Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152987 dokumen yang sesuai dengan query
cover
William Jayadi Iskandar
"Latar belakang: Pada tahun 2016, Divisi Perinatologi RS dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) menerapkan panduan asuhan nutrisi terbaru untuk mencegah weight faltering,
yang sangat rentan dialami bayi sangat prematur (<32 minggu) atau berat lahir sangat
rendah (<1.500 gram). Penelitian ini bertujuan mengevaluasi luaran panduan tersebut.
Metode: Penelitian kohort prospektif dilakukan di RSCM sejak Juli 2018 hingga Juni
2019. Subyek merupakan bayi lahir hidup dengan usia gestasi <32 minggu atau berat lahir
<1.500 gram. Bayi dengan kelainan metabolisme bawaan, kelainan genetik, atau
malformasi kongenital mayor dieksklusi. Data antropometrik mingguan dan komplikasi
(enterokolitis nekrotikans, hipertrigliseridemia, kolestasis, dan sindrom refeeding) dicatat
secara berkala. Extrauterine growth restriction (EUGR) adalah berat badan saat pulang
kurang dari persentil 10 kurva Fenton 2013 pada kelompok bayi yang lahir sesuai masa
kehamilan.
Hasil: Sebanyak 111 subyek lahir dengan kesintasan hingga pulang sebesar 42,3% dan
median lama rawat 37 (8-89) hari. Median usia mulai diberi nutrisi enteral, mencapai full
enteral feeding, dan durasi nutrisi parenteral adalah 2, 9, dan 6 hari. Insidens EUGR
adalah 32%. Rerata kenaikan berat badan pada bayi yang pulang adalah 15 (SB 5,4)
g/kg/hari, dan pada bayi kecil masa kehamilan adalah 17 (SB 5,5) g/kg/hari. Insidens
hipofosfatemia, enterokolitis nekrotikans, hipertrigliseridemia, hipokalemia, kolestasis,
dan hipomagnesemia pada minggu pertama adalah 61,7%; 14,4%; 13,9%; 11,9%; 9,3%;
dan 8,2%.
Kesimpulan: Bayi sangat prematur dan berat lahir sangat rendah memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi, terutama pada kelompok ekstrem prematur dan ekstrem rendah.
Panduan asuhan nutrisi terbaru dapat mencapai target kenaikan berat badan, dengan
komplikasi terbanyak adalah hipofosfatemia.

Background and aim: In 2016, a nutritional care guideline was implemented in Cipto
Mangunkusumo Hospital to prevent weight faltering, which was prevalent in very preterm
(< 32 weeks) or very low birth weight/VLBW (<1,500 grams) infants. The objective of
this study was to evaluate its outcome.
Methods: This prospective cohort study was conducted in a national referral hospital
since July 2018 until June 2019. Subjects were live-born infants with gestational age <32
weeks or birth weight <1,500 grams. Infants with inborn errors of metabolism, genetic
abnormalities, and major congenital malformation were excluded. Weekly
anthropometric data and complications (necrotizing enterocolitis, hypertriglyceridemia,
cholestasis, and refeeding syndrome) were recorded. Extrauterine growth restriction
(EUGR) was defined as weight at discharge less than 10th percentile of Fenton 2013
chart.
Results: Among 111 subjects, the survival rate at discharge was 42.3% and median length
of stay was 37 (8-89) days. Median time to start enteral feeding, reach full enteral feeding,
and duration of total parenteral nutrition were 2, 9, and 6 days, respectively. EUGR
incidence at discharge was 32.1%. Mean weight gain among survivors and those who
were small-for-gestational-age were 15 (SD 5.4) and 17 (SD 5.5) g/kg/day, respectively.
The incidence of hypophosphatemia, necrotizing enterocolitis, hypertriglyceridemia,
hypokalemia, cholestasis, and hypomagnesemia were 61.7%, 14.4%, 13.9%, 11.9%,
9.3%, and 8.2%, respectively.
Conclusions: Very preterm and/or VLBW infants had high mortality rate, especially in
extremely preterm and/or extremely-low-birth-weight subgroup. The latest nutritional
care guideline reached the target weight gain. The most common complication was
hypophosphatemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naela Fadhila
"Latar Belakang: Gambaran malposisi ujung pipa endotrakeal seringkali ditemukan pada pembacaan foto toraks konvensional bayi, terutama bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR). Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat hingga saat ini belum ada rumus kedalaman pipa endotrakeal yang diperuntukkan pada kelompok tersebut. Usia gestasi, berat badan, dan panjang badan bayi merupakan parameter pertumbuhan yang seringkali dipertimbangkan dalam menentukan perkiraan kedalaman pipa endotrakeal. Hingga saat ini belum ada studi yang mengevaluasi masalah malposisi pipa endotrakeal pada BBLASR di Indonesia serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal dan faktor yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal pada BBLASR.
Metode: Penelitian potong lintang pada BBLASR yang dirawat di Unit Neonatologi FKUI-RSCM pada Januari-Desember 2023, yaitu bayi yang dilakukan prosedur intubasi kemudian dilakukan pemeriksaan foto toraks konvensional untuk mengkonfirmasi ketepatan ujung pipa endotrakeal. Faktor risiko yang dinilai adalah usia gestasi, berat badan, dan panjang badan.
Hasil: Terdapat 42 subyek yang ikut serta dalam penelitian ini dengan proporsi jenis kelamin yang merata, rerata usia gestasi 28 (SD 3) minggu, median usia saat intubasi 0 hari, rerata berat badan 814 (SD = 109) gram, dan rerata panjang badan 32,7 (SD = 3,4) cm. Terdapat 31 subyek dengan ujung pipa terlalu dalam, tidak ada subyek dengan ujung pipa menggantung, dan terdapat 11 subyek dengan ujung pipa endotrakeal yang tepat. Rerata kedalaman pipa endotrakeal yang tepat pada semua subyek adalah 6,4 (SD 0,6) cm. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap ketepatan ujung pipa endotrakeal adalah berat badan dengan perbedaan rerata kelompok ujung pipa endotrakeal tepat dibanding malposisi adalah 85 (IK 95% 11 – 159) gram, p=0,02.
Kesimpulan: Kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal pada BBLASR di penelitian ini adalah 73,8%, dengan kondisi letak ujung pipa endotrakeal terlalu dalam pada semua subyek dengan malposisi. Hanya berat badan yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal secara statistik.

Background: Endotracheal tube (ETT) malposition frequently occurs in neonates with extremely low birth weight. Currently, no established formula exists for estimating the ideal depth of ETT insertion in this specific group. Commonly, gestational age, weight, and body length are utilized as growth parameters to determine the estimated depth of the endotracheal tube. Notably, there is a lack of studies addressing the issue of ETT malposition in extremely low birth weight infants in Indonesia and the associated influencing factors.
Objective: To determine the proportions and identify factors influencing the endotracheal tube tip position in extremely low birth weight neonates.
Method: Cross-sectional research was carried out at the Neonatology Unit of the Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study involved retrieving data on gestational age, body weight, body length, and appropriate endotracheal tube length from the medical records and chest X-rays of extremely low birth weight neonates born between January and December 2023.
Results: In this study, 42 subjects participated, demonstrating an equal gender distribution, a mean gestational age of 28 (SD 3) weeks, a median age at intubation of 0 days, an average weight of 814 (SD = 109) grams, and an average body length of 32,7 (SD = 3,4) cm. Among them, 31 subjects had the tube tip positioned too deep, none had too shallow ETT tip, and 11 had the right position. The mean depth of the appropriate ETT in all subjects was 6,4 (SD 0,6) cm. Body weight emerged as a significant risk factor influencing the accuracy of the endotracheal tube tip, with a mean difference of 85 grams (95% CI 11 – 159) between the correct and malposition groups, p=0.02.
Conclusion: The incidence of ETT malposition in this study was 73,8%, with the tip found to be excessively deep in all subjects with malposition. Only body weight statistically influenced the accuracy of the endotracheal tube tip.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Syntia Dewi
"Latar Belakang: Bayi sangat prematur rentan terjadi retriksi pertumbuhan ekstra
uterin yang berakibat gangguan neurodevelopmental. Hal ini dapat dicegah dengan
pemberian nutrisi parenteral agresif dini dan nutrisi enteral sesuai protokol nutrisi
bayi prematur. Tujuan pemberian nutrisi parenteral agresif dini adalah mencegah
terjadinya katabolisme dan menjamin pertumbuhan yang sama dengan intrauteri.
Pengukuran kecepatan pertumbuhan adalah salah satu metode pengukuran
pertumbuhan untuk menilai status nutrisi pada bayi prematur. Nilai kecepatan
pertumbuhan diukur pada usia 28 hari dikarenakan pada saat ini telah terjadi
pertumbuhan pesat setelah bayi kembali ke berat lahir.
Tujuan: Mengetahui nilai kecepatan pertumbuhan usia 28 hari bayi sangat prematur
dan atau bayi berat lahir sangat rendah serta faktor-faktor yang memengaruhinya
setelah mendapatkan protokol standar nutrisi bayi prematur yang berlaku di RSCM.
Metode: Studi kohort prospektif dengan metode konsekutif sampling pada bayi
sangat prematur dan atau bayi berat lahir sangat rendah yang lahir di RSCM pada
bulan Februari sampai dengan November 2020.
Hasil: Didapatkan 64 subjek penelitian yang diamati. Terdapat 33/64 (51,6%) subjek
dengan transfusi berulang, 22/64 (34,4%) asidosis metabolik memanjang , 5/64
(7,8%) EKN derajat II, 12/64 (18,8%) DAP Hs, 37/64 (57,8%) penyakit membran
hialin derajat IV, 37/64 (57,8%) intoleransi minum, 55/64 (85,9%) SMK dan 9/64
(14,1%) KMK. Rerata kecepatan pertumbuhan adalah 17,98 gram/kgBB/hari, SMK
18,22 gram/kgBB/hari dan KMK 16,50 gram/kgBB/hari. Faktor yang paling
memengaruhi adalah asidosis metabolik memanjang dengan nilai p 0,01.
Kesimpulan : Kecepatan pertumbuhan usia 28 hari bayi sangat prematur dan atau
bayi berat lahir sangat rendah setelah mendapat protokol standar nutrisi bayi
prematur RSCM adalah 17,98 gr/kgBB/hari. Asidosis metabolik memanjang
memengaruhi kecepatan pertumbuhan.

Background: Very preterm infants are susceptible to extrauterine growth restriction
resulting in neurodevelopmental disorders. This can be prevented by providing early
aggressive parenteral and enteral nutrition, aiming to prevent catabolism and ensure
similar intrauterine growth. Growth velocity is a growth measurement method for
assessing nutritional status in preterm infants, which is measured at 28 days of age
since it is the moment of rapid growth after the baby has returned to birth weight.
Aims : To determine the growth velocity at 28 days of age for very preterm and/or
very low birth weight infants and assess affecting factors in applying the standard
protocol of preterm infant nutrition in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH).
Methods: Prospective cohort study with consecutive sampling method on very
preterm and/or very low birth weight infants born in CMH since February to
November 2020.
Results: Among 64 subjects, the number of appropriate- and small-for-gestationalage
(AGA and SGA) were 55 (85.9%) and 9 (14.1%), respectively. The associated
conditions were as following; sepsis with repeated transfusions (33/64, 51.6%),
prolonged metabolic acidosis (22/64, 34.4%), grade II necrotizing enterocolitis (5/64,
7.8%), hemodynamically-significant patent ductus arteriosus (12/64, 18.8%), grade
IV hyaline membrane disease (37/64, 57.8%), and feeding intolerance (37/64,
57.8%). The mean growth velocity was 17.98 g/kg/day, specifically 18.22 g/kg/day
in AGA and 16.50 g/kg/day in SGA infants, respectively. The most influencing factor
in applying nutritional protocol was prolonged metabolic acidosis (p value = 0.01).
Conclusion: The growth velocity at 28 days of very preterm and/or very low birth
weight infants after receiving standard nutritional protocol for preterm infants in
CMH was 17.98 g/kg/day. Prolonged metabolic acidosis has significant influence on
growth velocity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Fajri
"Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) berisiko tinggi mengalami hipotermia. Perawatan Metode Kanguru (PMK) merupakan metode yang aman, murah, dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh edukasi PMK pada ibu BBLR di rumah sakit terhadap motivasi dan pelaksanaan PMK di rumah. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimental dengan sampel sebanyak 32 ibu BBLR yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Analisis data menggunakan Chi-square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan motivasi antara kedua kelompok (nilai p=1,00), tetapi pada pelaksanaan PMK di rumah terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (nilai p=0,001). Pemberian video edukasi, diskusi, dan praktik langsung di rumah sakit direkomendasikan untuk meningkatkan kesehatan bayi berat badan lahir rendah.

Low birthweight (LBW) infants are at higher risk of developing hypothermia. Kangaroo Mother Care (KMC) is a safe, low-cost, and effective method to solve the problem. The aim of this study is to examine the effect of KMC education in motivating LBW infant?s mothers in hospital and to monitor the implementation of KMC at home. The study used quasy-experimental design including 32 LBW infant?s mothers, selected based on consecutive technique sampling. Data analysis using Chi square shows that there is no difference in mother?s motivation between the groups (p-value =1,00), but significant different occurs between the groups in practicing KMC at home (p-value=0,001). KMC education through educating video, discussion, and practice at hospital setting can be used as a recommendation to improve LBW infant care.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T43520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Darmanto
"Angka kejadian BBLR di Indonesia pada tahun 2002 adalah 13,4 %, angka tcrsebut masih tinggi jika dibandingkan negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara, padahal dari berbagai literatur menyatakan bahwa adanya pengaruh yang sangal merugikan akibat kejadian BBLR pada tahap kehidupan sclanjutnya (masa balila, anal;- anak, rcmaja, dan dewasa). Disisi lain, masih sedikit penelitian di Indonesia yang mcngangkat masalah penyebab BBLR khususnya status ekonomi.
Tujuan pcnclitian ini adalah mcngetahui hubungan tingkat perckonomian rumah langga di Indonesia tcrhadap kcjadian BBLR sclama kurun waktu tahun |997 - 2003. Khususnya didacrah pcdcsaan dan perkotaan Dcsain pcnelilian ini adalah polong Iinlang, yang mcnggunakan data sckundcr dari hasil survey SDK! tahun 2002 - 2003. Pengukuran tingkal perckonomian menggunakan variabcl wealth indcks, scdangkan pengukuran variabcl BBLR dalam bentuk katagorik. Sampcl yang dianalisis dalam pcnclitian ini benjiumlah 10049 data. Analisis statistik menggunakan rcgresi logislik ganda.
Hasil analisis penelitian ini mcndapalkan gambaran perekonomian tingkat nasional yang hampir merata anlara perscntase kclompok ekonomi kcluarga tertinggi dengan terendah (sckitar 20 %). Untuk dncrah pcdcsan lebih banyak pcrscntasc kclompok ekonomi kcluarga terendah (37%). Gambaran sebaliknya pada dacrah pcrkolaan terlihat paling banyak adalah persentase kelompok ekonomi kcluarga tertinggi (35 %). Untuk variabel dependen, gambaran BBLR pada tingkat nasional sebesar 7,5 % pada kelompok ekonomi kcluarga terendah, sedangkan persmtase kelompok ekonomi keluarga tertinggi hanya 4,8 %. Urutan basil yang sama dapat ditemukan pada kelompok yang tinggal di daezah perkotaan, namun untuk daerah pedesaan, angka BBLR justru terendah pada kelompok ekonomi keluarga sedang (5,4 %).
Pcnelitian ini menyimpulkan bahwa. adanya hubungan tingkat perekonomian rumah tangga dengan kejadian BBLR di Indonesia ku"un waktu 1997 - 2003. Untuk kelompok ekonomi keluarga rendah di Indonesia mepunyai kcccndcrungan untuk mcluhirkan BBLR sebcsar POR = 1,26 (95 % CI: l,04 - l,52) dibanding kelompok ekononomi kcluarga tinggi. Adanya Kcmaknaan hubungan kedua variabel tcrsebut juga terjadi pada daerah pedesaan (POR= |,36; 95 % Cl: 1,02 - l,8) namun tidak dcmikian halny dengan daerah perkotaan (POR= l,26; 95 % Cl: 0,81 - |,56).
Penulis menyarankan adanya program pencegahan BBLR yang mcnyeluruh terutama pada kelompok ekonomi keluarga rendah, terlebih lagi kelompok ekonomi keluarga rendah yang tinggal di daemh pedesaan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah antisipasi adanya data mising pada daerah pedesaan dan kelompok ekonomi keluarga rendah dalam pengumpuian data serta penambahan beberapa pertanyaan penting yang diduga mempunyai hubungan dengan kejadian BBLR pada kegiatan sejenis survei SDKI dimasa yang al-can datang.

The prevalence of LBW lndonesia in 2002 is 13.4 %, that number is still high comparing with other countries in Southeast Asia, although from various literatures say that the existences ofthe harming effect because of the LBW occurrence in the next period of life (childhood, teenagers, and adults), in the other hands there are still a few researches in indonesia that rise about the couse of LBW especially in ES.
The objective of this study is to know the relationship of ES household level in Indonesia upon the LBW during 1997 - 2003 period, especially in the rural and urban areas. This study is an analysis of secondary data gathered through Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2002 - 2003. Design of the study is cross sectional. The measurement ol`ES used wealth index variable and LBW variable is in the form of categorical data. The number of sample to analysis in this study is amount 10049 data, statisic analysis used multiple logistic regression.
The result of this study shows that representation at national level ofES is almost equal in all strata of economics (i 20 %). ln the rural area, poorest families group has highest percentage (37 %). lt’s dissimilar in the urban area that show most richest families group (35 %). For dependent variable, the representation of LBW in national level is 7.5 % in the poorest group, while the percentage ofthe richest is only 4.8 %. The same sequence result can be found in the group who live in the urban areas, but for the rural areas, the number of LBW is even the lowest in the middle of ES (5,4 %).
The study concludes that there is relationship between ES in household level with the prevalence ot`LBW in Indonesia for the period 1997 - 2003. The poor families in Indonesia has tendency for having LBW for as much of POR = 1.26 (95 % CI: 1.04 - 1.52) comparing to the rich families. The result in the rural level have relationship as much of POR= l,36; 95 % Cl: 1,02 ~ l,8, but in the urban area haven’t significant value (POR= l,26; 95 % CI: 0,81 - I,56). The writer suggest that the existence ol' comprehensive prevention progmm of LBW especially in the poor group, more over the poor families who live in n.|ral areas. Other case that needed to be considered is the anticipation of missing data in rural areas and the poor families group while data collection and to addition ol` some essential questionnaires that suspected has importance relation with LBW prevalence in the similar survey of IDHS in the next fixture.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34387
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Maharani Tristanita Marsubrin
"Respiratory Distress Syndrome (RDS), Feeding Intolerance (FI), dan sepsis merupakan morbiditas yang sering dialami bayi prematur. Salah satu faktor yang memengaruhi morbiditas adalah defisiensi vitamin D. Kadar vitamin D berkorelasi dengan sel Treg pada penyakit inflamasi bayi baru lahir. Sel Treg berperan dalam keseimbangan mikrobiota di usus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran vitamin D dengan kejadian RDS, FI, dan sepsis pada bayi sangat prematur dan/atau BBLSR melalui jalur sel Treg dan disbiosis usus. Design penelitian ini adalah kohort prospektif pada bayi sangat prematur dan/atau BBLSR, dilakukan bulan November 2019–Januari 2021 di Unit Neonatal RSCM. Pemeriksaan kadar vitamin D ibu dan bayi menggunakan metode CLIA dan Treg dengan flow cytometry menggunakan Treg detection kit CD4+CD127lowCD25+. Penilaian mikrobiota dengan Real Time PCR dan enteropati dengan Alpha-1 Antitrypsin. Pada penelitian ini didapatkan sebesar 88,3 % ibu defisiensi vitamin D (rerata 12,23 ± 5,07 ng/mL) dan 53% bayi defisiensi vitamin D (rerata 15,79  6,9 ng/mL). Didapatkan korelasi antara kadar vitamin D ibu dan bayi (r = 0,76, p < 0,001). Kadar vitamin ibu dan bayi tidak berhubungan dengan dengan kejadian RDS, FI, dan sepsis. Terdapat hubungan bermakna antara disregulasi sel Treg dengan kejadian FI (p = 0,04) dan sepsis (p = 0,03). Semua bayi mengalami disbiosis. Tidak didapatkan perbedaan komposisi mikrobiota pada RDS, FI, dan sepsis. Terdapat hubungan bermakna antara enteropati dengan kejadian sepsis (p = 0,02). Simpulan : Ibu defisiensi vitamin D akan melahirkan bayi defisiensi vitamin D. Kadar vitamin D tidak berpengaruh terhadap kejadian RDS, FI, dan sepsis. Pada bayi dengan disregulasi sel Treg, kejadian FI dan sepsis lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Bayi dengan kondisi disbiosis tidak berbeda untuk terjadinya RDS, FI, dan sepsis. Kondisi enteropati menyebabkan kejadian sepsis lebih tinggi.

Respiratory distress syndrome, feeding intolerance, and sepsis are the most common morbidities found in premature babies. One of the factors affecting morbidity is vitamin D level. Vitamin D level is correlated with the role of Treg cells in inflammatory neonatal. Treg cells act in balancing microbiota in the intestines. This study aimed to determine the role of vitamin D in increasing the incidence of sepsis, feeding intolerance, and respiratory distress syndrome in very premature and/or very low birth weight babies through Treg cells and intestinal dysbiosis. This is a cohort study conducted on very premature (< 32 weeks) and/or very low birth weight (birth weight < 1,500 g) babies, from November 2019–January 2021 in the Neonatal Unit of RSCM. Vitamin D levels of the mothers and babies were measured using the CLIA and Treg methods with flow cytometry using the Treg detection kit CD4+CD127lowCD25+. Treg was tested from umbilical cords blood. The fecal examination was conducted to determine intestinal bacteria using realtime PCR and Alpha-1 Antitrypsin. Most mothers (88.3%) had vitamin D deficiency with a mean value of 12.33 ± 5.07 ng/mL. The vitamin D level of the umbilical cord was 15.79 ± 6.9 ng/mL. There was a significant correlation between the vitamin D level of mothers and babies (r = 0.76, p < 0.001). There were no difference between maternal and babies vitamin D serum levels with incidence of RDS, FI, and sepsis.There were a significant correlation between Treg cell dysregulation and the incidence of FI (p = 0.04) and sepsis (p = 0.03) but not in RDS. All subjects experienced dysbiosis. There was a significant correlation between enteropathy and the incidence of sepsis (p = 0.02) but not in RDS and FI. Conclusion: Mothers with vitamin D deficiency will give birth to babies with vitamin D deficiency. There were no correlation between vitamin D and the incidence of RDS, FI, and sepsis. In babies with Treg cell dysregulation, the incidence of feeding intolerance and sepsis will be higher. The composition of the microbiota did not affect the incidence of RDS, FI, sepsis. In babies with enteropathy, the incidence of sepsis will be higher."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Dwi Insani
"Latar Belakang: Bayi sangat prematur adalah kelompok bayi risiko tinggi yang rentan terhadap luaran neurodevelopmental yang buruk. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian nutrisi secara dini dan agresif dapat mengurangi kejadian malnutrisi pada bayi sangat prematur. Saat ini, RSUP Fatmawati belum mempunyai protokol nutrisi yang standar untuk bayi prematurnya dan ingin melakukan perubahan dengan menerapkan protokol standar nutrisi bayi prematur dari RSCM. Tujuan: Untuk mengetahui beda waktu kembali ke berat lahir dan pola pemberian nutrisi bayi sangat prematur/BBLSR yang lahir dan dirawat di Unit Neonatologi RSUP Fatmawati sebelum dan sesudah penerapan protokol standar nutrisi bayi prematur RSCM. Metode: Dilakukan penelitian quasi eksperimental terhadap 23 bayi sangat prematur/berat lahir sangat rendah di Unit Neonatologi RSUP Fatmawati pada bulan Juli – November 2019. Bayi dieksklusi bila orangtua menolak berpartisipasi atau mempunyai kelainan kongenital yang mempengaruhi status nutrisi. Sampel pada kelompok intervensi diberikan nutrisi sesuai protokol standar nutrisi bayi prematur RSCM dan diikuti hingga kembali ke berat lahir dan mencapai fullfeed. Pola pemberian nutrisi yang juga dievaluasi sebagai luaran sekunder (waktu dimulainya nutrisi enteral dan mencapai fullfeed, waktu dimulainya pemberian protein dan lipid, waktu tercapainya protein, lipid dan kalori tertinggi serta jumlah protein, lipid, kalori dan GIR tertinggi). Data pasien pada kelompok kontrol diambil dari data rekam medik bayi sangat prematur/berat lahir sangat rendah yang sudah pulang dari RSUP Fatmawati dari Januari 2016 – Juni 2019 dan dibandingkan dengan kelompok intervensi. Hasil: Penerapan protokol standar nutrisi bayi prematur RSCM dapat mempercepat waktu kembali ke berat lahir (kontrol vs intervensi: 16,7 (5,1) vs 7,4(3,5) hari, p= 0,00) dan mempercepat growth velocity (kontrol vs intervention: 8,9 (6,9) vs 14,6 (6,0), p=0,002) pada bayi sangat prematur/BBLSR yang dirawat di Unit Neonatologi di RSUP Fatmawati. Kesimpulan: Penerapan protokol standar nutrisi bayi prematur RSCM dapat mempercepat waktu kembali ke berat lahir dan growth velocity pada bayi sangat prematur/BBLSR yang dirawat di Unit Neonatologi RSUP Fatmawati. Kata kunci: nutrisi bayi prematur, nutrisi agresif dini, waktu kembali ke berat lahir, growth velocity.
.....Background: Very premature infants are a group of high-risk infants who are vulnerable to poor neurodevelopmental outcomes. Research shows that early and aggressive nutrition can reduce the incidence of malnutrition in very premature infants. At present, Fatmawati Hospital does not yet have a standard nutritional protocol for premature infants and want to make changes by implementing a standard protocol for preterm infant nutrition from RSCM. Objective: To determine the difference in days to regain birth weight and the pattern of nutrition for very premature/very low birth weight infants who were born and hospitalized in the Neonatology Unit of RSUP Fatmawati before and after the application of the standard protocol of premature infant nutrition of RSCM. Methods: A quasi-experimental study of 23 very preterm/very low birth weight infants in the Neonatology Unit of Fatmawati Hospital from July to November 2019. Infants were excluded if parents refused to participate or had congenital abnormalities that affects nutritional status. Samples in the intervention group were given nutrition according to RSCM premature infant nutrition protocol and followed until they return to birth weight and achieve fullfeed. Nutritional patterns were also evaluated as secondary outcome (day to begin enteral nutrition, growth velocity, days to reach fullfeed, days to start protein and lipid, days to reach the highest protein, lipid and calorie intake and the highest amount of protein, lipid, calories and GIR given). Data of samples in the control group were taken from medical records of very premature/very low birth weight babies discharged from Fatmawati Hospital from January 2016 - June 2019 and compared with the intervention group. Results: The application of RSCM premature infant nutrition protocol can shorten the days to regain birth weight (control vs intervention: 16.73 vs 7.43 days, p = 0.00) and fasten growth velocity (control vs intervention: 8,9 (6,9) vs 14,6(6,0), p=0,002) in very premature/low birth weight infant who were treated in the Neonatology Unit of Fatmawati. Conclusion: The application of RSCM premature infant nutrition standard protocol can accelerate time to regain birth weight and growth velocity in very premature/low birth weight infant in the Neonatology Unit, Fatmawati Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Maharani Tristanita Marsubrin
"Latar belakang. Air susu ibu ASI merupakan nutrisi ideal bagi seorang bayi, namunkomposisi ASI bervariasi dan sangat individual. Human milk fortifier HMF direkomendasikan oleh WHO untuk diberikan pada bayi sangat prematur dan/atau bayiberat lahir sangat rendah BBLSR , namun belum terdapat kesepakatan kapan waktumemulainya. Selain itu kelompok ini berisiko mengalami kekurangan atau kelebihan zatbesi akibat pemberian suplementasi besi rutin. Objektif. Mendapatkan profil perubahan kandungan energi makronutrien dan zat besi dariASI bayi sangat prematur dan/atau BBLSR, serta kecukupan kandungan nutrisi dan zat besipada ASI untuk memenuhi kebutuhan yang direkomendasikan.Metode. Studi deskriptif analitik dengan desain multiple measurement pada studilongitudinal. Sampel penelitian adalah ASI ibu yang melahirkan bayi sangat prematurdan/atau BBLSR periode bulan Juli-Oktober 2017 di unit perinatologi RSCM. PemeriksaanASI menggunakan MIRIS dilakukan secara serial selama 4 minggu dan pada minggu 4dilakukan pemeriksaan kadar besi ASI menggunakan ICP-MS. Sebanyak 30 ibu yang memiliki data lengkap hingga minggu 4 dilakukan analisis.Hasil. Terdapat penurunan kandungan protein di ASI p=0,0003 disertai peningkatanlemak p=0,0004 dan kalori p=0,0006 setiap minggunya, namun tidak demikian dengankarbohidrat p=0,447 . Kekurangan protein di ASI didapatkan sejak minggu II pascakelahiran walaupun kalori lemak ASI masih mencukupi. Kadar zat besi ASI pada hari 28ditemukan lebih rendah dari nilai rekomendasi ESPGHAN dan AAP-Con ditemukan padapemeriksaan hari ke 28.Kesimpulan. Terdapat perubahan kandungan makronutrien setiap minggunya pada ASIbayi sangat prematur dan/atau BBLSR dan tidak mencukupi kebutuhan yang direkomendasikan. Pemberian HMF dapat dipertimbangkan untuk diberikan sejak minggu IIuntuk mencukupi kebutuhan tumbuh kejar.

Background. Mother rsquo s own milk MOM is an ideal nutrition for a baby, but thecomposition is varied and highly individualized. Human milk fortifier HMF is recommended by WHO for very premature infants and or very low birth weight VLBW infants, yet no agreement when to start. In addition, this group is at risk of iron deficiencyor excess due to routine iron supplementation.Objective. To find the changes in macronutrient and iron contents from MOM in verypremature infants and or VLBW infants, as well as the adequacy of nutrients and ironcontents in MOM to conform recommended needs.Method. Analytical descriptive study with multiple measurement design in longitudinalstudy. Subjects were mothers who delivered very premature infants and or VLBW infantsfrom July to October 2017. Breast milk was serialized with MIRIS for 4 weeks and ironcontent was researched with ICP MS at 4th week. The study took place in neonatolgy unitin Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 30 mothers who had complete data for 4weeks were analyzed.Results. There was a decrease in protein content in breast milk p 0.0003 and increasedfat p 0.0004 and calories p 0.0006 per week, but not in carbohydrates p 0.447 .Although this result is higher than the study of systematic review in Australia in 2016.Protein deficiency in breast milk was found from the first week after birth and iron contentis lower than the value of recommendation of ESPGHAN and AAP Con at 28 dayexamination.Conclusion. Macronutrient content changes each week in breast milk of very prematureand or VLBW infants and not enough from dietary recommendation. Giving HMF may beconsidered at 1st week after birth."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Izzah Dienillah
"BBLR merupakan salah satu indikator penting untuk menggambarkan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, prevalensi BBLR mengalami stagnanisasi bahkan meningkat yaitu 6,7% pada 2007 menjadi 7,3% pada 2012. Banyak faktor yang memengaruhi BBLR, salah satunya adalah pelayanan ANC. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan frekuensi dan kualitas pelayanan ANC terhadap kejadian BBLR dengan menggunakan data SDKI 2012. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang dengan menggunakan kuesioner SDKI 2012. Study participant dalam studi ini sebanyak 13.413 Hasil analisis ditemukan prevalensi BBLR sebesar 6,9%. Karateristik BBLR lahir dengan berat badan rata-rata yaitu 2055,11 gr dan berat badan terendah lahir dengan berat 700 gr. Faktor yang secara statitstik berhubungan dengan BBLR adalah frekuensi, kualitas ANC, pekerjaan ibu pendidikan ibu, komplikasi kehamilan, paritas, dan status ekonomi. Dari hasil analisis logistic regression ditemukan ibu dengan riwayat komplikasi kehamilan serta mendapatkan frekuensi ANC yang buruk, memiliki risiko melahirkan BBLR 2,772 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami riwayat komplikasi kehamilan dan mendapatkan frekuensi ANC yang baik. Serta ibu yang mendapatkan kualitas pelayanan antenatal dengan kualitas buruk berisiko 1,126 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan kualitas pelayanan antenatal baik setelah dikontrol variabel frekuensi ANC. Namun, hasil analisis ini menunjukkan bahwa hubungan frekuensi dan kualitas ANC dengan BBLR tidak signifikan dengan mempertimbangkan p value >0,05 dan CI rentangnya melewati angka 1. Terdapat potensi bias seleksi yang besar dimana missing pada studi partisipan sebanyak 19%.

LBW is one of indicators to describe public health. In Indonesia, the prevalence of LBW increased by 6.7% in 2007 to 7.3% in 2012. Many factors affect the LBW, one of which is the ANC. This study aims to see the relationship of frequency and quality of ANC service to the occurrence of LBW by using data of SDKI 2012. This is a cross sectional study using the questionnaire SDKI 2012. Study participant in this study as many as 13,413. The results showed the prevalence of LBW by 6.9% . Characteristics of LBW was born with an average body weight of 2055.11 gr and the lowest is 700 gr. Factors that are statistically associated with LBW are frequency, ANC quality, maternal education, work, pregnancy complications, parity, and economic status. From the results of logistic regression analysis found that women with a history of complications and lack of ANC frequency, has a risk of giving birth to LBW 2,772 times to mothers who had no pregnancy complication and had good ANC. As well as mothers who received quality antenatal service with poor quality 1.126 times larger to give birth to LBW with mothers who have good quality antenatal care after controlled by ANC frequency. However, the results of this analysis show that the relationship of frequency and quality of ANC to BBLR is not significant with p value> 0,05 and CI range exceeds the number 1. There is a large selection potential bias which showed by 19% missing data from eligible population."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iriannie Wijaya
Jakarta: Restu Agung, 2005
649.4 IRI t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>