Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143505 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tadjoedin Saman
"Layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi atau yang saat ini kita kenal sebagai salah satu layanan financial teknology peer to peer lending merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi informasi dibidang sektor jasa keuangan yang pada saat ini diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penelitian ini hendak membahas mengenai peran Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatur dan melindungi konsumen yang menggunakan layanan pada sektor jasa keuangan di Indonesia dan bentuk perlindungan konsumen sektor jasa keuangan berupa mekanisme penyelesaian sengketa yang menggunakan jasa layanan peer to peer lending (pinjaman online) ilegal oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Peraturan Perundang-Undang. Metode penelitian yang digunaan adalah dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang menghasilkan tipologi penelitian deskriptif. Kesimpulan pertama dalam penelitian ini adalah dalam perlindungan konsumen yang menggunakan layanan pada sektor jasa keuangan di Indonesia, prinsip perlindungan konsumen mengacu pada POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Kedua, terhadap konsumen yang menggunakan layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berpedoman pada POJK No.77/POJK.01/2016, namun POJK ini hanya melindungi konsumen yang menggunakan layanan pinjam meminjam yang sudah terdaftar dan berizin resmi di OJK. Sehingga, terhadap konsumen yang menggunakan layanan pinjam meminjam yang tidak terdaftar resmi atau ilegal tidak mendapatkan perlindungan oleh OJK. Namun seharusnya OJK tidak serta merta lepas tangan dalam memberikan perlindungan kepada konsumen yang menggunakan peer to peer lending ilegal karena OJK memiliki concern dalam memberikan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan di Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Peer to Peer Lending is a form development of information technology in financial services sector, which is currently regulated by Indonesian Financial Services Authority Regulation No. 77/POJK.01/2016 on Information Technology-based Loans and Lending Services. This thesis will analyze the role of the Indonesian Financial Services Authority in regulating and protecting consumers’ rights and their usage of financial services and other consumers protection effort, especially in regards to financial services dispute resolution mechanisms. This research will analytically describe principles of consumers protection who have used financial services under the Financial Services Authority Regulation No. 1/POJK.07/2013 on Consumer Protection in Financial Services Sector. Furthermore, consumers who used Peer to Peer Lending services based on Financial Services Authority Regulation No. 77/POJK.01/2016 will find that this regulation only protects consumers who used loans and lending services which have been officially registered and authorized by the Indonesian Financial Services Authority. Other legal consequences which include, but not limited to, leakage of personal information, financial default, or any other legal actions beyond the regulations’ limit remains unprotected. But, OJK should not able to say that OJK cannot provide protection to consumers who use illegal peer to peer lending because OJK has concern in providing consumer protection in the financial services sector in Indonesia, as stipulated in article 28 of law No. 21 Year 2011 on OJK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Shazi Rajendra Kirana
"Teknologi finansial berbasis Peer to Peer Lending mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Data Statistik Fintech Periode Desember 2020 milik OJK
menunjukkan bahwa seiring pesatnya pertumbuhan pengguna layanan Peer to Peer Lending, angka Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) justru mengalami
penurunan yang artinya semakin banyaknya kasus gagal bayar pada aktivitas Peer to Peer Lending. Akan tetapi AFPI melalui Pedoman Perilaku Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Secara Bertanggung Jawab justru mewajibkan seluruh penyelenggara Peer to Peer Lending untuk menyatakan bahwa risiko gagal bayar ditanggung sepenuhnya oleh pemberi pinjaman kecuali diatur lebih lanjut mengenai pertanggungan. Platform x sebagai penyelenggara inovasi keuangan digital dalam klaster aggregator dengan Peer to Peer Lending sebagai
salah satu layanannya hadir dengan mengusung inovasi berupa dana proteksi guna melindungi pemberi pinjaman ketika mengalami gagal bayar. Akan tetapi pada laman surat pembaca masih ditemukan adanya aduan dari pengguna platform x terkait gagal bayar. Oleh karena itu, Penulis mengangkat dua pokok permasalahan yaitu bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman pada penyelenggaraan teknologi finansial berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia dan implementasinya oleh platform x dalam kasus gagal bayar. Bentuk penelitian pada skripsi ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif yang didukung oleh alat pengumpulan data berupa bahan pustaka dan wawancara.
Kesimpulan yang didapat ialah pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman terhadap kasus gagal bayar dalam penyelenggaraan teknologi
finansial berbasis Peer to Peer Lending di Indonesia sudah cukup beragam untuk menjamin kepastian hukum, akan tetapi pengaturan itu masih bersifat umum dan
tidak ada pengaturan khusus mengenai kasus gagal bayar, platform x telah mengimplementasikan pengaturan tersebut dalam kasus gagal bayar dengan cukup baik akan tetapi masih terdapat beberapa kewajiban yang belum sepenuhnya platform x laksanakan.

Financial technology based on Peer to Peer Lending is experiencing rapid development in Indonesia. OJK's December 2020 Fintech Statistical Data shows that along with the rapid growth of Peer to Peer Lending service users, the 90-Day Payment Success Rate (TKB90) has actually decreased, which means that there are more cases of default in Peer to Peer Lending activities. However, AFPI through its Code of Conduct for Responsible Financial Technology Based on Peer to Peer Services requires all Peer to Peer Lending providers to state that the risk of default is fully suffered by the lender unless further regulated regarding coverage. Platform x as the provider of digital financial innovation in the aggregator cluster with Peer
to Peer Lending as one of its services comes by bringing innovation in the form of protection funds to protect lenders when they against the case of default. However, on the reader's letter page, there are still complaints from platform x users regarding
default case. Therefore, the author raises two main issues, namely how to regulate legal protection for lenders in the implementation of financial technology based on Peer to Peer Lending in Indonesia and its implementation by platform x in case of default. The form of research in this thesis is juridical-normative with a descriptive
research typology supported by data collection tools in the form of library materials and interviews. The conclusion obtained is that the regulation regarding legal protection for lenders against default cases in the implementation of Peer to Peer Lending-based financial technology in Indonesia is diverse enough to ensure legal certainty, but the arrangement is too general and there are no special arrangements
regarding default cases. Platform x has implemented these arrangements in the case of default quite well but there are still some obligations that platform x has not fully implemented.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inesya Zeahira
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi keuangan telah melahirkan konsep peer-peer lending (P2P Online lending yang membuka akses pinjaman tanpa peran lembaga keuangan seperti bank. Namun, perannya sebagai perantara membawa beberapa ancaman bagi pemberi pinjaman, yang mana mereka tidak selalu bisa mengharapkan jaminan keamanan seperti layanan bank konvensional, sehingga kredibilitas platform itu sendiri menjadi faktor penentu dan membuat pelapor memilih platform berdasarkan reputasi dan kepercayaannya. Penelitian ini mencoba untuk memahami persepsi investor terhadap platform P2P lending dan bagaimana reputasi tersebut. mempengaruhi kepercayaan pemberi pinjaman, dan apakah kepercayaan dapat menilai hubungan tersebut.Menggunakan 160 pemberi pinjaman Sebagai responden, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Moderated Regression Analysis (Linear Regression) dengan bantuan SPSS 23 untuk pengujian model yang diusulkan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan dan perlindungan memiliki pengaruh terbesar pada reputasi platform. Reputasi itu sendiri ditemukan memiliki efek positif pada kesediaan untuk memberikan pinjaman. Sedangkan kepercayaan ternyata tidak memiliki efek moderasi, melainkan pengaruh positif terhadap keputusan investasi pemberi pinjaman sebagai variabel independen.

ABSTRACT
The advancement of financial technology has given birth to the concept of peer-peer lending (P2P Online lending that opens access to loans without the role of an institution finance like a bank. However, its role as intermediary carries some threats to lenders, which they cannot always expect security guarantees like conventional bank services. So that credibility the platform itself becomes a determining factor and makes the informer choose a platform based on their reputation and trustworthiness. This research trying to understand investors' perceptions of P2P lending platforms and how that reputation affects lenders' confidence, and whether trust can judge the relationship. Using 160 lenders As respondents, this research was conducted using the Moderated Regression method Analysis (Linear Regression) with the help of SPSS 23 for model testing The proposed. The results show that security and protection have the biggest influence on a platform's reputation. Reputation itself was found to have a positive effect on willingness to provide loans. While trust It was found to have no moderating effect, but rather a positive influence on lenders' investment decisions as an independent variable."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Muhammad Iskandar
"

Dalam beberapa waktu terakhir financial technology atau biasa disebut fintech mengalami pertumbuhan yang amat pesat.  Salah satu kategori fintech yang sedang marak perkembangannya ialah peer to peer lending. Peer to peer lending menghubungkan akses pinjam dan meminjam dana berbasis online tanpa harus bertatap muka antara peminjam  (borrower) dan pendana (lender). Pada negara Indonesia peer to peer lending memiliki pertumbuhan jauh lebih pesat ketimbang pertumbuhan bank bila dilihat dari sisi akumulasi dana yang dipinjamkan kepada nasabah, dimana dalam dua tahun beroperasi akumulasi pinjaman yang telah disalurkan peer to peer lending mencapai 25 Triliun Rupiah. Karena terkenal dengan berbagai risiko serta kejahatan dari peer to peer lending di negara lain, banyak masyarakat masih terbilang ragu untuk berinvestasi pada peer to peer lending. Maka dari itu, para perusahaan peer to peer lending yang beroperasi di Indonesia membutuhkan strategi yang untuk meningkatkan keinginan meminjamkan dana (willingness to lend) pada masyarakat. Dalam pembuatan strategi tersebut, akan diteliti pengaruh faktor faktor yang signifikan dalam mempengaruhi keinginan meminjamkan dana (willingness to lend). Setelah didapatkan faktor tesebut, penelitian ini akan menggunakan importance-satisfacion analysis berdasarkan diskusi dengan expert dalam menentukan strategi mana yang tepat untuk dilakukan perusahaan peer to peer lending dalam meningkatkan keinginan meminjamkan dana (willingness to lend) serta meningkatkan satisfaction pada masyarakat Indonesia.


In recent years, financial technology or commonly called fintech experienced very rapid growth. One of the categories of fintech that is booming is peer to peer lending. Peer to peer lending connects online loan access and borrowing funds without having to meet face to face between the borrower and lenders. In Indonesia, peer to peer lending has a much faster growth than bank growth when viewed from the side of accumulated funds lent to customers, where in the two years of operation accumulated loans that have been channeled reached 25 Trillions Rupiah. Because it has known for its various risks and crimes from peer to peer lending in other countries, many people are still fairly hesitant to invest in peer to peer lending. Therefore, peer to peer lending companies which operated in Indonesia need a strategy to increase willingness to lend to the community. In making this strategy, the effect of factors that are significant in influencing willingness to lend will be examined. After obtaining these factors, this study will use importance-satisfacion analysis based on discussion with expert in determining which strategy is right for the company to increasing the willingness to lend as well as increasing satisfaction in Indonesian society

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Shakila
"Dengan tingginya risiko sistem keamanan yang ditimbulkan perusahaan financial technology membuat diperlukannya proses manajemen risiko dari pihak regulator untuk mengurangi mengurangi potensi fallibility/kerawanan sistem keamanan pada perusahaan financial technology bidang peer to peer lending di Indonesia. Dalam proses pelaksanaannya diperlukan kerjasama antara Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Asosiasi Fintech Pendanaan bersama Indonesia (AFPI). Penelitian ini mengacu pada teori risk management in public sector dan dalam menganalisis digunakan framework COSO ERM. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan post- positivist dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan beberapa aktor yang terlibat dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen risiko yang dilakukan pemerintah yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) terbukti dapat mengurangi potensi fallibility security system pada perusahaan fintech peer to peer lending karena sudah memenuhi enam dari tujuh indikator, yakni pengawasan dan tata kelola risiko, struktur operasional, identifikasi risiko, tingkat keparahan risiko, prioritas riisiko, dan respons risiko. Namun terdapat satu indikator yang tidak terpeuhi yaitu komitmen dalam nilai inti entitas. Selain itu, penyebab dari kerawanan sistem keamanan perusahaan fintech peer to peer lending dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu penerapan standar pengamanan data perusahaan, sumber daya perusahaan, serta ketersediaan roadmap manajemen risiko. Sedangkan, faktor eksternal yang mempengaruhi adalah ketidakpastian peraturan pemerintah, dalam kasus ini peraturan pemerintah sangat penting dalam melakukan proses pelaksanaan manajemen risiko.

The high risk of the security system posed by financial technology companies requires a risk management process from the regulator to reduce the potential fallibility of security systems in financial technology companies in the peer to peer lending sector in Indonesia. In the implementation process, cooperation between the Financial Services Authority, the Ministry of Communication and Information and the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) is required. This research refers to the theory of risk management in the public sector and in analyzing the COSO ERM framework is used. The approach in this study uses a post-positivist approach with data collection techniques through in-depth interviews with several actors involved and literature study. The results of this study indicate that risk management carried out by the government, namely the Financial Services Authority (OJK) and the Ministry of Communication and Information (Kominfo), is proven to reduce the potential fallibility of the security system in peer to peer lending fintech companies because it fulfills six of the seven indicators, namely supervision. and risk governance, operational structure, risk identification, risk severity, risk priority, and risk response. However, there is one indicator that is not fulfilled, namely commitment in the core values of the entity. In addition, the cause of the security system vulnerabilities of peer to peer lending fintech companies can be influenced by internal factors, namely the implementation of standards for securing company data, company resources, and the availability of risk management roadmaps. Meanwhile, the external factor that affects is the uncertainty of government regulations, in this case government regulations are very important in carrying out the process of implementing risk management."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonando Lucky Pradana Dyan Putra
"Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perkembangan digital dengan munculnya inovasi Fintech di bidang jasa keuangan salah satunya layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (layanan Peer to Peer (P2P) Lending).
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana perlindungan sektor jasa keuangan berbasis teknologi informasi dan sistem pendanaan bersama melalui layanan P2P Lending menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia serta akibat hukum yang timbul sebagai upaya perlindungan konsumen. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan doktrin doktrin ilmu hukum menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Pengaturan penyelenggaraan layanan P2P Lending sudah bersifat spesifik dan
menimbulkan terpusatnya regulasi P2P Lending. Akibat hukum yang ditimbulkan dari penyelenggara layanan P2P Lending yang merugikan, terdapat pertanggungjawaban penyelenggara selaku pelaku usaha kepada Pemberi Dana dan Penerima Dana yang merasa dirugikan dapat berupa perdata maupun pidana. Pemberi Dana dan Penerima Dana diharapkan cermat dalam memilih dan mempergunakan kegiatan layanan P2P Lending agar hak dan kewajiban yang dimiliki dapat terlindun

The use of advances in information technology has had an impact on digital development with the emergence of Fintech in the field of financial services, one of which is Information Technology-Based Co-Funding services (Peer to Peer (P2P) Lending). The problem on this research is how to protect the information technology-based financial
services sector and the joint funding system through P2P Lending according to the Indonesian laws and regulations, as well as the legal consequences that arise in order to protect consumers. This research uses normative juridical methods with a statutory and a doctrinal approach to legal science using primary, secondary and tertiary legal materials. Arrangements for the implementation of P2P Lending are specific and have
resulted in the centralization of P2P Lending. The legal consequences arising from the detrimental P2P Lending, there is the responsibility from the organizers as business actors to Pemberi danas and Penerima danas who feel aggrieved can be either civil or criminal. Pemberi danas and Penerima danas are expected to be selective in choosing and using P2P Lending so that their rights and obligations can be protected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Satria Kurniawan
"Perkembangan pesat layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi juga membawa risiko tinggi seperti masalah kredit macet. Tidak adanya sistem pertukaran data yang wajib untuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi telah mengakibatkan peningkatan risiko gagal bayar dari peminjam, berbeda dengan sektor perbankan. Sistem pertukaran data konsumen akan membantu Perusahaan Fintech untuk mendeteksi debitur macet, dan untuk mengurangi risiko kredit macet. Adapun dengan demikian mengenai rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana pertukaran data konsumen di sektor jasa keuangan, (2) bagaimana implementasi pertukaran data konsumen antara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. (3) pertukaran data konsumen yang tepat bagi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Metode Peneilitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Alat pengumpulan data adalah data sekunder berupa studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara. Dengan menerapkan penelitian hukum menggunakan pendekatan normatif, dan komparatif. Hasil penelitian yang dilakukan adalah sektor jasa keuangan memiliki dua adalah dua entitas pertukaran konsumen yang diatur oleh Otoritas Jasa. Meskipun ada dua entitas pertukaran data, pada praktiknya mayoritas layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi menggunakan entitias swasta..Dengan demikian pertukaran data konsumen yang paling cocok untuk pinjaman adalah LIPIP

The rapid development of Peer-to-Peer Lending Fintech also brings problem such as the high risk of the nonperforming loan. The absence of mandatory data exchange system has resulted in an increased risk of default from borrowers. Unlike the banking sector, where there are mandatory, there is no mandatory exchange information of consumer data between peer-to-peer lending Fintech companies. The consumer data exchange system would help Fintech Company to detect bad debtor, and to mitigate the risk of the nonperforming loan. This undergraduate thesis explores there main issues: (1) how consumer data sharing in Financial sector especially for Peer-to-Peer Lending Financial Technology consumer is regulated, and (2) how the implementation of consumer data exchange. (3) which is consumer data sharing is suitable for peer-to-peer lending Fintech companies.  By applying the normative legal research using the statute, and comparative approach and support by interview this undergraduate conclude that are two consumer exchange entities : (1) sistem Layanan Informasi Kreditur (SLIK), under Financial Service Authority (OJK). (2) Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP), under private entities, and consumer data exchange is regulated in several provision such as the Financial Service Authority (OJK) Law, Banking law, and also financial regulation. Even though there are two data exchange entities, in practice the majority of Peer-to-Peer Lending Financial Technology are using LPIP and non-using SLIK. The reason is SLIK seen as more tightly regulated, that can hinder growth or even losing business edge from other financial industry. Thus the most suitable consumer data exchange for lending is LPIP
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henrietta Sarah Mega
"Kegiatan berinvestasi untuk menumbuhkan aset merupakan hal penting dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu platform investasi yang menjadi pilihan populer adalah platform peer-to-peer lending dengan janji tingkat pengembalian atau return yang tinggi. Namun tingkat pengembalian investasi yang tinggi ini juga diikuti dengan risiko gagal bayar yang tinggi pula. Selain risiko gagal bayar, layanan peer-to-peer lending juga memiliki berbagai risiko operasional yang terdapat dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu dibutuhkan kepastian hukum untuk menjamin penyelenggaraan peer-to-peer lending berjalan dengan efisien dan aman. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan regulasi penyelenggaraan peer-to-peer lending di Indonesia, tanggung jawab penyelenggara atas risiko yang ada dalam layanan peer-to-peer lending, dan perlindungan hukum bagi investor dan penerima pinjaman yang menggunakan layanan peer-to-peer lending. Penelitian ini menemukan bahwa regulasi layanan peer-to-peer lending diatur dalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan OJK sebagai lembaga yang memiliki wewenang regulasi. Walau telah diatur untuk menjamin keamanan penyelenggaraannya, risiko dalam layanan ini tetap ada dan kerugian yang diderita pengguna akibat risiko tersebut menjadi tanggung jawab dari penyelenggara. Lebih lanjut, investor maupun penerima pinjaman memerlukan perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap haknya sebagai pengguna.

Investment activities to grow assets are important for economic growth. One of the investment platforms that has become a popular choice is the peer-to-peer lending platform with the promise of a high rate of return. However, this high rate of return on investment is also accompanied by a high risk of default. In addition to the risk of default, peer-to-peer lending services also have various operational risks involved in their business. Therefore, legal certainty is needed to ensure that the business of peer-to-peer lending runs efficiently and safely. The research method used in this research is normative juridical. This study aims to explain the regulations for peer-to-peer lending services in Indonesia, the responsibility of the company for the risks involved in peer-to-peer lending services, and legal protection for investors and loan recipients who use peer-to-peer lending services. This study finds that the regulation of peer-to-peer lending services is regulated in the rules made by Bank Indonesia and OJK as institutions that have regulatory authority. Even though it has been regulated to ensure the security of its implementation, risks in this service still exist and the losses suffered by the users due to these risks are the responsibility of the peer-to-peer lending company. Furthermore, investors and loan recipients need legal protection in the event of a violation of their rights as users."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radian Adi Nugraha
"Perkembangan teknologi finansial di satu sisi terbukti membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha, maupun perekonomian nasional, namun di sisi lain memiliki potensi risiko yang apabila tidak dimitigasi secara baik dapat mengganggu sistem keuangan. Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman dalam penyelenggaraan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau Peer-to-Peer Lending khususnya terkait risiko wanprestasi/default dan fraud oleh Penyelenggara LPMUBTI, baik yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan maupun penerapannya dalam Perjanjian. Selain itu penulis juga melakukan penelusuran dan perbandingan hukum di China dan India sebagai pembanding terhadap pranata hukum perlindungan pemberi pinjaman dalam industri LPMUBTI.

The rapid development of financial technology sector on the one hand has proven to bring benefits to consumers, business society and the national economy, but on the other hand has potential risks which if not properly mitigated could disrupt the state financial system. This thesis discusses the legal protection for lenders in the Information Technology-Based Money Lending Services or Peer-to-Peer Lending spesifically related to the risk of lending default and fraud by P2P Company, not only which already provided by laws and regulations but also its implementation in the Agreement. Furthermore, the author also conducts law research and comparisons in China and India as a comparator to Indonesias laws and regulations related to lender protection in the P2P lending."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Veronica
"ABSTRAK
Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek finansial juga, sehingga melahirkan financial technology. Karena basis teknologi finansial adalah teknologi informasi, maka penggunaan data dan informasi menjadi elemen utama industri. Untuk memaksimalkan potensinya, praktik financial technology membutuhkan penggunaan data pribadi milik pengguna produk/jasa. Mengingat sifat khusus dari data pribadi, perlindungannya harus ditegakkan secara ketat. Tidak adanya regulasi yang seragam mengenai perlindungan data pribadi dapat menimbulkan kekacauan di industri, ditandai dengan maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait. Berkaitan dengan hal tersebut, tesis ini membahas tentang konsep perlindungan data pribadi, privasi, serta tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak dalam industri financial technology, khususnya mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi (peer-to-peer lending). Berdasarkan penelitian yang komprehensif, ditemukan bahwa pengaturan perlindungan data pribadi oleh produk legislatif sektoral masih sangat minim dibandingkan dengan yurisdiksi lain bahkan peraturan nasional. Akibat pengaturan perlindungan yang tidak memadai, masyarakat dirugikan. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan meningkatkan pendekatan hukumnya untuk melindungi kepentingan publik.
ABSTRACT
The rapid development of information technology has brought significant changes in various aspects of human life. These aspects include financial aspects as well, thus giving birth to financial technology. Because the basis of financial technology is information technology, the use of data and information is the main element of the industry. To maximize its potential, the practice of financial technology requires the use of personal data belonging to product/service users. Given the special nature of personal data, its protection must be strictly enforced. The absence of uniform regulations regarding the protection of personal data can lead to chaos in the industry, marked by rampant violations committed by related parties. In this regard, this thesis discusses the concept of personal data protection, privacy, as well as the responsibilities and obligations of each party in the financial technology industry, especially regarding technology-based lending and borrowing services (peer-to-peer lending). Based on comprehensive research, it was found that the regulation of personal data protection by sectoral legislative products is still very minimal compared to other jurisdictions and even national regulations. As a result of inadequate protection arrangements, the community is harmed. Therefore, Indonesia is expected to improve its legal approach to protect the public interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>