Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74349 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puri Ranggawacana
"Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22/POJK.04/2016 tentang Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek mengatur segmentasi perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek ke dalam dua bentuk sub perizinan yaitu izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran dan izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Adapun Perantara Pedagang Efek memiliki fungsi selain fungsi pemasaran, yaitu fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Menjadi pertanyaan kemudian mengapa Otoritas Jasa Keuangan hanya mengatur terkait segmentasi pada fungsi pemasaran tetapi tidak pada fungsi manajemen risiko, fungsi pembukuan, fungsi kustodian, fungsi teknologi informasi, fungsi kepatuhan dan fungsi riset. Berdasarkan hasil penelitian penulis, baik yang berasal dari penelaahan peraturan terkait maupun hasil wawancara dengan pejabat Otoritas Jasa Keuangan, tujuan utama diterbikanya peraturan tersebut adalah untuk meningkatkan jumlah tenaga pemasaran bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Berdasarkan fakta, jumlah pemohon izin Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran memang bertambah cukup signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tergolong efektif. Penetapan peraturan ini berdampak kepada seluruh ketentuan lain yang menyebutkan terkait dengan Wakil Perantara Pedagang Efek harus dimaknai bahwa termasuk di dalamnya pemegang izin Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran, dan Wakil Perantara Pedagang Efek Pemasaran Terbatas. Kedepan, penulis berharap agar Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan segmentasi Wakil Perantara Pedagang Efek pada fungsi selain fungsi pemasaran.

The Financial Services Authority Regulation No.22/POJK.04/2016 concerning Segmentation of Securities Broker Dealer Representative Licensing arranged the segmentation of Securities Broker Dealer Representative licenses into two sub-licensing forms, namely the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and the Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. While the Securities Broker Dealer has other functions besides the marketing function namely the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. The question then becomes, why does the Financial Services Authority only regulate segmentation related to the marketing function but not to the risk management function, bookkeeping function, custodian function, information technology function, compliance function and research function. Based on the results of the author's research, both from the review of relevant regulations and the results of interviews with Financial Services Authority officials, the main purpose of the issuance of these regulations is to increase the number of marketers for Securities Companies conducting business activities as Broker Dealer. Based on the facts, the number of applicants for licensing of the Securities Broker Dealer Representative for Marketing license has indeed increased significantly enough so that it can be said that the Application of the Financial Services Authority Regulation is quite effective. The stipulation of this regulation has an impact on all other provisions that related to Securities Broker Dealer Representative must be interpreted as including the holders of Securities Broker Dealer Representative for Marketing license and Securities Broker Dealer Representative for Limited Marketing license. In the future, the authors hope that the Financial Services Authority could segment the Securities Broker Dealer Representative in other than the marketing function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desintya Nur Amalia
"Penelitian ini membahas mengenai pungutan oleh otoritas jasa keuangan kepada notaris pengganti berdasarkan POJK nomor 67/POJK.04/2017. Dalam penelitian ini, penulis megangkat 3 (tiga) pokok permasalahan, yaitu mengenai (1) konsepsi tentang notaris pengganti pasar modal hingga terbitnya peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.04/2017; (2) perbandingan kedudukan notaris pengganti sebelum dan setelah adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, dan (3) tanggung jawab notaris pengganti yang telah berakhir masa jabatannya terhadap peraturan OJK selama masa keanggotaan profesi penunjang pasar modal. Untuk menjawab permasalahan hukum diatas, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil analisa adalah setelah diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.04/2017, seharusnya dapat menguatkan kedudukan baik notaris dan notaris pengganti di pasar modal. Namun pada kenyataannya, kedudukan notaris pengganti juga tidak kuat semenjak adanya peraturan tersebut, hal ini terjadi karena setiap akta mengenai IPO (Initial Public Offering) suatu perusahaan yang dibuat oleh notaris pengganti menjadi batal demi hukum. Mengenai peraturan terkait Otoritas Jasa Keuangan yang juga tidak diatur secara jelas menyebabkan ketidak pastian terhadap kedudukan notaris pengganti, contohnya dalam hal pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pungutan tersebut pada praktiknya tidak dikenakan untuk notaris pengganti, hal tersebut tidak sejalan dengan peraturan yang ada dimana setiap orang/badan yang melakukan kegiatan di pasar modal akan dikenakan pungutan.

This study discusses levies by financial services authorities to substitute notaries based on POJK number 67 / POJK.04 / 2017. In this study, the author raised 3 (three) main issues, (1) the conception of a notary substitute for the capital market until the issuance of the Financial Services Authority Regulation Number 67 / POJK.04 / 2017; (2) to compare the position of a substitute notary public before and after the Financial Services Authority Regulation While; (3) the responsibility of a substitute notary who has ended his term of office against the FSA regulations during the membership period of the capital market supporting profession. To answer the above legal problems, the author uses the normative juridical research method. The result of the analysis is that after the enactment of the Financial Services Authority Regulation Number 67 / POJK.04 / 2017, it should be able to strengthen the position of both notary and substitute notary public in the capital market. But in reality, the position of substitute notary public is not strong since the existence of the regulation, this happens because every deed regarding Initial Public Offering (IPO) of a company made by a substitute notary is null and void. Regarding regulations related to the Financial Services Authority which are also not clearly regulated, it causes uncertainty regarding the position of a substitute notary, for example in the case of levies by the Financial Services Authority. In practice, the levies are not imposed on substitute notaries, this is not in line with the existing regulations whereby every person / body carrying out activities in the capital market will be subject to levies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahara Anjani Pardesi
"Reksa Dana merupakan salah satu instrument Pasar Modal di Indonesia. Reksa Dana paling dominan yang berlaku di Indonesia adalah Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Masih banyak ketentuan yang belum diatur dalam peraturan yang mengatur KIK, khususnya ketentuan mengenai persyaratan hukum dalam proses penerbitan. Selain itu, beberapa karakteristik KIK yang memenuhi karakteristik suatu Badan Hukum menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan hukum KIK dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan informasi mengenai persyaratan hukum KIK, kedudukan hukumnya dalam perundang-undangan Indonesia, dan kesesuaian norma-norma hukumnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan komparatif yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini menemukan bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.23/POJK.04/2016 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif belum sepenuhnya mengatur ketentuan mengenai persyaratan hukum dalam proses penerbitan, serta kedudukan hukum dari KIK. Kemudian, norma hukum dalam peraturan yang mengatur KIK belum sesuai dengan praktik investasinya. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mempertegas persyaratan hukum, serta kedudukan hukum KIK melalui berbagai media informatif seperti buku pedoman OJK, maupun melalui Surat Edaran. Selain itu, baik OJK, investor, Manajer Investasi, dan Bank Kustodian, perlu melakukan perbandingan hukum praktik Reksa Dana dengan negara lain yang dapat menjadi sumber untuk mengevaluasi praktik Reksa Dana, serta menilai kesesuaian norma hukum KIK di Indonesia.

Mutual Funds is one of the Capital Market instrument in Indonesia. The dominant types of Mutual Funds is the Collective Investment Contract Mutual Funds (CIC). There are still many provisions that have not been regulated in regulations governing CIC, especially the provisions regarding legal requirements in issuance process. In addition, several characteristics of CIC that fulfill the characteristics of a Legal Entity raise questions regarding the legal standing of CIC in Indonesian legislation. For this reason, this research aims to explain information on the legal requirements of CIC, its legal standing in Indonesian legislations, and the suitability of its legal norms. This research is a normative and comparative legal research that uses descriptive analytical research methods. This research found that Financial Services Authority (POJK) Regulation No.23/POJK.04/2016 on Mutual Funds in the Form of Collective Investment Contracts does not fully regulates provisions regarding legal requirements in the issuance process, as well as the legal standing of CIC. Then, the legal norms of CIC are not suitable with its investment practices. Thus, the Financial Services Authority (FSA) needs to emphasize the legal requirements, as well as the legal standing of CIC through various informative media such as the FSA handbook, or through Circular Letters. In addition, all parties needs to conduct a legal comparison of Mutual Fund practices with other countries which can be a source for evaluating the practice of Mutual Funds, as well as assessing the suitability of the legal norms of CIC in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Erlangga Kaurow
"Perjanjian baku merupakan perjanjian yang umum ditemukan, termasuk dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen termasuk dalam ranah sektor jasa keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tulisan ini meninjau tentang penerapan klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha terhadap UU Perlindungan Konsumen maupun peraturan dan surat edaran yang dikeluarkan OJK. Studi dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif. Dalam praktiknya, pelaku usaha belum sepenuhnya memenuhi pengaturan mengenai klausula baku sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Standard clause is a contract that is often found, including in the consumer financing agreement. Consumer financing institution is included in the financial service sector area that is regulated by Financial Service Authority (FSA). This thesis reviews on the implementation of standard clause made by entrepreneur towards Law on Consumer Protection as well regulation and circular letter issued by the FSA. This study is conducted with normative analysis method. In practice, the entrepreneur is not fully implementing the regulation regarding the standard clause as regulated in the Indonesian law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S66711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kembaren, Keny Indah Gloria
"Peer to peer lending (P2PL) menghubungkan peminjam dan pemberi dana tanpa lembaga keuangan bank sebagai perantara. Bentuk pengumpulan dana ini memberikan pemberi dana untuk memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk berinvestasi, kendati demikian hal ini juga menimbulkan pendanaan macet dan fraud. Tesis ini membahas mengenai perlindungan pemberi dana dalam P2PL khususnya terkait risiko pendanaan macet dan fraud oleh Penyelenggara LPBBTI berdasarkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) serta penerapannya dalam perjanjian pendanaan. Penulis juga melakukan perbandingan hukum di Amerika Serikat dan China. Adapun perbandingan dengan memilih negara Amerika Serikat dan China karena kedua negara tersebut merupakan pangsa pasar P2PL terbesar di dunia. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan rumusan masalah, yaitu: Analisis penyelenggara layanan P2PL menerapkan perlindungan pemberi dana terkait risiko pendanaan macet dan fraud pasca berlakunya POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi; Perbandingan pengaturan perlindungan pemberi dana dalam penyelenggaraan peer to peer lending di Amerika Serikat, China, dan Indonesia. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pada akhirnya, penulis memperoleh kesimpulan bahwa Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 telah cukup komprehensif mengakomodir penyelenggaraan layanan P2PL di Indonesia khususnya terkait dengan perlindungan pemberi dana dari risiko pendanaan macet dan risiko fraud oleh penyelenggara P2PL. Peraturan P2PL yang utama digunakan di Amerika Serikat adalah Securities Exchange Act dan Peraturan P2PL yang utama digunakan di China adalah Interim Measures for the Administration of the Business Activities of Online Lending Information Intermediary Institution.

Peer to peer lending (P2PL) connects borrowers and lenders without bank financial institutions as intermediaries. This form of crowdfunding brings lenders more investment opportunities, however it can also lead to bad funding and fraud. This thesis discusses the protection of lenders in P2PL, especially related to the risk of bad funding and fraud by P2PL Providers based on POJK Number 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services and its application in lenders agreements. The author also makes a comparison of laws in the United States and China. The comparison by selecting the United States and China because these two countries are the largest P2PL market share in the world. Based on that problems, the writer tried to describe the main issues, which are: Analysis of P2PL service providers implementing protection for funders regarding the risk of bad funding and fraud after the enactment of POJK Number 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services; Comparison of lender protection implementing peer to peer lending in the United States, China and Indonesia. The form of research used in this research is normative juridical research. In the end, the writer come to the conclusion that POJK Regulation No. 10/POJK.05/2022 is comprehensive enough to accommodate the implementation of P2PL services in Indonesia, especially related to the protection of lender from the risk of bad funding and the risk of fraud by P2PL providers. The main P2PL regulation used in the United States is the Securities Exchange Act and the main P2PL regulation used in China is Interim Measures for the Administration of the Business Activities of Online Lending Information Intermediary Institution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mathilda Ruth Amabelle
"Medium Term Notes (MTN) merupakan salah satu bentuk surat utang yang cukup lazim diterbitkan tanpa melalui Penawaran Umum dan didasarkan pada pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Namun, pada tahun 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2019 (POJK No. 30 Tahun 2019) tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang Dilakukan Tanpa Melalui Penawaran Umum (EBUS Tanpa Penawaran Umum). POJK No. 30 Tahun 2019 tersebut memberikan serangkaian kewajiban baru, salah satunya adanya pembatasan penjualan EBUS Tanpa Penawaran Umum hanya kepada Pemodal Profesional. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelebihan dan kekurangan dari keberlakuan POJK No. 30 Tahun 2019 terhadap penerbitan MTN dan cara untuk mengatasi kekurangan dari keberlakuan POJK No. 30 Tahun 2019 terkait pembatasan penjualan MTN hanya kepada Pemodal Profesional. Penelitian ini dilangsungkan dengan meneliti berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia dan melakukan penelusuran serta perbandingan dengan peraturan yang berlaku di Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian yang dilangsungkan, ditemukan bahwa di samping sejumlah kelebihan yang dimiliki oleh penerbitan MTN di bawah POJK No. 30 Tahun 2019, terdapat sejumlah kekurangan yang dapat ditindaklanjuti dengan melakukan amandemen terhadap POJK No. 30 Tahun 2019. Selain itu, tidak adanya ruang yang diberikan kepada pemodal non-profesional untuk berpartisipasi dalam transaksi EBUS Tanpa Penawaran Umum dalam POJK No. 30 Tahun 2019. OJK dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi konsep non-accredited investor di Amerika Serikat dan memperkenalkan keberadaan Pemodal Non-Profesional, di samping Pemodal Profesional, dalam POJK No. 30 Tahun 2019.

Medium Term Notes (MTN) are a form of debt that is quite commonly issued without going through Public Offering (private placement) and are based on the provisions in the Civil Code and the Commercial Code. However, in 2019, the Financial Services Authority (OJK) issued Financial Services Authority Regulation Number 30/POJK.04/2019 (POJK No. 30 of 2019) concerning Issuance of Debt Securities and/or Sukuk without Public Offering (EBUS without Public Offering). POJK No. 30 of 2019 provides a series of new obligations, one of which is the limitation on the sale of EBUS without Public Offering only to Professional Investors. Thus, it is necessary to carry out further research regarding the advantages and disadvantages of the enactment of POJK No. 30 of 2019 regarding the issuance of MTN and ways to overcome the shortcomings of the implementation of POJK No. 30 of 2019 regarding restrictions on the sale of MTN only to Professional Investors. This research was carried out by examining various regulations that apply in Indonesia and conducting searches and comparisons with regulations that apply in United States. Based on the research conducted, it was found that in addition to a number of advantages possessed by the issuance of MTN under POJK No. 30 of 2019, there are a number of deficiencies that can be followed up by making amendments to POJK No. 30 of 2019. In addition, there is no space given to non-professional investors to participate in EBUS Without Public Offering transactions in POJK No. 30 of 2019. OJK may consider adopting the concept of non-accredited investors in United States and introducing the existence of Non-Professional Investors, in addition to Professional Investors, in POJK No. 30 of 2019."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Erlangga Kaurow
"Kejahatan Perjanjian baku merupakan perjanjian yang umum ditemukan, termasuk dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Lembaga pembiayaan konsumen termasuk dalam ranah sektor jasa keuangan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tulisan ini meninjau tentang penerapan klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha terhadap UU Perlindungan Konsumen maupun peraturan dan surat edaran yang dikeluarkan OJK. Studi dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif. Dalam praktiknya, pelaku usaha belum sepenuhnya memenuhi pengaturan mengenai klausula baku sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Standard clause is a contract that is often found, including in the consumer financing agreement. Consumer financing institution is included in the financial service sector area that is regulated by Financial Service Authority (FSA). This thesis reviews on the implementation of standard clause made by entrepreneur towards Law on Consumer Protection as well regulation and circular letter issued by the FSA. This study is conducted with normative analysis method. In practice, the entrepreneur is not fully implementing the regulation regarding the standard clause as regulated in the Indonesian law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S66711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayudia Indah Oktavialy
"Greenshoe Option adalah opsi yang memberikan hak kepada Penjamin Emisi Efek untuk melakukan penjatahan lebih atau menjual saham tambahan dalam hal terjadi kelebihan permintaan atas saham yang ditawarkan, dengan tujuan untuk menstabilkan harga saham apabila mengalami penurunan setelah pencatatan. Peraturan Greenshoe Option di Indonesia belum diatur secara rinci, namun penggunaannya dapat merujuk pada POJK 6/2019 yang mengatur kegiatan Stabilisasi Harga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan metode komparatif antara negara Amerika Serikat, Inggris, dan India. Penelitian ini akan memuat analisis bagaimana ketentuan Greenshoe Option yang telah diimplementasikan oleh PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Kesimpulan dari penelitian ini bahwasanya peraturan Greenshoe Option di Indonesia masih belum diatur secara rinci seperti tidak diaturnya ketentuan batasan maksimal saham greenshoe begitupun mekanisme pelaksanaannya. Sementara di Amerika Serikat, Inggris, dan India telah mengatur ketentuan akan hal tersebut. Ketentuan Greenshoe Option oleh PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, dan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk dilakukan sesuai dengan praktik yang berlaku secara internasional. Tidak adanya batas maksimal saham greenshoe beserta ketentuan pelaksanaanya dapat menimbulkan risiko bagi Emiten dan Investor. Dengan ini harapan bagi regulator pasar modal Indonesia untuk menyempurnakan peraturan Greenshoe Option dengan mempertimbangan ketentuan dari beberapa negara yang telah dipaparkan dalam penelitian ini.

Greenshoe Option is an option that gives the Underwriter the right to make more allotments or sell additional shares in the event of excess demand for the shares offered, which aims as a mechanism for stabilizing share prices after listing. The Greenshoe Option Regulations in Indonesia have not been regulated in detail, but their use can refer to POJK 6/2019 which regulates Price Stabilization activities. The method used in this study is juridical-normative with a comparative method between the United States, United Kingdom, and India. This research will contain an analysis of how the Greenshoe Option provisions have been implemented by PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, and PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. The conclusion from this study is that the Greenshoe Option regulations in Indonesia are still not regulated in detail, such as the maximum limit for greenshoe shares and the implementation mechanism. Meanwhile in the United States, United Kingdom, and India have set provisions for this. The provisions for the Greenshoe Option by PT Bank Mandiri Tbk, PT ABM Investama Tbk, and PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk are carried out in accordance with internationally accepted practices. The absence of a maximum greenshoe share limit and its implementing provisions may pose a risk to Issuers and Investors. With this, it is hoped that the Indonesian capital market regulator will improve the Greenshoe Option regulations by taking into account the provisions of several countries that have been described in this study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Triawan
"Skripsi ini membahas mengenai implikasi dari berpindahnya fungsi pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia dengan adanya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif (normative legal research) dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut diapaki untuk menjawab permasalahan; pertama, teori tentang fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang diatur dalam UU. No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia beserta peraturan perubahannya dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta hubungannya dengan Stabilitas Keuangan yang dilandaskan dengan teori dan bentuk koordinasi berdasarkan PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan kedua, implikasi dari perpindahan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilandaskan dengan teori yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Stabilitas Sistem Keuangan.
Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: (i) Undang-Undang OJK dan Undang-Undang BI harus membedakan secara jelas mengenai microprdential supervision dan macroprudential supervision; dan (ii) mekanisme koordinasi antarotoritas keuangan yang terdiri dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan harus mempunyai payung hukum yang mendasari protokol koordinasi penanganan krisis sebagai landasan dan juga penyempurna bagi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2011, untuk itu Dewan Perwakilan Rakyat harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

This thesis discusses the implication of the transfer function of the regulatory and supervisory of Bank Indonesia with an existence of Law Number 21 of 2011 concerning about Financial Services Authority for financial stability system. This research is a juridical-normative (legal normative research) with a literature study. The research method was used to answer the problems: first, the theory of banking regulatory and supervisory sipulated in Law Number 23 of 1999 on Bank Indonesia and its amendement and Law Number 7 of 1992 on Banking and its amendement towards a financial stability system theory and forms of coordination which are based on Government Regulation in Lieu of Law Number 4 of 2008 on Financial Safety Net and second, the implication of the transfer of regulatory and supervisory functions which based on Law Number 21 of 2011 on Financial Services Authority towards a financial stability system.
The results suggest that: (i) Both of Financial Services Authority and Bank Indonesia regulations have to seperate explicitly between macroprudential supervision and microprudential supervision; and (ii) the mechanism of coordination between authorities on financial system consisting Bank Indonesia, Financial Services Authority, Ministry of Finance, and Deposit Insurance Agency should have legal basis underlying the coordination of crisis management protocols as the foundation and completing the Coordination of Financial System Stability Forum set on Law Number 21 of 2011, therefore Legislative Body has to immediately enforce legislation regarding Financial Safety Net.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47414
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malau, Christoffel
"Undang-undang mengenai pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) mengatur bahwa pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan dilaksanakan oleh OJK yang independen. OJK diatur berfungsi menyelenggarakan sistim pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dengan demikian, pembaharuan pengaturan keuangan dalam UU OJK merupakan pembaharuan mengenai pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang dilaksanakan oleh OJK sebagai badan tunggal dan melaksanakan fungsinya secara terintegrasi. Sehubungan dengan itu, UU OJK belum tepat untuk diberlakukan. Karena OJK hanya melaksanakan fungsi microsupervisory, sedangkan fungsi macrosupervisory melekat pada Bank Indonesia. Demikian pula, pengaturan keuangan dalam UU OJK bukan pengaturan keuangan secara terintegrasi, tetapi gabungan pendekatan secara Institusional dan Fungsional yang dilaksanakan oleh satu badan tunggal yaitu OJK. Dengan berlakunya UU OJK, perlu pembaharuan mengenai pengaturan koordinasi diantara OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan. Demikian pula halnya dengan pengaturan mengenai Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan untuk mejaga stabilitas sistim keuangan yang terdiri atas Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

The financial services authority act known as Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) regulates that the regulation and supervision in financial services sector is performed by an independence financial services authority known as Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK is regulated to do function performing an integrated financial regulation and supervision system over all of the activities in financial services sector. The financial regulation reform then become the removal of the regulation and supervision authority in financial services sector to OJK as a single authority and performs integrated function. However, financial regulation in financial services sector as regulated in UU OJK is not suitable to be performed. Because OJK only performs the microsupervirory function, meanwhile the macrosupervisory is inherent to Bank Indonesia (BI) as Central Bank. Likewise, the financial regulation as in UU OJK is not an integrated financial regulation, but a combination of institutional and functional approach that is performed by OJK as a single body. By the enactment of UU OJK, the reform is still needed to regulate the coordination between OJK, BI, and Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS/ Deposit Insurance Corporation). The reform is needed also for the financial system stability forum in order to protect the stability of financial system between Minister of Finance, Governor of Central Bank, Chairman of OJK, and Chairman of LPS.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>