Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142555 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maghfira Humaira
"Indonesia merupakan negara yang sistem finansialnya sangat bergantung kepada sektor perbankan. Sebelum adanya konsep  , konsep  digunakan sebagai upaya penanganan permasalahan Bank Sistemik. merupakan suatu konsep baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penelitian ini akan membahas mengenai pengaturandan implementasi sebagai upaya penanganan permasalahan Bank Sistemik di Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian dalam bentuk yuridis normatif, tipologi penelitian deskriptif, dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang didukung dengan wawancara. telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.03/2017 tentang Rencana Aksi Recovery Plan) Bagi Bank Sistemik dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/SEOJK.03/2016 tentang Fitur Konversi Menjadi Saham Biasa atau  Write Down Terhadap Instrumen Modal Inti Tambahan dan Modal Pelengkap. Implementasi bail-in  dilakukan oleh Bank Sistemik dimulai saat Bank telah mencapai  trigger level  yang telah ditentukan.  Trigger level  merupakan tingkatan dimana opsi pemulihan ( recovery options mulai dilaksanakan. Implementasi  melihat indikator apakah yang bermasalah dan menggunakan segala upaya yang dilakukan oleh Bank sendiri. Indonesia memerlukan penyusunan pengaturan rencana resolusi resolution plan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan pengedukasian kepada masyarakat mengenai Bank Sistemik. 
Indonesia is a country where its financial system is depending on the banking sector. Before the bail-in concept, the bail-out concept was used as an effort to handle the problem of Systemic Banks. Bail-in is a concept that existed after the enactment of the Law Number 9 of 2016 concerning Financial System Crisis Prevention and Management. This research will discuss about bail-in regulations and the implementation of bail-in as an effort to handle the problem of Systemic Banks. In this research, the author uses the normative juridical approach in the form of descriptive research typology, and the type of data used is secondary data supported by interviews. Bail-in has been regulated by the Law Number 9 of 2016 concerning Financial System Crisis Prevention and Management, Financial Services Authority Regulation Number 14/POJK.03/2017 concerning Recovery Plan for Systemic Banks and Financial Services Authority Circular Letter Number 20/SEOJK.03/2016 concerning Feature of Conversion into Ordinary Shares or Write Down of Additional Tier 1 and Tier 2 Capital Instruments. The bail-in implementation is carried out by the Systemic Bank starting when the Bank has reached the specified trigger level. Trigger level is the level at which recovery options begin to be implemented. The bail-in implementation looks at what indicators are problematic and uses all the efforts made by the Bank itself. Indonesia requires the preparation of a resolution plan arrangement by the Indonesian Deposit Insurance Corporation and the provision to the public regarding Systemic Banks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karissa Eliza Putri
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penerapan bail-in sebagai salah satu resolusi bank sistemik. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah terkait pengaturan mengenai opsi resolusi bagi bank sistemik yang mengalami permasalahan solvabilitas. Metode penelitian yang dugunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan permasalahan terkait pengaturan mengenai tingkat kesehatan bank, yang berpengaruh kepada permasalahan solvabilitas suatu bank sistemik, sehingga harus diselesaikan dengan opsi resolusi. Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, terdapat satu tambahan resolusi yang dapat digunakan yaitu bail-in. Bail-in merupakan upaya untuk menyerap kerugian bank dan melakukan rekapitalisasi bank dengan cara menghapuskan sebagian/seluruh kewajiban dan/atau mengubah sebagian/seluruh kewajiban menjadi modal. Bail-in merupakan kebalikan dari bail-out. Bail-out menggunakan dana APBN untuk menyelamatkan bank sistemik. Namun, dalam prakteknya menimbulkan moral hazard dan dinilai tidak efektif. Hal tersebut yang melandasi dibentuk resolusi bail-in. Diharapkan, dengan resolusi bail-in ini, bank sistemik lebih mandiri dan berhati-hati terhadap kinerja perusahaannya. Regulasi terkait dengan pelaksanaan bail-in harus segera dibentuk, agar terdapat kejelasan hukum.

ABSTRACT
The focus of this study is about the implementation of bail in as one of systemic bank rsquo s resolution. Discussion issues in this study is about the resolution option for systematically important bank which suffering from solvability problem. The method used in this study is juridical normative study by using secondary data as the main data source. Based upon the issue on regulation concerning about the bank rsquo s health, which affect to bank solvability problem. The problem must be solved with resolution option. Based on Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan law No. 9 of 2016, added one of resolution option. The resolution option is known as bail in. The essence of bail in is the idea that some senior creditors of a bank should, in certain circumstances, have part of their claim against the bank written down in wholly or in part, after the write down of lower ranking subordinated claims and equity. Bail in is in reverse of bail out. Bail out use APBN public funds to solved systematically important bank rsquo s problem. But, in practice bail out inflict moral hazard and ineffective. There is the fundamental reason for the government to create the bail in resolution. Bail in expected to make systematically important bank more settle and concern with their company performance. The regulation related to the implementation of bail in should be formed, for the clarity of the law."
2017
S67311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Wulandari
"ABSTRAK
Permasalahan keuangan suatu bank berupa penekanan likuiditas harus ditangani dengan cara meminimalkan dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan terhadap stabilitas sistem keuangan sehingga tetap memperoleh kepercayaan masyarakat penyimpan dana pada sistem perbankan dan menjaga perekonomian secara keseluruhan. Penerapan kebijakan bail-in sebagai private sector resolution untuk alternatif penanganan bank bermasalah selain bail-out, melalui konversi sumber dana bank menjadi modal dengan tujuan meminimalisir biaya fiskal yang harus ditanggung oleh otoritas yang berwenang memerlukan penelitian terkait sumber dana bank yang dapat dikonversi dan implikasi hukumnya apabila diterapkan saat ini. Dalam rangka perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, usulan penerapan kebijakan bail-in harus selaras dengan asas kebebasan berkontrak dan tetap dapat memberikan perlindungan hukum khususnya kepada nasabah sebagai konsumen bank.
Simpanan atau dana pihak ketiga sebagai sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank pada dasarnya dapat dikonversi menjadi modal sepanjang terdapat persetujuan dari nasabah selaku pemilik simpanan atau dana pihak ketiga tersebut. Simpanan atau dana pihak ketiga yang dapat dikonversi adalah yang digolongkan sebagai simpanan yang tidak dijamin pembayarannya (unsecured debt) oleh Lembaga Penjamin Simpanan karena secara hukum belum memperoleh jaminan atau pertanggungan. Selain itu, pinjaman subordinasi dari pihak terafiliasi yang dianggap turut bertanggung jawab atas pengelolaan bank dapat dikonversi menjadi modal sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan bank yang bersangkutan. Namun demikian, penerapan kebijakan bail-in berupa konversi saat ini belum dapat dilakukan karena belum terdapat peraturan yang mengatur serta perjanjian atau kontrak penyimpanan dana antara bank dan nasabah tidak secara jelas menyebutkan adanya ?klausula konversi?.

ABSTRACT
The financial problems of a bank in the form of liquidity suppression should be addressed by minimizing the impact of the damage that can be inflicted against the financial system stability, allowing the system to maintain its depositors trust in the banking system and to maintain the economy in its entirety. In addition to the bail-out policy, the implementation of the bail-in policy being a private sector resolution, as an alternative for the handling of troubled banks, through the conversion of bank?s funds into capital for the purpose of minimizing fiscal costs borne by the authority, requires research on the source of funds of banks that are convertable and its legal implications of its application. In order to amend Law Number 7 of 1992 concerning Banking as amended by Law Number 10 of 1998, the proposed implementation of the bail-in policy shall be concordant with the principle of freedom of contract and able to provide legal protection, in particular to customers as banking consumers.
In principal, deposits or third party?s funds, as the bank?s largest, most reliable source of fund are convertable into capital as long as the bank obtained customer?s consent as the owner of such deposits or third party funds. Deposits or third party?s funds that can be converted are ones which are classified as unsecured debt by the Indonesia Deposit Insurance Agency, because by law, such funds are not guaranteed or insured. In addition, subordinated loans from affiliated parties that are considered to be partly liable for the bank?s management can be converted into capital as a form of accountability for the management of such bank. However, the implementation of the bail-in policy in the form of conversion is presently inapplicable because there are no regulations governing such matter. In addition, existing agreements or contracts between the bank and the customer on fund savings does not clearly state the existence of "conversion clause".
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naurah Humam Alkatiri
"Indonesia telah mengalami krisis keuangan terburuk pada tahun 1997/1999. Pemerintah terpaksa melakukan bail-out melalui penerbitan lebih dari Rp550 triliun obligasi untuk merestrukturisasi sistem perbankan nasional. Sejak itu, pemerintah menyadari bahwa resolusi bail-out bukanlah cara yang terbaik untuk menyelamatkan bank-bank yang gagal, terutama yang berdampak sistemik. Pada tahun 2016, pemerintah telah mengeluarkan metode resolusi baru yang menggunakan mekanisme bail-in yang diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kehadiran UU PPKSK menandai era baru dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan di Indonesia. Menurut UU PPKSK, mekanisme bail-in akan menjadi prioritas utama dalam penanganan bank sistemik yang gagal, dimana rencana pemulihan untuk mengatasi permasalahan bank gagal akan mengutamakan menggunakan sumber daya dari bank itu sendiri, tanpa melibatkan Anggaran dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, permasalahan di atas menimbulkan rumusan masalah yaitu mengapa pemerintah mengganti skema bail-out dengan bail-in dalam menangani bank gagal dan apa implikasi dari substitusi tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif, tipologi penelitiannya digolongkan sebagai deskriptif, eksplanatori, dan komparatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang meliputi sumber primer, sumber sekunder, dan sumber tersier. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian akan dianalisis melalui pendekatan kualitatif. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa konsep bail-out memiliki efek yang lebih merugikan daripada menyelesaikan permasalahan bank. Salah satu alasan utama mengapa penggunaan resolusi bail-out harus diminimalkan dan diganti dengan resolusi bail-in adalah Moral Hazard. Metode resolusi bail-out juga membebani anggaran negara. Di sisi lain, mekanisme bail-in yang dapat mengalokasikan kerugian yang disebabkan oleh bank kepada kreditur senior atau pemegang saham dan menghindari penggunaan anggaran negara, sehingga meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan. Namun, Indonesia tetap menerapkan mekanisme bail-out melalui Penyertaan Modal Sementara tanpa mengikutsertakan pemegang saham atau dikenal juga sebagai Open Bank Assistance (OBA). UU PPKSK hanya menambah mekanisme baru yaitu bail-in, sehingga menambah kewenangan LPS dalam menyelesaikan bank gagal. Oleh karena itu, terdapat tambahan opsi resolusi namun tidak menggantikannya. Penulis mempunyai saran kepada Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan mekanisme bail-out dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Open Bank Assistance. Bahkan Amerika Serikat telah menghapus opsi Open Bank Assistance sejak diberlakukannya Dodd-Frank Act pada tahun 2010.

Indonesia has experienced the worst financial crisis in 1997/1998. The government was forced to bail-out through the issuance of more that Rp550 trillion in bonds to restructure the national banking system. Since then, the government has come to realization that that bail-out resolution is not the best way to save failing banks, especially banks with systemic impacts. On 2016, the government had introduce a new resolution methods using the bail-in mechanism which is regulated under the Financial System Crisis Prevention and Management Act (UU PPKSK). The presence of the UU PPKSK also marks a new era in the prevention and handling of financial system crises in Indonesia. According to UU PPKSK, the bail-in mechanism is a top priority in dealing with failed systemic banks. That means, the recovery plan to overcome the problem of failed banks with financial difficulties will be carried out by involving the bank's own resources, without involving the State Budget and Expenditure (APBN). Hence, the aforementioned issues gives rise to the following research questions that will be discussed within this thesis, namely why did the government substitute the bail-out with bail-in mechanism in managing bank failure and what are the implications from the substitution. The research type used in this thesis is juridical-normative research, the research typology can be classified as descriptive, explanatory, and comparative. This research utilizes secondary data which encompasses primary sources, secondary sources, and tertiary sources. The data obtained in this research will then be analysed through qualitative approach. All in all, it can be concluded that the bail-out concept has more of an adverse effect rather than resolving the troubled bank. One of the primary reason why the use of bail-out resolution should be minimized and replaced with the bail-in resolution is Moral Hazard. Bail-out also burden the state’s budget. On the other hand, the new bail-in mechanism can allocate losses caused by the banks to senior creditors or shareholders and avoid the use of the state’s budget, hence minimizing its impact on the financial system stability. However, Indonesia still implement bail-out mechanism through Temporary Equity Participation (PMS) without involving the shareholders or also known as Open Bank Assistance (OBA). UU PPKSK only add new mechanism which is bail-in, thus this adds the authority of LPS in resolving failing banks. So there are additional resolution option but it does not replace it. The author would like to recommend to the Indonesian Government to abolish the bail-out mechanism from the laws and regulations in Indonesia, which is Open Bank Assistance (OBA). Even the United States of America has eradicate the Open Bank Assistance option since the enactment of the Dodd- Frank Act in 2010."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gigih Prastowo
"ABSTRAK
Perdebatan tentang bail out untuk menyelamatkan bank kembali muncul sejak krisis keuangan global 2007-2008. Amerika mengeluarkan dana talangan lebih dari 475 miliar dolar, terbesar dalam sejarah. Beberapa pihak menganggap talangan itu berhasil dan beberapa dianggap gagal dan tidak konstitusional karena mereka menyediakan dana perpajakan ke sektor swasta. Di Indonesia hal serupa muncul setelah keluarnya bail out untuk bank Century sampai akhirnya protokol krisis Indonesia tidak lagi menggunakan jaminan sehingga pembaharuan rezim harus diperiksa kembali apakah layak atau tidak. Peneliti menggunakan pengujian sensitivitas dinamis dan metode CoVaR untuk melihat dampak sistemik dan persyaratan modal jika terjadi skenario buruk dalam perekonomian. Peneliti hanya menghitung aset LPS sebagai penjamin karena mayoritas pemegang saham modal dan kontribusi industri perbankan yang menjadi sumber daya dalam mekanisme bail in sulit diukur dengan andal. Dengan demikian peneliti menemukan bahwa dengan skenario optimis, LPS sendiri masih dapat menangani skenario base case dan skenario adverse. Namun tidak lagi bisa menangani saat skenario bergeser menjadi severely adverse atau skenario dengan kondisi krisis 1998.

ABSTRAK
Indonesia has been implementing the no bail out mechanism as part of its protocol to rescue bank problem mainly for systemically important bank. It is utterly important to perform a simulation test to check the feasibility of this newly implemented policy. This research uses dynamic stress testing and CoVaR methods to see the systemic impact and capital requirements in the event of an economic downturn and normal condition. The guarantee proxy is limited to Indonesian Deposit Insurance Corporation LPS asset only due to lack of majority shareholder capital and bank contribution in bail in mechanism data availability . The result shows that with under the optimistic scenario, LPS asset is sufficient to cover the cost of bank rescue. However, under the pessimistic scenario, the cost is beyond LPS capability. Hence no bail out mechanism can only be working properly under normal condition but not in severely adverse condition. "
2017
S69582
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rivan
"ABSTRAK

Tesis ini menganalisis tentang Penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) di Desa Sukmajaya, Desa Ragajaya dan Desa Bojonggede, Kabupaten Bogor dan faktor-faktor yang mempengaruhi Penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) tersebut. Penelitian ini menggunakan paradigma post positivist dan jenis penelitian kualitatif-deskriptif. Data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal penting diantaranya, permasalahan perencanaan keuangan, partisipasi masyarakat, rendahnya kompetensi SDM perangkat desa dan TPK dalam pelaporan keuangan serta kurangnya koordinasi dan kerjasama pemerintah desa dengan lembaga desa yang menyebabkan penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) di Desa Sukmajaya belum berjalan dengan baik. Selain itu, belum adanya peraturan pada tingkat desa terkait musyawarah pada tingkat desa yang menyebabkan keterlambatan penetapan APBDesa di Desa Sukmajaya, Desa Ragajaya dan Desa Bojonggede. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) di Desa Sukmajaya, Desa Ragajaya dan Desa Bojonggede yaitu kepemimpinan, sumberdaya, komitmen dan komunikasi.

 

 

 



ABSTRACT
This thesis analyzes the application of the Village Financial System (Siskeudes) in Sukmajaya Village, Ragajaya Village and Bojonggede Village, Bogor Regency and the factors that influence the application of the  Village Financial System (Siskeudes). This study uses the post positivist paradigm and the type of qualitative-descriptive research. Data collected through in-depth interviews, observation and documentation. The resurlts showed several important things including, financial planning problems, community participation, low competency of village officials and TPK in financial reporting and lack of coordination and cooperation between village government and village institutions that led to the application pf the village financial system (Siskeudes) that had not yet proceeded with well. In addition, there are no regulations at the village level regarding deliberation at the village level which have caused delays in the establishment of village budget in Sukmajaya Village, Ragajaya Villlage and Bojonggede Village. Factors influencing the application of the Village Financial System (Siskeudes) in Sukmajaya Village, Ragajaya Village and Bojonggede Village are leadership, resources, commitment and communication.

 

"
2019
T55134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Widjayanto
"Tesis ini bertujuan mengevaluasi rancangan, implementasi, keselarasan dan proses cascading BSC tema belanja negara pada Departemen Keuangan. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan mengandalkan data sekunder dan hasil wawancara. Fokus evaluasi cascading pada unit eselon I yang terlibat fungsi alokasi belanja negara yaitu BKF, DJA, DJPK, dan DJPb. Hasil evaluasi dengan sembilan tahap sukses Rohm menunjukkan bahwa tema strategi belanja negara hanya menjalankan 8 tahap, dimana tahap inisiatif tidak ditetapkan pada tingkat depkeuwide. Sebaiknya perspektif keuangan perlu dimasukkan dalam rancangan tema strategi belanja negara agar bisa mengukur efisiensi penggunaan anggaran. Pemahaman atas hubungan sebab akibat para pegawai perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketidakselarasan dan ketidaktepatan KPI yang ditetapkan. Hasil penyelarasan peta strategi belanja negara dengan depkeu-one menunjukkan perlunya perbaikan atas keselarasan KPI dan sasaran strategis pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.

The purpose of this case study is to evaluate the design, implementation, alignment and cascading process of Disbursement Theme Balanced Scorecard of Ministry of Finance. The unit focus of cascading process are BKF, DJA, DJPK and DJPb. The results of evaluation based on nine steps of succes-Rohm shows that disbursement theme already conduct 8 steps, without initiatives step. In order to measure initiative budget eficiency disburement theme should be modified with financial perspectives. The public servant should improve their understanding on cause-and-effect in this strategic theme to minimize the unaligned and wrong measured KPI. The alignment of objectives and KPI in learning and growth perspective should be improved."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T 26611
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Munawar
"Perbankan memiliki peranan yang vital sebagai perantara (intermediaries) sektor keuangan. Untuk sektor perbankan mikro (microbanking), maka BPR (Bank Perkreditan Rakyat) memiliki posisi yang strategis. Sejak awal keberadaannya BPR telah memiliki misi membantu masyarakat miskin, terutama di wilayah pedesaan, yakni memberikan akses terhadap pelayanan keuangan. Namun agar tetap dapat berkelanjutan, BPR juga harus mampu menghasilkan keuntungan yang memadai. Untuk itu BPR juga harus memiliki kinerja keuangan yang baik. Dengan data-data utama bersumber dari laporan keuangan BPR di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten, penelitian ini bermaksud mengeksplorasi faktor-faktor yang dianggap berhubungan erat dan signifikan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan BPR. Kemudian, analisis lebih lanjut juga dilakukan untuk melihat kinerja keuangan dan jangkauan (outreach) dari BPR. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan metode Anova dan Regresi Linier Berganda, namun didukung dengan informasi kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor-faktor efisiensi operasional dan pengelolaan kualitas aktiva yang baik merupakan faktor utama peningkatan kinerja keuangan. Selanjutnya peningkatan kinerja keuangan BPR tetap dapat sejalan dengan pencapaian misi sosial yaitu menjangkau masyarakat miskin. Namun seiring pertumbuhannya BPR juga ternyata mulai mengalami gejala pergeseran misi. BPR juga masih terkendala struktur biaya yang tinggi yang berakibat pada tingginya suku bunga pinjaman diberikan. Kemudian ditemukan hasil bahwa BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan BPR yang berlokasi di pedesaan masih mengedepankan misi sosial yakni pelayanan kepada nasabah miskin.

Bank plays a vital role as intermediaries in the financial sector, as well as microbanking sector, in which BPR (people credit bank) has strategic position. BPR has, in the first place, been setting up mission to assist the poor, particularly those in the rural areas; through providing access to financial services. However, to be sustainable, BPR must also be able to produce reasonable amount of profits. Therefore, BPR should be having a good financial performance as well. With main data from BPR?s financial statements, BPRs in Jabodetabek, West Java and Banten, this research endeavors to explore determinants that highly and significantly correlate with BPR?s financial performance. A further analysis then conducted to explain financial performance and BPR?s outreach. This is a quantitative research which contains Anova method and Multiple Regression Analysis, supported with descriptive qualitative information.
Results show that operational efficiency and sound asset quality management are principal factors in improving financial performance. Thus, improving financial performance could also go hand in hand with attaining social mission i.e. reaching the poor. But, along with its growth it turns out that BPR begins to experience mission drift phenomenon. BPR is still also facing high cost structure that has impact on the high interest rate charged on loan given. Moreover, it was found that BPR owned by local government as well as BPR located in rural setting is still stay true to social mission that is serving poor clients."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27647
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dias Adriani
"Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh proporsi direktur wanita dalam jajaran direksi terhadap performa keuangan perusahaan dalam sektor industri dan sektor keuangan di Indonesia pada 2017 hingga 2021. Performa keuangaan perusahaan diukur melalui ROA dan Price-to-Book Value (PtBV). Sampel penelitian ini adalah 43 perusahaan sektor industri dan 102 perusahaan sektor keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Data penelitian diolah menggunakan regresi data panel dengan metode estimasi Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Hasil penelitian ini menemukan bahwa proporsi direktur wanita dalam jajaran direksi tidak berpengaruh pada performa keuangan perusahaan jika tidak ada pengaruh dari variabel lain. Proporsi direktur wanita dalam jajaran direksi terbukti berpengaruh terhadap ROA perusahaan apabila terdapat leverage dalam keuangan perusahaan. Pengujian terhadap intensitas pembelanjaan modal dan leverage dalam keuangan perusahaan menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh terhadap ROA perusahaan.

This study identifies the effect of the proportion of female directors on the board of directors on the financial performance of companies in the industrial and financial sectors in Indonesia in the range of years from 2017 to 2021. The company's financial performance is measured through Return on Assets (ROA) and Price-to-Book Value (PtBV). The sample of this research are 43 companies in the industrial sector and 102 companies in the financial sector which are listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX). The research data was processed using panel data regression with the Fixed Effect Model and Random Effect Model estimation methods. This study found that the proportion of female directors on the board of directors is not related to the financial performance of companies in Indonesia if there is no influence from other variables. The proportion of female directors in the board of directors is proven to have an effect on the Return on Assets (ROA) of companies in Indonesia if there is influence from leverage in the company's finances. Tests on the control variables, namely the intensity of capital expenditure and leverage in corporate finance, show that these two variables affect the company's Return on Assets (ROA)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andree Prasetyo Siantoro
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat persaingan bank terhadap risiko sistemik pada perbankan publik di Indonesia untuk periode 2010-2014. Dengan menggunakan metode Lerner Index sebagai pengukuran tingkat persaingan bank dan metode Merton?s distance-to-default sebagai pengukuran risiko sistemik, menunjukan tingkat persaingan individual bank secara signifikan berpengaruh negatif terhadap risiko sistemik perbankan Indonesia. Semakin rendah tingkat konsentrasi pasar perbankan akan menurunkan tingkat risiko sistemik. Tingginya tingkat persaingan bank akan membuat bank-bank untuk mendiversifikasikan risiko-risikonya sehingga menyebabkan sistem perbankan semakin kokoh.

The objective of this research is to determine the effect of bank degree of competitiveness on systemic risk of public banks in Indonesia during 2010-2014. Using Lerner Index to measure bank degree of competitiveness and Merton's distance-to-default to measure systemic risk, show a significant negative relationship between bank degree of competitiveness and systemic risk. The less concentrated of banking market cause reduction on systemic risk. The greater bank degree of competitiveness encourages banks to take on more diversified risks, making the banking system less fragile.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S64020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>