Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sengkey, Michael Sima
"Tesis ini membahas mengenai implikasi keabsahan perkawinan campuran di luar negeri yang belum didaftarkan di Indonesia terhadap proses jual beli harta bersama berdasarkan studi atas Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 851/Pdt.G/2016/PN.Dps. Tahun 2017. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan perkawinan campuran di luar negeri yang belum didaftarkan di Indonesia dan implikasinya terhadap proses jual beli harta dalam perkawinan. Penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar negeri sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan itu berlangsung adalah sah, tetapi karena belum didaftarkan di Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, maka perkawinan campuran itu tidak dikenal dalam administrasi kependudukan di Indonesia, sehingga semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran itu tidak mendapat perlindungan hukum di Indonesia. Dengan demikian, berimplikasi terhadap proses jual beli harta bersama, yaitu selain harus memenuhi syarat keabsahan perkawinan campuran, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian jual. Dalam kasus ini, syarat formal terkait keabsahan perkawinan campuran di Indonesia belum terpenuhi, yaitu belum didaftarkan di Dukcapil setempat, sehingga perkawinan tersebut tidak dikenal dalam administrasi kependudukan di Indonesia.
Oleh karena itu, jika demi kepastian hukum, maka perbuatan hukum Pihak Istri menjual tanah dan bangunan atas namanya sendiri itu seharusnya dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah dalam status belum kawin, dan harta itu adalah harta pribadinya. Namun, jika demi keadilan, maka perbuatan hukum Pihak Istri tersebut tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu terkait kausa yang halal dan melanggar asas kepatutan, karena se-harusnya secara de facto harta itu adalah harta bersama yang mensyaratkan adanya per-setujuan dari Pihak Suami untuk menjualnya, sehingga sepatutnyalah perjanjian jual beli itu menjadi batal demi hukum.

This thesis discusses the implications of the validity of mixed marriages abroad that have not been registered in Indonesia for the process of buying and selling shared assets based on a study of Denpasar District Court Decree Number 851/Pdt.G/2016/PN.Dps. 2017. The main problem in this study is regarding the validity of mixed marriages abroad that have not been registered in Indonesia and the implications for the process of buying and selling assets in marriages. This research is a form of normative juridical research and the type of the research is analytical descriptive.
The results showed that mixed marriages that were held abroad in accordance with applicable law in the country where the marriages took place were legal, but because they had not been registered in Indonesia in accordance with applicable regulations in Indonesia, the mixed marriages were not known in the population administration in Indonesia, so that all legal actions carried out by a mixed marriage partner do not get legal protection in Indonesia. Thus, it has implications for the process of buying and selling shared assets, which in addition to meeting the requirements for the validity of mixed marriages, must also fulfill the legal requirements for the sale agreement. In this case, the formal require-ments related to the validity of mixed marriages in Indonesia have not been fulfilled, that is not yet registered at the local Dukcapil, so that marriages are not known in population administration in Indonesia.
Therefore, if for the sake of legal certainty, then the wifes legal actions to sell land and buildings in her own name should be considered as legal legal actions in unmarried status, and the assets are her personal assets. However, if for the sake of justice, then the wifes legal actions do not fulfill the legal requirements for an agreement, which is related to lawful causes and violates the principle of propriety, be-cause de facto assets should be joint property which requires the approval of the husbands party to sell it, so it is fitting for the sale and purchase agreement to be null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lita Arijati
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Hanum Megasari
"Perceraian pada perkawinan campuran pastinya membawa konsekwensi terhadap status hukum dan pemeliharaan anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut. Indonesia telah melahirkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menggantikan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel telah memutuskan mengenai status hukum dan pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya yang melakukan perkawinan campuran antara Indonesia dengan Inggris. Terhadap putusan tersebut penulis mencoba menganalisis terhadap putusan Pengadilan tersebut mengenai pemeliharaan anak dan status hukum anak bila ditinjau dari UU 12/2006.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan dan wawancara. Status hukum anak ditinjau dari Undang-undang 12/2006 lebih menguntungkan dibandingkan dengan UU 62/1958. Hal ini bisa terlihat bahwa dalam Undang-Undang Kewarganegaraan baru, anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda terbatas dari kedua orang tuanya. Disebut terbatas karena nanti setelah anak-anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Sedangkan bila ditinjau dari UU 62/1958, status hukum anak itu mengikuti kewarganegaraan ayahnya saja. Dalam hal pemeliharaan anak maka berdasarkan yurisprudensiyurisprudensi, hukum tempat kediaman sehari-hari si anak (habitual residence) yang berlaku, namun apabila terjadi sengketa, maka "the best interest of the child" merupakan pertimbangan utama bagi hakim dalam memutuskan sengketa. Dengan diundangkannya UU 12/2006 maka anak dapat bebas dan tidak takut dideportasi. Terhadap pemeliharaan anak maka tepatlah bahwa habitual residence merupakan solusi yang baik.

Divorce in the intermarriage of course bring the consequences of the legal status and maintenance children produced from a mixture of the marriage. Indonesia has born the Law No. 12 Year 2006 on Citizenship of the Republic of Indonesia replace Law No. 62 Year 1958 on Citizenship of the Republic of Indonesia. The court decision in the South Jakarta State Tax 480/Pdt.G/2004/PN.Jak.Sel have decided on the status of law and maintenance children divorce their parents do that intermarriage between Indonesia and Britain. Decision against, the author tries to analyze the court decision regarding the maintenance of children and the legal status of children when the review of Law No. 12/2006.
Research method used is the normative and empiris legal research methods. While the approach to research that is conducted research literature and interview. Review the legal status of children from the Law No. 12/2006 more profitable than the Law No. 62/1958. This can be seen that in the Citizenship Act new, children can have a limited dual citizenship from both parents. Called limited because later after children aged 18 (eighteen) years old or have married the child must choose one of the stated nationality. Meanwhile, when the review of Law No. 62/1958, the legal status of children is to follow his father's citizenship course. In the case of the child based on the jurisprudence-jurisprudence, legal residence the day-to-day child (habitual residence) is fine, but when disputes occur, then "the best interest of the child" is a major consideration for judges in deciding disputes. With born Law No. 12/2006 the children can be free and not worry about deported. About a maintenance children is indeed appropriate that the habitual residence is a good solution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25252
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vierza Nadila
"Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan status kewarganegaraan anak akibat perceraian dalam perkawinan beda kewarganegaraan adalah kewarganegaraan ganda terbatas yaitu anak yang lahir dari perkawinan tersebut memiliki kewarganegaraan ganda dari kedua orang tuanya. Namun, kewarganegaran ganda ini hanya akan dinikmati anak tersebut hingga ia berusia 18 tahun (delapan belas) tahun. Kemudian diharuskan memilih salah satu diantara dua warga negara yang ia miliki dan harus benar-benar diputuskan saat ia berusia 21 (dua puluh satu) tahun. Dalam penulisan ini pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimana hak asuh anak menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, dan apakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.150/PDT/2011/PT.Dps sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode yuridis normatif dengan sifat penulisan deskriptif analitis yang memberikan gambaran dan memaparkan keseluruhan dari objek yang diteliti dan menganalisisnya dan mengacu pada asas-asas hukum dan yurisprudensi serta peraturan perundang-undangan. Kasus dalam tesis ini adalah penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada tergugat, namun tergugat menyangkal adanya pertengkaran yang terjadi diantara mereka dengan tidak memberikan bukti yang jelas, dan dari perceraian tersebut membawa akibat kepada anak yaitu mengenai hak asuh dan status kewarganegaraan anak. Menurut penulis putusan hakim sudah tepat yaitu hak pengasuhan anak memang benar jatuh kepada ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia dikarenakan anak yang masih di bawah umur secara kejiwaan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibu, dengan tidak mengurangi hak ayah untuk menemui anaknya setelah mendapat izin dari ibunya tersebut.

Act No. 12 of 2006 about the Citizenship status of nationality due to divorce in a marriage of different citizenship dual citizenship is restricted i.e. children born of such marriages have dual citizenship of both parents. However, this double nationality will only be enjoyed by the child until they was 18 (eighteen) years old. Then it is necessary for them to choose one between two citizens whom he had and should really be decided when he was 21 (twenty one) years old. In this research, the principal issue raised is how custody of the child according to the legislation in force in Indonesia, and whether consideration of the law judge in High Court Verdict Denpasar No. 150/PDT/2011/PT. Dps is in compliance with the applicable laws and regulations in Indonesia. The methods used in the writing of this thesis is the juridical normative method with descriptive analytical writing trait gives an overview and expose the whole of an object being examined and analyse it and refers to the principles of law and jurisprudence and legislation. The case in this thesis is the plaintiff filed suit for divorce to the defendants, but the defendants denied any contention that occurs among them by not providing clear evidence, and from those brought divorce to child regarding custody and child's citizenship status. According to the author of the verdict of the judge is just right, namely the right childcare falls to their mother (Indonesian), because the child was under age mentally connected very closely with mother, by not reducing the rights of the father to see his son after received permission from her mother.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Baiduri
"Studi ini merupakan penelitian mengenai identifikasi etnik anak-anak dari keluarga perkawinan antaretnik Minangkabau dan Mandailing di Kotamadya Medan. Penelitian bertujuan mengkaji faktor-faktor yang membentuk identifikasi etnik anak-anak, proses pembentukannya, dan aktor-aktor yang berperan panting dalam pembentukan identifikasi etnik anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga perkawinan antaretnik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-antropologis yang sebelumnya telah digunakan oleh Eldering (1998) dengan perspektif ekologi kultural (cultural ecological) dengan menggunakan model ekologi kultural (cultural ecological model) yang didasarkan pada model ekologi (ecological model) Bronfenbrenners untuk melihat aspek-aspek sosial dari lingkungan sehari-hari anak- anak. Selain itu untuk mengetahui dimensi kulturalnya digunakan kerangka Antropologi Psikologi yang dikembangkan oleh Harkness dan Super yaitu mengenai "Relung Perkembangan" (developmental niche) anak.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan metode kualitatif dengan fokus unit analisnya anggota-anggota keluarga hasil perkawinan antaretnik Minangkabau dan Mandailing sebanyak lima puluh keluarga di Kotamadya Medan.
Studi ini menunjukkan bahwa identifikasi etnik anak-anak yang berasal dari perkawinan antaretnik (Minangkabau dan Mandailing) dalam wilayah perkotaan yang multietnik (Kotamadya Medan) akan bervariasi tergantung sosialisasi kultural yang mereka peroleh dari lingkungannya. Identitas etnik anak-anak ini masih mengambil salah satu atau kedua identitas etnik orang tua, namun identitas tersebut tidak kembali seperti semula melainkan merupakan "identitas baru". Identitas baru yang dimaksud merupakan suatu konstruksi kultural yang bersifat longgar, situasional, kondisional, tidak terikat dengan territorial dan selalu dalam proses pembentukan. Identitas etnik yang akan diacu diantara identitas yang beragam yang mereka peroleh dari sosialisasi dalam lingkungan yang multietnik adalah identitas yang paling menguntungkan sebagai suatu strategi adaptasi terhadap lingkungannya. Studi ini menemukan bahwa perkawinan antaretnik yang terjadi di Indonesia khususnya perkawinan antaretnik Minangakabau dan Mandailing di Kotamadya Medan tidak sampai menghasilkan identitas kelompok (etnik) baru yang terstruktur dalam stratifikasi sosial."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnasari Yudhanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S10594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Marta
"PENDAHULUAN
Perkawinan antara orang Jepang dengan orang asing di Jepang sekarang ini tidak lepas dari sejarah. Pada saat Jepang melaksanakan politik sakoku (1639), pemerintah hanya memberi izin tinggal kepada orang-orang Belanda dan orang-orang Cina. Meskipun demikian, baik orang Belanda maupun orang Cina tidak diizinkan tinggal di daerah yang sama. Orang Belanda tinggal menetap di Pulau Dezima dan orang Cina tinggal di seberang Pulau Dezima.
Dengan keberadaan orang asing tersebut maka terjadi jalinan hubungan antara orang Jepang dengan orang asing. Hubungan itu berlanjut ke jenjang perkawinan. Tetapi pada waktu itu perkawinan antara orang Jepang dengan orang asing masih dilarang. Apabila mereka tetap melaksanakan perkawinan, perkawinan mereka tidak diakui secara hukum oleh pemerintah. Hal ini sehubungan dengan belum adanya hukum yang mengatur perkawinan antara orang Jepang dengan orang asing.
Ketika memasuki tahun ke enam Meiji (1873) oleh pemerintah pada saat itu dikeluarkan sebuah maklumat kabinet no. 103 atau Dajyoukan Fukoku 103 Go. Maklumat Kabinet no. 103 ini berisi tentang Naigai Ningen no Kon'in atau hukum perkawinan antara orang dalam yaitu orang Jepang dengan orang luar yaitu yang bukan orang Jepang.
Pada zaman Meiji, perkawinan antara orang Jepang dengan orang yang bukan orang Jepang disebut naigai ningen no kon'in. Tetapi sekarang istilah tersebut sudah tidak terpakai. Sekarang istilah yang populer untuk perkawinan antara orang Jepang dengan orang yang bukan orang Jepang disebut kokusaikekkon. lstilah kokusaikekkon sendiri baru populer setelah seperempat abad kemudian sejak makiumat kabinet no. 103 ditetapkan dalam undang-undang Jepang pada tahun Meiji 32 (1898).
Kokusaikekkon apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi perkawinan campuran. Hal ini sesuai dengan yang di kutip oleh Prodjohamidjojo dari Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 57-62 adalah:
Perkawinan antara seorang Indonesia yang kawin dengan seorang asing, warga negara asing.
Dalam penelitian ini, saya tidak mempergunakan istilah perkawinan campuran tetapi saya mempergunakan istilah kokusaikekkon."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sathya Aisha Tunggadewi
"Skripsi ini mengeksplorasi implikasi hukum dari perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan dalam konteks harta perkawinan dalam kerangka perkawinan campuran, dengan fokus khusus pada Hukum Internasional Swasta Indonesia. Di era globalisasi yang semakin meningkat, perkawinan campuran yang melibatkan individu-individu dari latar belakang hukum dan budaya yang berbeda menjadi semakin lazim. Penelitian ini mengkaji kompleksitas dan tantangan yang terkait dengan penentuan hak atas harta perkawinan dalam perkawinan campuran, dengan mempertimbangkan beragam sistem hukum dan norma-norma budaya yang berlaku. Melalui analisis mendalam terhadap ketentuan hukum Indonesia yang relevan dan kerangka hukum internasional, tesis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan mempengaruhi pembagian harta perkawinan dalam perkawinan campuran. Dengan menyoroti kerumitan hukum yang terlibat, penelitian ini berkontribusi pada wacana yang lebih luas tentang hukum keluarga dan hukum internasional privat, menawarkan wawasan yang dapat memandu para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan individu dalam menavigasi kerumitan perkawinan campuran di Indonesia.

This thesis explores the legal implications of prenuptial and postnuptial agreements in the context of marital property within the framework of mixed marriages, with a specific focus on Indonesian Private International Law. In an era of increasing globalization, mixed marriages involving individuals from different legal and cultural backgrounds have become more prevalent. The study examines the complexities and challenges associated with determining marital property rights in such unions, considering the diverse legal systems and cultural norms at play. Through an in-depth analysis of relevant Indonesian legal provisions and international legal frameworks, the thesis aims to provide a comprehensive understanding of how prenuptial and postnuptial agreements impact the division of marital property in mixed marriages. By shedding light on the legal intricacies involved, this research contributes to the broader discourse on family law and private international law, offering insights that may guide policymakers, legal practitioners, and individuals navigating the complexities of mixed marriages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifa Ayu Desti Saputra
"Posisi strategis Indonesia menjadikannya sebagai salah satu negara transit bagi pengungsi di Kawasan ASEAN. Namun, keterbatasan kuota resettlement yang disediakan oleh negara ketiga membuat Indonesia menjadi rumah yang tidak disengaja bagi para pengungsi. Sebagian pengungsi terpaksa untuk menetap di Indonesia dalam waktu lama yang kemudian menimbulkan interaksi sosial antara pengungsi dengan masyarakat Indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Akibatnya, fenomena perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan pengungsi di Indonesia menjadi suatu hal yang sering dijumpai di kalangan masyarakat. Keadaan pengungsi sebagai kelompok rentan tidak dapat membatasi hak asasi manusia dari pengungsi untuk menikah dan berkeluarga. Namun, sebagai negara bukan pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, Indonesia belum memiliki payung hukum yang mengatur secara komprehensif mengenai pengungsi sebagai subjek hukum dalam melakukan suatu perkawinan campuran. Keadaan ini kemudian menimbulkan berbagai persoalan hukum terkait legalitas perkawinan dan implikasinya. Banyaknya pengungsi dengan latar belakang orang tidak berdokumen yang sulit untuk membuktikan kewarganegaraannya membuat beberapa pengungsi di Indonesia kesulitan dalam memenuhi persyaratan formil dan materiil perkawinan yang kemudian berdampak kepada tidak dapatdicatatkannya perkawinan tersebut. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini akan membahas mengenai legalitas perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan pengungsi di Indonesia ditinjau dari hukum perdata internasional Indonesia dan hukum perkawinan Indonesia. Tulisan ini akan meninjau lebih jauh mengenai kemungkinan penerapan prinsip habitual residence untuk menentukan hukum yang berlaku bagi pengungsi dalam melakukan perkawinan dengan warga negara Indonesia di tengah kekosongan hukum yang mengatur mengenai orang dengan keadaan kewarganegaraan tertentu di Indonesia. Penerapan itsbat nikah pada perkawinan campuran antara warga negara Indoonesia dengan pengungsi di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mencatatkan perkawinan akan turut dibahas pada penelitian ini. Sebagai perkawinan campuran yang sulit untuk dicatatkan, perlindungan hukum bagi para pihak dari perkawinan tersebut perlu diutamakan dengan mempertimbangkan itikad baik dari para pihak. 


Indonesia's strategic position makes it one of the transit countries for refugees in the ASEAN region. However, limited resettlement quotas provided by third countries have made Indonesia an accidental home for refugees. Some refugees are forced to stay in Indonesia for a long time, which then creates social interactions between refugees and Indonesian people in their daily activities. As a result, the phenomenon of mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia is something that is often found in society. The situation of refugees as a vulnerable group cannot limit their human rights to marry and have a family. However, as a country that is not a party to the 1951 Convention on the Status of Refugees, Indonesia does not yet have a legal protection that regulates refugees as legal subjects in a mixed marriage comprehensively. This situation then gave rise to various legal issues related to the legality of marriage and its implications. The large number of refugees with undocumented backgrounds who find it difficult to prove their citizenship makes it difficult for some refugees in Indonesia to fulfil the formal and material requirements of marriage, which then has an impact on not being able to register the marriage. By using a juridical-normative method, this research will discuss the legality of mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia from the perspective of Indonesian private international law and Indonesian marriage law. This paper will examine further the possibility of applying the principle of habitual residence to determine the law that applies to refugees who marry Indonesian citizens in the absence of laws governing people with certain citizenship conditions in Indonesia. The application of itsbat nikah in mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia as a solution to register marriages will also be discussed in this study. As mixed marriages that is difficult to register, legal protection for the parties to the marriage needs to be prioritized by considering the good faith of the parties.

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Dinar Winiar
"ABSTRACT
Penelitian ini dilatarbelakangi kebutuhan setiap orang yang ingin identitasnya
dihormati. Identitas mencakup nilai-nilai yang diyakini, yang kemudian
direfleksikan melalui perilaku komunikasi. Adanya latar belakang perbedaan
budaya dan keunikan individual dapat mengakibatkan timbulnya dialektika antar
pasangan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengelolaan muka yang
dilakukan oleh pasangan dalam rangka Manajemen Identitas, sebagai cara
mengatasi hambatan budaya yang berpotensi merusak suksesnya suatu hubungan.
Dengan menggunakan konsep teori Manajemen Identitas dan pendekatan
kualitatif studi fenomenologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
variasi pilihan pengelolaan muka terkait pengalaman pasangan. Baik bagi orang
Jepang maupun Indonesia, terdapat kecenderungan self yang merujuk pada sisi
individualistik yang dimotivasi oleh kebutuhan akan muka. Tetapi juga terdapat
kecenderungan other atau mutual yang merujuk pada sisi kolektivistik untuk
mempertahankan harmoni. Pengelolaan muka terkait stereotipe dan pembekuan
identitas, mengikat hubungan, spiritualitas, peran sosial, bahasa, material budaya,
konsep penyelenggaraan perkawinan, keterlibatan dalam kelompok budaya asal,
dan pengasuhan anak akan diwarnai oleh sisi dominan yang mana yang
membentuk identitas budaya pasangan serta situasi ketika dialektika berlangsung.
Apakah identitas budaya dominan berasal dari budaya asal pembentuknya (Jepang
dan Indonesia), atau keunikan individual yang terbentuk dari kesamaan
pengalaman, atau nilai-nilai normatif yang ada diantara keduanya.

ABSTRACT
This research is motivated by the needs of everyone for their identity to be
respected. Identity includes values believed, which then reflected through
communication behaviour. The existence of cultural differences and the
uniqueness of individuality can lead to dialectic tension between the couple. This
research aimed to identify the face management used by couple in the context of
Identity Management, as a way to overcome cultural barriers that could
potentially damage the success of a relationship. By using the concept of Identity
Management theory and qualitative approach using Phenomenology study, the
results indicated that there are variations in the choices of face management
related to couple's experience. Either for Japanese or Indonesian people, there is a
tendency of self which refers to the individualistic motivated by the need of face.
But there are also other tendencies of other or mutual, which refer to the
collectivistic side to maintain harmony. Face management related to stereotype
and identity freezing, binding relationship, spirituality, social roles, language,
cultural material, the concept of marriage ceremony, engagement in the cultural
group of origin, and child care will be characterized by the dominant side in which
cultural identity of the couple is formed as well as situations when dialectics
happened. Whether they cultural identity come from the dominant culture of their
origin (Japan and Indonesia), or the uniqueness of the individual formed from a
common experience, or normative values between them."
2014
T41854
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>