Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Harsono Viery
"Tulisan ini bertujuan untuk rekonstruksi Gedanke Frege yang dapat diperluas pada analisis seperti sastra, humaniora, dan bahasa sehari-hari. Dalam tulisan ini, Gedanke diinterpretasikan sebagai potensialitas kebenaran dalam setiap pernyataan, di mana semua pernyataan dapat dimungkinkan benar dan dapat diserap per kalimatnya tanpa terlebih dahulu menuntut jalinan kalimat lainnya atau konteks eksternal yang memotivasi kalimat tersebut. Potensialitas tersebut mensyaratkan adanya korelasi antara Gedanke dengan `ada` sebagai penunjuk bahwa kalimat selalu merepresentasikan `ada` dalam konteks kalimat itu sendiri. Hal tersebut memerlukan sebuah interpretasi baru, karena kecenderungan komentator Frege yang cenderung mengatribusikan Gedanke dengan Being as such. Dari sana, potensialitas kebenaran berkorelasi dengan informasi yang kita miliki, sehingga ada proses saling merefleksi antara informasi dari konteks kalimat sendiri dengan kita, di mana yang benar adalah menjadi fakta. Dapat dikatakan, informasi bukan saja melebur, tetapi menjadi komparasi. Terakhir, fakta digunakan kembali untuk dikomunikasikan melalui pernyataan. Lingkaran interpretasi Gedanke tersebut saya sebut sebagai `hermeneutik analitik`. Sebuah konsep yang inheren dalam tradisi hermeneutika sekaligus analitik dalam perdebatan bahasa dan kebenaran. Hal tersebut merupakan perdebatan yang dimungkinkan dalam tulisan ini, sekaligus konsekuensi lebih luas dari aplikabilitas Gedanke dalam ranah bahasa yang lebih luas dari bahasa matematis. Metode yang dipakai adalah refutasi terhadap definisi gedanke seperti dari Dummet paralel dengan interpretasi Gedanke secara stipulatif, serta mengkonstruksi definisi stipulatif dari kalimat dan demonstratif teori John Perry dan Gareth Evans.

This paper aims to reconstruct Frege`s Gedanke which can be extended to analyzes literature, humanities, and everyday language. In this paper, Gedanke is interpreted as the potentiality of truth in each statement, in which all statements can be possibly true and can be absorbed per sentence without first demanding other interlacing sentences or the external context that motivates the sentence. This potential requires a correlation between Gedanke and being as a pointer that the sentence always represents being in the context of the sentence itself. This requires a new interpretation, because of the tendency of Frege commentators who tend to attribute Gedanke to Being as such. From there, the potentiality of truth correlates with the information we have, so that there is a process of mutual reflection between information from the context of our own sentence, where the truth is fact. It can be said, information is not only fused, but becomes a comparison. Finally, the facts are reused to be communicated through statements. I call the Gedanke circle of interpretation "herhemeutic analytic." A concept inherent in the hermeneutic tradition as well as analytic in language and truth debates. This is the debate that is possible in this paper, as well as wider consequences of the applicability of Gedanke in the wider realm of language than mathematical language. The method used is the refutation of the definition of gedanke as from Dummet parallel with the stipulative interpretation of Gedanke, as well as constructing the stipulative definition of the sentence and demonstrative theories of John Perry and Gareth Evans"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Darmaji
"Secara umum hermeneutik dimengerti sebagai teori penafsiran makna. Berdasarkan persoalan yang menjadi perhatian dalam hermeneutik, Josef Bleicher membagi hermeneutik menjadi tiga yaitu Teori Hermeneutik, Filsafat Hermeneutik, dan Hermeneutik Kritis. Hermeneutik Gadamer dimasukkan dalam kelompok Filsafat Hermeneutik. Filsafat Hermeneutik bertujuan untuk menerangkan dan membuat deskripsi fenomenologis atas Dasein dalam kaitan dengan temporalitas dan historisitasnya. Dengan demikian, pemikiran hermeneutik Gadamer dapat diringkaskan dengan istilah hermeneutik linguistik-ontologis daripada hermeneutik linguistik-epistemologis.
Dalam Truth and Method, Gadamer tidak bertujuan memberikan perangkat praktis untuk memahami dan menafsirkan teks, tetapi ingin menganalisis secara filosofis hakekat proses pemahaman dan penafsiran. Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbang epistemologis. Ia mengawali dengan analisis hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakekat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman. Alih-alih mengejar objektivisme absolut-universal ditekankan sifat perspektif-kontekstual dalam usaha pemahaman seraya mengakui adanya otonomi pada subjek dan objek dalam proses tersebut, yang diistilahkan dengan cakrawala pemahaman. Pemahaman terjadi dalam peleburan cakrawala melalui percakapan dengan struktur pertanyaan-jawaban dan bahasa sebagai medium yang bersifat spekulatif dan terbuka. Meskipun bahasa menjadi kunci pemahaman pemikiran hermeneutiknya, namun Gadamer mengingatkan keterbatasan bahasa yang tidak mampu menghadirkan ada dari realitas yang ingin ditunjukkan.
Bahasa yang mempunyai ciri spekulatif dan keterbukaan tersebut menggarisbawahi bahwa Bahasa selalu ada dalam proses mejadi (becoming). Bahasa mempunyai dinamika otonom untuk menyingkapkan realitas dari ada (the being of reality). Bahasa bukan hasil aktivitas metodis subjek, melainkan pekerjaan dari realitas itu sendiri. Pekerjaan dari realitas itu sendiri merupakan gerakan spekulatif yang sesungguhnya, yang menggerakkan pembicara. Pergeseran arah yang ditegaskan Gadamer, yaitu dari realitas itu sendiri, dari proses membahasanya makna, menunjukkan suatu struktur ontologis-universal. Atas dasar hal ini pemahaman dapat mengarahkan diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hani`ah
"Sebuah karya fiksi tidak hanya dihidupkan oleh imajinasi pengarang, tetapi juga oleh daya imajinasi dan penalaran pembacanya.
Hermeneutik Ricoeur tidak terlepas dari tujuan Ricoeur berfilsafat, yaitu memahami eksistensi manusia. Konfrontasinya dengan strukturalisme memaksanya pindah dari hermeneutik simbol ke hermeneutik teks. Dan teks yang sesuai dengan tujuan filsafatnya adalah teks sastra. Untuk itu, usaha Ricoeur mula-mula adalah membenahi bahasa yang sudah terlanjur 'diilmiahkan' oleh strukturalisme dengan jalan menyusun filsafat wacana. Dengan filsafat wacana, bahasa dikembalikan pada fungsinya yang sejati, yaitu alat komunikasi. Bahasa bukan objek melainkan mediasi, yaitu sarana untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu kepada orang lain. Jadi, wacana tidak didasarkan pada sistem bahasa, melainkan pada parole. Wacana adalah makna karena bertolak dari bahasa sebagai peristiwa. Dengan demikian kita baru dapat berbicara tentang sastra. Namun, perlu dicatat bahwa, menurut Ricoeur, hermeneutik mulai ketika dialog berakhir. Ini berarti, hermeneutik hanya dapat diterapkan pada teks tertulis, seperti novel atau drama.
Sastra adalah seni bahasa, sedangkan seni adalah alat untuk menyempurnakan keberadaan manusia. Seni bertugas menyempurnakan apa yang ditinggalkan oleh alam secara tidak sempurna. Jadi, seni memberi pengertian yang lebih baik dan lebih luas tentang diri kita sendiri dan benda-benda di sekitar kita. Dengan kata lain, seni membebaskan manusia dari ketertutupan dunia.
Pada seni sastra 'dunia teks' atau dunia fiktif yang terdapat di dalamnya itulah yang akan membebaskan manusia dari ketertutupan dunia tersebut. Dunia teks adalah dunia imajinasi yang bersifat hipotetis, dunia yang mungkin untuk diaktualisasikan, dunia di mana kita dapat merealisasikan potensi kita, dunia yang dapat kita huni sebagai alternatif dunia kehidupan kita yang konkret ini. Oleh sebab itu, dalam menghadapi karya sastra, kita-pembaca--diharapkan tidak memperlakukannya sebagai objek, melainkan sebagai mediasi. Kita berhubungan dengan tokoh-tokoh di dalam karya itu sebagaimana kita berkomunikasi dengan manusia biasa. Agar dengan demikian kita memahami tokoh-tokoh itu dan serentak memahami diri kita melalui empati kita dengan tokoh-tokoh itu. Inilah yang disebut verstehen yang merupakan ciri utama metode hermeneutik.
Langkah-langkah metode hermeneutik adalah: distansiasi, interpretasi, dan apropriasi. Momen distansiasi memberi otonomi semantik teks, yang meliputi otonomi makna teks dad intensi penulisnya, dari pembaca awal, dan dari situasi budayanya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan objektif sangat diutamakan. Dengan pemberian otonomi itu, makna teks harus ditafsirkan, yaitu dijelaskan menurut hubungan internalnya dan mencari konstitusi yang terbuka di depan teks, yaitu konstitusi yang mengacu ke dunia yang mungkin. Interpretasi mula-mula berupa pemahaman naif yang melihat karya secara utuh meliputi komposisi, genre, dan gaya. Di sini tugas kita membuat tebakan, yang dapat disejajarkan dengan hipotesis, dan validasi sebagai pembuktian yang dilakukan berdasarkan gramatika dunia teks. Tahap berikutnya pemahaman kritis yang diawali dengan eksplanasi, yaitu menjelaskan teks melalui analisis struktur teks (semiotik) untuk meradikalkan apa yang dicapai dalam pemahaman naif, dan diakhiri dengan apropriasi, yaitu mengembalikan apa yang semula diasingkan. Apropriasi mencakup sikap menerima (reseptif), mengecam (kritis), dan transformasi. Dengan apropriasi, pemahaman diri (katarsis) tercapai karena pembaca memperoleh makna berkat teks yang dibacanya. Makna seperti juga keindahan tidak terletak pada kata-kata di halaman buku, tetapi pada mata si pengamat. Metode ini dicoba diterapkan pada novel Pengakuan Pariyem (Linus Surjadi Ag.) yang mengisahkan kehidupan Pariyem, seorang wanita Jawa yang patuh pada nilai budayanya. Kehidupan yang dijalaninya dengan benar itu ternyata kini digugat. Hal ini membuat tokoh kita menjadi bingung. Dia tidak mengerti mengapa keberhasilan hidup yang diraihnya dianggap hina.
Dalam menghadapi novel dengan pendekatan objektif, momen distansiasi sudah kita lewati sehingga kita bisa langsung masuk ke momen interpretasi, yang mencakup tebakan dan validasi. Tebakan terhadap novel Pengakuan Pariyem adalah bahwa si pelaku yang berhasil mengangkat derajatnya dari babu menjadi selir itu adalah seorang pelacur. Dengan analisis deskriptif fenomenologis terhadap struktur intensional novel itu--validasi--kita mengetahui dan sekaligus memahami bahwa Pariyem bukan pelacur karena ia tidak menjual kehormatannya dan sepak terjangnya yang bebas itu adalah hasil internalisasinya terhadap nilai kejawen yang diyakininya. Akhirnya, pembaca dihadapkan dengan dua pilihan makna: setuju atau menolak perilaku Pariyem (momen apropriasi), yang selanjutnya bermuara pada transformasi diri bahwa ada yang lebih penting daripada menjadi bahagia, yaitu memahami situasi di mana kita hidup agar kita bisa menjalani hidup dengan benar.
Hermeneutik meletakkan tekanan pada aktivitas pembaca sastra. Membaca sastra adalah mengadakan dialog dengan karya sastra. Dengan dialog itu pembaca akan memperoleh pencerahan atau katarsis sehingga mampu memahami dirinya, jika ia berhasil memetik makna dari karya itu bagi dirinya. Dialog dengan karya sastra pada hakikatnya adalah dialog dengan hati nurani karena seni adalah penjelmaan budaya batin suatu bangsa. Kesediaan untuk mau berdialog dengan karya sastra berarti mengapresiasi sastra.
Formalisme yang menjadi subjek pengajaran sastra adalah teori sastra yang membombardir bentuk menjadi seni, tanpa mempedulikan isinya. Sebaliknya, pendidikan sastrayang sasarannya_ apresiasi--tidak terbatas pada bentuk saja karena keindahan mengharuskan adanya harmoni dalam hubungan bentuk dan isi. Jadi, pengajaran sastra hanya berguna sebagai suplemen bagi pendidikan sastra. Pendidikan bukan masalah pemberian pengetahuan, tetapi memberi keteladanan agar si terdidik memiliki kedewasaan jiwa. Sebagai potensi kreatif, sastra punya dunia imajinatif yang akan memindahkan pembacanya ke dunia itu sehingga terjadi fusi horison antara dunia teks dan dunia pembaca.
Akhirnya, perlu digaris bawahi bahwa metode hermeneutik ini mendukung teori resepsi, yaitu teori sastra di mana pembaca sendiri yang hares memberi makna pada karya yang dihadapinya bagi dirinya. Dengan teori resepsi, pengajaran sastra akan dituntut untuk memberi perhatian yang lebih kepada apresiasi sastra."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara
"Makalah ini membahas Fremdheit (keasingan) dan eksotisme Sumatra tahun 1911 yang ditemukan oleh Hermann Hesse dan tertulis pada roman "Aus Indien". Fremdheit dan eksotisme Sumatra muncul dari posisi Hermann Hesse sebagai das Eigene (The Self) yang berasal dari Jerman. Kedua hal ini akan mempengaruhi proses verstehen antara Hermann Hesse dan lingkungan Sumatra sebagai das Fremde (The Other).
Hasil analisis proses verstehen dalam penelitian adalah bergantinya posisi antara das Eigene dengan das Fremde dan bertambahnya cakrawala Hermann Hesse tentang Sumatra. Analisis menggunakan konsep Fremdheit dalam hermeneutik interkultural dan konsep eksotisme dalam wacana poskolonialisme.

The focus of this study is Fremdheit (strangeness) and the exotics of Sumatra in 1911 which was discovered by Hermann Hesse and written on the novel "Aus Indien". Fremdheit and the exotics of Sumatra emerged from Hermann Hesse's position as das Eigene (The Self) who comes from Germany. Both of these will affect the understanding process (verstehen) between Hermann Hesse and Sumatra's environment as das Fremde (The Other).
The results of the analysis in the verstehen (understanding) process are the alternation of position between das Eigene with Sumatra as das Fremde and the expanding of Hermann Hesse's horizon about Sumatra. The analysis uses the concept of Fremdheit in intercultural hermeneutics and exotism concept in postcolonial discourse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Asmarani
"Hermeneutika merupakan salah satu cabang ilmu dalam sastra. Melalui hermeneutika, sebuah teks ditafsirkan dan dikaji dengan cermat agar mendapatkan makna yang tepat. Di samping itu, hermeneutik juga dapat digunakan untuk memperluas cakrawala pengetahuan manusia. Dengan metode hermeneutik ini, penulis mengkaji salah satu bab dalam buku Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra karya Inge Schubart.
Buku ini merupakan buku jenis autobiografi, yakni pengarang berperan sebagai tokoh utama. Buku yang bedasarkan kisah nyata ini menarik untuk ditelaah karena pembaca akan mendapatkan wawasan baru mengenai sudut pandang, yang dikemukakan oleh Gadamer sebagai Horizont. Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra bercerita tentang seorang dokter wanita yang ditugaskan ke Desa Tjurup, Sumatera Selatan.
Buku ini mengajak pembaca untuk melihat secara jelas isi kepala pengarang yang mengalami gegar budaya karena kepindahannya ke daerah yang berbeda budaya. Peristiwa-peristiwa lintas budaya yang dialami oleh tokoh ich tersebut akan dianalisis melalui hermeneutika Gadamer beserta teori-teori yang terkait seperti interkultural dan unsur toleran oleh S. Yagi."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mardety
"Disertasi ini merupakan studi hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender telah melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme.
Tujuan disertasi ini adalah memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, yaitu mengeksplisitkan cara kerja dan asumsi-asumsi metodologis yang terkandung dalam hermeneutika feminisme. Konstribusi penting hermeneutika feminisme adalah memunculkan tafsir feminis, sebuah tafsir yang mengumandang suara perempuan dalam Alquran.

This dissertation is the study of feminist hermeneutics in the Alquran, particularly, implementing feminist hermeneutics in Wadud?s literature/texts. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has caused gender bias interpretations and has made women subordinate and oppressed. Gender isues spawned the view that the position of women in society is considered lower than male and female humanity is deemed incomplete. Thus, in order to achieve equality and gender justice, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Alquran for reinterpretation.
The purpose of this dissertation is to formulate models of feminist hermeneutics used in Wadud?s literature/texts. It shows how feminist hermeneutics works and methodological assumptions in feminist hermeneutics. The important contribution of feminist hermeneutics is to include feminist interpretation, an interpretation which articulates the voice of women in the Alquran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2078
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Harsono Viery
"Respon kontemporer terhadap akomodasi interpretasi psikologistik terhadap korpus fiksi di dalam filsafat oleh Jillian Isenberg merupakan salah satu motivasi tesis ini. Usaha tersebut memperluas pemahaman yang kurang lebih bertahan hingga hampir satu abad yang dimulai dari anggapan Frege dalam misi logisismenya terhadap menganggap suatu korpus logika dan psikologi tidak dapat saling tumpang tindih, dan lantas, fiksi yang erat dengan kondisi emosional manusia niscaya mengandung bahasa yang cenderung bersifat emotif yang tidak dapat dijustifikasi kebenarannya yang di mana kebenarannya dapat dijustifikasi setidaknya dengan memiliki referensi. Di dalam tulisan ini, kekhawatiran Fregean viz logisisme hingga kaum realisme fiksi seperti David Lewis hingga kaum bahasa keseharian seperti John Searl akan dikaji dengan kilas terhadap nilai kebenaran teori glap, yang ditawarkan oleh Jenny Matthias yang di mana teori glap merupakan sintesis dari teori kebenaran glut dan gap. Tesis ini berargumen bahwa kekhawatiran terhadap fiksi dapat dirumuskan terutama dalam dua poin: (1) Inkonsistensi kebenarannya, (2) Relasinya terhadap realitas aktual qua referensinya—saya akan menganggap permasalahan ini sebagai permasalahan kekaburan. (1) akan lebih banyak mendapat perhatian melalui teori kebenaran, terutama glap, (2) akan diteliti lebih lanjut melalui pandangan fiksi tanpa pretensi seperti oleh Isenberg didukung oleh Akiba di dalam pandangan modal terhadap kekaburan. Dengan validasi yang diberikan, saya menawarkan pandangan kerangka teoritik fenomenologis sebagai titik berangkat interpretasi atau alternatif selanjutnya di dalam korpus fiksi bagaimana sebenarnya pandangan psikologis sepenuhnya tidak dapat kita pertahankan melainkan adanya afirmasi intensional yang selalu mengikuti hingga di dalam logika sekalipun.

This thesis is inspired by the contemporary academic discourse on integrating psychological interpretations within the corpus of fictional philosophy, as exemplified by Jillian Isenberg's work. It extends the debate that has evolved over nearly a century, starting with Frege's assertion in his logicism that a corpus of logic and psychology are mutually exclusive. This assertion highlights that fiction, inherently linked to human emotions, often includes emotive language whose truth cannot be simply justified by references. This paper explores a range of perspectives from Fregean logicism to David Lewis's fictional realism, and everyday language analysis by John Searle. Special emphasis is placed on evaluating the 'glap' theory's truth value, proposed by Jenny Matthias. 'Glap' theory is a synthesis of the 'glut' and 'gaps' theories. The thesis argues that the dilemma of fiction can be primarily broken down into two issues: (1) The inconsistency in its truthfulness, and (2) Its relationship to actual reality in terms of references. These issues are approached as problems of vagueness.The focus is more on (1), examined through the lens of truth theories, particularly 'glap', while (2) is explored through a non-presumptive fictional perspective as advocated by Isenberg and supported by Akiba's modal view of vagueness. This thesis proposes a phenomenological theoretical framework as a foundational or alternative approach for interpreting the corpus of fiction, emphasizing that a purely psychological viewpoint is indefensible except for intentional affirmations that persist even in logic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlando Wawolumaya
"Tesis ini merupakan penelitian atas pemikiran Gottlob Frege yang mencoba untuk memanifestasikan prinsip-prinsip logika ke dalam tataran bahasa. Penelitian ini pada dasarnya lebih mengacu kepada problem yang krusial dalam logika mau pun bahasa, yaitu kebermaknaan. Kebermaknaan menjadi sebuah isu dalam logika yang menjadi ruang ontologis penyebab dari kesesatan dan ambiguitas. Problem kebermaknaan ini dimodifikasi sedemikian rupa oleh Frege agar mendapatkan definisi, posisi, serta pengertiannya yang tepat dalam tataran logika mau pun bahasa. Hanya dengan memahami isu-isu mengenai problem kebermaknaan lah, kita baru bisa memulai serta memfondasikan aktivitas berpikir kita, khususnya berfilsafat, di atas fondasi logika serta epistemologi yang aman dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.

This thesis is a study of the thought of Gottlob Frege that endeavors the manifestation of logical principles on language. This study is concern with the pivotal problem of logic and language, that is Meaning. Meaning is an issue of logic that has become an ontological space that enables fallacies and ambiguities. This problem of meaning is modified by Frege in order to have its proper definition, position, and concept in logic and language. Only with the understanding of the problem of meaning, we can be able to start and lay our thinking activity, especially philosophizing, on a secure foundation of logic and epistemology that is also philsophically-responsible."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28735
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
E. Sumaryono
Yogyakarta: Kanisius, 1999
121.68 SUM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ignasius Bambang Sugiharto
"Ilmu-ilmu manusia, dalam berbagai bentuk dan namanya yang berbeda-beda, telah mengalami sejarah panjang, hampir setua tradisi filsafat barat sendiri. Namun sejak bentuk awalnya sebagai sistem kurikulum'Paideia' Yunani hingga bentuk 'Studia Humanitatis' Renesanse sebetulnya persoalan metodologik belum merupakan isyu pokok. Persoalan metodologik ilmu-ilmu manusia baru muncul secara tajam terutama sejak paradigma Newtonian dianggap sebagai satu-satunya dasar yang sahih untuk melandasi ilmu pengetahuan. Dominasi paradigma fisika itu berkembang pada abad 17 dan 18 akibat bobot kepastian dan ketepatan hasil-hasil penyelidikannya yang eksperimental dan matematis. Dampak dari dominasi tersebut adalah krisis identitas khususnya pada filsafat (terutama filsafat moral), yang saat itu merupakan bidang pokok ilmu-ilmu manusia (Studia Humanitatis). Filsafat, dalam sifatnya yang metafisik dan teosentrik, tidak memiliki kepastian ala Fisika, maka cenderung dianggap tidak ilmiah. Dalam konteks inilah Kant muncul. Melalui 'Kritik atas Rasio murni'nya ia mengadakan tindakan 'penyelamatan' yang sangat penting. Di satu pihak filsafat sebagai Metafisika yangbersifat sintetik a priori (cenderung sangat spekulatip) itu ia singkirkan dari wilayah Pengetahuan ilmiah teoritik dan ia masukkan ke wilayah Rasio praktis. Di pihak lain iapun membuat batas-batas fundamental bagi pengetahuan ilmiah itu. Baginya pengetahuan ilmiah teoritik terbatas, bukan karena batas-batas realitas, melainkan karena pengetahuan manusia sudah selalu ditentukan oleh unsur-unsur a priori dari sensibilitas dan kemampuan pemahamannya sendiri. Tambahan pula pengetahuan tersebut hanya dapat bergerak di wilayah Fenomenal (spatio-temporal) belaka. Sedangkan wilayah filsafat (dan kesadaran moral/religius) adalah wilayah Noumenal Sambil melakukan tindakan penyelamatan itu Kant pun serentak melahirkan identitas baru bagi filsafat. Filsafat tidak lagi merupakan 'Ratu ilmu pengetahuan' (Queen of Sciences) melainkan menjadi 'Disiplin yang terdasar, yang melandasi llmu pengetahuan'. Keutamaan filsafat tidak lagi dalam posisinya sebagai 'Yang tertingi', melainkan sebagai 'yang terdasar'. Dengan kata lain Filsafat pada hakekatnya menjadi 'Teori dasar Pengetahuan'. 'Itulah sebabnya setelah Kant, pala pemikiran filsafat cenderung berorientasi epistemologik. Pola pemikiran epistemologik ini pada hakekatnya selalu hendak mengukur bobot pengetahuan berdasarkan satu kerangka/aturan dasar yang sama. Maka bersikap rasional disini berarti: mampu mencapai persetujuan dengan manusia lain tentang dasar yang satu dan sama. Meyakini bahwa tak ada atau tak perlu ada dasar yang satu dan sama itu berarti membahayakan rasionalitas. Pola berpikir yang biasa disebut 'foundational' sernacam itu kemudian berpengaruh besar tidak hanya dalam wilayah filsafat, melainkan juga dalam kegiatan-kegiatan ilmiah pada umumnya. Manakala disiplin-disiplin ilmu terpilah-pilah menjadi spesifik, maka dasar yang satu dan sama tadi mewujud dalam tatanan peristilahan teknis yang khas pada tiap disiplin itu, atau sebutlah dalam 'matriks disipliner' masing-masing ilmu itu. Tiap disiplin itu dibangun atas satu unsur, ungkapan, atau proses yang dianggap terdasar. Sebagian menganggap unsur itu terletak pada proses mental, sebagian lagi pada proses sosial, yang lain proses alam, dan sebagainya. Kenyataan inilah yang kemudian melahirkan kecenderungan reduktif dan sektoral pada ilmu - ilmu, termasuk ilmu-ilmu manusia. Bahayanya adalah bahwa kesempitan perspektif ilmu tertentu dimutlakkan sedemikian hingga realitas yang tak dapat dimasukkan dalam matriks disipliner ilmu tersebut dianggap bukan realitas. Gejala ini menandai kegiatan ilmu-ilmu manusia pula dan mengakibatkan krisis kemanusiaan abad ini. Demikianlah dengan ini hendak dikatakan, bahwa dalam persoalan metodo-logik ilmu-ilmu manusia, orientasi pemikiran epistemologik Kantian sebenarnya merupakan tonggak awal. Maka tak mengherankan bila persoalan metodologik ilmu-ilmu manusia terkemudian diolah oleh kelompok Neo-Kantian (Dilthey, Windelband dan Rickert)."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>