Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24878 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Creese, Helen
New York: East Gate Book, 2004
899.222 CRE w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2012
091.598 5 BAL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar ini berisi teks Arjunawiwaha Kakawin, dimulai dengan pertapaan Arjuna di gunung Indrakila, memohon anugrah para dewa untuk membantu kakaknya (Yudistira) dalam memimpin roda pemerintahan di Astina. Kegagalan para bidadari yang dengan segala rayuan menggoda diri Arjuna, menjadikan para dewa semakin yakin akan kemampuan Arjuna yang akan dimintai bantuan dalam memerangi Niwata Kawaca, yang selalu mengganggu Sorga. Mendengar berita tersebut, dengan segera Niwata Kawaca mengutus Momo Simuka (patih andalannya) untuk mengamati sekaligus menggempur tapa Arjuna. Sementara itu, Dewa Siwa pun secara diam-diam menuju gunung Indrakila untuk menguji kemantapan tapa Arjuna. Beliau menyamar menjadi seorang pemburu. Dengan kekuatan yang maksimal, Momo Simuka dalam wujud babi besar mulai mengguncang-guncangkan gunung Indrakila. Arjuna terperanjat seraya mementangkan panahnya ke arah babi tersebut dan tepat mengenai sasaran, yang bersamaan dengan anak panah Dewa Siwa. Kedua anak panah tersebut menyatu, sehingga menimbulkan pertengkaran antara Arjuna dengan Dewa Siwa dalam wujud pemburu. Pertengkaran berakhir, saat Dewa Siwa menampakkan wujud yang sebenarnya yang tengah duduk di atas bunga teratai. Arjuna bersembah sujud, kemudian dianugrahi panah sakti penuh kramat yang bernama panah Pasupati. Akhirnya dengan panah sakti anugrah Dewa Siwa inilah, Arjuna dapat membunuh Niwata Kawaca lewat peperangan sengit dan dahsyat, sehingga Sorga aman kembali. Teks berakhir dengan upacara perkawinan Arjuna dengan bidadari Supraba dengan penuh meriah dan kebahagiaan. Teks Ajunawiwaha ini disertai arti dalam bahasa Bali, isinya sama dengan FSUI/CP.3 (Arjunawiwaha Parikan), hanya dibedakan dalam hal bentuk dan penggunaan bahasanya. Arjunawiwaha Parikan merupakan saduran dari versi kakawin yang diungkapkan dalam bentuk sekar alit atau macapat berbahasa Bali. Sedangkan Arjunawiwaha Kakawin, diungkapkan dengan sekar ageng atau tembang kawi. Suatu catatan tambahan bahwa dalam teks ini disertai titik-titik berbentuk garis lengkung untuk memudahkan pemenggalan kata-kata dalam membaca teks kakawin yang disesuaikan dengan guru basa. Pada h.l28b disebutkan bahwa naskah ini diturun oleh Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), hari Selasa Paing, Julung Pujut, Sasih Asada, 1813 Saka (1891). Naskah ini semula merupakan milik I Gusti Ketut Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, yang pernah disalin untuk dihaturkan kepada Raja Sasak sebagai oleh-oleh. Terdapat catatan tambahan lagi pada h.la yang menyebutkan Arjunawiwaha Marti, I. G. Jlantik, magang bestir Sasak, 1896. Pada saat I G. Pt. Jlantik bertugas di Sasak, beliau pernah menyuruh seorang juru tulis Wayahan Buruan Kahyun (nama samaran), untuk menyalin Kakawin Arjunawiwaha milik I G. Kt. Jlantik di Pagutan Kanginan Gianyar, sebagai oleh-oleh kepada Raja Sasak, tahun 1813 Saka (1896). Pada tahun 1896 naskah ini menjadi milik Ida I G. Pt. Jlantik, di Singaraja Bali. Informasi mengenai daftar pupuh/metrum dapat dilihat dalam Zoetmulder 1985; dalam I. Kuntara Wiryamartana 1990; dan lihat Kakawin Arjunawiwaha, bentuk cetakan (teks dan terjemahan dalam bahasa Bali, yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Dasar, Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tahun 1988). Untuk teks-teks lain dengan judul Arjunawiwaha Kakawin, lihat pada Pigeaud 1970: 176; MSB/L.45-47, 67, 206; Brandes I: 130-146; SMP/MN.379.2, MN.473.1; Kirtya 1092."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.4-LT 229
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Widodo
"Tujuan penelitian ini adalah menyajikan Serat Baron Sakendher (SBS) dalam kaitan dengan negosiasi wacana kolonial di Jawa pada abad XIX. Korpus penelitian ini berupa naskah SBS yang tersimpan di beberapa tempat penyimpanan naskah di dalam dan luar negeri. Kajian difokuskan pada penyajian suntingan teks SBS dan menjelaskan bentuk wacana kolonial di Jawa pada abad XIX yang ada di dalam teks. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut dilakukan tinjauan aspek naskah dan teks. Analisis teks ditekankan pada wacana kolonial dengan berpijak pada pemikiran Michel Foucault dengan mendalami ide, konsep, narasi budaya, dan genealogi kolonial yang dibangun dalam cerita Baron Sakendher. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan filologi, wacana, dan hegemoni. Aspek yang dikaji meliputi filologi dan teks SBS. Hasil penelitian yang didasarkan pada kelengkapan isi cerita, jumlah pupuh dan pada tembang macapat menunjukkan bahwa naskah SBS terdiri atas tiga kelompok naskah, yakni naskah kelompok I, naskah kelompok II, dan naskah kelompok III. Berkaitan dengan itu, digunakan metode landasan untuk menyajikan teks, yakni naskah C. Suntingan dan terjemahan teks disajikan dengan menerapkan metode kritik pada perbaikan bacaan dan penambahan kata. Temuan penelitian menunjukkan bahwa cerita SBS dihadirkan menjadi bagian Babad Tanah Jawi (BTJ). Di tengah narasi genealogi dan mistik penguasa Jawa, cerita Baron Sakendher digunakan untuk meredam konflik horizontal pasca-Perang Jawa 1830. Naskah SBS menjadi bagian babad sebagai bentuk respons penguasa Jawa untuk meredam permusuhan sekaligus menciptakan kontrol sosial baru atas rakyat. Keberadaan kolonial dilesapkan dalam cerita secara halus untuk dapat diterima oleh pembaca dan pendengar Jawa tanpa kekerasan. Kolonial Belanda difigurkan melalui tokoh Baron Sakendher yang hadir di Jawa sebagai pedagang dan mitra rakyat Jawa, bukan penjajah sebagaimana aslinya. Narasi abdi Raja Mataram menjadi kekuatan kultural yang berkorelasi dengan genealogi Baron Sakendher yang lebih rendah dari Raja Jawa, menjadi kunci penundukan rakyat dengan konsep mangku.

This study aims to serves Serat Baron Sakendher (SBS) in its relation to the legitimacy of colonial discourse in Java during the XIX century. Its corpus is SBS kept both in domestic and foreign manuscript repositories. The study is focused on presenting the SBS text edition and explaining the forms of colonial discourse in Java in the XIX century as the selected text depicts. Manuscript and textual reviews were done to answer research problems. Text analysis emphasized colonial discourse based on Michel Foucault’s thoughts, specifically by drawing on the ideas, concepts, cultural narratives, and colonial genealogy constructed in the story of Baron Sakendher. This study used some approaches, namely philology, discourse, and hegemony. The examined aspects of the manuscript include philology and SBS text itself. Based on the completeness of the story and the number of pupuh and macapat, it is revealed that the SBS manuscript consists of three categories, namely group I, group II, and group III. In this regard, the fundamental method is used to present the text edition, namely manuscript C. Text editing and translation are presented by applying critical methods on reading improvement and word addition. The findings point out that the story of SBS is presented as part of the Babad Tanah Jawi (BTJ). Amidst the genealogical and mystical narration of Javanese rulers, the story of Baron Sakendher is used to suppress horizontal conflicts following the Java War of 1830. The SBS manuscript becomes a part of the babad as a form of the Javanese rulers' response to suppress hostilities while creating new social control over the people. The presence of the colonial power is subtly embedded in the story to be accepted by Javanese readers and listeners without violence. The Dutch colonial power is figuratively depicted through the character of Baron Sakendher, who appeared in Java as a trader and a partner of the Javanese people, rather than as a conqueror as originally known. The narrative of the servants of the Mataram King becomes a cultural force correlated with the genealogy of Baron Sakendher, who was of lower rank than the Javanese King, becoming the key to subjugating the people with the concept of "mangku"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Lontar ini pada kedua bagian sisi naskah tertera gambar yang dibuat dari air emas (prada). Pada sisi depan terdapat gambar episode Sita Labuh Geni (lihat Gbr. 20 di bawah ini), dan pada sisi belakang episode tentang kembalinya Rama-Sita dan Laksmana dengan kemenangan dari Alengkapura. Keterangan referensi dan daftar pupuh, lihat Ramayana 1986; Ramayana 1987; dan Ramayana 1980."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.76-LT 226
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah asal Bali ini berisi teks Jawa Kuna berjudul Sumanasdntaka Kakawin, ialah riwayatnya nenek moyang Sri Rama, sampai dengan ayahnya Dasarata. Lihat Juynboll 1899, Pigeaud 1967: 182 dan Zoetmulder 1983: 377 tentang teks ini. Setelah dibandingkan dengan daftar pupuh Sumanasdntaka untuk LOr 4519 (Brandes III: 132-139), terayata pupuh 1-169 dalam naskah ini berpadanan dengan pupuh 1-183 dalam LOr 4519. Selisih 14 pupuh terjadi karena pupuh tersebut tidak ditemukan (hilang?) dalam FSUI/CP.77 ini. Teks diawali dengan ketekunan Bagawan Trenawindu bertapa. Berita ini dengan cepat menyusup ke Indra Loka, sehingga Dewa Indra merasa takut seraya berupaya dengan berbagai cara untuk menggoda tapa Trenawindu. Seorang bidadari cantik bernama Dewi Harini ditugaskan Betara Indra untuk mendekati Trenawindu dan menggodanya. Dengan penuh rasa takut tanpa menolak Harini memulai perjalanannya menuju tempat pertapaan Trenawindu. Tidak lama sampailah Harini di tempat Trenawindu bertapa. Harini menghatur-kan salam hormat sambil memperlihatkan segala kecantikannya. Tidak banyak kata rayuan yang dilontarkan Harini, ternyata Trenawindu berfirasat dan yakin akan tujuan kedatangan wanita cantik di hadapannya adalah semata-mata mengganggu tapa bratanya, yang diduga didalangi oleh Dewa Indra. Akhirnya Trenawindu mengutuk Harini agar segera turun ke Mercapada sebagai manusia serta kekasih yang ditinggalkan di Sorga akan lahir juga ke dunia (bernama Aja) sebagai suaminya. Ditegaskan bahwa riwayat tamatnya Harini lahir ke dunia akan diakhiri oleh sekuntum bunga Sumanasa. Kemudian Harini menjelma di negeri Widarbha bernama Dewi Indumati, putri Prabhu Karthakesika. Prabhu Karthakesika setelah mengakhiri pemerintahannya karena sakit, digantikan oleh putranya bernama Prabhu Boja. Di bawah pemerintahan beliau prabhu muda negara menjadi aman dan menikmati kemakmuran. Beberapa tahun kemudian tiba saatnya Dewi Indumati (adiknya) dicarikan pasangan hidup atau dengan kata lain dinikahkan. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan suatu karya agung yakni sayembara. Raja-raja di sekitarnya diundang untuk menghadiri sayembara tersebut. Di antaranya Raja Magada, Raja Angga, raja di Anwani dan raja di Anupa. Dalam kesempatan ini tidak menutup kemungkinan bagi raja Ayodya yakni Prabhu Ragu untuk mengijinkan putra mahkotanya (Sang Aja) untuk mengikuti sayembara tersebut. Sayembara akhirnya dimenangkan oleh Sang Aja (putra Prabhu Boja). Sang Aja berhak mendekati Dewi Indumati seraya mengajaknya pulang ke Ayodya. Di tengah perjalanan Sang Aja disergap oleh raja-raja yang kalah dalam sayembara. Satu persa-tu raja tersebut dapat dikalahkan Sang Aja dengan panah sakti Sangmohana yang diterimanya dari Priyambada, ketika menghalangi kepergiannya ke Widarbha sebelum sayembara. Setelah Prabhu Boja meninggal dunia, digantikan oleh Sang Aja yang didampingi oleh istrinya Dewi Indumati. Dari perkawinannya lahirlah seorang putra bernama Dasarata. Pasangan suami istri yang saling mencintai ini, paling suka berjalan-jalan ke tengah hutan. Di sana beliau menulis sanjak-sanjak pendek yang melukiskan kesedihan seorang kekasih yang akan bunuh diri. Sanjak itu dibaca Indumati dengan hati sedih karena takut ditinggalkan Sang Aja. Namun Sang Aja tetap menghiburnya. Dalam pada itu Dewa Siwa yang bersemayan di gunung Gokarna, kedatangan sapta resi dari Sorga termasuk Narada datang menyembah. Ketika Narada tengah memainkan alat musiknya, kalung bunga sumanasa yang terikat pada alat musik itu terbawa angin dan jatuh menimpa dada Indumati. Seketika itu Indumati pingsan dan tak berdaya lagi. Delapan tahun kemudian Dasarata diangkat sebagai raja Ayodya menggantikan Prabhu Aja. Prabhu Aja yang telah lama berpisah dengan istri kesayangannya akhirnya meninggal di antara sungai Gangga dan Sarayu. Beliau kembali ke Sorga dan bertemu dengan Dewi Indumati dengan penuh kemesraan dan rasa rindu yang mendalam."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.77-LT 217
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Denpasar : Baliologi, 1986
899.223 8 DON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisi teks Bhomakawya, mengisahkan kemenangan Kresna atas Bhoma. Tersebutlah sebuah pertapaan kosong dan rusak. Samba, putra Kresna mendapat berita dari seorang murid Bagawan Wiswamitra, bahwa pertapaan tersebut adalah bekas pertapaan Sang Darmadewa. Setelah Darmadewa wafat, istrinya yang bernama Yadnyawati bertapa di situ juga, tetapi kemudian membakar diri. Mendengar berita itu, Samba menjadi ingat bahwa Darmadewa sesungguhnya dia sendiri. Dia sangat merindukan Yadnyawati (istrinya), dalam kerinduan tersebut datang bidadari Tilotama, seraya mengabarkan bahwa Yadnyawati telah menitis pada putri Raja Utara Negara dan tetap bernama Yadnyawati. Ia diasuh oleh Bhoma, karena kedua orang tuanya gugur di tangan Bhoma. Secara diam-diam, diiringi oleh Tilotama, Samba menjumpai Yadnyawati. Perbuatan itu diketahui oleh Bhoma, dan Yadnyawati segera dibawa ke kraton Prajostisa. Akhirnya Samba kebingungan dan menjadi gila atas kehilangan Yadnyawati. Para dewa minta tolong kepada Kresna, karena Bhoma akan menggempur Keindraan. Prabhu Kresna segera turun ke medan laga dan bertempur secara dahsyat dengan Bhoma. Dalam pertempuran itu Bhoma mati. Dengan kematian Bhoma ditangan Kresna, maka Samba dapat bertemu lagi dengan Yadnyawati. Penomoran h.l dilakukan dua kali, masing-masing diletakkan pada akhir teks (dalam keadaan rusak), dan di awal teks (dalam keadaan baik). Keduanya terdiri dari dua lempir dikancing dengan kawat pada ketiga sisi lubang. Kiranya Bhomakawya FSUI/CP.81 ini belum tamat ceritanya, karena h. 121 (lempir terakhir) belum menampakkan akhir teks, kemungkinan ada beberapa lempir teks yang hilang (h.122 dan seterusnya). Teks ini tidak menyebutkan data penulisan atau penyalinannya. Namun dilihat dari bentuk, corak tulisan, maupun bahan yang dipakai, dapat dikatakan dihasilkan di Bali. Informasi tentang daftar pupuh dari Kakawin Bhomakawya ini, lihat Kakawin Bhomakawya (edisi cetak) yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, pada tahun 1988. Keterangan referensi, lihat pada Brandes I: 185; Vreede: 391; Juynboll I: 128, II: 491; Pigeaud 1970: 195; MSB/L.91, 100, 431, 432; Pratelan I: 10; PNRI/ 27 L 554, 23 L 559, 37 L 728."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.81-LT 233
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini memuat dua teks, yaitu Kakawin Indrawijaya (h.1-26) dan kakawin Lambang Pralambang (h.1-21).
Kakawin Indrawijaya menguraikan kemenangan dewa Indra dalam memerangi raksasa sakti yang diciptakan Twasta Prajapati. Teks diawali dengan kecemburuan Twasta Prajapati kepada Dewa Indra. Dengan ketekunan semadinya, Twasta Prajapati berhasil memperoleh seorang putra berkepala tiga bernama Trisirah. Raksasa ini pun sangat tekun bertapa brata, sebagai upaya untuk merebut Keindraan (Surga Indra). Dewa Indra mengutus para bidadari untuk menggodanya, namun sia-sia. Akhirnya Dewa Indra membunuh Trisirah dengan senjata bajra, ketiga kepalanya dipotong-potong oleh Wiswakarma.
Twasta Prajapati menciptakan raksasa kedua bernama Wreta, ditugaskan untuk memerangi Dewa Indra. Raksasa ini tidak dapat mati baik siang atau malam, tidak dapat dibunuh dengan senjata apa pun walaupun berasal dari bahan keras maupun cair. Dewa Indra hampir saja kalah dalam peperangan. Para dewa berupaya untuk menjadikan Wreta menguap, sehingga banyak korban dapat meloloskan diri. Melihat situasi yang demikian itu, Dewa Wisnu pun turut turun tangan, serta menasihati para dewa agar pura-pura bersahabat dengan raksasa Wreta.
Raksasas Wreta dapat diperdaya sehingga bersedia mengungkapkan rahasia kelemahannya. Akhirnya ketika bertemu di tepi laut, Dewa Indra dapat membunuh Wreta di waktu senja (pertemuan siang dan malam) dengan buih (bukan keras atau cair), yang dimasuki Dewa Wisnu.
Dewa Indra pergi dari Surga karena merasa berdosa atas terbunuhnya Trisirah (seorang Brahmin) dan Wreta. Nawusa (dari bumi manusia) menggantikan kedudukannya dan menuntut hak atas Saci (permaisuri Indra). Para dewa beserta Saci segera mencari Dewa Indra, akhirnya dapat ditemukan di persembunyian dalam sebatang bunga teratai. Indra menyuruh Saci untuk bersedia menikah dengan Nawusa, asal bersedia datang ke pernikahan dengan sebuah tandu yang dipikul para resi.
Nawusa menyetujui serta melaksanakan segala permintaan Saci. Akhirnya Nawusa dihukum dan dikutuk menjadi seekor ular selama sepuluh juta tahun karena menghina para resi. Indra pun kembali ke Surga.
Keterangan pada h.26a (Indrawijaya) menyebutkan bahwa, naskah ini merupakan karya Betara di Sinduwati, selesai ditulis pada hari Kamis Julungwangi, di Lombok pada tahun 1722 Saka (1799 Masehi). Naskah yang semula karya Betara Sinduwati ini telah disalin atau diprakarsai (?) oleh Ida I Gst. Pt. Jlantik sewaktu menjadi camat di Sukasada Buleleng, tahun 1918. Hal ini diperkuat dengan keterangan h.1a yang menyebutkan jlantik (t.t) punggawa distrik sukasada, 1918.
Keterangan tentang teks Kakawin Indrawijaya da"
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CP.25-LT 223
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Puspawati
"ABSTRAK
Sejak dulu masyarakat dan kebudayaan Bali telah menerima unsur Jawa Kuna dalam bentuk bahasa, sastra, budaya. Kemudia unsur itu diolah disesuaikan dengan konsep dan pola pikir masyarakat Bali, sehingga karya sastra yang lahir ciptaan baru. Nilai Jawa Kuna dalam budaya Bali mengalami perubahan atau transformasi ke dalam bentuk baru. Dalam transformasi itu terjadi proses pembelian yakni proses dari nilai Jawa Kuna menjadi nilai budaya Bali. Pigeaud membagi dalam empat proses pembelian meliputi bidang etika dan religi, sejarah dan mitologi, susastra, ilmu pengetahuan, seni hukum, kemanusiaan dan lain-lain. Proses pembelian parwa Mahabharata yang di Bali disebut Asta Dasa Parwa (18 parwa). Parwa yang awalnya bersumber dari epos Mahabharata India yang berbahasa Sansekerta, kemudian disadur ke dalam tradisi bahasa Jawa Kuna dan kembali berkesinambungan dalam proses pembalian dibuat karya berbahasa Bali yang disebut parikan atau geguritan. Parikan berarti saduran. Parikan adalah satu bentuk sastra yang berbahasa Bali, bisa diambil dari Mahabharata Jawa Kuna dan karya sastra lainnya. Disinilah terjadi pengalihbahasaan, berbeda dengan terjemahan. Pengalihbahasaan yaitu menyadur karya asalnya berbahasa Jawa Kuna kedalam bahasa Bali, memilih dan memilah bagian mana dari cerita (episode) yang diambil biasanya ada yang secara bebas, ada yang merunut dengan tertib dari sumbernya (babon). Misalnya sastra Bali yang bersumber dari Mahabharata, yaitu parikan Salya, Bhagawan Domya, Sarpayajnya dan Geguritan Kicaka. "
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>