Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Priyatna Murtyaningsih
"Berakhirnya kolonialisme menyebabkan negara-negara penjajah secara perlahan kehilangan kekuasaan atas negara koloninya. Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, maka negara penjajah menggunakan cara lain untuk mempertahankan kuasanya. Neo-kolonialisme merupakan sebuah konsep untuk menguasai suatu negara tanpa menggunakan kekerasan, melainkan dengan hubungan bilateral, persebaran budaya dan bantuan ekonomi. Neo-kolonialisme dapat mengancam kebebasan dan kemerdekaan suatu negara, karena negara tersebut akan dijadikan boneka oleh negara yang mendominasinya. Emmanuel Macron selaku Presiden Prancis menyampaikan sebuah pidato pada Hari Frankofoni Internasional di hadapan publik Académie Française 2018. Pidato ini dianggap menggambarkan neo-kolonialisme yang dilakukan oleh Prancis. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan unsur-unsur neo-kolonialisme yang terdapat dalam pidato Macron, dan menggunakan teori Analisis Wacana Kritis dari Ruth Wodak. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggambaran neo-kolonialisme dalam pidato dilakukan melalui dominasi bahasa pada tiga bidang utama, yaitu politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Neo-kolonialisme dalam pidato ini digambarkan sebagai usaha-usaha Prancis untuk menyebarkan bahasanya ke seluruh dunia, khususnya negara-negara anggota Organisation International de la Francophonie (OIF).

The end of colonialism caused the colonizing countries to slowly lose power over their colonies. To maintain the power possessed, the colonial state used other means to maintain its power. Neo-colonialism is a concept for controlling a country without resorting to violence, but rather with bilateral relations, cultural distribution and economic assistance. Neo-colonialism can threaten the freedom and independence of a country, because that country will become a puppet by the state that dominates it. Emmanuel Macron as the President of France delivered a speech on International Francophonie Day in public in the 2018 Académie Française. This speech was considered to describe neo-colonialism carried out by France. This study aims to show the neo-colonial elements contained in Macron's speech, and use the theory of Critical Discourse Analysis from Ruth Wodak. This research shows that the description of neo-colonialism in speech is carried out through language dominance in three main areas, namely politics, economics, and socio-culture. Neo-colonialism in this speech was described as France's efforts to spread its language throughout the world, especially the member states of Organisation International de la Francophonie (OIF)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Juwita Sari
"Pemilihan umum presiden 2017 merupakan sebuah peristiwa yang penting dalam sejarah Prancis dengan kemenangan Presiden termuda, yaitu Emmanuel Macron. Artikel ini membahas mengenai pidato Emmanuel Macron yang berhasil meyakinkan rakyat Prancis memilihnya sebagai Presiden 2017. Data dianalisis dengan cara membedah struktur kalimat, dan prinsip retorika dalam pidato kampanye Macron di Paris pada tanggal 24 April 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan hubungan antara struktur kalimat yang dan prinsip retorika yang digunakan oleh Macron dalam pidato pemilihannya sebagai Presiden 2017. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif oleh Creswell (2013) dengan studi kepustakaan. Teori Le Querler (1994) digunakan untuk membedah struktur sintaksis dan teori retorika oleh Fromilhague (2010) untuk membedah diksi dalam setiap kalimat pidato. Dari 50 data ditemukan bahwa kalimat dominan pada pidato Emmanuel Macron adalah les phrases complexes diantara nya 20 La Phrase Complexes subordonnée, 10 La Phrase complexe juxtaposée, 14 La Phrase composée coordonée dan 6 Les phrases simple. Adapun kalimat dominan yaitu Les phrases complexes subordonné untuk memberikan perluasan melalui informasi yang disampaikan. Fungsi kalimat sintaksis juga berpengaruh dalam penggunaan prinsip retorika untuk memberikan penjelasan lebih mendetail di dalam setiap kalimatnya.

The 2017 presidential election was a landmark event in French history with the victory of the youngest President, Emmanuel Macron. This article discusses Emmanuel Macron's speech that successfully convinced the French people to elect him as President in 2017. The data is analyzed by dissecting the sentence structure, and rhetorical principles in Macron's campaign speech in Paris on April 24, 2017. This research aims to show the relationship between the sentence structure and rhetorical principles used by Macron in his election speech as President in 2017. This research uses the qualitative method by Creswell (3013) with a literature study. Le Querler's theory (1994) was used to dissect the syntactic structure and Fromilhague's theory of rhetoric (2010) to dissect the diction in each sentence of the speech. From 50 data, it is found that the dominant sentences in Emmanuel Macron's speeches are les phrases complexes, including 20 les phrases complexes subordonnée, 10 les phrases complexe juxtaposée, 14 les phrases composée coordonée and 6 les phrases simple. The dominant sentence is Les phrases complexes subordonné to provide expansion through the information conveyed. The syntactic sentence function also influences the use of rhetorical principles to provide a more detailed explanation in each sentence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Ridwan Wahyudi
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai terbentuknya Yellow Vests Movement sebagai gerakan populis bottom-up di Prancis pada masa pemerintahan Emmanuel Macron. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur. Dengan menggunakan konsep populisme, dapat diketahui bahwa Yellow Vests Movement dapat terbentuk karena adanya dampak berkepanjangan dari kondisi krisis berupa krisis ekonomi yang pernah terjadi di tahun 2008-2009 serta adanya nilai anti-elitisme di masyarakat yang dapat lahir karena adanya kegagalan pemerintah untuk mengatasi kondisi krisis yang ada serta terputusnya hubungan dengan masyarakat. Disaat yang bersamaan banyak tuntutan masyarakat terdahulu yang tidak direspon oleh pemerintah sehingga semakin memperkuat nilai anti-elitisme yang ada. Dengan kondisi yang demikian, sebagai sebuah gerakan populis maka tuntutan yang diajukan oleh Yellow Vests Movement semakin meluas. Mereka menuntut kedaulatan rakyat sebagai prioritas utama melalui pengadaan referendum nasional sebagai bentuk kurangnya suara rakyat yang didengar selama ini.

This final project examines the formed of the Yellow Vests Movement as a bottom-up populist movement in France during the reign of Emmanuel Macron. This study is a qualitative study that applies literature studies as a data collection technique. By using the populist concept, it is possible to see that the Yellow Vests Movement was formed in response to the prolonged impact of the crisis, specifically the economic crisis of 2008-2009. Furthermore, the emergence of anti-elitism values in society is due to the government's failure to address the existing crisis conditions and the society's disconnection. Simultaneously, the government has failed to respond to several community demands, thereby reinforcing existing anti-elitism values. Under these circumstances, the Yellow Vests Movement demands are gaining traction as a populist movement. They demand people's sovereignty as a top priority, calling for a national referendum in response to the lack of public hearings thus far."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Diella Amanda
"Sejak pertama kali dinyatakan ilegal melalui la loi n° 70-1320 du 31 décembre 1970, kebijakan pemerintah Prancis terhadap ganja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Prancis merupakan salah satu negara dengan hukuman paling berat untuk penggunaan ganja di Eropa. Namun, meskipun memiliki hukum yang berat, Prancis merupakan salah satu negara dengan persentase konsumen ganja tertinggi di Eropa. Hasil survei populasi umum yang dilakukan oleh Santé publique France dan OFDT menunjukkan bahwa ganja merupakan psikoaktif terlarang yang paling banyak digunakan di Prancis dan penyebaran ganja di Prancis terus meningkat sejak diberlakukannya kebijakan pelarangan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran regulasi tersebut dalam menanggulangi permasalahan konsumsi ganja di Prancis. Penelitian ini mencari tahu pengaruh konsumsi ganja di Prancis terhadap regulasi yang dibuat pada masa pemerintahan Emmanuel Macron dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan sebelumnya yang tidak efektif serta seruan reformasi dari masyarakat tidak mempengaruhi kebijakan Emmanuel Macron dalam upaya menanggulangi permasalahan terkait ganja di Prancis. Dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintahan Emmanuel Macron memutuskan untuk mengambil jalan tengah, yaitu dekriminalisasi parsial atau contraventionnalisation serta percobaan penggunaan ganja untuk tujuan terapeutik. Meskipun kebijakan baru Macron dianggap tidak benar-benar menyelesaikan masalah, langkah ini berupaya untuk menghindari perselisihan antara pihak-pihak yang menuntut legalisasi ganja, serta pihak konservatif yang bersikeras mempertahankan hukum ganja yang represif

Since it was first declared illegal through la loi n ° 70-1320 du 31 décembre 1970, the French government's policy towards cannabis has not changed significantly. France is one of the countries with the most severe penalties for the use of marijuana in Europe. However, despite its tough laws, France has one of the highest percentage of cannabis consumers in Europe. The results of a general population survey conducted by Santé publique France and OFDT shows that marijuana is the most widely used illicit psychoactive in France and that diffusion of cannabis in France has continued to increase since the enactment of the ban. This raises questions about the role of these regulations in overcoming the problem of cannabis consumption in France. This research investigates the effect of marijuana consumption in France on regulations made during Emmanuel Macron administration period using qualitative methods and literature study techniques. This research proves that the previous ineffective policies and calls for reform from the public did not influence Emmanuel Macron's policies in trying to tackle the problems related to cannabis in France. In dealing with this problem, Emmanuel Macron's government decided to take a middle course, namely partial decriminalization or contraventionnalisation and the trial of using marijuana for therapeutic purposes. While Macron's new policies do not really solve the problem, the move seeks to avoid clashes between parties claiming marijuana legalization and conservatives who insist on maintaining repressive cannabis laws"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Darmawan
"Prancis saat ini menjadi negara di Eropa yang memiliki keberagaman di dalamnya, mulai dari agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini disebabkan salah satunya oleh kedatangan para imigran dan orang asing, khususnya saat periode Pasca-Perang Dunia Kedua. Alasan awal kedatangan imigran adalah faktor ekonomi atau pekerjaan. Dalam menangani mobilisasi penduduk ini, Prancis memberlakukan kebijakan-kebijakan imigrasi yang beragam yang tertuang pada situs Kementerian Dalam Negeri dan Seberang Lautan. Oleh karena itu, perlu diketahui bentuk kebijakan imigrasi di Prancis. Penelitian ini kemudian berfokus pada kebijakan imigrasi pemerintahan François Hollande dan Emmanuel Macron berdasarkan perbedaan poros politik mereka. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan isi kebijakan imigrasi antara pemerintahan Hollande dan Macron. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kebijakan imigrasi kedua pemerintahan selama lima tahun menjabat. Untuk menemukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif oleh Iosifides dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough dan konsep ideologi politik oleh D. Parenteau dan I. Parenteau. Hasil temuan dari penelitian ini adalah orientasi kiri dari Hollande menghasilkan kebijakan imigrasi yang pro-masyarakat (imigran), sedangkan orientasi tengah Macron lebih memperketat kebijakannya terhadap masyarakat asing.

France is a country in Europe that embraces diversity in terms of religion, race, and ethnicity in its society. The arrival of migrants and foreigners, especially in the post-Second World War period contributed to France’s current demographic landscape. In dealing with the influx of population, France has adopted various immigration policies, as stated on the website of the Ministry of the Interior and Overseas, but has not significantly improved the current situation. As the immigration issue has continuously become prominent in French society, this research takes on comparing the policies carried by the governments of François Hollande and Emmanuel Macron on the issue while also taking into account their different political axes. Thus, the purpose of this study is to analyze the political discourses embedded in the immigration policies between the Hollande and Macron administrations. This research makes use of available sources from the immigration policies of both governments during their five years in office. The data was collected by employing qualitative research methods by Iosifides combined with critical discourse analysis theory by Norman Fairclough and the concept of political ideology by D. Parenteau and I. Parenteau. The findings of this research suggest that Hollande's leftist orientation contributed to his pro-people (immigrants) immigration policy, while Macron's center orientation attempted to tighten the immigration policy towards foreigners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Noval Arrafiq
"Pemilihan Presiden Prancis pada masa Republik Lima sudah berlangsung sebanyak sepuluh kali (Ministère de l'Intérieur, 2017). Emmanuel Macron dengan En Marche! memperkenalkan ideologi politik tengahnya dan secara mengejutkan berhasil memenangkan pemilihan Presiden Prancis 2017 putaran pertama. Padahal, beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan ada perbedaan antara ideologi dan kampanye yang dilakukan Macron. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan ideologi yang tercermin dalam program kerja yang disusun Emmanuel Macron dan mengetahui pengaruh program kerja tersebut terhadap kemenangannya. Sumber data yang digunakan adalah kumpulan program kerja dari Emmanuel Macron yang dipublikasikan oleh Le Monde (2017) dengan beberapa data tambahan dari hasil survei yang dilakukan oleh CISE dan Sciences Po Grenoble. Untuk menjawab masalah tersebut maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dari Marcus B. Weaver-Hightower (2019) dan dibantu dengan teori analisis wacana kritis dari Norman Fairclough (2013) serta konsep ideologi politik dari D. Parenteau (2008). Temuan dari penelitian ini adalah program kerja dari Emmanuel Macron memiliki kecenderungan mirip dengan ideologi kiri. Program kerja tersebut nyatanya hanya bertujuan untuk membantu kemenangan Macron di pemilihan Presiden Prancis 2017 tapi tidak bertujuan untuk memperjelas definisi dirinya sebagai sosok centriste.

French Presidential elections during the Fifth Republic have been held ten times (Ministère de l'Intérieur, 2017). Emmanuel Macron with En Marche! introduced his centrist political ideology and surprisingly managed to win the first round of the 2017 French Presidential election. However, previous studies have shown that gap between Macron's ideology and campaign are reflected. Therefore, this study aims to find the ideology that is reflected in the workplan compiled by Emmanuel Macron and to determine its effect on his victory. The data source used is a collection of workplans from Emmanuel Macron published by Le Monde (2017) with some additional data from the results of a survey conducted by CISE and Sciences Po Grenoble. To answer this problem, this study uses a qualitative research method from Marcus B. Weaver-Hightower (2019) and is assisted by the theory of critical discourse analysis from Norman Fairclough (2013) and the concept of political ideology from D. Parenteau (2008). The finding of this study is that Emmanuel Macron's workplan has a tendency similar to leftist ideology. The workplan in fact only aims to help Macron win in the 2017 French Presidential election but does not aim to clarify his definition of a centriste figure."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Yanti Setiawan
"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dampak dari kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Macron selama menjabat sebagai Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri & Digital dan ketika menjabat sebagai Presiden Prancis dalam perkembangan perusahaan dompet digital atau fintech di Prancis. Metode yang digunakan yakni kualitatif dengan menggunakan teori analisis dampak kebijakan dari Suharto dan konsep fintech dari Arner, et.al. sebagai pengantar ke dalam analisis dompet digital di Prancis. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum Macron menjadi Menteri, di tahun 2013 perusahaan dompet digital hanya mendapatkan dana dari investor sebesar 29 juta euro. Peningkatan semakin sangat besar dan cepat berkembang dimulai tahun 2015 setelah Macron menjadi Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri & Digital saat dana dari investor yang terkumpul mencapai 132 juta euro. Setelah Macron menjadi Presiden Prancis, dompet digital bahkan semakin meningkat lagi sehingga pada akhir tahun 2019 berhasil mengumpulkan dana dari investor sebesar 2 miliar euro. Pencapaian tersebut diperoleh berkat kebijakan ekonomi bernama undang-undang “Macron” (pasal 43 dan 129) dan kebijakan République Numérique (pasal 40, 52 dan 94) yang diberlakukan pada saat Macron menjabat sebagai Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri & Digital dan setelah menjadi Presiden Prancis. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Macron sangat berhasil memutakhirkan perekonomian Prancis dalam bidang ekonomi digital.

This article aims to explain the impact of an economic policy implemented by Emmanuel Macron during his mandate as Minister of the Economy, Industry & Digital Affairs and as President of France, on his capacity to develop financial technology and digital wallet in France as a part of his attention to advance French economic. The Article applied qualitative methodology using the analytical theory of Soeharto policy’s impact and Arner, et.al. concept about fintech as an introduction through analys of digital wallet in France. The research indicates that since 2013 the digital wallet company gained only 29 million euros funds from the investors before Emmanuel Macron took office as Minister of the Economy, Industry & Digital Affairs. A significant and speedy increase of 132 million euro funds from the investor began in 2015 following Macron’s appointment. After Macron’s election President of France, the digital wallet industry grew even more especially at the end of 2019 when the industry successfully collected 2 billion euro of investor funds. This is thanks to the economic policy named “Macron” Law (article 43 and 129) and République Numérique Policy (article 40, 52 and 94) adopted when Macron served as a Minister of the Economy, Industry & Digital Affairs and after being elected as President of France. The coclusion is that Macron succeeded in updating and improving French economy in the digital economy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Afilia Tri Hanjani
"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui tingkat xenofobia dari tahun 2012 hingga 2018, pada masa Pemerintahan dua Presiden yaitu François Hollande dan Emmanuel Macron. Pada masa pemerintahan presiden François Hollande banyak terjadi peristiwa terorisme di Prancis yang telah diklaim dilakukan oleh jihadist Islam diluar Prancis, membuat banyak masyarakat Prancis merasa khawatir dan takut kepada imigran. Pada masa pemerintahan Presiden Emmanuel Macron juga terjadi krisis ekonomi, sehingga membuat rakyat Prancis merasa adanya persaingan antara warga lokal dan warga pendatang. Karakteristik kebijakan dari kedua masa pemerintahan berdampak terhadap tingkat toleransi dan juga aksi rasisme yang terjadi di Prancis. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini mendeskripsikan kebijakan François Hollande dan Emmanuel Macron, dengan kondisi sosial politik pada dua masa yang bertentangan dengan ideologi politik kedua pemerintahan dan sikap terhadap fenomena xenofobia. Di samping itu, solusi yang dibentuk oleh kedua presiden juga dipengaruhi oleh kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut tertuju, yaitu keturunan imigran yang tinggal di Prancis. Maka diketahui, pada masa pemerintahan Emmanuel Macron kehidupan kedua pihak antara masyarakat Prancis dan masyarakat pendatang lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan François Hollande karena tingkat xenofobia terlihat lebih rendah.

This article aims to determine the level of xenophobia from 2012 to 2018, during the reigns of two Presidents François Hollande and Emmanuel Macron. During the reign of President François Hollande, there were many incidents of terrorism in France which had been claimed by Islamic jihadists outside France, making many French people feel worried and afraid of immigrants. During the reign of President Emmanuel Macron, there was also an economic crisis, which made the French people feel that there was competition between local residents and immigrants. The characteristics of the policies of the two reigns had an impact on the level of tolerance and also the acts of racism that occurred in France. By using qualitative methods and literature study techniques, this study describes the policies of François Hollande and Emmanuel Macron, with the socio-political conditions at two times which contradicted the political ideologies of the two governments and attitudes towards the xenophobic phenomenon. In addition, the solution formed by the two presidents is also influenced by who the policies are aimed at, namely the descendants of immigrants living in France. Thus, it is known that during the reign of Emmanuel Macron, life between the French and immigrant communities was better than during the reign of François Hollande because the level of xenophobia was seen to be lower."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Ramadhan Yusuf
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti tentang demonstrasi rompi kuning yang memprotes kebijakan kenaikan pajak karbon pemerintah Prancis. Tujuan penelitian adalah untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yaitu pembentukan opini publik media Prancis terhadap demonstrasi rompi kuning dan dampak kebijakan kenaikan pajak karbon terhadap sektor produsen dan konsumen. Pada tahun 2015, pemerintah Prancis melalui Konferensi Paris (COP21) menandatangani perjanjian untuk membatasi kenaikan emisi karbon 1.5% sampai 2% untuk mengurangi pengaruh dari pemanasan global. Namun upaya kenaikan pajak karbon tersebut berujung protes panjang dari kelompok masyarakat. Tidak hanya pemerintah yang menjadi sasaran dari demonstran, sejumlah wartawan juga turut mengalami kekerasan oleh demonstran. Penelitian ini akan berfokus kepada pembentukan opini publik yang dilakukan oleh media Prancis terhadap demonstran rompi kuning. Untuk membantu penulisan penelitian, teori frame-building akan membantu untuk menganalisis terkait pembentukan opini publik. Analisis pasar juga akan digunakan untuk membantu memahami dampak kebijakan kenaikan pajak karbon terhadap sektor produsen dan konsumen. Temuan dari penelitian yang telah dilakukan adalah adanya bias media Prancis terhadap pemerintah dalam peliputan tentang demonstrasi rompi kuning dan perubahan pola perilaku produsen dan konsumen dalam kebijakan karbon yang diberlakukan pemerintah Prancis.

ABSTRACT
This thesis examine the yellow vests demonstration that protesting the policy measures of increasing carbon tax by government of France. The aim for this research is to answer two research questions, to examine the shaping of public opinion by French media towards yellow vests demonstration and the impact of carbon tax for two sectors, producers and consumers. In 2015, the government through Conference of Paris (COP21) signed the agreement to limit the increase of the carbon emission around 1.5% to 2% to reduce the implication of global warming. But the carbon tax measures led to protest for a long time. The protestors not only aimed their grievances to the government but also towards French media which experiencing violence. This research will focus on public opinion making by French media towards yellow vests movement. To help the examination of research writing, frame-building theory will guide to analyse the public opinion making. Market analysis will also used to guide understanding of increasing carbon tax policy impact towards two sectors, producers and consumers. The findings of the research is bias practiced by French media towards government in coverage of yellow vests demonstration and both producers consumers changing pattern to adapt the measures taken by the French government."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitya Yudhistira
"Agama Islam merupakan salah satu agama yang telah berkembang cukup lama di Prancis. Namun, praktik agama Islam seringkali bertentangan dengan prinsip laïcité di negara tersebut yang kemudian berujung pada diskriminasi muslim di tengah masyarakat Prancis. Dalam perkembangannya, muncul salah satu isu mengenai kelompok agama islam yang bergabung dengan aliran politik kiri di Prancis yang kemudian dikenal dengan istilah Islamo-gauchisme. Pada masa pemerintahan Emmanuel Macron, permasalahan Islamo-gauchisme kembali menjadi perbincangan publik di Prancis pada awal 2021 setelah Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Inovasi Prancis, Frédérique Vidal dianggap mencoreng kebebasan akademik di Prancis. Momentum ini banyak digunakan oleh media massa Prancis untuk menerbitkan artikel tentang Islamo-gauchisme serta tokoh-tokoh terkait. Penelitian ini membahas mengenai bagaimana Le Figaro dan Le Point yang secara tradisional beraliran sayap kanan Prancis memberitakan isu mengenai Islamo-gauchisme yang berseberangan dengan ideologi politik mereka. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis oleh Norman Fairclough (1995) yang digunakan untuk menganalisis korpus penelitian berupa empat artikel berita dari Le Figaro dan Le Point mengenai Islamo-gauchisme yang diterbitkan pada Februari 2021 sebagai reaksi dari pernyataan Frédérique Vidal terkait Islamo-gauchisme yang merebak di lingkungan pendidikan tinggi di Prancis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Le Figaro dan Le Point memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan isu yang bertentangan dengan orientasi politik mereka. Le Point memperlihatkan posisi mereka lewat tokoh-tokoh yang mereka kutip dalam artikel dan tetap memperlihatkan gaya kritis yang konservatif dalam penulisan artikelnya. Sementara Le Figaro memperlihatkan posisi mereka lewat penggunaan diksi dalam artikel dan berusaha untuk terlihat tetap netral.

Islam is a religion that has been developing for a long time in France. However, the practice of Islam is often contrary with the principle of laïcité which then leads to the discrimination of muslims in French society. An issue later arose regarding Islamic groups who joined the leftist in France and became known as Islamo-gauchisme. During the reign of Emmanuel Macron, this phenomenon became the main topic of public discussion in early 2021 after Minister of Higher Education, Research and Innovation, Frédérique Vidal was considered to have undermined academic freedom in France. This momentum was widely used by the French mass media to publish articles about Islamo-gauchisme and related figures. This research discusses how Le Figaro and Le Point, which are traditionally French right-wing, reported the issue of Islamo-gauchisme through their articles which is at odds with their political ideology. This research uses the theory of critical discourse analysis by Norman Fairclough (1995), which is used to analyze the research corpus in the form of four news articles from Le Figaro and Le Point regarding Islamo-gauchisme which were published in February 2021 as a reaction to Frédérique Vidal's statement regarding Islamo-gauchisme which has impacted the universities in France. The results show that both Le Figaro and Le Point have their own way of presenting issues that are contrary to their political orientation. Le Point shows their position through the figures they quote in the article and still maintains a conservative critical style in their articles. Meanwhile, Le Figaro shows their position through the use of diction in the article and tries to appear neutral.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>