Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 222796 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini.
The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of "Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini
.The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of ​​"Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Oetama Noviansyah
"Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi telah mengatur bahwa setiap perubahan anggaran dasar koperasi yang memuat perubahan bidang usaha harus mendapat pengesahan Menteri melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Pada prakteknya ketidaktahuan pihak koperasi dan ketidakcermatan Notaris mengenai ketentuan tersebut mengakibatkan salah satu koperasi di Kabupaten Bogor tidak mendapat pengesahan Menteri dalam perubahan anggaran dasarnya padahal perubahan anggaran tersebut memuat perubahan bidang usaha. Dalam penelitian ini membahas mekanisme perubahan anggaran dasar koperasi pasca berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi dan akibat hukum yang mungkin timbul akibat tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 16 tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan tipe penelitian preskriptif dan menggunakan sumber data sekunder. Hasil penelitian dalam tesis ini adalah adanya kesalahan baik dari pihak koperasi maupun Notaris dalam proses perubahan anggaran dasar yang mengakibatkan tidak diperolehnya pengesahan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi. Selain itu, hasil penelitian ini menjelaskan akibat hukum terhadap koperasi yang tidak memperoleh pengesahan Menteri seperti eksistensi badan hukum koperasi tersebut, permohonan izin usaha, dan permohonan fasilitas kredit.

Article 16 of Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 14 of 2019 concerning Ratification of Cooperatives stipulates that any changes to the articles of association of cooperatives that contain changes in business fields must be approved by the Minister through the Legal Entity Administration System (SABH). In practice, the ignorance of the cooperatives and the notary's inaccuracy regarding these provisions resulted in one of the cooperatives in Bogor Regency not being approved by the Minister for changes to its articles of association, even though the changes to the budget included changes in business fields. This research discusses the mechanism for changing the articles of association of cooperatives after the enactment of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 14 of 2019 concerning Legalization of Cooperatives and the legal consequences that may arise as a result of non-compliance with the provisions of Article 16. The research method used is normative research with a prescriptive research type and uses secondary data sources. The results of the research in this thesis are that there was an error on the part of both the cooperative and the Notary in the process of amending the articles of association which resulted in not obtaining Ministerial approval as stipulated in Article 16 of Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 14 of 2019 concerning Ratification of Cooperatives. In addition, the results of this study explain the legal consequences for cooperatives that do not obtain approval from the Minister, such as the existence of the cooperative's legal entity, applications for business licenses, and applications for credit facilities.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faruqi Robbani
"Tesis ini membahas tentang Sinkronisasi Format Daftar Isian Sistem Administrasi Badan Usaha Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran persekutuan Komanditer, Persekutuan firma Dan persekutuan Perdata, permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana format daftar isian sistem administrasi badan usaha menjamin kepastian hukum dan kemudahan berusaha dan Bagaimana akibat hukum pendaftaran badan usaha yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini menggunakan tipologi penulisan dari sudut sifatnya merupakan penulisan deskriptifanalitis, Bentuk penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan bentuk penulisan yuridis normatif. Alat pengumpulan data dalam penulisan ini melalui studi dokumen atau penelusuran kepustakaan. Selain itu, untuk menunjang pengumpulan data yang diperlukan Penulis juga menggunakan metode wawancara. Setelah adanya Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 43 huruf (a) Maka dari itu administrasinya di kembalikan ke kementerian hukum dan hak asasi manusia. Permenkumham No. 17 Tahun 2018 hanya mengatur tentang kandungan dari Format Daftar isian sistem administrasi badan usaha, sehingga tidak ada aturan pasti tentang Format Daftar isian sistem administrasi badan usahaini sehingga Pemerintah harus secepatnya membuat peraturan tentang pendaftaran persekutuan komanditer, persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata dalam bentuk Undang Undang atau Peraturan Pemerintah.

This thesis discusses about the Synchronization of Format of Business Entity Administration System Registration Form Based on Minister of Law and Human Rights Regulation Number 17 Year 2018 concerning Registration of Commander Association, Firm Alliance and Civil Society Alliance, the problems in this research are How to form a business system administration checklist guaranteeing certainty law and ease of business and what are the legal consequences of registration of business entities registered at the Ministry of Law and Human Rights. This study uses typology of writing from the point of its nature is descriptive analytical writing, The form of writing used in this writing is to use the form of normative juridical writing. The data collection tool in this paper is through document study or literature search. In addition, to support data collection needed the author also uses the interview method. After the Law Number 4 of 2004 concerning Judicial Power in article 43 letter (a), the administration was returned to the ministries of law and human rights. Permenkumham No. 17 of 2018 only regulates the contents of the Format of the business administration system questionnaire, so that there are no definite rules regarding Formatting of the administrative system so that the Government must immediately enact regulations concerning the registration of communal associations, Firm partnerships and Civil Partnerships in the form of Laws. or Government Regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhaktiarsa Bagus Syaifullah
"ABSTRACT
Penelitian ini ditulis untuk menjawab beberapa masalah, seperti kewenangan membuat UU dan Peraturan Menteri Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi The Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Pemerintah Non-Menteri
Institusi, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Legislasi Drafter berdasarkan prinsip dasar regulasi. Tesis ini didasarkan pada normatif studi hukum dengan menerapkan sinkronisasi hukum dengan penelitian metode kepustakaan. Tesis ini menyimpulkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia Menteri Peraturan Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Manusia Hak untuk Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Non-Pemerintah Instansi Pemerintah Kementerian, dan Rancangan Peraturan dari Non-struktural Lembaga tidak didasarkan pada prinsip dasar regulasi, seperti prinsip formal dan prinsip-prinsip material. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Perencana Legislasi harus dihapus.

ABSTRACT
This research was written to answer several problems, such as the authority to make laws and Regulation of the Minister of Human Rights No. 23 of 2018 concerning The Harmonization Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Ministerial Government Regulation
Institutions, and Draft Regulations of Non-structural Institutions by Legislation Drafter is based on the basic principles of regulation. This thesis is based on normative legal studies by applying law synchronization with library research methods. This thesis concludes that the enactment of the Minister's Law and Human Rights Regulation Number 23 of 2018 which gives authority to the Minister of Law and Human Affairs The Right to Harmonize the Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Governmental Regulation Ministry of Government Agencies, and Draft Regulations from Non-structural
Institutions are not based on basic principles of regulation, such as formal principles and material principles. Therefore, the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 23 of 2018 concerning Harmonization of Ministerial Draft Regulation, Draft
Non-Departmental Government Institution Regulations, and Draft Regulations from Non-structural institutions by Legislation Planners must be removed."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Ingrid A.S.
"Globalisasi juga telah membuka kesempatan bagi warga negara asing dapat bekerja di Indonesia. Untuk menanggapinya, pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu peraturan yang khusus mengatur tata cara penggunaan TKI di Indonesia. Namun peraturan tersebut menyebabkan persaingan pekerja lokal menjadi semakin berat. Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi neoliberalisme, serta latar belakang memasukkan ideologi tersebut ke dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Peneliti juga hendak mengungkap pengaruh asing yang mendorong pemerintah menggunakan ideologi tersebut ke dalam peraturan. Konsep yang digunakan adalah neoliberalisme, globalisasi, kapitalisme baru, determinisme teknologi, analisis wacana kritis, dan semiotika. Penelitian dengan paradigma kritis ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dengan metode penelitian analisis wacana kritis pada level teks, praktik kewacanaan, dan praktik sosiokultural, terungkap bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya deregulasi, liberalisasi perdagangan dan industri, debirokratisasi, pemotongan pajak, kebijakan bersifat moneter, perluasan pasar internasional, dan privatisasi badan publik. Ideologi neoliberalisme dalam peraturan digunakan karena tekanan investor.

Globalization has opened up opportunities for foreign workers to work in Indonesia. In respond, the Indonesian Government has issued regulations that specifically regulate the use of migrant worker in Indonesia, that caused a tough working competition. This research seeks to reveal the ideology of neoliberalism, as well as the background of using it in the Minister of Manpower Regulation No. 16 of 2015 and the Minister of Manpower Regulation No. 35 of 2015. Researchers also want to reveal the influence of foreign parties that encouraged the government in using the ideology. The concepts used are neoliberalism, globalization, new capitalism, technological determinism, critical discourse analysis, and semiotics. This is a research with critical paradigm and qualitative research approach. Using critical discourse analysis methods at the level of text, discourse practice, and sociocultural practices, revealed in the regulations there are signs that indicate deregulation, trade and industrial liberalization, debureaucracy, tax cuts, monetary care policies, international market expansion, and privatization of public bodies. The ideology of neoliberalism in regulation is used due to the force of investors."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Kurniawan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengharmonisasian rancangan peraturan menteri, analisis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Berlakunya Permenkumham No. 23 Tahun 2018 ini kemudian memunculkan permasalahan terkait dengan kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan menteri dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri karena tidak ada pendelegasian wewenang dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,kemudian dalam hal mekanisme proses pengharmonisasian peraturan menteri bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Permasalahan baru yang timbul yaitu masih kurangnya kualitas dan kuantitas perancang peraturan perundang-undangan yang bertugas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengharmonisasian seluruh rancangan peraturan menteri.

ABSTRACT
This research discusses harmonizing the draft ministerial regulation, analysis of Law and Human Right MinistryRegulation No. 23/2018 about Harmonizing The Draft Ministerial Regulation, Draft Regulation of Non-Ministerial Governmen Institutions, or Draft Regulations From Non- Structural Institutions by Legislative Drafter. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 23/2018 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on harmonizing the draft ministerial regulation. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Law and Human Rights did not has any authority harmonizing the draft ministerial regulation because there is no delegation of authority from a higher regulation, that is The Law No.12/2011 Concerning The Establishment Of Legislation, then in the case of the mechanism of the harmonization of ministerial regulations contrary to the principles of the establishment of legislation. A new problem that arises is that there is still a lack of quality and quantity of the legislative drafter in charge of The Ministry Of Law and Human Right to harmonize the entire draft ministerial regulation."
2019
T54426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Adhitama Sukma
"Munculnya Peraturan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan menimbulkan berbagai polemik. Kementerian Dalam Negeri mengajukan surat permohonan pencabutan atas peraturan menteri tersebut karena dianggap telah melampaui kewenangan dalam proses pengharmonisasian peraturan daerah kabupaten. Mengingat sejauh ini Kementerian Dalam Negeri yang banyak berperan dalam pembentukan peraturan daerah. Adanya surat permohonan ini justru diselesaikan melalui rapat koordinasi penyelesaian yang berakhir dengan kesepakatan. Bukan justru dengan melakukan pendekatan secara teori. Dampaknya adalah di Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi merasa bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat diterapkan. Pemerintah Daerah tersebut melihat bahwa peran Kementerian Dalam Negeri dapat fokus terhadap pengembangan kompetensi perancang.

The emergence of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 22 Year 2018 concerning Harmonization of Draft Laws Formed in Regions by Drafting of Laws and Regulations raises various polemics. The Ministry of Home Affairs submitted a letter of application for revocation of the ministerial regulation because it was considered to have exceeded the authority in the process of harmonizing the district regulations. Considering so far the Ministry of Home Affairs has a lot to play in forming local regulations. The existence of this request letter was actually completed through a coordination coordination meeting which ended with an agreement. Not precisely with a theoretical approach. The impact is that the Sukabumi District Government feels that the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 22 of 2018 concerning the Harmonization of Draft Laws Formed in the Regions by the Designers of Legislation and Regulations cannot be applied. The Regional Government sees that the role of the Ministry of the Interior can focus on developing the competency of the designer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Akmal Firdaus
"Tingginya angka kriminalitas menyebabkan dibutuhkan suatu lembaga yang melakukan pembinaan untuk mengurangi angkat kriminalitas tersebut. Lembaga Tersebut yaitu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang melalui lembaga pemasyarakatan memberikan pembinaan kepada narapidana agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan agar tercipta pembinaan yang baik membuat suatu kebijakan. Kebijakan tersebut adalah Revitalisasi Penyelenggaran Pemasyarakatan Pemasyarakatan. Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa terdapat berbagai macam klasifikasi pembinaan yaitu Lembaga Pemasyarakatan Super Maximum Security, Maximum Security, Medium Security, dan Minimum Security. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Ciangir menjadi pilot project terhadap klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan Minimum Security yang ada di Indonesia. Pada implementasinya permasalahan yang ada yaitu lembaga pemasyarakatan minimum security masih kekurangan jumlah hunian narapidana dan juga kekurangan pada sumber daya manusia serta dalam anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana implementasi kebijakan revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan yang menggunakan teori dari Edward III tentang implementasi kebijakan. Metode yang digunakan didalam penelitian ini ialah post-positivist, teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam yang menjadi data primer, studi dokumentasi sebagai data sekunder serta analisis yang digunakan pada penelitian ini bersifat kualitatif. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini ialah pada implementasi kebijakan tersebut Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Ciangir telah melaksanakan dengan cukup baik dan sesuai dengan aturan serta tujuan yang ada pada kebijakan tersebut.

The high crime rate causes an institution that guides to reduce the adoption of crime. The Institution is the Directorate General of Corrections which through correctional institutions guides prisoners so as not to repeat their actions. The Directorate General of Corrections in conducting coaching to create good coaching makes a policy. The policy is the Revitalization of Correctional Institutions. The policy explains that there are various kinds of fostering classifications namely Super Maximum Security, Maximum Security, Medium Security, and Minimum Security. Penitentiary Class II B Ciangir became a pilot project on the classification of the Minimum Security Penitentiary in Indonesia. In its implementation the existing problem is that the minimum security correctional institution still lacks the number of prisoners' dwellings and also lacks in human resources and the budget. This study aims to provide an overview of how to implement a revitalization policy in the implementation of correctional services using theories from Edward III on policy implementation. The method used in this study is the post-positivist, data collection techniques with in-depth interviews that become primary data, the study of documentation as secondary data and the analysis used in this study is qualitative. The results obtained in this study are the implementation of the policy Class C Class II B Penitentiary has implemented quite well and following the rules and objectives of the policy.

"
Depok: Fakultas Ilmu Adminstrasi Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>