Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angelina Siane
"Latar belakang dan tujuan: diabetes termasuk dalam 8 faktor risiko tertinggi berkembangnya tuberkulosis (TB). Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko TB 3 kali, sedangkan infeksi TB memperburuk kontrol glikemik pasien DM dengan risiko kegagalan terapi TB 69% dan relaps 4 kali. Strategi pengobatan optimal untuk pasien TB-DM belum ditemukan, pengelolaan TB-DM sama dengan pasien TB non-DM. Sejak 2017, WHO tidak lagi merekomendasikan pemberian obat intermiten pada fase lanjutan karena risiko kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan pemberian harian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping pengobatan TB-DM fase lanjutan antara pemberian setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu.
Metode: penelitian retrospektif menggunakan rekam medik pasien TB-DM dengan desain potong lintang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien TB-DM yang sudah memasuki fase lanjutan dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien TB-DM tanpa HIV, tanpa gangguan fungsi ginjal atau hati, berusia ≥18 tahun yang mendapat pengobatan TB yang diberikan setiap hari dan tiga kali seminggu di RSUP Persahabatan periode 1 januari 2015-31 desember 2018.
Hasil: 64 subyek pada kelompok pengobatan setiap hari dan 69 subyek pada kelompok pengobatan intermiten tiga kali seminggu memenuhi kriteria inklusi. Tidak didapatkan perbedaan antara kelompok pengobatan setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu dalam hal kesembuhan (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), pengobatan lengkap (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), gagal (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), dan putus obat (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Hanya 1 subyek (3,1%) yang mengalami kekambuhan pada kelompok pengobatan intermiten (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). Satu subyek (1,6%) pada kelompok pengobatan setiap hari dan 9 subyek (13%) pada kelompok intermiten mengeluhkan efek samping ringan (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil pengobatan antara pemberian obat setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus. Terdapat perbedaan dalam hal efek samping, yang sifatnya ringan, antara kedua kelompok pengobatan. Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.

Background and aim: diabetes is the 8th highest risk factor for tuberculosis. Patients with diabetes mellitus (DM) have three times higher risk of active TB. Tuberculosis disturbs glycemic control in DM patients and 69% TB-DM patients would have failed and the risk for relapse is 4 times higher. The optimal treatments strategy for TB-DM patients is not found yet. Management of TB-DM patients is similar with TB without DM. Since 2017, WHO no longer recommends intermittent drug regiment in advanced phase therapy due to the higher risk of treatment failure, TB recurrence, and drug resistance. This study aims to compare treatment outcomes and safety of advanced phase treatment between daily and intermittent treatment in TB-DM patients.
Methods: this is a retrospective study with cross sectional design using medical record at Persahabatan Hospital from 1 January 2015 to 31 December 2018. The study sample are all TB-DM patient who have entered the advanced phase that met inclusion criteria, which are TB-DM patients without HIV/ impaired kidney or liver function, aged ≥18 years who had tuberculosis treatment.
Results: 64 subjects in daily treatment group and 69 subjects in intermittent group met the inclusion criteria. There are no difference between daily and intermittent group in term of cured (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), completed treatment (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), failed (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), and dropouts (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Only 1 subject (3,1%) in intermittent group had recurrence (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). One subject (1,6%) in daily treatment group and 9 subjects (13%) in intermittent group had minor side effects (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Most subjects in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months.
Conclusion: there were no differences in cure rate, complete treatment, failure and dropouts between daily and intermittent treatment in diabetic pulmonary tuberculosis patient. There is difference in side effects, which mostly are mild, between the two group. Most patients in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Garinda Alma Duta
"Latar belakang: Efusi pleura tuberkulosis (TB) adalah bentuk umum dari TB ekstra paru. Proporsi efusi pleura pada kasus TB adalah terbesar kedua setelah keganasan di RSUP Persahabatan. Diagnosis definitif ditegakan dengan menemukan basil Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dari cairan pleura mapun jaringan pleura walaupun kurang sensitif. Analisis cairan pleura dan pemeriksaan kadar adenosine deaminase (ADA) dapat membantu dalam mendiagnosis efusi pleura pada kasus TB terutama pada negara dengan insidens TB menengah hingga tinggi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah membandingkan profil efusi pleura pada kelompok TB dan non-TB.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 411 catatan medis subjek dengan efusi pleura yang menjalani prosedur diagnostik di RSUP Persahabatan dari bulan Januari 2013 hingga 31 December 2015 secara retrospektif. Semua jaringan dan cairan diperiksa untuk pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi, analisis cairan pleura dan ADA. Total 273 subjek dieksklusikan dan 138 subjek memenuhi kriteria inklusi untuk TB (n=65) dan non-TB (n=73).
Hasil: Nilai tengah usia pada kelompok TB adalah 27 (15-69) tahun dengan proporsi 34 (75%) laki-laki berbeda bermakna dengan nilai tengah usia pada kelompok non TB yaitu 51 (16-75) tahun yang terdiri atas 38 (52%) perempuan. Pada kelompok TB rentang nilai ADA adalah 5,9 hingga 437,6 U/L dengan nilai tengah 103 U/L sedangkan pada kelompok non TB rentang 3,4 hingga 155 U/L dengan nilai tengah 19,9 U/L. Protein cairan pleura pada kelompok TB memiliki rerata 5,6 (SD 1,1) mg/dL berbeda bermakna dibandingkan pada rerata kelompok non TB yaitu 4,9 (SD 1,6) mg/dL. Sensitivitas ADA dengan titik potong 60 IU/dL adalah 89% dengan spesifitas 77% untuk kepositifan TB. Protein cairan pleura dengan titik potong 5 g/dL memberikan sensitivitas dan spesifitas sebesar 60% dan 52%. Pada penelitian ini kombinasi titik potong ADA dengan kadar 60 IU/L dan protein dengan kadar 5 g/dL meningkatkan spesifisitas menjadi 78% dan sensitivitas menjadi 66%.
Kesimpulan: Hasil ADA dan protein cairan pleura harus diintepretasikan bersama temuan klinis dan hasil uji konfirmasi lain.

Background: Pleural effusion is a common form of extra pulmonary tuberculosis (TB). Effusion due to pleural TB is second biggest proportion after malignancy in Persahabatan Hospital. The definitive diagnosis was established by determining the basil of Mycobacterium tuberculosis (M.tb) in the pleural fluid or pleural tissue but less sensitive. Pleural fluid analysis and adenosine deaminase (ADA) level can aid in the diagnosis of TB pleural effusions commonly used in the countries with a moderate to high incidence of TB.
Objectives: The aim of the study is comparing the profile of pleural effusion in TB and non-TB group.
Methods: This is retrospective cross sectional study on 411 subjects with pleural effusions who underwent diagnostic procedure at Persahabatan Hospital by January 1st 2013 to December 31th 2015. All data from tissue and fluid sample of microbiological, histopathological, pleural fluid and ADA examinations were taken from medical records. Total 138 patients met our inclusion criteria for TB (n=65) and non-TB (n=73) and 273 patients were excluded.
Results: Median of age in tuberculosis group age median was 27 (15-69) years old and consisted of 34 male (75%). Median of age in non-TB group was 51 (16.75) years old and consisted of 38 female (52%). In TB groups ADA range from 5.9 to 437.6 U/L with median ADA level 103 and in non TB groups ADA level range from 3.4 to 155 U/L with median 19.9 U/L. In TB groups protein level mean 5.6 (SD 1.1) mg/dL non TB 4.9 (SD 1.6) mg/dL. By using cut off the sensitivity of ADA level 60 IU/dL were 89% with specifity 77%. Protein level cutoff at 5 g/dL the sensitivity and specifity were 60% and 52%. This study showed a combination of ADA and protein as a cut off increasing specifity up to 78% and sensitivity 66%.
Conclusion: The results of ADA and protein of pleural fluid should be interpreted in parallel with clinical findings and the results of comfirmation tests.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Alfisah
"ABSTRAK
Prinsip pelayanan kesehatan pada anak harus berfokus pada anak dan keluarga, untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarga. Dalam upaya meningkatkan pemeliharaan kesehatan anak dengan TB Paru, keluarga mempunyai lima tugas yang perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dalam pengobatan TB paru pada anak. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional dengan melibatkan 107 orang tua yang mempunyai anak dengan TB Paru di RSUD Kota Bekasi. Instrumen yang digunakan adalah Kuesioner Tugas Kesehatan Keluarga yang dimodifikasi dari penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan untuk tugas mengenal masalah berada dalam kategori mampu (57%); Tugas membuat keputusan dalam kategori tidak mampu (51,4%); Tugas memberikan perawatan yang tepat berada dalam kategori mampu (55,1%); Tugas keempat dan kelima memodifikasi lingkunga dan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan dalam kategori mampu (60,75%) dan (51,4%). Peneliti merekomendasikan perlunya peningkatan sosialisasi dengan pemberian informasi terkait pencegahan dan pengobatan TB paru pada anak, pada tatanan pelayanan kesehatan primer

ABSTRACT
The children?s health care should focus on children and families. The family has five tasks to complete in purpose to obtain the children?s health needs. The purpose of this research was to describe the implementation of family health tasks in children with pulmonary TB medication. This research used cross sectional design and used consecutive sampling, involving 107 parents whose children suffering from pulmonary TB in RSUD Bekasi. The Instrument used was family health tasks questionnaire, which was modified from previous research. The result showed 57% respondents were capable to complete the first task, which is to recognize the problem. The second task, families were unable to make a decision (51,4%). The third task, which is giving a proper care, was in capable category around 55,1%. The result also showed that 60,75% respondents were capable to complete the fourth task, which is modify environment. Around 51,4% were capable to do fifth task, which is utilizing healthcare facilities. This research recommended the improvement of health promotion related to prevention and medication of children with pulmonary TB"
2016
S63998
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Putri Sundawa
"Anak merupakan populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya tuberkulosis ekstraparu (TBC-EP). Namun demikian, sampai saat ini data mengenai keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu pada anak dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan TBC-EP pada anak dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode kohor retrospektif pada populasi anak terdiagnosis TBC ekstraparu. Dari 953 pasien anak usia 0 bulan-17 tahun yang terdiagnosis TBC, 458 (48%) anak mengalami TBC-EP dengan tiga bentuk yang paling sering bertutur-turut adalah TBC osteoartikular (21,7%), limfadenitis (21,1%) dan sistem saraf pusat (16,3%). Sebanyak 70,6% pasien TBC ekstraparu anak dinyatakan sembuh selama 2015-2021. Mayoritas pasien TBC-EP berusia 11-18 tahun (46%) dengan sebaran jenis kelamin yang seimbang, laki-laki (49,3%) dan perempuan (50,7%). Riwayat kontak dengan pasien TBC ditemukan pada 41,1% dan jaringan parut BCG ditemukan pada 34,7% kasus. Komorbiditas TBC ekstraparu dan TBC paru ditemukan pada 45,7% pasien. Analisis multivariat pada faktor prediktor keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu mendapati hasil yang bermakna pada status gizi baik (RR 1,285, IK 95% 1,135-1,456) dan jenis TBC ekstraparu yang dialami bukanlah TBC ekstraparu berat (RR 1,330, IK 95% 1,094-1,616).

Children is highly susceptible to extrapulmonary tuberculosis (EPTB). However, knowledge about childhood EPTB in Indonesia and its treatment success is limited. This study aimed to determine treatment success rate of EPTB and factors affecting successful treatment outcome in children. We conducted a retrospective cohort study in Cipto-Mangunkusumo Kiara Hospital. A total of 953 pediatric patients below 18 years old were diagnosed with TBC. Extrapulmonary TB was found in 458 children (48%), with the most prevalent type: bone and joint (21.7%), lymph node (21.1%), and central nervous system (16.3%). There were 70.6% EPTB pediatric patients successfully treated during 2015-2021. The majority of patient with EPTB were in the age group of 11-18 years (46%) with balanced sex distribution, male (49.3%) and female (50.7%). Comorbidity of pulmonary TBC and EPTB was found in 45.7% patients. Multivariate analysis in factors predicting successful treatment outcome with significant results were good nutritional status (RR 1.285, 95% CI 1.135-1.456) and suffered from non-severe EPTB form (RR     1.330, 95% CI 1.094-1.616)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqatussaadah
"ABSTRAK
Indonesia saat ini berada pada urutan kedua negara dengan kasus TB paru terbanyak,
dibawah India dan Cina. Angka prevalensi TB Paru tahun 2015 mencapai 647 per 100.000
dan insidens 399, Indonesia diprediksi akan mencapai 1 juta kasus per tahun. Strategi
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan strategi yang dikeluarkan
oleh WHO dalam penanggulangan TB.
Beberapa rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan TB kepada masyarakat dan
juga melibatkan masyarakat secara aktif untuk mendukung program penanggulangan TB
adalah Rumah Sakit Islam (RSI) yang dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah yaitu RSI
Pondok Kopi, RSI Cempaka Putih, dan RSI Sukapura. Rumah sakit swasta tersebut
bekerjasama dengan organisasi masyarakat peduli TB yang dikenal sebagai ?Aisyiyah
Community TB Care. ?Aisyiyah termasuk salah satu organisasi masyarakat lokal yang
dipercaya dan dipilih untuk mendapatkan dana hibah melalui Global Fund for AIDS,
Tuberculosis and Malaria (GF ATM) dengan menjadi principal recipient atau pengelola
dana langsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawas Menelan Obat (PMO) baik pada tahun
2010 dan 2014 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil pengobatan TB Angka
CDR di rumah sakit pada tahun 2010 pada saat ada dukungan ?Aisyiyah mencapai angka
68%, sedangkan pada tahun 2014 setelah tidak ada dukungan ?Aisyiyah angka CDR menurun
menjadi 40%. Sedangkan jumlah pasien TB yang sembuh (Cure Rate) pada tahun 2010
mencapai 66% sedangkan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 41%, sehingga
ada perbedaan 25% dalam pencapaian angka kesembuhan. PMO pada tahun 2010 berasal dari
kader ?Aisyiyah (35%) dan keluarga pasien (65%). Sedangkan pada tahun 2014 PMO semua
berasal dari keluarga pasien (100%). Perbedaannya adalah PMO yang berasal dari ?Aisyiyah
Community TB Care adalah mereka yang sudah mendapat pelatihan-pelatihan mengenai
pengobatan TB dan mereka melakukan pengawasan melekat kepada pasien dari awal
pengobatan sampai dinyatakan sembuh.
Oleh karena itu selanjutnya direkomendasikan untuk memilih PMO tidak berasal dari
keluarga tetapi orang yang lebih disegani oleh pasien dan telah mendapatkan pelatihanpelatihan
mengenai pengobatan TB. Selain itu perlu dibuat kartu kinerja PMO sehingga
seluruh kegiatan PMO terpantau dengan baik selama mendampingi pasien berobat hingga
sembuh.

ABSTRACT
Indonesia is currently the second country with the most cases of pulmonary tuberculosis,
below India and China. Pulmonary TB prevalence rate in 2015 was 647 per 100,000 and
incidence of 399, Indonesia is predicted to reach 1 million cases per year. Strategy of Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) strategy is issued by WHO in TB control.
Some private hospitals that provide services to the community TB and also involve the
community actively to support TB control program is Islamic Hospital (RSI) which is owned
by the organization Muhammadiyah ie RSI Pondok Kopi, Cempaka Putih RSI and RSI
Sukapura. The private hospital care in collaboration with community organizations TB,
known as' Aisyiyah Community TB Care. 'Aisyiyah including one local community
organizations are trusted and selected for a grant from the Global Fund for AIDS,
Tuberculosis and Malaria (GF ATM) to be the principal recipient or the fund manager
directly. The results showed that the Supervisory Swallowing Drugs (PMO), both in 2010
and 2014 had a significant effect on the results of TB treatment digits to CDR in hospital in
2010 when no support 'Aisyiyah reached 68%, whereas in 2014 after no support 'Aisyiyah
CDR figure dropped to 40%. While the number of TB patients cured (Cure Rate) in 2010
reached 66% while in 2014 decreased to 41%, so there is a 25% difference in achieving cure
rates. PMO in 2010 came from the cadres' Aisyiyah (35%) and the patient's family (65%).
Whereas in 2014 the PMO all come from families of patients (100%). The difference is
coming from the PMO 'Aisyiyah Community TB Care are those who have received training
on their TB treatment and supervision attached to a patient from start of treatment until
otherwise recovered. Therefore, it is recommended to choose the PMO subsequently did not
come from the family but people are more respected by patients and has received training on
TB treatment. In addition it should be made so that all the cards performance PMO PMO
activities well monitored during treatment with the patient to recover"
2016
D2180
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiya Diena Nasuha
"Latar belakang: Aspergillosis paru kronik (APK) menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan jaringan paru, misalnya tuberkulosis (TB). Deteksi antibodi Aspergillus merupakan modalitas utama pendukung diagnosis APK. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui cut-off optimal ELISA manual Bordier dalam deteksi antibodi Aspergillus di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Pemeriksaan sampel menggunakan metode ELISA manual Bordier sebagai uji diagnostik APK. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan cut-off optimal pemeriksaan.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian merupakan kelompok usia <60 tahun (89,1%) dengan rentang usia 17-72 tahun dan median 34 tahun. Cut-off optimal memberikan sensitivitas 43,48% dan spesifitas 100%. Sedangkan, sensitivitas pada cut-off 0.780, 0.850 dan 0.930 menunjukkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan cut-off 1,595 dan cut-off pabrik (>1,0). Diabetes (15,6%) dan asma (10,9%) diketahui menjadi temuan yang lebih banyak pada pasien APK dibandingkan penyakit komorbid lainnya.
Kesimpulan: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 dengan spesifitas 100%, dapat menjadi alat skrining awal diagnosis APK. Hasil positif pada pemeriksaan disertai gejala klinis dan radiologis mengarah APK dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan hasil negatif membutuhkan investigasi lanjut dengan pemeriksaan ELISA otomatis.

Introduction: Chronic pulmonary aspergillosis (APK) is one of the diseases that are often found in patients with lung tissue damage, for example tuberculosis (TB). Aspergillus antibody detection is the main modality supporting the diagnosis of APK. This study aims to determine the optimal cut-off of Bordier's manual ELISA in the detection of Aspergillus antibodies in Indonesia.
Method: This study used a cross-sectional study design. Sampel examination using Bordier's manual ELISA method as a diagnostic APK test. The data obtained are analyzed to determine the optimal cut-off of the examination.
Result: Most of the study subjects were <60 years old age group (89.1%) with an age range of 17-72 years and a median of 34 years. The optimal cut-off provides 43.48% sensitivity and 100% specificity. Meanwhile, the sensitivity at cut-offs of 0.780, 0.850 and 0.930 showed better sensitivity compared to cut-offs of 1.595 and factory cut-offs (>1.0). Diabetes (15.6%) and asthma (10.9%) are known to be more common in APK patients than other comorbid diseases.
Conclusion: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 with 100% specificity, can be an early screening tool for APK diagnosis. Positive results on examination accompanied by clinical and radiological symptoms leading to APK can be used to establish a diagnosis, while negative results require further investigation with automated ELISA examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik.
Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok.

Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination.
Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record.
Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shintayu Pramesranni Anazky Putri Sudibyo
"Tuberkulosis masih menjadi masalah serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Seseorang dengan TBC aktif dapat menularkan bakteri TBC kepada 10-15 orang dalam kurun waktu satu tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dan stigma diri dengan kepatuhan klien TB Paru di Kota Depok. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan cross sectional dan teknik cluster random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen stigma diri dan instrumen kepatuhan. Jumlah sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 94 responden klien tuberkulosis paru di Kota Depok yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis univariat dan bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Hasil uji chi square untuk variabel karakteristik dan kepatuhan menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan. Hasil uji chi square untuk variabel stigma diri menunjukkan nilai p sebesar 0,000 yang artinya memiliki hubungan yang signifikan. Pengembangan program kesiapan pengobatan untuk klien perlu disiapkan oleh puskesmas. Program tersebut dapat dilaksanakan oleh perawat sebelum memulai pengobatan sehingga tingkat kepatuhan klien terhadap TB Paru dapat ditingkatkan.

Tuberculosis is still a serious problem throughout the world, including in Indonesia. A person with active TB can transmit TB bacteria to 10-15 people within one year. This study aims to determine the relationship between characteristics and self-stigma with client compliance with pulmonary TB in Depok City. The research method used was a cross sectional approach and cluster random sampling technique. The instruments used in this study were self-stigma instruments and compliance instruments. The number of research samples used in this study were 94 respondents with pulmonary tuberculosis clients in Depok City who met the inclusion criteria. Univariate and bivariate analyzes in this study were carried out using the chi square test. The results of the chi square test for the characteristic and compliance variables showed no significant relationship. The results of the chi square test for the self-stigma variable showed a p value of 0,000 which means that it has a significant relationship. The development of a treatment readiness program for clients needs to be prepared by the puskesmas. The program can be implemented by nurses before starting treatment so that the client's level of adherence to pulmonary TB can be improved."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolong, Dina Bisara
"Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit menular yang paling mematikan di dunia. Saat ini diperkirakan 9,6 juta orang memiliki masalah terkait TB pada tahun 2014 (5,4 juta laki-laki; 3,2 juta perempuan; dan 1 juta anak-anak). Kasus tertinggi terdapat di India, Indonesia dan China dengan julah kasus masing-masing: 23%, 10% dan 10%. WHO telah memperkenalkan the End TB Strategy dalam upaya menurunkan prevalensi TB, yang berlaku sejak tahun 2016. Sehubungan dengan strategi tersebut, telah ditetapkan target terkait dengan SDGs yaitu menurunkan jumlah kematian TB sebesar 90% dan jumlah kasus TB baru sebesar 80% dari target tahun 2015 untuk tahun 2030 serta memastikan bahwa tidak ada keluarga dibebani dengan bencana biaya karena TB. Prinsip dasar perawatan kasus tuberkulosis adalah sama di seluruh dunia. Diagnosis harus ditetapkan secara akurat dan sedini mungkin, dan rejimen pengobatan harus sesuai standar. Skrining foto toraks menunjukkan sensitivitas yang baik dalam mengidentifikasi individu dengan risiko tertinggi mengalami TB, terutama ketika kriteria abnormal pada paru-paru dan pleura digunakan. Banyak negara menggunakan skrining foto toraks untuk TB peningkatan deteksi kasus TB.
Tujuan utama penelitian ini adalah: menganalisis positivitas skrining TB dengan memanfaatkan pemeriksaan foto toraks serta potensi kerugian ekonomi yang dapat dicegah. Tujuan khusus adalah menganalisis peningkatan positivitas bakteriologi positif pada skrining TB dengan penambahan foto toraks; menganalisis akurasi dengan penambahan pemeriksaan skrining foto toraks dan implikasinya terhadap biaya pemeriksaan.
Penelitian ini menggunakan data sekunder SPTB yang dilaksanakan tahun 2013-2014 untuk tingkat nasional dan 3 wilayah. Disain SPTB 2013-2014 adalah potong lintang dengan stratified multi-stage cluster sampling. Semua partisipan diwawancarai tentang gejala TB dan dilakukan skrining foto toraks kecuali wanita hamil dan partisipan yang menolak. Suspek adalah partisipan dengan gejala TB atau abnormal foto toraks, pemeriksaan sputum mikroskopik, kultur dan Xpert MTB/Rif dilakukan oleh tujuh laboratorium rujukan TB. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa skrining foto toraks dapat mendeteksi sebesar 97% smear positif, 94% smear negatif, serta 95% dari konfirmasi bakteriologis TB. Sebanyak 30% smear positif dan 51% smear negatif serta 43% konfirmasi bakteriologis TB hanya terdeteksi dari skrining foto toraks tanpa skrining gejala TB. Berarti terdapat kasus TB yang tidak terdeteksi jika tanpa skrining foto toraks dan jika hanya mengandalkan skrining gejala TB di Indonesia tahun 2013-2014, sebanyak 602.717 untuk umur ≥15 tahun, dan 421.250 untuk kelompok umur 18-60 tahun diantaranya, laki-laki 273.810 dan perempuan 147.440.
Penambahan skrining foto toraks minimal meningkatkan empat kali konfirmasi bakteriologis TB dibanding dengan hanya skrining gejala TB dan sembilan kali jika bersama-sama skrining gejala dan skrining foto toraks. Sensitivitas dan spesifitas abnomal foto toraks pada skrining gejala positif masing-masing terhadap konfirmasi bakteriologis TB adalah 91,3% dan 47,2%. Hasil lainnya apabila hasil uji diagnostik penambahan skrining foto toraks normal pada skrining gejala positif, maka probabilitas pasien tidak TB adalah sebesar 99,4 %(NPV). Hal ini berarti adanya efisiensi dari sekitar 45% pasien dengan skrining gejala TB positif tetapi skrining foto toraks normal, bukan suspek TB sehingga tidak memerlukan biaya untuk pemeriksaan laboratorium smear dan Xpert MTB/RIF. Umumnya (96%) hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF positif adalah kultur positif yang diacu sebagai gold standard, sedangkan hanya 49% hasil BTA positif diantara kultur positif.
Penambahan skrining foto toraks untuk mendeteksi TB dapat menghemat biaya pengeluaran dalam deteksi kasus TB terutama pada laki-laki umur produktif. Sebesar 38% biaya yang dapat dihemat berasal dari biaya tidak langsung yaitu kehilangan tahun produktifitas karena kematian dini dan selama sakit. Biaya yang dapat dihemat ini tinggi terutama pada laki (50%) Penambahan pemeriksaan foto toraks juga dapat menurunkan kematian dan transmisi sebesar 75% pada smear positif dan 30% pada smear negatif. Oleh karena itu rekomendasi utama penelitian ini adalah memasukkan skrining foto toraks selain skrining gejala TB pada alur diagnosis TB dewasa bersama pemeriksaan Xpert MTB/RIF dalam deteksi dini kasus TB untuk menurunkan prevalensi, kematian akibat TB dan transmisi di masyarakat.

Tuberculosis remains one of the world?s deadliest communicable diseases. Worldwide, 9.6 million people was estimated to have TB?s related problems in 2014; i.e 5.4 million in men; 3.2 million women and 1 million children. Globally, India, Indonesia and China had the largest number of TB cases: 23, 10 and 10 of total percentage. WHO has launched the End TB Strategy in the effort of reducing TB?s prevalence that has been implemented since 2016. With regard to the target of the strategy which is linked to the SDGs, 90% of mortality and 80% of the new TB cases (year 2015) should be achieved in 2030. In addition, there should be taken for granted there would not any family be financially burden because of TB. The basic principle to cure TB cases is the same all over the world. Diagnose has to be done accurately and as early as possible. In addition, treatment regiments have to be standardized. Thorax screening has shown as a good sensitivity in identifying a high risk TB suspect, especially when abnormality criterion at lung and pleura is implemented. Many countries has adopting screening of thorax photo to escalate for TB case detection.
The purpose of this study is to analyze the positivity of TB screening through thorax photo identification and its economics potential losses that can be prevented. The specific purposes are: to analyze the positivity of bacteriologically TB confirmed in TB screening with chest X-ray; to analyze accuracy of adding chest X-ray screening in a bacteriologicallyTB confirmed and its financial implication on TB diagnose.
This study utilized a secondary data of SPTB that has been collected in 2013-2014 for national level and 3 regions representative. The design of the study is a cross-sectional, implementing stratified multi-stages cluster sampling. Participants were interviewed on TB?s symptoms and screened for direct digital chest radiography (DDR) except for pregnant women and those refused to participate. Suspect are those who having symptoms of TB or abnormal thorax photo, assessed for microscopic sputum for acid-fast bacillus (AFB),, culture and Xpert MTB/RIF done by seven referal TB?s laboratory.
Study results showed, screening for thorax photo can detect as much as 97% of positive smear, 94% of negative smear and 95% of bacteriologically TB confirmed. Without symptoms of TB, thorax photo can detect 30% positive smear, 51% negative smear and 43% bacteriologically TB confirmed. It can be said that there are TB cases that can?t be detected without taking thorax photo. By doing screening of symptoms only, there are 602,717 cases of age ≥15 years old, 421,250 cases of age 18-60 years among others 273,810 cases are men and 147,440 cases are women were may loss detected. By adding thorax screening we can increase four-fold TB bacteria confirmation and nine-fold when both (symptoms and thorax) are done simultaneously.
Sensitivity and specificity of abnormal thorax photo for positive symptom towards TB bacterilogically TB cofirmed was 91.3% and 47.2% respectively. Other results was when the results of thorax photo screening normal, but having positive symptoms, the probability of non TB cases was 99.4% (NPV). Thus, there would be about 45% efficiency can be done for cases of symptom positive ? thorax normal, or non TB suspect which can save finance for laboratory smear assessment and Xpert MTB/RIF. Generally 96% of Xpert MTB/RIF positive was culture positive that used as a gold standard comparing to 49% of BTA positive among culture positive.
Using chest X-Ray screening to detect TB could save budget in detecting TB cases, especially at men of productive age. As much as 38% finance reveal as indirect cost that is productivity losses due to premature death and temporary disability. This cost saving is relatively high (50%). By adding thorax photo assessment, it can reduce 75% mortality and TB?s transmission of positive smear and 30% of negative smear.
The main recommendation of this study is to implement thorax photo screening in spite of TB?s symptom screening at the diagnoses pathways for adult TB cases, simultaneously with early detection of Xpert MTB/RIF to reduce TB prevalence, mortality as well as transmission in the community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>