Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171323 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pardede, Dickson Marusaha
"Perjanjian pendahuluan jual beli ("PPJB") rumah di masyarakat dibuat manakala kesepakatan jual beli telah tercapai namun masih ada syarat yang belum terpenuhi dalam jual beli tersebut sehingga transaksi belum dapat dilaksanakan.  PPJB dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan merupakan perjanjian tidak bernama sehingga para pihak bebas menuangkan kehendaknya sesuai kesepakatan. Perkembangan dunia properti dewasa ini sering kali menimbulkan ketidakseimbangan dalam pembuatan PPJB karena penjualan properti dikuasai oleh perusahaan besar sedangkan pembeli adalah pihak perorangan. Karenanya perlu dibuat suatu peraturan yang menjaga kepastian hukum sekaligus memberikan perlindungan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam pembuatan PPJB sehingga Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor: 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah Terhadap Kepemilikan Hunian diharapkan dapat menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut. Penulisan tesis ini menggunakan bentuk penelitian hukum yuridis normatif dengan metode kualitatif untuk menganalisis data dan tipe penelitian deskriptif analitis. Dari peraturan tersebut diketahui bahwa pembuatan PPJB harus dibuat dihadapan notaris setelah dipenuhinya syarat pembuatan PPJB sehingga diharapkan terjadi keseimbangan kedudukan para pihak. Kemudian perihal pembatalan jual beli baik karena kelalaian pengembang maupun karena pembatalan sepihak dari pembeli, maka sebagian besar uang yang telah dibayarkan harus dikembalikan. Hal tersebut sebaiknya ditinjau kembali agar tidak memberatkan bagi pihak penjual. Dalam peraturan tersebut juga tidak memberikan sangsi manakala pembuatan PPJB tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan tersebut sehingga dalam penerapannya tidak ada sangsi yang secara tegas mengharuskan pengimplementasian peraturan tersebut dalam pembuatan PPJB.

Preliminary sale and purchase agreements ("PPJB") of houses in the community are made when a purchase agreement has been reached, but there are still conditions that have not been fulfilled in the sale and purchase so that the transaction cannot be carried out. PPJB is made based on the principle of freedom of contract and is an anonymous agreement so that the parties are free to pour their wishes according to the agreement. The development of the property world today often creates an imbalance in making PPJB because property sales are controlled by large companies while the buyer is an individual party. Therefore it is necessary to make a regulation that maintains legal certainty while providing protection of rights and obligations for the parties in making PPJB so that the Minister of Public Works and Housing Regulation Number: 11/PRT/M/2019 concerning the System of Preliminary Agreement on Buying and Selling Homes for Housing Ownership is expected to be able be the answer to these needs. Writing this thesis uses a form of normative legal research with qualitative methods to analyze data and analytical descriptive research types. From this regulation, it is known that the making of the PPJB must be made before a notary after fulfilling the conditions for making the PPJB so that it is expected that there will be a balanced position of the parties. Then regarding the cancellation of the sale and purchase either due to negligence of the developer or due to the unilateral cancellation of the buyer, then most of the money that has been paid must be returned. This should be reviewed again so as not to burden the seller. The regulation also does not provide sanctions when the making of the PPJB does not meet the provisions in the regulation so that in its implementation there is no sanction that explicitly requires the implementation of these regulations in making the PPJB."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan A Boenjamin
"Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian yang mengikat para pihak untuk melakukan jual beli dikemudian hari manakala terdapat kondisi yang menghalangi terlaksananya jual beli secara seketika. Perjanjian jual beli seyogyanya dibuat secara notaril untuk dapat lebih menjamin kepastian hukum dan kepastian pembuktian diantara para pihak. Namun pembuatan perjanjian pengikatan jual beli secara notaril menjadi tidak bermanfaat manakala notaris tidak melaksanakan jabatannya dengan seksama dan tidak memenuhi syarat verlijden dalam pembuatan akta. Dari situ maka perlu ditelaah lebih lanjut perihal akibat hukum dan pertanggungjawaban notaris berkaitan dengan autentisitas akta perjanjian pengikatan jual beli yang tidak dibacakan yang selanjutnya dikaitkan dengan kesesuaian putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 351 Pk/Pdt/2018 terhadap pertanggungjawaban notaris atas akta yang tidak dibacakan sesuai dengan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dan perundang-undangan. Penulisan tesis ini berbentuk penelitian hukum yuridis normatif yakni dengan metode kualitatif untuk menganalisis data dan tipe penelitian deskriptif analitis. Dari penelitian yang telah dilakukan maka diketahui bahwa perjanjian jual beli tetap berlaku sah dan mengikat bagi para sepanjang perjanjian tersebut ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Dengan tidak dipenuhinya syarat formil suatu akta autentik, maka hal tersebut akan menyebabkan akta perjanjian pengikatan jual beli menjadi akta dibawah tangan dan kehilangan kekuatan pembuktian sempurna suatu akta autentik. Dalam hal terjadi pelanggaran oleh notaris dalam proses pembuatan akta autentik, maka para pihak dapat mengajukan gugatan kepada notaris untuk meminta pertanggungjawaban secara perdata dan secara adminsitratif. Gugatan kepada notaris sebaiknya dilaksanakan setelah adanya putusan yang menyatakan batalnya akta notaris yang disebabkan karena ketidak telitian notaris didalam pembuatan akta.

A pre-sale agreement is an agreement that binds the parties to make a sale later on while there are conditions that prevent the execution of the sale and purchase for a while. The sale and purchase agreement should be made notarized to be able to better guarantee legal certainty and certainty of proof between the parties. However, the making of a notarial advance purchase agreement becomes useless while the notary does not perform his department properly and does not meet the verlijden conditions in the making of the act. From there, it is necessary to study further on the legal consequences and liability of the notary in relation to the authenticity of the act of sale and purchase agreement, which is further related to the suitability of the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 351 Pk / Pdt / 2018 on the notary's liability with with the Laws of the Notary Department and legislation. The writing of this thesis is in the form of normative juridical law research with qualitative methods to analyze data and types of analytical descriptive research. From the research that has been done, it is known that the sale and purchase agreement remains valid and binding for those as long as the agreement is signed by the parties who made it. By not fulfilling the formal requirements of an authentic act, then it will cause the deed of sale and purchase agreement to be an act under hand and lose the power of perfect proof of an authentic act. In the event of a breach by a notary in the process of making an authentic deed, then the parties may file a lawsuit against the notary to seek civil and administrative responsibility. A lawsuit against a notary should be carried out after a decision stating the annulment of a notary deed caused due to notary scrutiny in the making of the deed"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thesia
"Skripsi ini membahas mengenai pemberlakuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, dimana rumah didefinisikan sebagai bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya,  serta aset bagi pemiliknya. Pada definisi rumah dalam Peraturan Menteri tersebut dapat disimpulkan bahwa rumah merupakan tempat tinggal (hunian). Sehingga, apabila dikaitkan pada pengaturan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun mengenal jenis rumah susun campuran disamping rumah susun hunian. Disamping itu, skripsi ini juga akan membahas tanggapan Notaris terhadap pemberlakuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah tersebut. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang mana data-data dalam skripsi ini diperoleh dari studi kepustakaan dan dikung dengan wawancara. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu kiranya melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah, khususnya untuk menuliskan secara eksplisit mengenai pemberlakuannya terhadap satuan rumah susun non-hunian dan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk mencegah terdapat norma yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan delegasi kewenangan pembentukan Peraturan Menteri mengenai Sistem Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

The focus of this study is the implementation of Public Works and Public Housing Ministerial Regulation Number 11/PRT/M/2019 on House Sale and  Purchase Agreement System, which house is defined as a building that functions as a decent place to live, means of fostering family, reflection of the status and dignity of its occupant(s), as well as assets for its owner. The definition of house itself in that Ministerial Regulation can be concluded that house is a residence (occupancy). So that, if we relate the definition to provision in article 50 Law Number 20 of 2011 on Condominium which identify occupancy function condominium and mixed function condominium. In addition, this paper will also discuss about Notaries Public’s response to the enactment of the Public Works and Public Housing Ministerial Regulation Number 11/PRT/M/2019 on House Sale and  Purchase Agreement System. This study uses juridical-normative research method in which the data are obtained from literature studies and supported by interviews. The result of this study suggest that it is necessary to revise the Public Works and Public Housing Ministerial Regulation Number 11/PRT/M/2019 on House Sale and  Purchase Agreement System, specifically to explicitly writes down about non-residential condominium and with regard to the provisions in Law Number 20 of 2011 on Condominium and Law Number 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas to prevent any conflict norms with the regulation which delegates the authority to Ministerial Regulation on House Sale and  Purchase Agreement System."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soedjono
Bandung: Alumni, 1982
345.5 SOE p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Ratna Sari
"Kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan dengan adanya sertipikat. Salah satu perbuatan hukum untuk memperoleh hak atas tanah adalah dengan jual beli, dimana bukti peralihan hak yang dapat digunakan untuk proses balik nama di Kantor Pertanahan adalah Akta Jual Beli AJB yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT . Ada kalanya sebelum dibuat AJB, terlebih dahulu dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah PPJB sebagai perjanjian pendahuluan. Pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 307/Pdt/2010/PT.DKI, Majelis Hakim mengabulkan permohonan banding didasari dengan alasan hukum bahwa Pembanding dinilai telah mempunyai alas hak yang kuat dan benar atas objek sengketa berdasarkan Akta PPJB Nomor 02 tanggal 09 Februari 2007 yang telah dibayar lunas. Pada penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif normatif, yaitu menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pokok permasalahan yang diangkat adalah kekuatan hukum PPJB tersebut, perlindungan hukum terhadap pembeli, serta analisis putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 307/Pdt/2010/PT.DKI.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah kekuatan hukum dari PPJB tersebut telah menandakan sahnya jual beli karena telah terjadi penyerahan secara yuridis dan telah dilakukan pembayaran baik sebagian maupun secara lunas, namun hanya mengikat para pihak dalam perjanjian saja. Selain itu menurut penulis, Majelis Hakim Tingkat Banding kurang tepat dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana seharusnya yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah adalah sertipikat. Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah alangkah baiknya apabila Indonesia memiliki peraturan yang jelas terkait dengan PPJB, sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik ataupun sengketa antara para pihak yang terjadi karenanya. Kata Kunci:Jual Beli Tanah, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Sertifikat Hak Atas Tanah

Ownership of land rights must be proved by certificate. One of legal actions to obtain land rights is by buying and selling, where evidence of transfer of rights that can be used to ownership transition process in the Land Office is the Sale and Purchase Deed issued by the Land Deed Officer. Sometimes before Sale and Purchase Deed is created, Conditional Sale and Purchase of Land Agreement is first created as a preliminary agreement. At the Jakarta High Court Verdict Number 307 Pdt 2010 PT.DKI, the Panel of Judges granted the petition of appeal based on the legal grounds that the Appellant was judged to have true entitled on the object of dispute by Conditional Sale and Purchase of Land Agreement Deed Number 02 dated February 9, 2007 which has been paid off. In this thesis, the author uses descriptive normative research methods, which describes the rules and regulations related to the issues to be studied.
The conclusion of this study is the legal force of the Conditional Sale and Purchase of Land Agreement has marked the legitimate of buying and selling because the transfer has occured judicially and the payment has been made in part or in full, but only binding on the parties to the agreement. Also according to the author, the Court of Appeal is less precise in applying the law in accordance with the legislation in force, in which certificate should be the proof of land ownership. The advice can be given by the author is it would be nice if Indonesia has clear rules relating to the Conditional Sale and Purchase of Land Agreement, that could minimize the occurrence of conflict or dispute between the parties that happened because of it. Keyword Sale and Purchase of Land, Sale and Purchase Agreement, Land certificate."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T46832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Brian Michel Yosua
"Perkembangan investasi salah satunya adalah produk dengan sistem Opsi Biner yang dianggap sebagai perdagangan berjangka karena memiliki kesamaan dengan kontrak berjangka, sehingga perlunya pencegahan dan penanganan hukum yang dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) agar dapat terlaksana secara efektif sesuai UU Perdagangan Berjangka Komoditi, secara khusus terhadap Pialang Berjangka dan pihak yang turut memasarkan. Dalam konteks Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia, penelitian ini menganalisis terkait kerangka hukum yang mengatur tentang tindakan pencegahan dan penanganan hukum terhadap produk investasi Opsi Biner telaksana secara efektif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode doktrinal, dengan melakukan analisa terhadap UU Perdagangan Berjangka Komoditi yang memberikan kewenangan kepada BAPPEBTI dalam upaya melindungi masyarakat dan menjaga kegiatan perdagangan berjangka. Analisis mencakup efektivitas upaya pencegahan dan penanganan hukum serta sanksi hukum yang diterapkan terhadap Pialang Berjangka dan pihak yang turut memasarkan. Temuan penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang efektivitas dari peraturan yang ada dan potensi perbaikan dalam tindakan pencegahan dan penanganan hukum terhadap pelaksanaan produk Opsi Biner oleh BAPPEBTI. Implikasi regulasi terhadap keberlangsungan dan keamanan pasar keuangan juga menjadi fokus analisis untuk memastikan bahwa tindakan pencegahan dan penanganan hukum yang dilakukan telah sejalan dengan perkembangan dinamis dalam perdagangan keuangan sebagai instrumen investasi.

The investment development, one of which is a product with Binary Options which is regarded as futures trading because it has similarity with futures contracts, so that the prevention and handling of the law carried out by BAPPEBTI can be effectively implemented in accordance with the Commodity Futures Trading Law, especially against Futures Brokers and the parties who participate in marketing the product. In the Indonesian context, this research analyzes the legal framework governing the prevention and effective legal handling of Binary Options investment products. This research was conducted using the doctrinal method, by analyzing the Commodity Futures Trading Law which gives authority to BAPPEBTI in an effort to protect the public and maintain futures trading activities. The research analyzes the effectiveness of legal prevention and handling efforts as well as legal sanctions against Futures Brokers and those who participate in marketing. The research findings provide an understanding of the effectiveness of existing regulations and potential improvements in the prevention and legal handling of Binary Options operations by BAPPEBTI. The regulation's implications for the sustainability and security of financial markets are also the focus of analysis to ensure that the preventive and legal measures taken are in line with the development of financial trading as an investment instrument."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Elisabet
"Indonesia dan Uni Eropa telah mengambil langkah unilateral untuk menerapkan
pajak layanan digital. Skripsi ini mengkaji (i) pengaturan pajak layanan digital di
Indonesia dan Uni Eropa serta (ii) apakah pengaturan pajak layanan digital tersebut
melanggar kewajiban nondiskriminasi negara anggota WTO dalam GATS. Melalui
penelitian hukum yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan,
komparatif, dan kasus, dapat disimpulkan bahwa pertama, pajak layanan digital
dikenal di Indonesia sebagai pajak transaksi elektronik dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang menerapkan kriteria kehadiran ekonomi signifikan. Di
Uni Eropa, pajak layanan digital diatur melalui Council Directives, di mana
pengaturan pengenaan pajak tersebut menggunakan metode ring-fencing dan
kriteria significant economic presence. Kedua, kewajiban nondiskriminasi dalam
GATS terdapat dalam Pasal II tentang Most-Favoured Nation dan Pasal XVII
tentang National Treatment serta yurisprudensi yang relevan dari putusan WTO.
Pengaturan pajak layanan digital Indonesia dan Uni Eropa tidak bersifat
diskriminatif, sebab berdasarkan indikator-indikator yang ada, tidak terbukti
adanya diskriminasi de jure maupun de facto. Saran berdasarkan kesimpulan
tersebut yaitu bagi Indonesia dan Uni Eropa untuk mempersiapkan bukti yang
menunjukkan tidak adanya perlakuan kurang menguntungkan terhadap negara
anggota WTO tertentu dalam praktik pengenaan pajak layanan digital oleh
Indonesia dan Uni Eropa apabila terdapat negara anggota yang mengajukan gugatan
diskriminasi ke WTO. Selanjutnya, apabila terdapat negara anggota yang
mengambil tindakan retaliasi, Indonesia dan Uni Eropa disarankan untuk
mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO atas tindakan retaliasi tersebut.

Indonesia and the European Union (EU) have taken unilateral actions to implement
digital services tax. This thesis examines (ii) digital services tax regulation in
Indonesia and the EU and (ii) whether the digital services tax regulation violates
the non-discrimination obligation of WTO members according to the GATS.
Through conducting a judicial normative legal research whilst applying a statutory,
comparative and case-study approach, it can be concluded that firstly, digital
services tax in Indonesia is known as an electronic transaction tax and is regulated
by law, which implements significant economic presence criteria. In the European
Union, digital services tax is regulated through the Council Directives, in which the
regulation implements ring-fencing method as well as significant economic
presence criteria. Secondly, the non-discrimination obligations in GATS are
promulgated in Article II concerning Most-Favored Nation Treatment and Article
XVII concerning National Treatment as well as relevant jurisprudence of WTO
case laws. Indonesia and the EU's digital services tax regulation are not
discriminatory, because based on existing indicators, the existence of both de jure
and de facto discrimination is not proven. The suggestion would be for Indonesia
and the EU to provide evidence that shows the absence of unfavorable treatment of
certain WTO member states in digital services tax practices by Indonesia and the
EU, in the event that there are member states who decides to challenge the measures
to the WTO. Subsequently, in the event that certain member states decide to take
retaliation measures, it is suggested that Indonesia and the EU challenge said
measure to the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Elisabet
"Indonesia dan Uni Eropa telah mengambil langkah unilateral untuk menerapkan
pajak layanan digital. Skripsi ini mengkaji (i) pengaturan pajak layanan digital di
Indonesia dan Uni Eropa serta (ii) apakah pengaturan pajak layanan digital tersebut
melanggar kewajiban nondiskriminasi negara anggota WTO dalam GATS. Melalui
penelitian hukum yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan,
komparatif, dan kasus, dapat disimpulkan bahwa pertama, pajak layanan digital
dikenal di Indonesia sebagai pajak transaksi elektronik dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang menerapkan kriteria kehadiran ekonomi signifikan. Di
Uni Eropa, pajak layanan digital diatur melalui Council Directives, di mana
pengaturan pengenaan pajak tersebut menggunakan metode ring-fencing dan
kriteria significant economic presence. Kedua, kewajiban nondiskriminasi dalam
GATS terdapat dalam Pasal II tentang Most-Favoured Nation dan Pasal XVII
tentang National Treatment serta yurisprudensi yang relevan dari putusan WTO.
Pengaturan pajak layanan digital Indonesia dan Uni Eropa tidak bersifat
diskriminatif, sebab berdasarkan indikator-indikator yang ada, tidak terbukti
adanya diskriminasi de jure maupun de facto. Saran berdasarkan kesimpulan
tersebut yaitu bagi Indonesia dan Uni Eropa untuk mempersiapkan bukti yang
menunjukkan tidak adanya perlakuan kurang menguntungkan terhadap negara
anggota WTO tertentu dalam praktik pengenaan pajak layanan digital oleh
Indonesia dan Uni Eropa apabila terdapat negara anggota yang mengajukan gugatan
diskriminasi ke WTO. Selanjutnya, apabila terdapat negara anggota yang
mengambil tindakan retaliasi, Indonesia dan Uni Eropa disarankan untuk
mengajukan gugatan diskriminasi ke WTO atas tindakan retaliasi tersebut.

Indonesia and the European Union (EU) have taken unilateral actions to implement
digital services tax. This thesis examines (ii) digital services tax regulation in
Indonesia and the EU and (ii) whether the digital services tax regulation violates
the non-discrimination obligation of WTO members according to the GATS.
Through conducting a judicial normative legal research whilst applying a statutory,
comparative and case-study approach, it can be concluded that firstly, digital
services tax in Indonesia is known as an electronic transaction tax and is regulated
by law, which implements significant economic presence criteria. In the European
Union, digital services tax is regulated through the Council Directives, in which the
regulation implements ring-fencing method as well as significant economic
presence criteria. Secondly, the non-discrimination obligations in GATS are
promulgated in Article II concerning Most-Favored Nation Treatment and Article
XVII concerning National Treatment as well as relevant jurisprudence of WTO
case laws. Indonesia and the EU's digital services tax regulation are not
discriminatory, because based on existing indicators, the existence of both de jure
and de facto discrimination is not proven. The suggestion would be for Indonesia
and the EU to provide evidence that shows the absence of unfavorable treatment of
certain WTO member states in digital services tax practices by Indonesia and the
EU, in the event that there are member states who decides to challenge the measures
to the WTO. Subsequently, in the event that certain member states decide to take
retaliation measures, it is suggested that Indonesia and the EU challenge said
measure to the WTO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Ayu Febriani
"Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 dan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peraturan perundang-undangan yang baik, dibentuklah Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU). Dalam perkembang peraturan perundang-undangan di Indonesia, ditemukan beberapa permasalahan yang timbul dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang belum dapat mencerminkan nilai-nilai dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, diantaranya yaitu: 1) peraturan perundang-undangan tidak memenuhi kebutuhan dan perkembangan masyarakat, 2) peraturan perundang-undangan yang tidak berfungsi secara efektif dan efisien. Permasalahan lainnya yaitu setelah tahap pengundangan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Pembentukan PUU 2011) bagaimana keberlakuan dari undang-undang tidak diatur secara detail sehingga banyak terdapat hasil temuan produk peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak disusun, ataupun disusun namun bertentangan dengan undang-undangnya sendiri sehingga ketentuan delegasinya tidak sinkron dengan materi muatan yang didelegasikan. Hal ini yang menjadi awal mula dari diusulkannya tahap pemantauan dan peninjauan untuk memantau secara keseluruhan dari awal sampai akhir dan meninjau kembali materi muatan undang-undang apakah dia efektif dan efisien dalam implementasinya sehingga dapat membantu bagi lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yaitu DPR dalam menghasilkan produk legislasi yang bisa mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini yang menjadi latar belakang dimasukannya tahap pemantauan dan peninjauan undang – undang dalam UU Pembentukan PUU. Namun, saat ini pemantauan dan peninjauan UU di Indonesia bukan merupakan siklus dalam pembentukan UU. Dalam Pasal 95A dan 95B UU Pembentukan PUU 2019 tidak terdapat kewajiban bagi DPR RI untuk melakukan pemantauan dan peninjauan setelah dibentuknya sebuah UU.

As an implementation of the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and in order to fulfil the needs of society for good laws and regulations, a Law on the Formation of Laws and Regulations was established. In the development of laws and regulations in Indonesia, there are several problems that arise in the formation of laws and regulations that cannot reflect the values of Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, including: 1) laws and regulations do not meet the needs and developments of society, 2) laws and regulations that do not function effectively and efficiently. Another problem is that after the enactment stage, Law No. 12/2011 on the Formation of Laws and Regulations does not regulate the enactment of laws in detail so that there are many findings that the products of implementing regulations from laws are not compiled, or are compiled but contradict the laws themselves so that the delegation provisions are not in sync with the delegated content material. This is the beginning of the proposed monitoring and review stage to monitor the whole from start to finish and review the content material of the law whether it is effective and efficient in its implementation so that it can help the implementing institution of people's sovereignty, namely the DPR, in producing legislative products that can achieve national development goals. This is the background to the inclusion of the monitoring and review stage of laws in the PUU Formation Law. However, currently monitoring and reviewing laws in Indonesia is not a cycle in the formation of laws. In Articles 95A and 95B of the 2019 Law on the Formation of Public Laws, there is no obligation for the Indonesian Parliament to conduct monitoring and review after the formation of a law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>