Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137316 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widyantri Wulandini
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronik. Proses inflamasi yang terjadi akan mengeluarkan nitrit oksida (NO) sehingga pengukuran fraksi nitrit oksida ekspirasi saat ini dapat digunakan sebagai penanda hayati inflamasi yang dapat digunakan klinisi untuk memonitor derajat keparahan suatu penyakit dan efikasi dari pengobatan anti inflamasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan pada bulan Februari - April 2019 untuk melihat kadar NO ekspirasi pada pasien PPOK stabil. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan FeNO dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 53 subjek ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki - laki (86,79%) dengan rerata usia subjek adalah 63,45 + 8,53. Pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu PPOK non eosinofilik (58,5%) dan PPOK eosinofilik (41,5%). Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil sebesar 18 ppb. Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK non eosinofilik adalah 17 ppb dan pada kelompok PPOK eosinofilik adalah 22,5 ppb. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai kadar NO ekspirasi pada kedua kelompok namun tidak terdapat hubungan antara nilai kadar NO ekspirasi dengan hitung eosinofil maupun riwayat merokok pada kelompok PPOK non eosinofilik maupun PPOK eosinofilik.
Kesimpulan : Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil adalah 18 ppb.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that characterized by persistent airflow limitation, progressive and correlated with chronic inflammatory response. Inflammation process that occur will release nitric oxide (NO) then it makes fraction exhaled nitric oxide as an inflammation biomarker that clinician could use to monitor the degree of severity disease and efficacy of anti inflammation therapy.
Methods : This is cross sectional study that was conducted from February - April 2019 at National Referral Respiratory Center Persahabatan Hospital to know the value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient. Subjects were taken to participate in this study in a consecutive sampling basis and all patients were interviewed, physical examination, lung function test, FeNO test and laboratory test.
Results : Total 53 subjects were participated in this study with dominant male subjects (86,79%) and the mean age value is 63,45 + 8,53. This study is divided into two main groups which are COPD non eosinophilic (58,5%) and COPD eosinophilic (41,5%). The mean value of exhaled nitric oxide in COPD stable is 18 ppb. The mean value of exhaled nitri oxide in COPD non eosinophilic is 17 ppb and for group COPD eosinophilic is 22,5 ppb. There is a significant difference between exhaled nitric oxide in those two groups but there is no relation between exhaled nitric oxide with eosinophil count or smoking history in COPD non eosinophilic group and COPD eosinophilic.
Conclusion : Mean value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient is 18 ppb."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiyanti Tentua
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif, yang dapat digunakan untuk menilai kadar sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien PPOK berdasarkan GOLD 2017.
Metode penelitian : studi potong lintang dengan melibatkan 77 subjek pasien
PPOK stabil yang tidak eksaserbasi dalam 4 minggu terakhir dan berobat di poli asma-PPOK serta menyetujui informed consent. Pasien ini dilakukan wawancara dengan skoring CAT dan mMRC dan dilakukan pemeriksaan fisis serta mengambil data foto toraks atau CT Scan toraks pasien kemudian data spirometri terakhir diambil untuk mendiagnosis pasien tersebut PPOK. Pasien lalu digolongkan derajat PPOK stabilnya berdasarkan kriteria GOLD 2017, dan diambil sampel uji kondensasi udara napas untuk diperiksakan kadar sitokin interleukin (IL) -6, 8, 13 dan tumor necrosis factor (TNF)-α di laboratorium IMERI dengan pemeriksaan ELISA untuk masing-masing sitokin.
Hasil: Interleukin 8 dapat terdeteksi pada 8 (10,4 %) pasien dari jumlah 77 pasien
dengan nilai rata-rata 2,4 pg/mL, sedangkan kadar IL-13 dan TNF-α hanya terdeteksi pada 1 (1,3 %) pasien dengan nilai IL-13 6,912 pg/mL dan TNF-α 8,766 pg/mL. Kadar IL-6 terdeteksi pada 71 (92,2 %) pasien PPOK stabil dengan nilai rata-rata 0,7 pg/mL. Tidak ada hubungan antara kadar IL-8, IL-6, IL-13 dan TNF- α dengan derajat PPOK (p > 0,05), meskipun kadar IL-8 dan IL-6 ditemukan mengalami peningkatan pada masing-masing kelompok PPOK. Hanya satu pasien ditemukan semua kadar sitokinnya terdeteksi yang setelah ditelusuri, pasien
tersebut memiliki jumlah eosinofil darah 1120 /ÅμL dan nilai CRP darah 5,8 mg/L.
Kadar TNF-α dan IL-13 pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan
status merokok pasien (p = 0,00).
Kesimpulan: Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif yang dapat digunakan pada pasien PPOK stabil untuk menilai kadar sitokin proinflamasi pada pasien PPOK stabil.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic systemic inflammatory disease which is associated with high morbidity and mortality rates. The exhaled breath condensation (EBC) test is a non-invasive test method to assess pro-inflammatory cytokines levels in COPD patients based on GOLD 2017.
Methods: We performed a cross-sectional study involving 77 subjects with stable COPD who had not exacerbated in the past 4 weeks and treated at asthma-COPD outward clinic in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital. Subjects were interviewed with CAT and mMRC scoring system and were examined for their radiographic imaging by chest x-ray or CT. Patients were classified as stable COPD levels based on the GOLD 2017, and EBC were examined for levels of interleukin (IL) -6, 8, 13, and tumor necrosis factor (TNF)-α using ELISA methods.
Results: Interleukin 8 was detected in 8 (10.4%) patients out of 77 patients with an average value of 2.4 pg/mL, whereas IL-13 and TNF-α levels were only detected in 1 (1.3%) patient at 6.912 pg/mL and TNF-α 8.766 pg/mL, respectively. IL-6 levels were detected in 71 (92.2%) with average value of 0.7 pg/mL. There were no relationship between IL-8, IL-6, IL-13 and TNF-α levels with COPD degrees (p> 0.05), although IL-8 and IL-6 levels were found to be increased in each COPD group. Only one patient presented with all cytokine detected whose had a blood
eosinophil count of 1120 /ÅμL and a blood CRP level of 5.8 mg/L. TNF-α and IL-
13 levels in this study were correlated with the subject's smoking status (p = 0.00).
Conclusion: The EBC test is a non-invasive method that can be used in stable COPD patients to assess pro-inflammatory cytokines levels in stable COPD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Dewantoro
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) saat ini menjadi penyebab kematian nomor tiga didunia. Penyebab kematian paling sering pada pasien PPOK berkaitan dengan kelainan sistem kardiovaskular. Hipertensi merupakan komorbid yang paling sering ditemukan pada pasien PPOK. Pada pasien PPOK terjadi inflamasi sistemik yang dapat menyebabkan peningkatan kekakuan pembuluh darah dan terjadi hipertensi. Pasien PPOK dengan komorbid penyakit kardiovaskular/hipertensi memiliki angka morbiditas, mortalitas, kualitas hidup yang buruk, intoleransi latihan dan risiko rawat inap yang lebih tinggi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RSUP Persahabatan periode Maret 2023. Subjek penelitian didapatkan dari pasien PPOK stabil yang datang ke poliklinik asma dan PPOK RSUP Persahabatan. Setelah memenuhi kriteria, dilakukan pengumpulan data klinis, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan spirometri dan DLCO. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 84 subjek penelitian. Hasil penelitian ini mendapatkan proporsi hipertensi pada pasien PPOK stabil sebesar 60,7%. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai faal paru pasien PPOK (derajat GOLD), derajat beratnya PPOK klinis (grup A, B, C dan D), merokok (indeks brinkman) dan usia pasien PPOK dengan hipertensi. Sedangkan lama menderita PPOK dan nilai DLCO tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Kesimpulan : Proporsi hipertensi pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan sebesar 60,7%. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai faal paru pasien PPOK (derajat GOLD), derajat beratnya PPOK klinis (grup A, B, C dan D), merokok (indeks brinkman) dan usia pasien PPOK dengan hipertensi.

Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) currently is the third leading cause of death in the world. The most frequent cause of death in COPD patients is cardiovascular disease. Hypertension is a comorbid that is often found in COPD patients. In COPD patients, systemic inflammation occurs which can lead to increased vascular stiffness and hypertension. COPD patients with comorbid cardiovascular disease/hypertension have higher rates of morbidity, mortality, poor quality of life, exercise intolerance and risk of hospitalization. Methods : This research is a cross-sectional study conducted at National Respiratory Center Persahabatan Hospital in March 2023. The study subject were stable COPD patient and admitted to asthma and COPD clinic of Persahabatan Hospital. Clinical data, vital signs, spirometry and DLCO tests were collected. Results : There were 84 subjects participating in this study. The results of this study found that the proportion of hypertension in stable COPD patients in RSUP Persahabatan was 60.7%. There was a significant relationship between the lung function of COPD patients (GOLD degree), severity of clinical COPD (groups A, B, C and D), smoking (brinkman index), and age with hypertension. While there was no relationship between how long COPD diagnose, and DLCO. Conclusion : This study found that the proportion of hypertension in stable COPD patients is 60.7%. There was a significant relationship between the lung function of COPD patients (GOLD degree), severity of clinical COPD (groups A, B, C and D), smoking (brinkman index), and age with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaogi Syam
"Latar belakang: Panduan Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 memisahkan derajat spirometrik (GOLD 1234) dari grup ABCD untuk mempertajam diagnosis, prognosis dan pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hipereaktivitas bronkus (HBR) merupakan tanda khas penyakit asma yang juga ditemukan pada PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi HBR pada pasien PPOK stabil menurut pengelompokkan GOLD 2017.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada 80 subjek PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik asma PPOK RS Persahabatan sejak bulan Mei 2018 hingga Maret 2019. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan spirometri (VEP1/KVP <0.7) pasca uji bronkodilator. Hipereaktivitas bronkus dikonfirmasi menggunakan PC20 (Provocative Concentration 20) pada uji provokasi bronkus menggunakan zat metakolin <4 mg/ml (VEP1 ≥ 20%) yang dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Prevalens HBR pada PPOK dalam penelitian ini sebesar 73,7% (59/80) dengan proporsi 69,7% (46/66) subjek laki-laki dan 92,9% (13/14) subjek perempuan. Hipereaktivitas bronkus ditemukan paling banyak pada grup PPOK B dan D (27,1% dan 33,9%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan paling banyak di grup A dan D (11,25% dan 17,5%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan pada grup B (11,25%). Derajat keterbatasan aliran udara ditemukan paling banyak pada GOLD 2 dan 3 (40,7% dan 44,1%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan pada GOLD 2 (20%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan sama pada GOLD 2 dan 3 (16,25%).

Background: The Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 has separated spirometric grades (GOLD 1234) from the symptom groups (ABCD) to improve diagnosis, outcome and therapy for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients. Bronchial hyperreactivity (BHR) is thought to be a hallmark of asthma, yet it has been observed to occur in COPD.This study was to identify BHR in stable COPD patients according to GOLD 2017 grouping.
Methods: This cross-sectional study observed 80 stable COPD patients treated at asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between May 2018 and March 2019. Diagnosis of COPD was done by spirometry (post-bronchodilator test FEV1/FVC<0.7). Bronchial hyperreactivity was confirmed by PC20 (Provocative Concentration 20), a bronchial challenge test using methacoline <4 mg/mL (FEV1 drop ≥20%). These were performed in all subjects within the inclusion criteria.
Results: Prevalence of BHR in COPD was 73.7% (59/80), wherein 69.7% (46/66) males and 92.9% (13/14) females were BHR in COPD. Bronchial hyperreactivity was found mostly in Group B and D (27.1% and 33.9, respectively). Mild BHR was found mostly in Group A and D (11.25% and 17.5%, respectively) while moderate to severe BHR were found in Group B (11.25%). Airflow limitation was found mostly in GOLD 2 and 3 (40.7% and 44.1%, respectively). Mild BHR was mostly found in GOLD 2 (20.0%) while moderate to severe BHR were equally found in GOLD 2 and 3 (16.25%, both).
Conclusion: Prevalence of BHR in stable COPD patients was 73.7% and mild BHR was common in stable COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adistya Sari
"Latar Belakang : Tuberkulosis endobronkial (TBEB) adalah salah satu bentuk TB yang terus menjadi masalah kesehatan karena komplikasi berupa bronkostenosis yang tetap terbentuk walaupun sudah mendapatkan obat antituberkulosis (OAT). Gejala dan tanda pernapasan yang tidak khas menyebabkan sering terjadi keterlambatan dan kesalahan diagnosis. Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional (RSRRN) Persahabatan belum memiliki data mengenai keberhasilan pengobatan TBEB setelah pemberian OAT.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pada pasien dengan diagnosis TBEB berdasarkan data bronkoskopi dan rekam medis sejak bulan Januari 2013 sampai Desember 2017. Diagnosis TBEB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi atau berdasarkan kombinasi gejala klinis, radiologis dan tampilan lesi bronkoskopi. Pengobatan TBEB dianggap berhasil bila terdapat perbaikan klinis disertai perbaikan atau jumlah lesi TBEB tidak berkurang dan tampilan radiologi.
Hasil :Sampel penelitian terdiri dari 30 subjek. Mayoritas subjek adalah perempuan (86,7%), usia <20-39 tahun (73,3%), berpendidikan tinggi (90%), tidak bekerja (56,6%), status gizi kurang (58,3%), belum pernah mendapat OAT (63,3%), tidak ada riwayat kontak TB (83,4%), tidak merokok (86,7%) dan tidak ada komorbid (76,6%). Sesak napas (83,3%) merupakan gejala respirasi yang paling sering dikeluhkan pasien. Stridor dan ronki merupakan tanda yang paling sering didapat (36,7%).Infiltrat, fibroinfiltrat dan konsolidasi merupakan gambaran radiologis yang paling sering didapat pada foto toraks (26,6%). Sedangkan pada CT scan toraks paling banyak didapatkan gambaran konsolidasi (45%). Lesi TBEB terbanyak didapatkan di trakea (60%) dan berbentuk fibrostenosis 86,7%). Tujuh puluh persen pasien mendapat pengobatan OAT jenis non KDT, mendapat steroid inhalasi (73,3%) dengan median lama pengobatan TBEB adalah 12 bulan. Keluhan membaik setelah pemberian OAT dari klinis pada 76% pasien, bronkoskopi 20% pasien, foto toraks 23% pasien dan CT scan 16,6% pasien.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TBEB adalah 43%, sebanyak 17% keluhan membaik disertai sekuele dan 40% tidak dapat dinilai.

Background: Endobronchial tuberculosis (EBTB) is a special form of respiratory tuberculosis that continues to be a health problem because bronchostenosis may develop as a serious complication despite efficacious antituberculosis chemotherapy. The EBTB has nonspesific signs and symptoms, therefor it may cause misdiagnosis and delayed diagnosis. Persahabatan National Respiratory Referral Hospital doesnt have data about successful treatment of EBTB
Method: This was a retrospective study of EBTB patients based from the medical record and confirm with bronchoscopy data from January 2013 to December 2017. Endobronchial tuberculosis diagnosed based from microbiology, histopathology examination or based on combination of clinical symptoms, radiology and bronchoscopy lesion appearance. Endobronchial tuberculosis treatment considered successful if there is improvement in clinical symptoms, microbiological conversion, accompanied by improvement or no change in the number of lesions or the radiological appearance.
Results: The study sample consisted of 30 subjects. Majority of the subjects were female (86,7%), age <20-39 years (73,3%), highly educated (90%), not working (56,6%), malnutrition (58,3%), never received antituberculosis medication (63,3%), not smoking (86,7%) and has no comorbidities (76,6%). Shortness of breath (83.3%) is the most complained symptom. Stridor and rhonchi are the most frequent signs (36.7%). Infiltrate, fibroinfiltrates and consolidation are the most common radiological images on chest X-ray (26.6%). Whereas most chest CT scans obtained a consolidated picture (45%). Most EBTB lesions were fibrostenosis (86,7%) found in the trachea (60%). Seventy percent of patients received non fix dose combination (FDC) type antituberculosis treatment (ATT), received inhaled steroids (73.3%) with a median duration of TBEB treatment was 12 months. Complaints improved after administration of ATT in clinical symptoms in 76% of patients, bronchoscopy 20% patients, chest X-ray 23% patients and CT scans 16.6% patients.
Conclusion: The success of EBTB treatment is 43%, as many as 17% of complaints improve with sequels and 40% cannot be assessed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55542
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fikri Syadzali
"Pendahuluan: Timoma adalah salah satu jenis dari tumor epitel timus yang paling sering ditemukan pada keganasan di mediastinum anterior yaitu sekitar 20% dari keganasan mediastinum. Timoma memiliki angka kejadian antara 0,2 – 1,5% dari seluruh penyakit keganasan. Kemoterapi adalah salah satu penatalaksanaan untuk timoma stage III keatas. Berbagai kombinasi obat kemoterapi dapat diberikan pada pasien timoma dan menunjukkan respon yang baik dari pasien. Paduan cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) adalah salah satu paduan kemoterapi yang digunakan di Indonesia terutama di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi dan toleransi kemoterapi dengan panduan obat cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) pada timoma.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta, Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2015 sampai Desember 2019. Kami meninjau rekam medis 118 pasien dengan diagnosis timoma dan 17 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 17 pasien yang termasuk dalam penelitian ini, laki-laki 47,06% dan perempuan 52,94%. Median usia pasien adalah 50 tahun. Jenis sel A (47,06%) dan stage IVA (64,71%) adalah yang terbanyak. Anemia (11,24%) adalah toksisitas paling sering terjadi pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan ADOC. Rerata PFS sebesar 22,87±5,01 bulan dengan median 23 bulan. Rerata OS pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan obat ADOC adalah 26,95±4,88 bulan dengan median 25 bulan (IK 95%; 6,46- 43,55).Overall response rate pada penelitian ini yaitu 35,29% dan clinical response rate 88,23%

Introduction: Thymoma is a major type thymic epithelial tumor in the anterior mediastinum with incidence rate of 0.2–1.5% of all malignancy. Stage III thymoma is considered to receive chemotherapy as main treatment. Various combinations of chemotherapy drugs can be given to thymoma patients and show a good response from patients. Cisplatin, doxorubicin, vincristine, and cyclophosphamide (ADOC) is one of the chemotherapy alloys used in Indonesia, particularly in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan.
Aims: To determine the efficacy and tolerance of thymoma chemotherapy using ADOC.
Methods: We performed a retrospective cohort observational analysis in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia. Subjects by means of total sampling were patients between January 2015 to December 2019. We reviewed the medical records of 118 thymoma patients, of which 17 were met the inclusion criteria.
Results: We included 17 patients, of which consisted of 47.06% males and 52.94% females. The median age of the patient was 50 years old. Cell type A (47.06%) and stage IVA (64.71%) were found in this study. Anemia (11.24%) was the common toxicity in thymoma patients receiving ADOC chemotherapy. The mean progression free survival (PFS) was 22.87 ± 5.01 months with median of 23 months. The mean overall survival in thymoma patients receiving ADOC drug chemotherapy was 26.95 ± 4.88 months with a median of 25 months (95% CI; 6.46-43.55).The overall response rate in this study was 35.29% and the clinical response rate was quite good at 88.23%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55665
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamka Rauf
"Pendahuluan: Pemeriksaan baku emas swab nasoorofaring dengan metode Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan prosedur diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan suspek COVID-19. Metode lain yang digunakan yaitu dengan pemeriksaan serologi yang mulai terbentuk dalam beberapa hari hingga minggu.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara hasil swab nasoorofaring dan uji serologi terhadap luaran pasien COVID-19 dalam evaluasi masa rawat 14 hari
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif terhadap pasien COVID-19 yang dirawat di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta, Indonesia secara total sampling diperoleh dari bulan Maret 2020 sampai Mei 2020. Kami meninjau rekam medis 132 pasien dengan diagnosis probable case dan confirmed case COVID-19 yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 132 pasien yang termasuk dalam penelitian ini, didominasi oleh laki-laki sebanyak 51,5% dengan usia rerata 50,23 tahun. Derajat pneumonia berturut-turut yaitu derajat ringan, sedang, dan berat (17,4%, 57,6%, dan 25,0%). Proporsi pasien dengan komorbid sebanyak 71,2%. Proporsi penggunaan alat bantu napas terbanyak yaitu penggunaan kanula hidung (69,7%) diikuti berturut-turut oleh Ventilator, non rebreathing mask dan high flow nasal cannule (13,6%, 9,1% dan 7,6%).. Proporsi kematian sebesar 18,3%, dengan proporsi kematian pada confirmed case sebanyak 21,3% dan probable case sebanyak 19,3%. Tingkat kematian pada confirmed case berkorelasi terhadap jenis kelamin laki-laki (p =0,009), derajat pneumonia berat (p=0,000), penggunaan alat bantu napas bukan kanula hidung (p=0,000) dan komorbid (p=0,021). Tingkat kematian pada probable case berkorelasi dengan derajat pneumonia berat (p=0,000), penggunaan alat bantu napas bukan kanula hidung (p=0,000).
Kesimpulan: Kombinasi penggunaan swab nasoorofaring dan hasil uji serologi dapat memprediksi luaran pasien COVID-19 dalam evaluasi masa rawat 14 hari. Derajat pneumonia berat dan penggunaan alat bantu napas bukan kanula hidung merupakan prediktor buruk terhadap luaran pasien COVID-19.

Introduction: Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) to detect SARS- CoV-2 is a gold standard method in a patient with suspected COVID-19 and achievable by means of nasopharyngeal and oropharyngeal swab. Serological test is another method to detect the antibody which is produced in a several days or week.
Aims: To determine the association between nasooropharyngeal swab and serological test to predict the mortality of COVID-19 patient after 14-days admission.
Methods: We performed an observational retrospective cohort analysis of COVID-19 patients treated at National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia. Subjects by means of total sampling were COVID-19 patients between March to May 2020. We reviewed the medical records of 132 patients categorized as probable and confirmed cases whom met the inclusion criteria. Their 14-days course of the treatment were observed.
Results: We included 132 patients, which dominated by males (51.5%) with mean age of
50.23 years old. Cases were mild pneumonia, moderate pneumonia, and severe pneumonia (17.4%, 57.6%, and 25.0%, respectively). Most patients presented with comorbidities (71,2%). Most patients required oxygen supplementation by nasal cannula (69.7%), followed by mechanical ventilator, non-rebreathing mask, and high flow nasal cannula (13.6%, 9.1%, and 7.6%, respectively). Patient deaths were 18.3%, including 21.3% among confirmed cases and 19.3% among probable cases. Mortality among confirmed case were correlated with male sex (p=0.009), severe pneumonia (p=0.000), supplemental oxygen delivery requiring device other than nasal cannula (p=0.000), and comorbidities (p=0.021). Mortality among probable cases were correlated with severe pneumonia (p=0.000), and supplemental oxygen delivery requiring device other than nasal cannula (p=0.000).
Conclusions: Combination of nasooropharyngeal swab and serological test results predicted the 14-days outcomes of COVID-19 patients. Severe pneumonia and supplemental oxygen delivery requiring device other than nasal cannula were predictors of poor COVID-19 outcomes as observed from our study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indiane Putri Ningtias
"Latar Belakang : Kanker paru merupakan salah satu penyakit yang memiliki beban terbesar di dunia. Pajanan zat karsinogen merupakan salah satu faktor risiko kanker paru, baik pada rokok maupun di lingkungan, Zat karsinogenik di tempat kerja yang dapat menyebabkan kanker paru adalah silika, asbes dan radon. Silika merupakan salah satu zat karsinogenik dalam IARC kelompok 1. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kadar silika kurasan bronkoalveolar pada pasien kanker paru, serta riwayat pajanannya.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional pada pasien tumor paru yang akan dilakukan tindakan diagnostik baik dari instalasi rawat jalan maupun rawat inap di RS Persahabaran. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dalam kurun waktu April 2019 sampai dengan Juni 2019.
Hasil : Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 42 pasien kanker paru yang tegak jenis. Prevalens kanker paru dengan riwayat pajanan silika sebanyak 71.4%, status pajanan terbanyak dari pekerjaan sebanyak 38.1%. Kadar silika kurasan bronkoalveolar terbanyak adalah positif sebanyak 54,8% dengan rata-rata tertinggi dari pajanan pekerjaan dan rokok (2.85±2.9). Hasil ini bermakna secara statistik dengan nilai p<0,05. Jenis keganasan terbanyak dengan kadar silika positif adalah adenokarsinoma sebanyak 44%. Terdapat hubungan bermakna antara status pajanan dengan kadar silika (p 0.001), jenis pekerjaan dengan kadar silika (p 0.000), masa kerja dengan kadar silika (p 0.014), lama kerja dengan kadar silika (p 0.031), penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan kadar silika (p 0.005)
Kesimpulan : Didapatkan kadar silika yang positif pada pasien kanker paru dengan riwayat pajanan silika dari pekerjaan dan rokok, terdapat hubungan antara status pajanan, jenis pekerjaan, masa kerja, lama kerja dan riwayat penggunaan APD dengan kadar silika kurasan bronkoalveolar pada pasien kanker paru.

Background: Lung cancer is one leading cause of death in the world. Carcinogenic exposure is one of the risk factors for lung cancer, both in cigarettes and environment. Carcinogenic substances at work that can cause lung cancer are silica, asbestos and radon. Silica is one of the carcinogenic substances in IARC group 1. The purpose of this study was to determine the silica levels of bronchoalveolar lavage lung cancer patients and their exposure history of silica.
Method: This is cross sectional study based on prodiagnostic lung tumor patients measures both from outpatient and inpatient installations at Persahabatan Hospital. Sampling was done by consecutive sampling in the period April 2019 until June 2019.
Results: Sample of this study match with inclusion criteria are 42 patients with confirmed lung cancer. The prevalence of lung cancer with history of silica exposure was 71.4%, the most from occupational exposure was 38.1%. The highest amount of bronchoalveolar lavage silica was positive as much as 54.8% with the highest average of occupational and cigarette exposure (2.85 ± 2.9). This result is statistically significant with p value <0.05. The most common type of malignancy with positive silica levels was adenocarcinoma 44%. There is significant relationship between exposure status with silica levels (p 0.001), types of occupation with silica levels (p 0.000), years of service with silica levels (p 0.014), length of work with silica levels (p 0.031), use of Personal Protective Equipment with silica levels (p 0.005)
Conclusion: Positive silica levels from bronchoalveolar lavage in lung cancer patients with exposure silica history was found, the most from occupational and cigarettes exposure, there is relationship between exposure status, occupational type, length of service, length of work and history of using personal protective equipment with bronchoalveolar lavage silica levels in lung cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sutera Insani
"ABSTRAK
Metode : Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol berpasangan, dilakukan di ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2018-Maret 2019. Kriteria kasus semua pasien yang terdiagnosis HAP saat perawatan, kriteria kontrol berpasangan adalah, jenis kelamin sama dengan kasus, usia ± 10 tahun dengan kasus dan dirawat di ruang perawatan yang sama dengan kasus. Pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat infiltrat baru dibandingkan dengan foto lama. Pada kelompok kasus dilakukan pemeriksaan biakan sputum dan darah sebagai data pola mikroorganisme HAP.
Hasil : Didapatkan 25 kasus HAP dan faktor risiko HAP dinilai dari 23 pasang subjek penelitia. Faktor risiko intrinsik yang paling berperan pada HAP adalah hipoalbuminemia (OR 5 [IK 95% 3,34-6,63], p=0,039). Faktor ekstrinsik HAP yang paling berperan adalah penggunaan obat lambung dengan (p=0,016). Pola mikroorganisme pasien HAP dari 25 pasien HAP biakan yang tumbuh 19 (78,7% dahak dan 21,3% darah). Lima belas sampel (78,9%) adalah Gram negatif, dan 5 (26,3%) diantaranaya adalah Acinetobacter baumanii. Dari 19 mikroorganisme yang tumbuh terdapat 63,5% MDRO.
Kesimpulan: Hipoalbuminemia adalah faktor risiko yang paling berperan dalam terjadinya HAP serta mikroorganisme terbanyak adalah Acinetobacter baumanii.

ABSTRACT
Background: Hospital acquired pneumonia (HAP) is the second largest cause of nosocomial infections. The pneumonia occurs after 48 hours of inpatient admission in hospital. Risk factors affecting HAP consists of intrinsic and extrinsic factors. Early detection of risk factors would decrease morbidity and mortality in HAP case.
Objectives: This study was to identify risk factors that influence the occurrence of HAP infections and microbiological profile of HAP patients.
Methods: This matched-case control study involved patients treated at regular wards (e.g. not an intensive care ward) of National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia between November 2018 and March 2019. The case and control group were matched for their sex, age (±10 yo), and length of hospital stay (±7 days). Both groups received chest x-ray (CXR) examination while the control group exclusively received sputum and blood culture for microbiology of HAP.
Results: This study involved 25 HAP patients and 23 matched-control patients. The main intrinsic risk factor for HAP was hypoalbuminemia (OR 5.00 [CI95% 3.34-6.63], p=0.039) and the main extrinsic risk factor for HAP was administration of gastric medications (p=0.016). Nineteen out of 25 microbiological samples were collected; of which, 78.7% were collected from sputum culture and 21.3% were collected from blood culture. Fifteen (78.9%) of those were positive for Gram-negative, 5 (26.3%) were positive for Acinetobacter baumanii, and 12 (63.5%) were positive for multi-drug resistance organism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>