Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 226739 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini.
The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of "Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Qarnain
"Filosofi Pemidanaan di Indonesia telah sejak lama bergeser dari pembalasan ke pengembalian narapidana ke masyarakat, terlebih lagi dalam hal pidana perampasan kemerdekaan, yang mengalami perubahan filosofi dari “penjara” menjadi “pemasyarakatan”. Tetapi dalam praktiknya, ternyata tidak banyak yang berubah. Pemasyarakatan masih belum dapat disebut rehabilitatif karena masih banyak sekali permasalahan seperti overstaying, tingkat residivisme yang tinggi, overcrowded, kerusuhan yang seringkali terjadi di Lapas dan Rutan, sering kaburnya warga binaan, maraknya peredaran narkotika di dalam Lapas dan Rutan, hingga terjadi pungutan liar. Untuk mengatasinya, Kementerian Hukum dan HAM kemudian memunculkan suatu ide “Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan”, yang ketentuannya tertera pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018. Highlight dari revitalisasi pemasyarakatan ialah mengutamakan perubahan perilaku warga binaan dan mengubah tantangan kelebihan penghuni Lapas dan Rutan menjadi peluang untuk menciptakan SDM yang unggul melalui empat tahapan pembinaan, yaitu super maximum security, maximum security, medium security, dan minimum security sesuai dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh warga binaan. Penelitian ini bersifat normatif dengan mengutamakan studi kepustakaan, lalu didukung oleh wawancara dan observasi yang penulis lakukan di berbagai UPT Pemasyarakatan untuk mengonfirmasi dan mengklarifikasi data yang penulis temukan dari studi dokumen. Untuk menemukan solusi atas permasalahan pemasyarakatan, diadakan pula perbandingan dengan negara-negara yang sukses di bidang pemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi pemasyarakatan belum menimbulkan perubahan yang cukup berarti karena terdapat beberapa hambatan, sehingga diperlukan perubahan dari segi struktural dan sistemik untuk membantu menyukseskan revitalisasi ini
.The philosophy of criminalization in Indonesia has developed its orientation from retribution to rehabilitation, precisely in the case of criminal deprivation of liberty, which has changed its philosophy from "prison" to "correctional". Unfortunately, in practice, it has not much changed. Corrections still cannot be called rehabilitative because there are still many problems such as overstaying, high recidivism rates, overcrowded, riots that often occur in prisons and jails, frequent prison escapes, rampant narcotics circulation in prisons, to the occurrence of illegal levies. To overcome this, the Ministry of Law and Human Rights then came up with the idea of ​​"Revitalization of the Correctional System", which is listed in Minister of Law and Human Rights Regulation Number 35 Year 2018. The highlight of the revitalization is to prioritize changes in the behavior of inmates and change the challenges of overcrowding to the opportunity to create superior human resources through four stages: super maximum security, maximum security, medium security, and minimum security, in accordance with the level of risk possessed by inmates. The method of the research is normative research by using library studies supported by interview and observation in various correctional institution to get confirmation and clarification of the data that the author got from the document research. In addition to develop the correctional system in Indonesia, This research also use comparative studies with other countries in the penitentiary field. The result of the research concluded that the revitalization of the correctional facilities has not caused significant changes because there are several obstacles, so that structural and systemic changes are needed to help the success of this revitalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Setia Wibawa
"Dinamika perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai mengarah kepada restorative justice. Hal ini didukung dengan kehadiran Undang-Undang Pemasyarakatan tahun 2022 dan Undang-Undang Hukum Pidana Baru tahun 2023 yang memiliki semangat restorative justice dalam pelaksanaannya. Implikasi kedua undang-undang tersebut terhadap Pemasyarakatan juga turut memperluas tugas dan fungsi di setiap proses peradilan pidana khususnya untuk pelaku dewasa. Meskipun demikian, untuk sistem peradilan pidana umum, Pemasyarakatan belum memiliki model mengenai pelaksanaan restorative justice. Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut dari kedua Undang-Undang tersebut maka diperlukan suatu model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan oleh Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan untuk mencari model restorative justice Pemasyarakatan dalam dua konteks berbeda yaitu dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain dan dalam fungsi Pemasyaratan seperti pembinaan dan pembimbingan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen peraturan-peraturan terkait pelaksanaan restorative justice di Indonesia serta wawancara studi lapangan. Kemudian peneliti menggunakan teknik delphi untuk memvalidasi rencana model yang telah diusulkan berdasarkan kerangka teoritik Evidence-Based Practice. Hasil penelitian memperoleh konsensus terhadap lima model implementasi restorative justice yang dapat dilakukan Pemasyarakatan dalam dua konteks tersebut. Model dalam hubungan dengan sub sistem peradilan pidana lain ditujukan untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum melalui penelitian kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan model dalam fungsi pembinaan dan pembimbingan dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara pelaku, masyarakat dan korban melalui program pembinaan dan pembimbingan. Untuk mendukung pelaksanaan model yang telah disusun, diperlukan dasar hukum yang mengikat seluruh aparat penegak hukum, reformulasi terhadap litmas dan penguatan struktur lembaga-lembaga terkait.

The dynamics of the development of criminal law in Indonesia are starting to lead to restorative justice. This is supported by the presence of the Corrections Law of 2022 and the New Criminal Law Law of 2023 which have a spirit of restorative justice in their implementation. The implications of these two laws for Pemasyarakatan also expand the duties and functions in every criminal justice process, especially for adult offenders. However, for the criminal justice system, Pemasyarakatan do not yet have a model for implementing restorative justice. Therefore, as a follow-up to these two laws, a restorative justice implementation model is needed that can be carried out by Pemasyarakatan. This research was conducted to look for a restorative correctional justice model in two different contexts, namely in relation to other criminal justice sub-systems and in Pemasyarakatan functions such as rehabilitation and guidance. The research method used was a study of regulatory documents related to the implementation of restorative justice in Indonesia and field interviews. Then Delphi technique was used to validate the proposed model based on the Evidence-Based Practice theoretical framework. The research results obtained a consensus on five models of implementing restorative justice that can be carried out by Pemasyarakatan in these two contexts. The model in relation to other criminal justice sub-systems is aimed at providing recommendations to law enforcers through social inquiry reports (litmas) carried out by Probation Officers. Meanwhile, the model in the coaching and mentoring function is carried out to improve the relationship between the perpetrator, the community and the victim through a rehabilitation and guidance program. To support the model that has been prepared, a legal basis is needed that binds all law enforcement officials, reformulation of social inquiry reports and strengthening the structure of related institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Kurniawan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengharmonisasian rancangan peraturan menteri, analisis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Berlakunya Permenkumham No. 23 Tahun 2018 ini kemudian memunculkan permasalahan terkait dengan kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan menteri dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri karena tidak ada pendelegasian wewenang dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,kemudian dalam hal mekanisme proses pengharmonisasian peraturan menteri bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Permasalahan baru yang timbul yaitu masih kurangnya kualitas dan kuantitas perancang peraturan perundang-undangan yang bertugas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengharmonisasian seluruh rancangan peraturan menteri.

ABSTRACT
This research discusses harmonizing the draft ministerial regulation, analysis of Law and Human Right MinistryRegulation No. 23/2018 about Harmonizing The Draft Ministerial Regulation, Draft Regulation of Non-Ministerial Governmen Institutions, or Draft Regulations From Non- Structural Institutions by Legislative Drafter. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 23/2018 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on harmonizing the draft ministerial regulation. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Law and Human Rights did not has any authority harmonizing the draft ministerial regulation because there is no delegation of authority from a higher regulation, that is The Law No.12/2011 Concerning The Establishment Of Legislation, then in the case of the mechanism of the harmonization of ministerial regulations contrary to the principles of the establishment of legislation. A new problem that arises is that there is still a lack of quality and quantity of the legislative drafter in charge of The Ministry Of Law and Human Right to harmonize the entire draft ministerial regulation."
2019
T54426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhaktiarsa Bagus Syaifullah
"ABSTRACT
Penelitian ini ditulis untuk menjawab beberapa masalah, seperti kewenangan membuat UU dan Peraturan Menteri Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi The Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Pemerintah Non-Menteri
Institusi, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Legislasi Drafter berdasarkan prinsip dasar regulasi. Tesis ini didasarkan pada normatif studi hukum dengan menerapkan sinkronisasi hukum dengan penelitian metode kepustakaan. Tesis ini menyimpulkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia Menteri Peraturan Nomor 23 Tahun 2018 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Manusia Hak untuk Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Non-Pemerintah Instansi Pemerintah Kementerian, dan Rancangan Peraturan dari Non-struktural Lembaga tidak didasarkan pada prinsip dasar regulasi, seperti prinsip formal dan prinsip-prinsip material. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Rancangan Peraturan dari Lembaga Non-struktural oleh Perencana Legislasi harus dihapus.

ABSTRACT
This research was written to answer several problems, such as the authority to make laws and Regulation of the Minister of Human Rights No. 23 of 2018 concerning The Harmonization Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Ministerial Government Regulation
Institutions, and Draft Regulations of Non-structural Institutions by Legislation Drafter is based on the basic principles of regulation. This thesis is based on normative legal studies by applying law synchronization with library research methods. This thesis concludes that the enactment of the Minister's Law and Human Rights Regulation Number 23 of 2018 which gives authority to the Minister of Law and Human Affairs The Right to Harmonize the Draft Ministerial Regulation, Draft Non-Governmental Regulation Ministry of Government Agencies, and Draft Regulations from Non-structural
Institutions are not based on basic principles of regulation, such as formal principles and material principles. Therefore, the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 23 of 2018 concerning Harmonization of Ministerial Draft Regulation, Draft
Non-Departmental Government Institution Regulations, and Draft Regulations from Non-structural institutions by Legislation Planners must be removed."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinny Fauzan
"ABSTRAK
Nama : Dinny FauzanProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Memuat Keterangan Palsu Studi Kasus PutusanNomor 1039/Pid.B/2015/PN.DPS Pembimbing : Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H. Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. Notaris dalam mengkonstantir semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang disampaikan oleh para pihak kepadanya dalam pembuatan akta otentik, sering sekali menemukan kendala berupa adanya keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak. Keterangan palsu yang dimaksud adalah keterangan yang dituliskan di dalam akta tersebut yang tidak sesuai dengan keinginan dari para pihak baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja. Keterangan palsu bisa berasal dari keterangan yang didapat dari para pihak yang menghadap Notaris atau keterangan yang ditulis oleh pihak notaris itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kerangkanya. Jika kesalahan dilakukan secara sengaja oleh pihak penghadap, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan berupa ganti rugi atau tindak pidana pemalsuan terhadap pihak yang merugikan tersebut dan pihak Notaris tidak dapat dipersalahkan apabila pihak Notaris dapat membuktikan apabila tidak terlibat dalam kesengajaan tersebut. Kedudukan akta autentik dapat diabatalkan, apabila keterangan daripada pihak tersebut dapat dinyatakan. Kata kunci:Keterangan Palsu, akta otentik, tanggung jawab, notaris

ABSTRACT
Name Dinny FauzanStudy Program Master of NotaryTitle The Notary rsquo s Position in the production of a deed Containing false Information. Case Study of Decision Number 1039 Pid.B 2015 PN.DPS Counsellor Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H. Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. Notary in writing down all actions, agreements and stipulation presented by the parties to him in the drawing up of authentic deed often comes across impediments in the form of false information presented by the parties. What is meant by the false information is an information that is written in the deed that is not in accordance with the wishes of the parties either intentional or accidental. False information can be derived from the information obtained from the Parties to Notary or statements written by Notary Party itself. This study is a normative juridical that relies on the principles of the written law. While this type of data used is secondary data in the form of legislation in the form of books relating to the research and resources of the website or document from the Internet to support the interests of research written by the author. If an error is made deliberately by the parties, then the party who feels aggrieved can file a claim for damages or a criminal act of forgery against the adverse party and the Notary can not be blamed if the Notary can prove if they are not involved in the deliberation. The position of authentic deed if there is any false information provided by the parties to the Notary can be null and void. Keywords False Information, Authentic Act, Responsibility, Notary "
2018
T50605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Taufik Makarao
"Masalah pidana dan pemidanaan merupakan suatu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana. Pembicaraan tentang pidana dan pemidanaan ini dapat dikatakan setua umur manusia. Terdapat berbagai istilah, arti pidana yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskannya. Pidana dan pemidanaan ini juga merupakan masalah yang terus dikaji dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Di Indonesia dewasa ini sedang dilakukan proses pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru yang tentunya di dalamnya juga berkaitan dengan pembaharuan bentuk-bentuk pidananya. Penggunaan sanksi pidana ini dalam rangka penanggulangan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang selalu menimbulkan perdebatan yang tiada hentinya. Di satu pihak ada yang setuju menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi, namun di pihak lain ada yang tidak setuju menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan, dengan kata lain pidana tersebut supava diganti dengan tindakan lain.
Selain itu terdapat pula teori-teori yang menjelaskan tentang pidana dan pemidanan serta pembenaran pidana untuk menjelaskan permasalahan dan persoalan yang paling mendasar dengan penggunaan sanksi pidana adalah apa hak kita untuk menghukum atau memidana orang lain. Pidana dan pemidanaan ini juga merupakan suatu mata rantai dengan persoalan mengapa seseorang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu suatu hal yang tidak kalah pentingnya yang terlihat dalam membicarakan tentang pidana ini adalah mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan. Selain itu juga yang berkaitan erat dengan pidana dan pemidanaan ini adalah suatu rangkaian kerja sama antara pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung apa yang dikenal dengan bahasan sistem peradilan pidana.
Dari segi makna, arti atau hakekat pidana itu sendiri dilihat dari pihak yang mengalami atau yang menjalani pidana, pidana tersebut merupakan suatu nestapa, ketidak - senangan, ketidak - enakan, suatu penderitaan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bentuk pidana atau tindakan apa pun namanya, baik berupa pidana penjara, pidana denda atau tindakan perawatan misalnya, merupakan sesuatu yang hal bersifat nestapa, ketidaksenangan, dan lain sebagainya. Dilihat dari tujuan pidana dan pemidanaan, maka apa pun bentuk pidana yang diterapkan dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat, mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Secara juridis, filosofis bentuk pidana cambuk sebagai salah satu bentuk pidana mempunyai perbedaan pendapat, di satu pihak ada yang mengatakan bahwa pidana cambuk tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang tertinggi (grund norm) dari bangsa Indonesia yaitu Pancasila, dan di pihak lain ada yang mengatakan bahwa pidana cambuk bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan secara sosiologis, maka bentuk pidana cambuk sebagai salah satu bentuk pemidanaan dikenal dalam beberapa daerah atau masyarakat adat di Indonesia.
Di Indonesia pidana cambuk mempunyai relevansi yang perlu dipertimbangkan untuk diberlakukan, karena bentuk pidana cambuk ini merupakan salah satu bentuk pidana yang dikenal dalam beberapa daerah atau masyarakat adat di Indonesia. Pelaksanaan pidana cambuk ini akan dapat dilakukan, apabila didukung oleh sistem nilai yang ada dalam masyarakat, dan adanya kebijakan legislatif dari pemerintah. Oleh karena itu kepada pemerintah disarankan untuk secara cermat untuk melihat nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dijadikan hukum positif di masa yang akan datang. Mengingat masih timbulnya problematika tentang perbedaan persepsi berlakunya pidana cambuk ini, maka hendaknya pemerintah secara lebih lanjut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian mengenai studi bentuk-bentuk pidana, dalam rangka menyempurnakan bentuk pidana yang ada saat ini dan mewujudkan bentuk pidana yang baru yang sesuai dengan peraaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Adhitama Sukma
"Munculnya Peraturan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan menimbulkan berbagai polemik. Kementerian Dalam Negeri mengajukan surat permohonan pencabutan atas peraturan menteri tersebut karena dianggap telah melampaui kewenangan dalam proses pengharmonisasian peraturan daerah kabupaten. Mengingat sejauh ini Kementerian Dalam Negeri yang banyak berperan dalam pembentukan peraturan daerah. Adanya surat permohonan ini justru diselesaikan melalui rapat koordinasi penyelesaian yang berakhir dengan kesepakatan. Bukan justru dengan melakukan pendekatan secara teori. Dampaknya adalah di Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi merasa bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat diterapkan. Pemerintah Daerah tersebut melihat bahwa peran Kementerian Dalam Negeri dapat fokus terhadap pengembangan kompetensi perancang.

The emergence of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 22 Year 2018 concerning Harmonization of Draft Laws Formed in Regions by Drafting of Laws and Regulations raises various polemics. The Ministry of Home Affairs submitted a letter of application for revocation of the ministerial regulation because it was considered to have exceeded the authority in the process of harmonizing the district regulations. Considering so far the Ministry of Home Affairs has a lot to play in forming local regulations. The existence of this request letter was actually completed through a coordination coordination meeting which ended with an agreement. Not precisely with a theoretical approach. The impact is that the Sukabumi District Government feels that the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 22 of 2018 concerning the Harmonization of Draft Laws Formed in the Regions by the Designers of Legislation and Regulations cannot be applied. The Regional Government sees that the role of the Ministry of the Interior can focus on developing the competency of the designer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Archambeault, William G.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1982
365.068 3 ARC c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Prestianto Rizki Yudha Putra
"Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah diterapkan dalam beberapa kasus pidana yang melibatkan korporasi di Indonesia. Namun ditemukan banyak kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam melaksanakan proses hukum terhadap korporasi. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi untuk melengkapi Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi untuk mempermudah proses hukum terhadap korporasi. Akan tetapi apakah korporasi selaku subyek hukum pidana telah memperoleh perlindungan yang memadai selayaknya subyek hukum manusia? Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Perlu diingat bahwa konsepsi subyek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini masih berfokus pada subyek hukum manusia sehingga penelitian ini akan membandingkan korporasi dengan manusia sebagai subyek hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan dukungan pendekatan wawancara terhadap narasumber yang diharapkan dapat mengkonfirmasi adanya hak dari subyek hukum pidana dan bagaimana kondisi korporasi saat berhadapan dengan hukum pidana ditinjau dari aspek hak asasi manusia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korporasi juga merupakan subyek yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya subyek hukum manusia namun terdapat perbedaan mendasar diantara kedua subyek hukum pidana dimaksud yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian penerapan hukum. Ketidaksesuaian penerapan hukum tersebut menimbulkan kerugian bagi korporasi karena korporasi tidak mempunyai perlindungan sebagaimana terdapat dalam konsep hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, konsepsi subyek hukum pidana korporasi perlu diadopsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana sehingga hak-hak korporasi sebagai subyek hukum pidana dapat terlindungi.

The concept of corporate criminal liability has been applied in several criminal cases. However, there are challenges faced by law enforcement officers in the criminal justice system against corporation. To address such issues, the Supreme Court has issued Regulation No. 13/2016 on the Procedures to settle Criminal Cases involving corporation, in addition to the Regulation of Attorney General No. PER 028/A/JA/19/2014 on the Guideline to Handle Criminal Procedure for Corporation. These are regulations to address the hurdles of applying corporate criminal liability within the criminal justice system. The question is whether corporation is viewed as subject of Indonesian criminal law. This research attempts to answer such question considering that in Indonesia, the focus is only on individual or human person as a subject of criminal law. Hence, to answer such question, this research will apply normative analysis relying on documentation as well as interview to get confirmation on the presence of rights and obligation of legal entity namely corporation which is quite similar with the rights and obligation of legal person. Nevertheless, there are some differences between them leading to unfortunate situation faced by corporation as corporation lacks of protection under human rights regime. Therefore, the concept of corporation as subject of criminal law needs to be adopted so the rights of corporations can be protected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>