Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105841 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"On performing arts in Indonesia, according to Islamic perspectives; collection of articles."
Jakarta Timur: Balai Penelitian Pengembangan Agama Jakarta, 2015
297.267 FUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Departemen Kebudayaan Pariwisata, 2003
792.598 SEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1986
899.223 8 PEL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wardizal
Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
700 KJSP 3 : 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aji Yudistira
"Seni adalah salah satu perwujudan ekspresi dari manusia untuk mengungkapkan eksistensinya. Dan berbicara tentang seni maka yang menjadi permasalahan pokoknya adalah keindahan atau yang lebih dikenal dengan istilah estetika. Estetika ini tercipta atas dasar implementasi kreativitas dari cipta, rasa, dan karya dari manusia. Karena itu, estetika atau keindahan berfungsi sebagai jiwa dan seni sekaligus sebagai sistem kebudayaan di dalam berkesenian, yang didalamnya terdapat nilai-nilai, pedoman, gagasan-gagasan vital, dan keyakinan-keyalinan manusia di dalam berkesenian.
Kesenian itu sendiri termasuk ke dalam jenis kebutuhan integratif manusia, yaitu suatu kebutuhan yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan bersifat universal, tanpa mengenal ruang dan waktu. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia selain diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya untuk bisa bertahan hidup, ia juga harus menghadapi kebutuhan spiritual, salah satunya adalah kebutuhan keindahan.
Macam-macam bentuk kesenian, salah satunya adalah seni pertunjukan yang termasuk di dalamnya drama atau teater. Kabuki termasuk teater tradisional Jepang, merupakan salah satu dari empat seni pertunjukan tradisonal Jepang yang terkenal.
Pada masa-masa sebelumnya, di Jepang, khususnya dalam bidang seni, pertunjukan tidak pernah diciptakan dan kalangan rakyat biasa (shomin).Seperti halnya seni dan sastra telah berkembang di kalangan kaum bangsawan atau samurai (zaman sebelum kinsei). Berkaitan dengan hal tersebut, kabuki diciptakan oleh rakyat biasa (shomin) sebagai sarana komunikasi yang memuat pemikiran, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat Jepang menengah bawah berfungsi sebagai sarana untuk untuk memperkenalkan Jepang kepada dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususny. Dengan demikian untuk dapai mengapresiasi kesenian rakyat Jepang ini perlu mengkaji konsep keindahan dan makna simboliknya.
Salah satu ekspresi keindahan kabuki terdapat dalam tehnik peran atau Enshutsu.. Tehnik peran (enshutsu) di dalam kabuki ini mewujudkankekhasan dari seni pertunjukan tersebut, karena di dalam tehnik peran (enshutsu) ini terdapat gaya atau sytle yang menjadi kekhasan kabuki tersebut. Karena itu tehnik peran ini dipilih oleh penulis untuk mengkaji bentuk ekspresi keindahan di dalam kabuki. Ada 3 konsep keindahan pada kabuki, yaitu youshiki, hikinbi dan hiteibi.
Berkaitan dengan paparan di alas, muncul permasalahan mengenai perwujudan pertunjukan kabuki berdasarkan ketiga konsep diatas, yakni mengkaji tehnik peran dalam kabuki secara estetis dan mencari makna simbolisnya, serta makna yang tersirat maupun tersurat di dalam pertunjukan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau mengidentifikasikan, menjelaskan, dan memahami tentang pertunjukan Kabuki khususnya Yoshitsune Sembonzakura, nilai-nilai estetika youshikibi, hikinbi, dan hiteibi yang diekspresikan dalam pertunjukan Yoshitsune Sembonzakura, serta makna yang terkandung dalam tehnik peran atau enshutsu dalam cerita Yoshitsune Sembonzakura pada seni pertunjukan kabuki. Dengan membatasi pada unsure keindahan kabuki yang terdapat pada tehnik peran (enshutsu) khas kabukiyang muncul pada midokoro dalam pertunjukan Yoshitsune Sembonzakura.
Mengacu kepada permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, diperlukan teori-teori untuk memecahkan permasalahan tersebut diatas, yaitu : teori budaya, kesenian, karya seni, estetika dan estetika seni pertunjukan youshikibi, hikinbi, dan hiteibi. Selain itu digunakan juga teori semiotik sebagai acuan di dalam menganalisis data.
Metode yang dipakai di dalam penulisan ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kepustakaan, dan observasi pertunjukan teater kabuki melalui rekaman pertunjukan untuk memperoleh data."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Dwi Cahyono
"Seni pertunjukan mencakup tiga cabang utama, yaitu musik, tari dan teater, yang dalam pelaksanaannya ketiganya tidak senantiasa terpisah dan sebaliknya terdapat hubungan fungsional di antaranya dalam suatu komposisi yang integral. Acapkali seni pertunjukan terkait dan terintagrsikan dengan permainan, baik permainan untuk bermain atau untuk bertanding. Seni musik Jawa Kuna abad ke-10 hingga 18 Masehi memperlihatkan keragaman baik jenis maupun bentuknya, yang secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi waditra kelompok crodophone, uerophone, nlemhrapgone dan idiophone. ('rodophone (waditra berdawai) dapat dirinci menjadi; (1) crodophune sederhana, yang terdiri dari berbagai bentuk har-either, dan (2) c/mrdophon terpadu, yang terdiri dari lute dan harps. Ada tiga bentuk chordophone terpadu yang dapat diketahui dari relief candi, yaitu menyerupai tuila di India atau menyerupai mufti /deli atau lebih mendekati muhuwati-wino di Calcuta. Ketiganya bisa dihuhungkan dengan /ma/lawu wr'na yang ditandai oleh resonator tambahannya berbentuk buah lab(' (luhu, lawu). ('hordophone terpadu yang berupa lute memiliki pula beragam bentuk seperti ruwanahasta-wnu, winipanci, kacapi dan mungkin anawat yang menyerupai site r. Pada masa Jawa Kuna rawahanasta-wina telah dibuat olch orang Jawa sendiri. Hal ini terbukti oleh adanya pembuat waditra ini (pandui aruwanaxta). Terdapat dua tope dari waditra ini, salah satu mungkin merupakan pengaruh dari Cina..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T37494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Retna Astuti
Yogyakarta: BPNB D.I. Yogyakarta, 2018
791.53 SRI w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Hartini
"Gender Wayang merupakan salah satu jenis gamelan Bali golongan tua. Teknik permainan yang cukup sulit menyebabkan kurangnya minat generasi muda untuk mempelajarinya sehingga peminatnya hanya dari kalangan tua. Pada kenyataannya, sejak tahun 2005 Gender Wayang dijadikan salah satu materi dalam Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar. PSR dijadikan sarana sebagai upaya pemerintah untuk menarik minat generasi muda dalam melestarikan Gender Wayang. Sejak diadakannya PSR Kota Denpasar terjadi fenomena menarik terhadap keberadaan Gender Wayang. Penelitian ini merumuskan tiga hal. Pertama, bagaimanakah bentuk pertunjukan Gender Wayang pada PSR Kota Denpasar? Kedua, apa sajakah kreativitas estetik dalam pertunjukan Gender Wayang pada PSR Kota Denpasar? Ketiga, apakah makna pertunjukan Gender Wayang pada PSR Kota Denpasar?. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pemahaman bentuk, estetika, dan makna pertunjukan Gender Wayang dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori bentuk, teori estetika, dan teori semiotika. Hasilnya ditemukan bahwa pertunjukan Gender Wayang pada PSR Kota Denpasar merupakan salah satu ajang kreatif dan upaya pelestarian serta pewarisan nilai-nilai budaya tradisional kepada para pelajar. Pertunjukan Gender Wayang memiliki bentuk-bentuk estetis, yaitu dari segi bentuk instrumen dan bentuk penyajiannya. Kreativitas estetik dapat dicermati melalui trik-trik atau aksen dalam memainkan gending Gender Wayang serta penataan gerak, gaya, dan ekspresi dalam penampilan penabuh pada PSR Kota Denpasar. Makna yang terkandung dalam pertunjukan Gender Wayang pada PSR Kota Denpasar meliputi makna kreativitas, makna pelestarian, makna pendidikan, makna kompetisi, dan makna aktualisasi diri."
Denpasar: Institut Seni Indonesia Denpasar, 2017
700 KJSP 3 : 1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Patadungan, Christine Naomi D.
"Bangsa Tionghoa merupakan salah satu bangsa yang memiliki warisan budaya yang telah berumur ribuan tahun. Salah satu warisan tersebut adalah pemilihan dan pemberian nama Tionghoa. Menurut kepercayaan Tionghoa pada masa tradisional, nama memiliki makna yang dalam, yaitu sebagai penanda jati diri seseorang, juga sebagai 'indikator' keluarga dan sebagai sarana untuk menghindari diri dari nasib buruk yang diramalkan akan terjadi dalam hidup seseorang. Selain itu nama mewakili hidup, jiwa, tubuh dan energi serta harapan dan ramalan masa depan seseorang. Karena di dalam sebuah nama terdapat gambaran akan nasib seseorang di masa depan, maka pemilihan nama yang baik dan tepat untuk setiap individu adalah hal yang penting. Nama Tionghoa secara umum terdiri atas dua bagian utama, yaitu Xing dan Ming. Xing ditempatkan di depan nama dan diikuti oleh ming yang umumnya terdiri atas dua aksara. Xing berfungsi sebagai nama keluarga dan pada masa kedinastian Tiongkok, Xing menunjukkan posisi atau jabatan seseorang. Selain itu xing juga menunjukkan hubungan darah dan nenek moyang seseorang. Sedangkan ming menunjukkan nama generasi dan nama diri. Dalam sepanjang kehidupannya, seseorang akan mendapatkan nama-nama lain, yaitu ketika ia lahir, bersekolah, lulus dalam ujian negara, bekerja sebagai pejabat di Pemerintahan, menikah, memasuki usia lanjut dan nama ketika meninggal. Namun hal ini sudah tidak dilaksanakan lagi di Indonesia. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih nama adalah wu_xi-ng, yin-yang, ba zi seseorang. Disamping itu masih banyak lagi segi-segi lain , yaitu: Shio dan nama yang digunakan seseorang bukan nama dari generasi yang lebih tua. Melalui data yang diperoleh dari penelitian lapangan, saat ini hanya sedikit orang Tionghoa yang masih menggunakan nama Tionghoa sebagai jati dirinya, meskipun ada sebagian etnis Tionghoa yang memiliki dua nama, nama Indonesia dan nama Tionghoanya. Hal ini disebabkan adanya Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1956 yang menganjurkan agar orang Tionghoa di Indonesia menggunakan nama Indonesia dalam rangka membina kesatuan dan persatuan bangsa. Orang Tionghoa yang memilih menjadi warga negara Indonesia menggunakan berbagai pola dalam menerjemahkan nama Tionghoa mereka. Umumnya mereka masih mempertahankan nama keluarga atau xing. Dari data yang diperoleh dari iklan kematian menunjukkan xing diganti berdasarkan kemiripan bunyi atau diterjemahkan menjadi nama yang berorientasi pada daerah tertentu, namun ada pula yang tetap menggunakan xing asli dan diletakkan di awal nama atau di akhir nama."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>