Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88725 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Surya Wijaya
"Latar Belakang: Dengan adanya hemodialisis, angka harapan hidup pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) meningkat. Akan tetapi, kualitas hidupnya semakin lama semakin menurun. Kualitas hidup pasien PGK dinilai dengan KDQOL SF-36 yang memiliki 3 komponen, yaitu PCS (fisik), MCS (mental), dan KDCS (berhubungan dengan penyakit ginjalnya). Status nutrisi merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup. Belum jelas apakah massa otot atau massa lemak yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup pasien PGTA.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara persentase massa bebas lemak (FFM) dengan kualitas hidup pasien PGTA.
Metode. Studi potong lintang ini dilakukan di Unit Hemodialisis, Divisi Ginjal hipertensi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juni-Juli 2018. Sebanyak 102 pasien diteliti pada studi ini. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium. Persentase massa bebas lemak dihitung menggunakan Bioimpedance Analysis (BIA). Kualitas hidup dievaluasi menggunakan kuesioner KDQOL SF-36 versi 1.3. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson. Analisis kualitas hidup berdasarkan klasifikasi persentase lemak dilakukan dengan uji Anova.
Hasil. Pada penelitian ini, rerata skor KDQOL keseluruhan adalah 47,86+6,56, dengan rerata skor PCS 40,97+9,66, median skor MCS 46,6 (22,05-59,95), dan KDCS 55,98+9,02. Persentase FFM subjek 74,21+1% dengan rerata massa 43,06+8,16 kg. Hasil uji korelasi Pearson antara skor keseluruhan KDQOL dan persentase FFM mendapatkan nilai r 0,032 dan p 0,750. Hasil signifikan didapatkan antara subkomponen PCS dengan FFM (r 0,223, p 0,024). Persentase massa otot didapatkan berhubungan dengan KDCS (r 0.23, p 0.041) dengan usia sebagai faktor perancu dalam hubungan persentase massa otot dan KDCS.
Kesimpulan. Terdapat hubungan positif lemah antara FFM (dalam kg) dengan kualitas fisik pasien PGTA. Terdapat hubungan positif lemah antara persentase massa otot dengan komponen KDCS pada pasien PGTA .

Background. Due to the occurrence of hemodialysis, the life expectancy of end stage renal disease (ESRD) patients are lengthening. However, their quality of life (QoL) are decreasing. The QoL of ESRD patients are composed of physical (PCS), mental (MCS), and kidney-related (KDCS) components. Nutritional status is one of the influencing factors of QoL. It is not clear whether free fat mass (FFM) or fat mass that contribute to the increase of QoL of ESRD patients.
Objectives. This study aims to identify the correlation of FFM percentage and quality of life of ESRD patients.
Method. This cross-sectional study was conducted in Hemodialysis Unit, Division of Kidney and Hypertension Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta from June-July 2018. 102 subjects were included in this study. Blood samples were collected for laboratory examination. FFM percentage was measured using bioimpedance analysis (BIA). Meanwhile, QoL was evaluated using KDQOL SF-36 version 1.3. Statistical analysis was done using Pearson correlation test. Analysis of QoL based on fat percentage was done using Anova test.
Result. In this study, the overall KDQOL score was 47,86+6,56 with PCS 40,97+9,66, MCS 46,6 (22,05-59,95), and KDCS 55,98+9,02. FFM percentage was 74,21+1% with mean mass of 43,06+8,16 kg. Statistical analysis showed no correlation between FFM percentage and overall KDQOL score (r 0,032, p 0,750). However, there was a significant correlation between PCS and FFM (r 0,223, p 0,024). Muscle mass percentage also shows a positive correlation with KDCS (r 0.23, p 0.041) with age as confounding factor between this two variables.
Conclusion. There is a weak positive correlation between FFM in kg and physical quality of ESRD patients. There is also a weak positive correlation between muscle mass percentage and KDCS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Pradita
"Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) dan terapi hemodialisis mengakibatkan sejumlah dampak dan perubahan yang signifikan pada kualitas hidup pasien. Fungsi seksual dan citra tubuh harus dipertimbangkan sebagai salah satu prediktor yang mempengaruhi kualitas hidup pada pasien hemodialisis. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan fungsi seksual dan citra tubuh terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal tahap akhir. Desain penelitian yang digunakan cross sectional dengan consecutive sampling dengan 107 responden. Analisis data menggunakan uji chi square, eta dan regresi logistik berganda. Hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan signifikan antara fungsi seksual (p value 0,027), dan citra tubuh (p value 0,001) dengan kualitas hidup. Variabel confounding: pendapatan bulanan, jumlah penyakit penyerta, lama menjalani hemodialisis, kepatuhan hemodialisis, dan komunikasi seksual berhubungan signifikan dengan kualitas hidup, namun usia, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir tidak berhubungan dengan kualitas hidup. Hasil analisis regresi logistik berganda menunjukkan fungsi seksual, citra tubuh, dan pendapatan bulanan berhubungan dengan kualitas hidup, sedangkan lama menjalani hemodialisis, jumlah penyakit penyerta dan kepatuhan hemodialisis sebagai faktor confounding. Pendapatan bulanan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup (OR 4,390). Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan keterampilan pengkajian dan pengembangan intervensi dalam masalah psikososial pasien hemodialisis terutama fungsi seksual dan citra tubuh pasien dengan memperhatikan status ekonomi.

End-stage renal disease and hemodialysis therapy cause some significant impacts and changes in the patient’s quality of life. Sexual function and body image could be considered as the predictors affecting the quality of life of hemodialysis patients. This study aims to to determine the relationship of sexual function and body image with the quality of life of end-stage renal disease patients. The research design was cross sectional with consecutive sampling of 107 respondents. Data analysis used chi square test, eta test and multiple logistic regression. The bivariate analysis indicated that there was a significant relationship between sexual function (p value 0,027) and body image (p value 0,001) with quality of life. In addition, confounding factor: monthly income, comorbidities, duration of HD, hemodialysis adherence, and sexual communication were significantly correlated with quality of life. However, there were not significantly correlated between age, gender, education with quality of life. The result of multiple logistic regression analysis showed that there was a significant relationship between sexual function, body image, and monthly income with quality of life, while duration of HD, co-morbidities and hemodialysis adherence as confounding factors. Monthly income became the most influential factor on quality of life (OR 4,390). Therefore, it was necessary to improve assessment skills and develop nursing interventions in psychosocial problems of hemodialysis patients, especially sexual function and body image of patients with regard to economic status."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Pendahuluan. Berbagai panduan menganjurkan hemodialisis HD tiga kali seminggu. Di Indonesia pasien dengan hemodialisis dua kali seminggu lebih banyak ditemukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran klinis dan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dibandingkan tiga kali seminggu.
Metode. Merupakan studi potong lintang pada pasien yang menjalani HD dua dan tiga kali seminggu di RS Cipto Mangunkusumo dan beberapa RS swasta. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Kidney Disease Quality of Life KDQOL-SF 36.
Hasil. Didapatkan 80 subjek dengan kelompok usia >50 tahun lebih banyak ditemukan. Secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali yaitu Interdialytic Weight Gain IDWG 4,91 SB 1,52 dan 3,82 SB 1,28 p=0,002. albumin 4,05 SB 0,26 dan 3,86 SB 0,48 p=0,027, saturasi transferin 25,5 12,0-274,0 dan 21,95 5,8-84,2 p=0,004, kadar fosfat 5,82 SB 1,68 dan 5,82 SB 1,68 p=0,026. Kadar TIBC 235,20 SB 55,72 dan 273,73 SB 58,29 p=0,004 pada kelompok tiga kali HD secara bermakna lebih tinggi. Pada kelompok HD dua kali seminggu 68 mencapai Kt/V>1,8, 93,3 yang HD tiga kali seminggu mencapai Kt/V>1,2. Kualitas hidup antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna baik pada Physical Componet Score PCS p=0,227, Mental Component Score MCS p=0,247 dan Kidney Disease Component Score KDCS p=0,889.
Simpulan. Didapatkan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali seminggu pada pemeriksaan IDWG, albumin, saturasi transferin, fosfat, sedangkan TIBC lebih tinggi pada kelompok HD tiga kali seminggu. Kualitas hidup kedua kelompok tidak berbeda bermakna.

Introduction. Many guidelines recommend hemodialysis HD three times a week. In Indonesia there are more patients undergoing hemodialysis twice a week. It is necessary to investigate the clinical features and the quality of life in patients undergoing hemodialysis twice a week.
Method. A cross sectional study in patients undergoing HD two and three times weekly at Cipto Mangunkusumo Hospital and some private hospitals. Laboratory examination and assessment of quality of life by using Kidney Disease Quality of Life KDQOL SF 36.
Results. There were 80 subjects with age group 50 years is more common. Significantly higher in group HD twice a week were Interdialytic Weight Gain IDWG 4.91 SB 1.52 and 3.82 SB 1.28 p 0.002. 4,05 albumin SB 0.26 and 3.86 SB 0.48 p 0.027, transferrin saturation 25.5 12.0 to 274.0 and 21.95 5.8 to 84.2 p 0.004, the phosphate level 5.82 SB 1.68 and 5.82 SB 1.68 p 0.026. The TIBC level 235.20 55.72 SB and 273.73 58.29 SB p 0.004 was significantly higher in group HD thrice a week. In twice a week HD group 68 reached Kt V 1.8, 93.3 of HD thrice a week achieved Kt V 1.2. Quality of life between the two groups was not significant either on Physical Componet Score PCS p 0.227, Mental Component Score MCS p 0.247 and Kidney Disease Component Score KDCS p 0.889.
Conclusion. There were significantly higher in group HD twice a week on examination IDWG, albumin, transferrin saturation and phosphate levels, whereas the TIBC was higher in group HD three times a week. Quality of life of the two groups was not significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puteri Wahyuni
"Latar Belakang: Hipertensi merupakan kasus terbanyak pada pasien hemodialisis HD . Tekanan nadi sentral merupakan prediktor yang kuat terhadap mortalitas dengan penyebab apa pun, banyak faktor yang mempengaruhi tekanan nadi sentral, baik secara langsung maupun tidak langsung, di antaranya adalah interdialytic weight gain IDWG . IDWG dikatakan berhubungan dengan mortalitas akibat penyebab apa pun, namun belum jelas mekanismenya.
Tujuan: Mengetahui tekanan nadi sentral dan korelasinya dengan IDWG pada pasien penyakit ginjal tahap akhir PGTA yang menjalani HD di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien PGTA yang menjalani HD di RSCM. Dilakukan pemeriksaan tekanan nadi sentral dengan alat sfigmokor, dan dihitung IDWG dalam satu bulan terakhir, selanjutnya dikorelasikan.
Hasil: Didapatkan 67 subyek yang memenuhi kriteria inklusi. Median usia 53.0 rentang inter-kuartil [RIK] 44.0-62.0 tahun, subyek dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak ditemukan. Lamanya menjalani HD median 51,3 RIK 23,8-88,8 bulan. Median tekanan nadi sentral 45 RIK 32,67-56,67 mmHg. Rerata IDWG adalah 2,71 simpang baku [SB] 1,08 kg atau 5,04 SB 1,88 . Tekanan nadi sentral tidak berkorelasi dengan IDWG dengan r = 0,088 p=0,478.
Simpulan: Tekanan nadi sentral pada pasien PGTA yang menjalani HD di RSCM mediannya sebesar 45 RIK 32,67-56,67 mmHg. Tekanan nadi sentral tidak berkorelasi dengan IDWG.

Background: Hypertension is the most prevalent case in patients undergoing hemodialysis HD . Central pulse pressure is a strong predictor of mortality of any cause. Many factors are related to central pulse pressure, either directly or indirectly, including interdialytic weight gain IDWG. IDWG are said to be associated with mortality of any cause in HD patients, but the mechanism underlying that association remained unclear.
Objective: To find central pulse pressure and its correlation with IDWG in end stage renal disease ESRD patients undergoing HD in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia.
Methods: Cross sectional study on all ESRD patients undergoing HD in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Central pulse pressure was measured using Sphygmocor. IDWG of patients within the last month were obtained, and then a correlation analysis was conducted on both variables.
Results: This study included 67 subjects that met inclusion criteria. The median range age of participants was 53.0 44.0 62.0 years old, with more female subjects present. The median range of duration of HD was 51.3 23.8 88.8 months. Median range of central pulse pressure was 45 32,67 56,67 mmHg. The mean of IDWG was 2.71 standard deviation SD 1.08 kg or 5.04 SD 1.88. This study found that there were no correlation between central pulse pressure and IDWG, r 0.088 p 0.478.
Conclusions: Median range of central pulse pressure in ESRD patients undergoing HD in CMGH was 45 32,67 56,67 mmHg. Central pulse pressure had no correlation with IDWG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nur Ridwan
"Pasien gagal ginjal terminal memiliki kualitas hidup cenderung rendah. Diperlukan kepatuhan terhadap rekomendasi diet serta mampu meredakan emosi negatif sebagai tanda penerimaan terhadap penyakit pada pasien gagal ginjal terminal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan diet dan penerimaan penyakit dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan potong lintang, melibatkan 114 pasien gagal ginjal terminal yang dipilih dengan teknik non-random consecutive sampling. Data kepatuhan diet diperoleh menggunakan Renal Adherence Behaviour Questionnaire, data penerimaan penyakit diperoleh menggunakan kuesioner Acceptance of Illness dan WHOQoL-BREF untuk mendapatkan data kualitas hidup. Analisa data menggunakan Pearson Correlation menunjukkan terdapat hubungan berpola positif dengan kekuatan sedang antara kepatuhan diet dengan kualitas hidup p value.

Patients with end stage renal disease have a low quality of life. Required adherence to dietary recommendation and able to alleviate negative emotions as a sign acceptance of illness in patients with end stage renal disease. This study aims to determine the relationship between dietary adherence and acceptance of illness with quality of life of end stage renal failure patients undergoing hemodialysis. This study used cross sectional approach involving 114 ESRD patients selected using non random consecutive sampling technique. Dietary compliance data were obtained using Renal Adherence Behavior Questionnaire RABQ , acceptance of disease was obtained using the Acceptance of Illness Questionnaire AoI , and the WHO Quality of Life BREF to get quality of life data. The data were analyzed using Pearson correlation and showed significant moderate association between diet adherence and quality of life p value.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Lufiyani
"ABSTRAK
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling banyak dialami pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir PGTA yang menjalani. Pengukuran kecukupan dosis hemodialisis pada pasien PGTA di Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak yang tidak mencapai ketidakadekuatan hemodialisis. Tujuan dari penelitian ini mengetahui hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kejadian insomnia pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis serta faktor lainnya yang mempengaruhi insomnia. Penelitian ini mengevaluasi sebanyak 125 responden dengan desain cross-sectional dan perhitungan adekuasi dengan rumus Daurgidas Kt/V serta kuesioner Insomnia Severity Index ISI untuk penilaian kejadian insomnia. Prevalensi insomnia ditemukan sebanyak 56 dan 71,2 responden mencapai adekuasi hemodialisis Kt/V ge;1,2. Hasil uji statistik menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara adekuasi hemodialisis dengan insomnia p value= 0,352. Faktor depresi p value = 0,001 dan lama hemodialisis p value = 0,042 menjadi faktor yang berhubungan dengan insomnia pada penelirian ini. Pemantauan terhadap capaian adekuasi hemodialisis minimal satu bulan sekali dan pengkajian tingkat depresi diawal hemodialisis dilakukan untuk mengurangi atau mencegah kejadian insomnia.Kata Kunci: PGTA, Insomnia dan Adekuasi Hemodialisis.

ABSTRACT
Insomnia is the most common sleep disorder experienced by patients with end stage renal disease ESRD. Measurement of sufficiency of hemodialysis dose in ESRD patients in Indonesia shows that more do not reach the inadequacy of hemodialysis. The purpose of this study was to know the relationship between hemodialysis adequation with the case of insomnia in ESRD patients which undergoing hemodialysis and other factors that affect insomnia. This study evaluated 125 respondents with cross sectional design and calculation of adequacy with Daurgidas formula Kt V and Insomnia Severity Index ISI questionnaire for the assessment of insomnia event. The prevalence of insomnia was found to be 56 and 71.2 of respondents attained hemodialysis adequacy Kt V ge 1,2. The results of statistical tests found that there was no significant relationship between hemodialysis adequation with insomnia p value 0.352 . Depression factors p value 0.001 and duration of hemodialysis p value 0.042 were factors associated with insomnia in this study. Monitoring on the achievement of hemodialysis adunasi at least once a month and assessment of depression levels at the beginning of hemodialysis done to reduce or prevent the incidence of insomnia."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanya Herdita
"Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PTGA) memiliki mortalitas dan morbiditas yang utamanya disebabkan oleh gangguan kardiovaskular. Salah satu penyebab gangguan kardiovaskular tersebut adalah kekakuan arteri. Hemodialisis merupakan salah satu intervensi pada pasien PTGA. Namun, faktor-faktor yang memengaruhi kekakuan arteri pada pasien PTGA yang menjalani hemodialisis masih belum banyak diteliti.
Tujuan: Mengetahui proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Studi observasional dengan desain potong lintang dilakukan di Unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) pada bulan April-Mei 2019. Pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis dua kali per minggu minimal selama 3 bulan terakhir diikutsertakan dalam penelitian. Pasien yang mengalami penyakit akut atau tidak kooperatif dieksklusi dari penelitian. Kekakuan arteri dinilai dalam bentuk Pulse Wave Velocity (PWV) menggunakan alat SphygmoCor dengan cutoff PWV 10 m/s.
Hasil: Sebanyak 83 subyek penelitian yang terdiri dari 22 (26,5%) subyek dengan kekakuan arteri dan 61 (73,5%) subyek tanpa kekakuan arteri diikutsertakan dalam studi. Faktor-faktor yang berhubungan secara indenden dengan kekakuan arteri adalah kadar gula darah puasa (odds ratio 6,842 (IK95% 1,66-28,24)) dan kadar LDL (odds ratio 4,887 (IK95% 1,59-16,58)).
Simpulan: Proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu adalah sebesar 26,5%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekakuan arteri pada pasien PGTA dengan hemodialisis kronik dua kali per minggu adalah kadar gula darah puasa dan kadar LDL.

Introduction: End stage renal disease (ESRD) mortalities and morbidities are mainly occurred in association with cardiovascular disease. One of which is arterial stiffness. Hemodialysis is one of the intervention for ESRD patients. However, factors affecting arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis have not been studied much in Indonesia.
Aim: Investigating the proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week and factors affecting it.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Hemodialysis Unit, Kidney and Hypertension Division, National General Hospital Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) on April to May, 2019. ESRD patients having hemodialysis two times a week for at least 3 months were included in the study. Patients with acute disease or uncooperative were excluded from the study. Arterial stiffness was measured as pulse wave velocity (PWV) using SphygmoCor® with PWV cutoff of 10m/s.
Results: There were 83 study samples included in this study, 22 (26,5%) of which were patients with arterial stiffness and 61 (73,5%) of which were patients without arterial stiffness. Factors independently affecting arterial stiffness were fasting glucose level (odds ratio 6,842 (CI95% 1,66-28,24)) and LDL level (odds ratio 4,887 (CI95% 1,59-16,58)).
Conclusion: The proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week was 26,5%. Factors affecting arterial stiffness in ESRD patients were fasting glucose level and LDL level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Rachmayani
"Kualitas tidur yang baik merupakan salah satu faktor kualitas hidup yang baik. Stres emosional seperti depresi menjadi penyebab kualitas tidur buruk. Depresi dan kualitas tidur secara tidak langsung dapat mempengaruhi kejadian morbiditas dan mortalitas penyakit gagal ginjal terminal. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas tidur pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan metode cross sectional. Sampel yang digunakan sebanyak 92 responden dengan teknik purposive sampling. Dengan analisis bivariat menggunakan uji spearman, korelasi antara tingkat depresi dengan kualitas tidur tidak bermakna dengan nilai p 0,332. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mayoritas responden tidak memiliki tanda klinis depresi dan kualitas tidur baik. sehingga perlu dikembangkan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas tidurnya.

Good sleep quality is one of the factors of quality of life. Emotional stress such as depression causes poor sleep quality. Depression and sleep quality indirectly may affect the incidence of morbidity and mortality of end stage renal disease. The purpose of this study was to identify the relation between depression and sleep quality in patients on end stage renal disease with hemodialysis. This research is was descriptive and correlation design with cross sectional study. There were 92 respondents that were selected by purposive sampling method. The study result shows correlation between depression and sleep quality not significant with p value 0,332 that were analysed by bivariate analysis and spearman test. The study conclude that the majority of respondents had no clinical signs of depression and good sleep quality. Therefore, it is recommended to develop nursing interventions that can improve sleep quality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
"

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu.


Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Septiana
"ABSTRAK
Pruritus Uremik adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh tidak tercapainya adekuasi terapi hemodialisis yang sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal GGT sehingga berdampak insomnia pada pasien GGT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara pruritus uremik dan insomnia. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah sampel 44 pasien hemodialisis di Unit HD RSUP Fatmawati dipilih dengan teknik consecutive sampling. Penelitian menggunakan instrumen Uremic Pruritus in Dialysis Patients UP-Dial Scale dan Athens Insomnia Scale AIS. Uji analisis menunjukkan bahwa sebanyak 21,9 mengalami pruritus ringan dengan insomnia, 46,3 mengalami pruritus sedang dengan insomnia, dan 31,7 mengalami pruritus berat dengan insomnia. Hasil uji Fisher rsquo;s exact menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pruritus dengan insomnia p= 0,115, ? =0,05, namun terdapat hubungan yang bermakna antara jadwal hemodialisis dengan insomnia p= 0,035, ?= 0,05. Edukasi mengenai perawatan pruritus patuh dialysis perlu diberikan untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan dari pruritus.

ABSTRACT
Uremic Pruritus is a condition that caused by the insufficiency of hemodialisis therapy that occasionally perceived by patients of end stage renal failure ESRD, which is thought to be one of causes of insomnia in patients of end stage renal failure. This study aimed to identify the correlation between uremic pruritus and insomnia. This study used a cross sectional approach with sampling of 44 patients who undergoing of hemodialisis therapy in Hemodialysis Unit of Fatmawati Hospital that selected by consecutive sampling technique. The research instrument used the Uraemic Pruritus in Dialysis Patients UP Dial Scale and Athens Insomnia Scale AIS. The tests showed that 21,9 experienced mild pruritus with insomnia, 46,3 experienced moderate pruritus with insomnia, and 31,7 experienced severe pruritus with insomnia. The result of Fisher rsquo s exact test showed that there was no significant correlation between uremic pruritus with insomnia p 0,115, 0,05, but there was a significant correlation between dialysis shift and insomnia p 0,035, 0,05. Education about the care of pruritus and dialysis needs are important to be given in order to reduce the impact."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>