoking history are statistically significant with hypoxemia events (p=0,04 & p=0,005). Other factors may have relation dan statiscally significant are duration of procedure and procedure with complication (p<0,05). Total 5 cases observed in intensive care unit after procedure and no death event have reported in this study
Conclusion:This study suggested gender, smoking history, duration of procedure and procedure with complication were related factors with hypoxemic events in lung tumor cases undergoing diagnostic bronchoscopy. Hypoxemia related diagnostic bronchoscopy in this study was not rise into fatal event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indiane Putri Ningtias
"Latar Belakang : Kanker paru merupakan salah satu penyakit yang memiliki beban terbesar di dunia. Pajanan zat karsinogen merupakan salah satu faktor risiko kanker paru, baik pada rokok maupun di lingkungan, Zat karsinogenik di tempat kerja yang dapat menyebabkan kanker paru adalah silika, asbes dan radon. Silika merupakan salah satu zat karsinogenik dalam IARC kelompok 1. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar silika kurasan bronkoalveolar pada pasien kanker paru, serta riwayat pajanannya.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional pada pasien tumor paru yang akan dilakukan tindakan diagnostik baik dari instalasi rawat jalan maupun rawat inap di RS Persahabaran. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dalam kurun waktu April 2019 sampai dengan Juni 2019.
Hasil : Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 42 pasien kanker paru yang tegak jenis. Prevalens kanker paru dengan riwayat pajanan silika sebanyak 71.4%, status pajanan terbanyak dari pekerjaan sebanyak 38.1%. Kadar silika kurasan bronkoalveolar terbanyak adalah positif sebanyak 54,8% dengan rata-rata tertinggi dari pajanan pekerjaan dan rokok (2.85±2.9). Hasil ini bermakna secara statistik dengan nilai p<0,05. Jenis keganasan terbanyak dengan kadar silika positif adalah adenokarsinoma sebanyak 44%. Terdapat hubungan bermakna antara status pajanan dengan kadar silika (p 0.001), jenis pekerjaan dengan kadar silika (p 0.000), masa kerja dengan kadar silika (p 0.014), lama kerja dengan kadar silika (p 0.031), penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan kadar silika (p 0.005)
Kesimpulan : Didapatkan kadar silika yang positif pada pasien kanker paru dengan riwayat pajanan silika dari pekerjaan dan rokok, terdapat hubungan antara status pajanan, jenis pekerjaan, masa kerja, lama kerja dan riwayat penggunaan APD dengan kadar silika kurasan bronkoalveolar pada pasien kanker paru.

Background: Lung cancer is one leading cause of death in the world. Carcinogenic exposure is one of the risk factors for lung cancer, both in cigarettes and environment. Carcinogenic substances at work that can cause lung cancer are silica, asbestos and radon. Silica is one of the carcinogenic substances in IARC group 1. The purpose of this study was to determine the silica levels of bronchoalveolar lavage lung cancer patients and their exposure history of silica.
Method: This is cross sectional study based on prodiagnostic lung tumor patients measures both from outpatient and inpatient installations at Persahabatan Hospital. Sampling was done by consecutive sampling in the period April 2019 until June 2019.
Results: Sample of this study match with inclusion criteria are 42 patients with confirmed lung cancer. The prevalence of lung cancer with history of silica exposure was 71.4%, the most from occupational exposure was 38.1%. The highest amount of bronchoalveolar lavage silica was positive as much as 54.8% with the highest average of occupational and cigarette exposure (2.85 ± 2.9). This result is statistically significant with p value <0.05. The most common type of malignancy with positive silica levels was adenocarcinoma 44%. There is significant relationship between exposure status with silica levels (p 0.001), types of occupation with silica levels (p 0.000), years of service with silica levels (p 0.014), length of work with silica levels (p 0.031), use of Personal Protective Equipment with silica levels (p 0.005)
Conclusion: Positive silica levels from bronchoalveolar lavage in lung cancer patients with exposure silica history was found, the most from occupational and cigarettes exposure, there is relationship between exposure status, occupational type, length of service, length of work and history of using personal protective equipment with bronchoalveolar lavage silica levels in lung cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shaogi Syam
"Latar belakang: Panduan Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 memisahkan derajat spirometrik (GOLD 1234) dari grup ABCD untuk mempertajam diagnosis, prognosis dan pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hipereaktivitas bronkus (HBR) merupakan tanda khas penyakit asma yang juga ditemukan pada PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi HBR pada pasien PPOK stabil menurut pengelompokkan GOLD 2017.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada 80 subjek PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik asma PPOK RS Persahabatan sejak bulan Mei 2018 hingga Maret 2019. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan spirometri (VEP1/KVP <0.7) pasca uji bronkodilator. Hipereaktivitas bronkus dikonfirmasi menggunakan PC20 (Provocative Concentration 20) pada uji provokasi bronkus menggunakan zat metakolin <4 mg/ml (VEP1 ≥ 20%) yang dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Prevalens HBR pada PPOK dalam penelitian ini sebesar 73,7% (59/80) dengan proporsi 69,7% (46/66) subjek laki-laki dan 92,9% (13/14) subjek perempuan. Hipereaktivitas bronkus ditemukan paling banyak pada grup PPOK B dan D (27,1% dan 33,9%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan paling banyak di grup A dan D (11,25% dan 17,5%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan pada grup B (11,25%). Derajat keterbatasan aliran udara ditemukan paling banyak pada GOLD 2 dan 3 (40,7% dan 44,1%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan pada GOLD 2 (20%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan sama pada GOLD 2 dan 3 (16,25%).

Background: The Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 has separated spirometric grades (GOLD 1234) from the symptom groups (ABCD) to improve diagnosis, outcome and therapy for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients. Bronchial hyperreactivity (BHR) is thought to be a hallmark of asthma, yet it has been observed to occur in COPD.This study was to identify BHR in stable COPD patients according to GOLD 2017 grouping.
Methods: This cross-sectional study observed 80 stable COPD patients treated at asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between May 2018 and March 2019. Diagnosis of COPD was done by spirometry (post-bronchodilator test FEV1/FVC<0.7). Bronchial hyperreactivity was confirmed by PC20 (Provocative Concentration 20), a bronchial challenge test using methacoline <4 mg/mL (FEV1 drop ≥20%). These were performed in all subjects within the inclusion criteria.
Results: Prevalence of BHR in COPD was 73.7% (59/80), wherein 69.7% (46/66) males and 92.9% (13/14) females were BHR in COPD. Bronchial hyperreactivity was found mostly in Group B and D (27.1% and 33.9, respectively). Mild BHR was found mostly in Group A and D (11.25% and 17.5%, respectively) while moderate to severe BHR were found in Group B (11.25%). Airflow limitation was found mostly in GOLD 2 and 3 (40.7% and 44.1%, respectively). Mild BHR was mostly found in GOLD 2 (20.0%) while moderate to severe BHR were equally found in GOLD 2 and 3 (16.25%, both).
Conclusion: Prevalence of BHR in stable COPD patients was 73.7% and mild BHR was common in stable COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nukeseny
"ABSTRACT
Latar belakang: Diagnosis pasti kanker paru ditegakkan dengan menemukan sel ganas pada pemeriksaan sitologi/ histopatologi pada spesimen yang didapat dari berbagai prosedur diagnostik.Tujuan: Untuk mengetahui jumlah sel ganas dari pemeriksaan sitologi yang didapat dari berbagai prosedur diagnostik TTNA terpandu CT scan, TTNA tidak terpandu, TTNA terpandu USG, BJH, sikatan bronkus, bilasan bronkus, TBNA, BAL, sitologi cairan pleura dan sitologi sputum .Metode: Penelitian potong lintang pada slide pasien kanker paru dari pemeriksaan sitologi yang ditegakkan dari berbagai prosedur diagnostik di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari laborarorium Patologi Anatomi, Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dan data khusus Adenokarsinoma paru diambil dari laboratorium KalGen Jakarta Pusat pada periode 1 Juni 2015 sampai 31 Juli 2016. Slide pasien yang mengandung sel ganas akan dikoding oleh SpPA dan dihitung jumlahnya dibawah mikroskop dibawah supervisi Sp.PA.Hasil: Sampel penelitian 425 slide sitologi dengan karateristik pasien laki-laki 72,5 median usia 57 tahun, range usia 26-92 tahun dan pasien kanker paru perempuan 27,3 median usia 54 tahun, range usia 18-84 tahun . TTNA terpandu CT Scan merupakan prosedur diagnostik yang paling sering dapat menemukan sel ganas > 200 16,9 , diikuti BJH dengan jumlah sel > 200 11,8 , TTNA tidak terpandu dengan jumlah sel ganas > 200 7,3 . Jumlah sel ganas minimal yang memungkinkan untuk pemeriksaan molekuler lanjutan EGFR khususnya pada jenis adenokarsinoma paru adalah didapatkan 0,8 pemeriksaan EGFR pada jumlah sel ganas < 50 sel dan semakin tinggi jumlah sel ganas maka semakin memungkinkan untuk pemeriksaan molekuler lanjutan. Jumlah slide mempengaruhi jumlah sel ganas yang didapatkan nilai p=0,000 dan semakin banyak jumlah slide maka semakin banyak juga jumlah sel ganas yang didapatkan.Kesimpulan: Jumlah sel ganas pada slide sitologi kanker paru paling banyak ditemukan dengan pemeriksaan TTNA terpandu CT scan, dikuti BJH dan TTNA tidak terpandu. Jumah slide mempengaruhi jumlah sel ganas nilai bermakna, p= 0,000 .Kata kunci: Kanker paru, sel ganas, slide sitologi, prosedur diagnostik
ABSTRACT
Background A definitive diagnosis of lung cancer by finding malignant cells on cytology histopathology examination of the specimen obtained from a variety of diagnostic procedures.Objective To determine the number of malignant cells of cytologic examination that are obtained from a variety of diagnostic procedures CT guided TTNA, unguided TTNA, ultrasound guided TTNA, FNAB, bronchial brushing, bronchial washing, TBNA, BAL, cytology examination of pleural fluid and sputum cytology .Methods A cross sectional study in lung cancer patients slides from cytological examination from a variety of diagnostic procedures in the Central General Hospital Persahabatan. Data are taken from Anatomical Pathology laborarorium, Medical Record of Central General Hospital Persahabatan and the specific data of lung adenocarcinoma taken from the laboratory KalGen in Central Jakarta from1 June, 2015 until July 31, 2016. Slides containing malignant cells of patients are to be coded by SpPA and numbered under a microscope under the supervision of Sp.PA.Results The research sample with characteristic cytologic slide of 425 male patients were 72.5 median age 57 years, range 26 92 years of age and female lung cancer patients were 27.3 median age 54 years, age range 18 84 year . CT guided TTNA was a diagnostic procedure that was most often able to find malignant cells 200 16.9 , followed by the BJH of cell counts 200 11.8 , unguided TTNA with the number of malignant cells 200 7.3 . Minimal number of malignant cells that were possible for advanced molecular examination EGFR , particularly on the type of lung adenocarcinoma was obtained 0.8 EGFR examination in the number of malignant cell "
2016
T55662
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Andriani
"ABSTRAK
Latar belakang : Tuberkulosis TB merupakan masalah kesehatan dunia dan di Indonesia. Data Global Tuberculosis Report 2015 menyatakan hanya 3 juta 58 dari 5,2 juta kasus TB paru di dunia pada tahun 2014 dikonfirmasi secara bakteriologis menggunakan pemeriksaan apusan dahak basil tahan asam BTA , biakan Mycobacterium tuberculosis M. tb atau Xpert MTB/RIF. Kasus TB dengan hasil apusan dahak BTA negatif dilaporkan sebanyak 36 dari total kasus TB di dunia dan sebanyak 104.866 kasus 32 dari total kasus TB di Indonesia. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF adalah pemeriksaan molekuler yang mendeteksi M. tb dalam dua jam. Belum banyak data mengenai peran pemeriksaan Xpert MTB/RIF dibandingkan dengan pemeriksaan biakan M.tb sebagai pemeriksaan baku emas di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi pemeriksaan Xpert MTB/RIF dalam mendeteksi M.tb dibandingkan dengan biakan M.tb sebagai baku emas pada pasien TB paru klinis kasus baru.Metode : Penelitian ini menggunakan desain uji diagnostik dan sampel dikumpulkan secara consecutive sampling terhadap 71 pasien TB paru klinis kasus baru dengan hasil apusan dahak BTA 3 kali negatif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta mulai bulan Januari hingga Agustus 2016. Dilakukan pemeriksaan dahak Xpert MTB/RIF, dahak biakan M.tb dengan media Lowenstein-Jensen dan pengambilan data gambaran foto toraks dalam 1 bulan terakhir.Hasil : Terdapat 71 sampel penelitian yaitu pasien TB paru klinis kasus baru dengan hasil apusan dahak BTA negatif di RSUP Persahabatan Jakarta dari bulan Januari ndash; Agustus 2016. Karakteristik pasien terbanyak adalah laki-laki 62 , usia 40-59 tahun 47,9 , IMT 18,5-24,99 60,6 , tidak pernah merokok 49,3 , IB ringan 69 , tidak terdapat kontak TB 80,3 , penyakit komorbid tumor paru 12,7 , keluhan batuk ge;2 minggu 74,6 dan gambaran foto toraks curiga TB berupa lesi luas 76,1 . Berdasarkan total 71 pasien, hasil pemeriksaan dahak Xpert MTB/RIF hanya positif M. tb terdeteksi pada 10 pasien dengan sebanyak 5 pasien dari jumlah tersebut memiliki hasil pemeriksaan dahak biakan M.tb positif. Sebaliknya, ditemukan hasil pemeriksaan dahak biakan M.tb positif dan hasil pemeriksaan dahak Xpert MTB/RIF negatif M. tb tidak terdeteksi pada 1 pasien.Kesimpulan : Pemeriksaan dahak Xpert MTB/RIF dibandingkan dengan dahak biakan M.tb dengan media Lowenstein-Jensen sebagai baku emas memiliki sensitivitas 83,33 , spesifisitas 92,3 , nilai duga positif 50 , nilai duga negatif 98,36 , rasio kemungkinan positif 10,81 dan rasio kemungkinan negatif 0,18 pada pasien TB paru klinis kasus baru.

ABSTRACT
Background Tuberculosis TB is one of the health problems in the world and in Indonesia. Global Tuberculosis Report 2015 states that only 3 million 58 of the estimated 5.2 million pulmonary TB in 2014 were bacteriologically confirmed using acid fast bacilli AFB assay, Mycobacterium tuberculosis M. tb culture or Xpert MTB RIF. Smear negative TB cases are reported as many as 36 of all TB cases in the world and 104.866 cases 32 of all TB cases in Indonesia. Xpert MTB RIF assay is a rapid molecular test which can detect M. tb within two hours. There has been lack of datas about the role of Xpert MTB RIF assay compared to M. tb culture as gold standard in developing countries, especially Indonesia. This study aims to evaluate the accuracy of Xpert MTB RIF assay for M. tb detection compared to M.tb culture as gold standard in clinically diagnosed tuberculosis new case patients.Methods This study used diagnostic test design study and all samples collected using consecutive sampling of the 71 clinically diagnosed tuberculosis new case patients with three times AFB negative sputum results in Persahabatan Hospital, Jakarta from Januari to August 2016. Xpert MTB RIF assay, M. tb culture with Lowenstein Jensen medium and chest radiograph in last 1 month were done.Results There are 71 samples which are clinically diagnosed tuberculosis new case patients with acid fast bacilli negative in Persahabatan Hospital, Jakarta from Januari ndash August 2016. Patient characteristics with the highest result are male 62 , 40 59 year old 47.9 , BMI 18,5 24,99 60.6 , non smoker 49.3 , IB mild 69 , no TB contacts 80.3 , lung tumors as comorbid disease 12.7 , symptom cough ge 2 weeks 74.6 and chest radiograph with far advanced lesion 76.1 . Based on total 71 patients, Xpert MTB RIF is only positive M. tb detected in 10 patients with 5 of them have positive M. tb culture. On the other hand, there is 1 patient with positive M. tb culture and negative Xpert MTB RIF M. tb not detected . Conclusion The Xpert MTB RIF compared to M.tb culture with Lowenstein Jensen medium as gold standard has sensitivity 83.33 , specificity 92.3 , positive predictive value 50 , negative predictive value 98.36 , positive likehood ratio 10.81 and negative likehood ratio 0.18 in clinically diagnosed tuberculosis new case patients. "
2016
T55698
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Garinda Alma Duta
"Latar belakang: Efusi pleura tuberkulosis (TB) adalah bentuk umum dari TB ekstra paru. Proporsi efusi pleura pada kasus TB adalah terbesar kedua setelah keganasan di RSUP Persahabatan. Diagnosis definitif ditegakan dengan menemukan basil Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dari cairan pleura mapun jaringan pleura walaupun kurang sensitif. Analisis cairan pleura dan pemeriksaan kadar adenosine deaminase (ADA) dapat membantu dalam mendiagnosis efusi pleura pada kasus TB terutama pada negara dengan insidens TB menengah hingga tinggi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membandingkan profil efusi pleura pada kelompok TB dan non-TB.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 411 catatan medis subjek dengan efusi pleura yang menjalani prosedur diagnostik di RSUP Persahabatan dari bulan Januari 2013 hingga 31 December 2015 secara retrospektif. Semua jaringan dan cairan diperiksa untuk pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi, analisis cairan pleura dan ADA. Total 273 subjek dieksklusikan dan 138 subjek memenuhi kriteria inklusi untuk TB (n=65) dan non-TB (n=73).
Hasil: Nilai tengah usia pada kelompok TB adalah 27 (15-69) tahun dengan proporsi 34 (75%) laki-laki berbeda bermakna dengan nilai tengah usia pada kelompok non TB yaitu 51 (16-75) tahun yang terdiri atas 38 (52%) perempuan. Pada kelompok TB rentang nilai ADA adalah 5,9 hingga 437,6 U/L dengan nilai tengah 103 U/L sedangkan pada kelompok non TB rentang 3,4 hingga 155 U/L dengan nilai tengah 19,9 U/L. Protein cairan pleura pada kelompok TB memiliki rerata 5,6 (SD 1,1) mg/dL berbeda bermakna dibandingkan pada rerata kelompok non TB yaitu 4,9 (SD 1,6) mg/dL. Sensitivitas ADA dengan titik potong 60 IU/dL adalah 89% dengan spesifitas 77% untuk kepositifan TB. Protein cairan pleura dengan titik potong 5 g/dL memberikan sensitivitas dan spesifitas sebesar 60% dan 52%. Pada penelitian ini kombinasi titik potong ADA dengan kadar 60 IU/L dan protein dengan kadar 5 g/dL meningkatkan spesifisitas menjadi 78% dan sensitivitas menjadi 66%.
Kesimpulan: Hasil ADA dan protein cairan pleura harus diintepretasikan bersama temuan klinis dan hasil uji konfirmasi lain.

Background: Pleural effusion is a common form of extra pulmonary tuberculosis (TB). Effusion due to pleural TB is second biggest proportion after malignancy in Persahabatan Hospital. The definitive diagnosis was established by determining the basil of Mycobacterium tuberculosis (M.tb) in the pleural fluid or pleural tissue but less sensitive. Pleural fluid analysis and adenosine deaminase (ADA) level can aid in the diagnosis of TB pleural effusions commonly used in the countries with a moderate to high incidence of TB.
Objectives: The aim of the study is comparing the profile of pleural effusion in TB and non-TB group.
Methods: This is retrospective cross sectional study on 411 subjects with pleural effusions who underwent diagnostic procedure at Persahabatan Hospital by January 1st 2013 to December 31th 2015. All data from tissue and fluid sample of microbiological, histopathological, pleural fluid and ADA examinations were taken from medical records. Total 138 patients met our inclusion criteria for TB (n=65) and non-TB (n=73) and 273 patients were excluded.
Results: Median of age in tuberculosis group age median was 27 (15-69) years old and consisted of 34 male (75%). Median of age in non-TB group was 51 (16.75) years old and consisted of 38 female (52%). In TB groups ADA range from 5.9 to 437.6 U/L with median ADA level 103 and in non TB groups ADA level range from 3.4 to 155 U/L with median 19.9 U/L. In TB groups protein level mean 5.6 (SD 1.1) mg/dL non TB 4.9 (SD 1.6) mg/dL. By using cut off the sensitivity of ADA level 60 IU/dL were 89% with specifity 77%. Protein level cutoff at 5 g/dL the sensitivity and specifity were 60% and 52%. This study showed a combination of ADA and protein as a cut off increasing specifity up to 78% and sensitivity 66%.
Conclusion: The results of ADA and protein of pleural fluid should be interpreted in parallel with clinical findings and the results of comfirmation tests.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ririen Razika Ramdhani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker paru dan tuberkulosis TB adalah dua masalah kesehatan di seluruh dunia dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Meningkatnya kasus TB aktif dan reaktivasi TB laten pada pasien kanker paru serta dampak buruknya terhadap prognosis pasien memerlukan upaya untuk melakukan deteksi TB laten pada pasien kanker paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar proporsi TB laten pada pasien kanker paru, karakteristiknya dan hubungan antar keduanya.Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan sampel dikumpulkan secara consecutivesampling terhadap 86 pasien kanker paru baru terdiagnosis di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta tahun 2015 hingga 2016. Pemeriksaan sputum Xpert MTB/RIF dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan TB aktif. Penentuan TB laten dilakukan dengan pemeriksaan Interferon Gamma Release Assay IGRA menggunakan alat QuantiFERON-TB Gold-in-Tube QFT-GIT .Hasil: Pemeriksaan TB laten mendapatkan hasil IGRA 11 pasien 12,8 , IGRA - 59 pasien 68,6 dan IGRA indeterminate I 16 pasien 18,6 . Karakteristik sosiodemografi pasien kanker paru dengan TB laten adalah 63,6 laki-laki, rerata usia 56 tahun, 36,4 diimunisasi BCG, 9 dengan kontak erat TB, 72,7 dengan riwayat merokok. Karakteristik klinis pasien tersebut 90 memiliki status gizi normal lebih dengan nilai tengah indeks massa tubuh IMT 19,12 18,24-29,26 kg/m2, nilai tengah hitung limfosit total 1856 1197-4210 sel/ul, 9 dengan komorbid diabetes mellitus, 81,8 tumor paru mengenai lokasi khas predileksi TB paru. Jenis kanker terbanyak adalah adenokarsinoma 81,8 dengan stage lanjut 81,8 dan status tampilan umum 2-3 63,6 . Karakteristik yang menunjukkan hubungan bermakna dengan hasil IGRA adalah lokasi tumor yang mengenai daerah lesi khas TB secara radiologis. Hitung limfosit total yang rendah berhubungan dengan hasil IGRA I dengan nilai tengah 999,88 277-1492,60 sel/ul.Kesimpulan: Proporsi TB laten pada pasien kanker paru di RSUP Persahabatan adalah 12,8 . Karekteristik pasien kanker paru yang berhubungan dengan TB laten adalah lokasi tumor yang mengenai daerah lesi khas TB walaupun belum dapat disimpulkan hubungannya secara biologis. Hasil IGRA I pada pasien kanker paru dengan hitung limfosit total yang rendah menunjukkan keterbatasan sensitivitas IGRA dalam mendeteksi infeksi TB laten pada pasien imunokompromais.Kata Kunci : infeksi TB laten, kanker paru, IGRA, hitung limfosit total

ABSTRACT
Background Lung cancer and pulmonary tuberculosis TB are two major public health problems associated with significant morbidities and mortalities. The increased prevalence of active TB and latent TB reactivation in lung cancer patients and the negative effect of pulmonary TB in lung cancer prognosis underline the need for a through screening of lung cancer patients for latent TB infection LTBI . The aims of this study are to determine the proportion of LTBI in lung cancer patients, their characteristics and the relationship between them.Methods This study used a cross sectional design and sample was collected using consecutive sampling of the 86 newly diagnosed treatment naive lung cancer patients from a referral respiratory hospital, Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta in 2015 to 2016. The presence of LTBI was determined by Quantiferon TB Gold In Tube QFT GIT after having Mycobacterium TB not detected result from Xpert MTB RIF sputum test. Demographic characteristics and cancer related factors associated with LTBI were investigated.Results There are 11 patients 12,8 with IGRA result and 16 patients 18,6 with IGRA indeterminate I result. Sociodemographic characteristics of lung cancer patients with latent TB are 63,6 male, mean of age 56 years, 36,4 with BCG immunization, 9 had TB close contacts history, 72,7 with a history of smoking. The clinical characteristics of these patients are 90 had a normal nutritional status with the median body mass index BMI 19,12 18,24 29,26 kg m2, the median of total lymphocyte count is 1856 1197 4210 cells ul, 9 with diabetes mellitus as comorbid, 81,8 of lung tumour located in the typical predilection for pulmonary tuberculosis. Most types of lung cancer are adenocarcinomas 81.8 with advanced stage 81,8 and the WHO performance status of 2 3 63,6 . Characteristics having significant relationship with IGRA results is the tumour located in the typical TB area radiologically. Low total lymphocyte count is associated with indeterminate IGRA results with median 999,88 277 1492,6 cells ul.Conclusion The proportion of latent TB in lung cancer patients is 12,8 . Characteristics of patients with lung cancer associated with latent TB is the location of the tumor lesions typical of the area although it can not be concluded biologically. Having indeterminate IGRA results in lung cancer patients with a low total lymphocyte count showed the limitations of QFT GIT in detecting latent TB infection in immunocompromised patients.Key words latent TB infection, lung cancer, IGRA, total lymphocyte count "
2016
T55572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>