Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141271 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chairunisa Aliya Amani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Indeks massa tubuh dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa indeks massa tubuh yang memasuki kategori obesitas dapat memperburuk prognosis penyakit kanker payudara. Selain indeks massa tubuh, status reseptor hormonal juga menjadi hal yang penting untuk menentukan terapi kanker payudara. Namun, belum diketahui apakah terdapat hubungan antara perubahan indeks massa tubuh sebelum dan sesudah terapi dan status reseptor hormonal terhadap respon terapi kanker payudara yang dinilai dengan ada atau tidaknya residu.
Tujuan: Mengetahui pengaruh perubahan indeks massa tubuh dan status reseptor hormonal terhadap respon terapi kanker payudara yang dinilai dengan residu pasca terapi.
Metode: Sebanyak 111 data dari rekam medis pasien diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data indeks massa tubuh didapatkan melalui berat badan dan tinggi badan yang diukur sebelum dan sesudah terapi. Pengukuran dilakukan selama rangkaian pemberian kemoterapi. Jika tinggi badan yang didapatkan pada pengukuran sebelum dan sesudah terapi berbeda, maka akan diambil rata-rata. Sedangkan data status reseptor hormonal didapatkan dengan melihat laporan pemeriksaan immunohistokimia. Untuk melihat respon pasien terhadap terapi digunakan laporan hasil pemeriksaan pencitraan.
Hasil: Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan, didapatkan hubungan antara perubahan indeks massa tubuh terhadap residu kanker payudara pasca terapi (p 0,018; p<0,05). Dan tidak didapatkan hubungan antara status reseptor hormonal dengan residu kanker payudara pasca terapi (p 0,803; p>0,05) serta hubungan antara status reseptor hormonal dan perubahan indeks massa tubuh secara bersamaan (p 0,087; p>0,05).
Kesimpulan: Peningkatan indeks massa tubuh dapat meningkatkan risiko residu kanker payudara pasca terapi. Sedangkan, status reseptor hormonal tidak memiliki hubungan dengan residu kanker payudara pasca terapi. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Denny Grecius
"ABSTRACT
Rasio neutrofil dan limfosit (NLR) dapat digunakan dalam mengukur progresivisitas kanker payudara seperti perubahan berat badan. Tujuan Maka dari itu, penelitian ini hendak menilai hubungan perubahan status indeks masa tubuh dengan NLR. Metode: Rancangan penelitian ini merupakan potong lintang. Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasien yang menjadi normoweight (indeks masa tubuh terakhir < 23,0) dan pasien yang menjadi overweight atau obese (indeks masa tubuh terakhir ≥ 23,0). Setiap sampel akan dihitung NLR pascadiagnosis dan pascaterapi minimal 6 bulan. Hasil: Pasien yang menjadi normoweight memiliki NLR pascadiagnosis median 2,510 (0,853-5,315) dan NLR pascaterapi median 2,652 (0,666-10,844). Pasien yang menjadi overweight atau obese memiliki NLR pascadiagnosis median 2,444 (0,318-21,000) dan NLR pascaterapi median 2,466 (0,632-22,750). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara perubahan indeks masa tubuh dengan NLR pascadiagnosis dan NLR pascaterapi. Tidak adanya hubungan mungkin disebabkan adanya keberagaman karakteristik sampel yang didapat.

ABSTRACT
Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) can be used to measure progressivity of breast cancer. One of the factor that also affect progression of breast cancer is body weight change. Therefore, this study wants to evaluate correlation between Body Mass Index (BMI) status change and NLR. Methods: Sample are divided into two groups, patients who became normoweight (latest BMI < 23,0) and patients who became overweight or obese (latest BMI ≥ 23,0). NLR value in postdiagnosis and post-treatment (minimum 6 months) are being evaluated in each sample. Results: Patients who became normoweight has postdiagnosis NLR median 2,510 (0,853-5,315) and post-treatment NLR median 2,652 (0,666-10,844); while in the patients who became overweight or obese has postdiagnosis NLR median 2,444 (0,318-21,000) and post-treatment NLR median 2,466 (0,632-22,750). Interpretation & conclusion: This study shows neither postdiagnosis NLR nor post-treatment NLR has correlation with BMI status change. This result may due to various sample characteristics."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Pradhana Fajri
"Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak ditemukan pada wanita dengan 2,3 juta kasus baru pada tahun 2020. Klasifikasi berdasarkan ekspresi reseptor hormon penting diketahui karena tiap subtipe dapat berbeda dalam karakteristik klinis, strategi pengobatan, dan prognosis. Penelitian hubungan faktor risiko usia dan IMT terhadap subtipe kanker payudara yang telah dilakukan masih menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dan belum konklusif sehingga penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan di RCSM pada April-Mei 2024 dengan mengakses rekam medis 180 pasien kanker payudara primer yang datang ke Poli Bedah RSCM pada tahun 2022 dan menjalani pemeriksaan patologi anatomi dan imunohistokimia. Diperoleh 180 subjek dengan 82,8% berusia >40 tahun dan 17,2% berusia ≤40 tahun. Ditemukan 51,1% subjek obesitas, 27,2% berat badan normal, 16,1% berat badan berlebih, dan hanya 5,6% berat badan kurang. Ditemukan subtipe luminal mencakup 72,8% kasus dan non-luminal 27,2% kasus. Subtipe dengan proporsi paling banyak ditemukan adalah tipe luminal B dengan 41,1%, diikuti tipe luminal A 31,7%, TNBC 17,2%, dan HER2-enriched 10%. Analisis chi-square antara usia dengan subtipe kanker payudara serta IMT dengan subtipe kanker payudara tidak menemukan hubungan yang bermakna. Tidak terdapat hubungan antara usia ataupun IMT terhadap subtipe molekuler kanker payudara yang signifikan di RSCM tahun 2022.

Breast cancer is the most common type of cancer found in women with 2.3 million new cases in 2020. Classification based on hormone receptor expression is important because each subtype can differ in clinical characteristics, treatment strategies and prognosis. Research on the relationship between risk factors of age and BMI on breast cancer subtypes that has been carried out still produces conflicting conclusions and is not yet conclusive, so further research needs to be carried out. This research was conducted at RCSM in April-May 2024 by accessing the medical records of 180 primary breast cancer patients who came to the RSCM Surgical Clinic in 2022 and underwent anatomical pathology and immunohistochemical examinations. There were 180 subjects with 82.8% aged >40 years and 17.2% aged ≤40 years. It was found that 51.1% of subjects were obese, 27.2% were normal weight, 16.1% were overweight, and only 5.6% were underweight. It was found that the luminal subtype covered 72.8% of cases and non-luminal 27.2% of cases. The subtype with the highest proportion found was luminal B type with 41.1%, followed by luminal A type 31.7%, TNBC 17.2%, and HER2-enriched 10%. Chi-square analysis between age and breast cancer subtype and BMI and breast cancer subtype did not find a significant relationship. There was no significant relationship between age or BMI and breast cancer molecular subtype in RSCM in 2022."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Joy Samuel
"ABSTRAK
Indeks Massa Tubuh dan Rasio Platelet-Limfosit (PLR) yang tinggi menunjukkan prognosis buruk pasien kanker payudara. Peneliti menduga adanya korelasi positif antara perubahan nilai keduanya; serta nilai PLR akhir yang berbeda signifikan pada wanita dengan IMT meningkat 5%. Peneliti menggunakan desain potong-lintang dan menganalisis data rekam medis dari 2 rumah sakit di Jakarta. Perubahan IMT tidak berkorelasi dengan perubahan PLR (p>0,05); serta tidak terdapat PLR akhir yang berbeda bermakna antara kedua kelompok. Hal ini diduga disebabkan variasi regimen kemoterapi, metode pengambilan sampel dan faktor lain yang tidak diteliti.

ABSTRACT
High Body Mass Index and Platelet-Lymphocyte Ratio (PLR) show a poor prognosis of breast cancer patients. The author hypothesized that there is a positive correlation between changes in both values; and final PLR values is significantly difference in women with 5% increase in BMI. The author used a cross-sectional design and analyzed medical record data from 2 hospitals in Jakarta. Changes in BMI were not correlated with changes in PLR (p>0,05); and there were no final PLR that was significantly different between the two groups. This can be due to variations in chemotherapy regimens, sampling methods, and other factors not examined."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Via Valencia Arifin
"Kanker payudara adalah penyakit di mana sel-sel di payudara tumbuh di luar kendali dan menjadi salah satu jenis kanker paling umum di dunia. Di Indonesia, kanker payudara merupakan kanker dengan prevalensi tertinggi pada wanita. Tinggi Angka kejadian kanker payudara sangat erat kaitannya dengan faktor risiko yang ada, diantaranya kelebihan berat badan dan obesitas. Pengukuran berat badan dan obesitas dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran yang dikenal sebagai indeks massa tubuh (BMI). Obesitas tidak hanya digambarkan sebagai penyimpanan lemak berlebih tetapi juga akumulasi jaringan adiposa yang dideregulasi. Ini bisa diidentifikasi melalui zat yang dikenal sebagai CD36. CD36 ditemukan memiliki berpotensi menjadi penanda prognostik karena perannya dalam proses metastasis kanker payudara. Tapi selain sebagai penanda prognostik yang terkait dengan metastasis, CD36 juga diduga berpotensi menjadi penanda diagnosis kanker payudara. Karena itu, Dalam studi ini, analisis hubungan antara BMI dan CD36 dan insiden dilakukan kanker payudara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis dari salah satu rumah sakit di Jakarta dengan total 84 subjek yang terdiri dari 3 kategori status, yaitu penderita kanker payudara, kanker selain payudara, dan sehat. Metode Keputusan Tree digunakan untuk memperoleh informasi tentang hubungan antara BMI dan CD36 terhadap kejadian kanker payudara. Selanjutnya digunakan metode Regresi Logistik untuk mengetahui peran masing-masing faktor dalam kejadian kanker payudara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara CD36 dengan kejadian kanker payudara, dimana ciri-ciri subjek dengan status kanker payudara memiliki nilai konsentrasi CD36 antara 0,17-0,34 dan di bawah 0,14 (dalam ng / mL). Kemudian diperoleh juga bahwa peningkatan skor CD36 menurunkan risiko kanker payudara awal, padahal peningkatan nilai BMI akan meningkatkan risiko.
ABSTRACT
Breast cancer is a disease in which cells in the breast grow out of control and is one of the most common types of cancer in the world. In Indonesia, breast cancer is a cancer with the highest prevalence in women. The high incidence of breast cancer is closely related to the existing risk factors, including being overweight and obese. Weight and obesity measurements can be made using a measurement known as body mass index (BMI). Obesity is not only described as excess fat storage but also the accumulation of deregulated adipose tissue. This can be identified through a substance known as CD36. CD36 was found to have potential to be a prognostic marker because of its role in the metastatic process of breast cancer. But apart from being a prognostic marker associated with metastasis, CD36 is also thought to be a potential marker of breast cancer diagnosis. Therefore, in this study, an analysis of the relationship between BMI and CD36 and incidence of breast cancer was carried out. The data used in this study were medical records from a hospital in Jakarta with a total of 84 subjects consisting of 3 status categories, namely breast cancer patients, non-breast cancer, and healthy. The Decision Tree method was used to obtain information about the relationship between BMI and CD36
against the incidence of breast cancer. Furthermore, the Logistic Regression method is used to determine the role of each factor in the incidence of breast cancer. The results showed that there was a relationship between CD36 and the incidence of breast cancer, where the characteristics of subjects with breast cancer status had a CD36 concentration value between 0.17-0.34 and below 0.14 (in ng / mL). Then it was also found that an increase in CD36 score decreased the risk of early breast cancer, whereas an increase in the BMI value would increase the risk."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Zakiyyah Rifai
"Latar Belakang: Kanker payudara merupakan kanker dengan insidensi tertinggi kedua di dunia pada tahun 2018. Setiap 100.000 wanita di Indonesia, 40 mengidap kanker payudara. Mortalitas pada kanker payudara paling banyak disebabkan oleh kejadian metastasis organ viseral yang dilaporkan memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan metastasis non viseral. Ekspresi reseptor hormonal (HR) dan protein
HER2 atau subtipe intrinsik molekular diindikasikan dapat memprediksi jenis atau lokasi metastasis kanker payudara. Karena itu, perlu ada penelitian tentang hubungan HR dan HER2 terhadap jenis metastasis kanker payudara, terutama pada populasi di Indonesia untuk memperkirakan perjalanan penyakit.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara reseptor hormonal dan HER2 terhadap jenis metastasis kanker payudara, viseral maupun non viseral.
Metode: Penelitian dengan desain cross sectional ini menggunakan data dari sembilan puluh satu pasien kanker payudara dengan metastasis yang dipilih dengan cara consecutive sampling dari RSCM dan RS MRCCC Siloam. Status HR dan HER2 diambil dari pemeriksaan imunohistokimia, sedangkan jenis metastasis diambil dari hasil pemeriksaan radiologi atau patologi anatomi. Data diolah dengan
uji chi square dan disajikan dalam bentuk tabel.
Hasil: Analisis bivariat antara HR dengan metastasis viseral menghasilkan nilai OR 0,549 (95% CI 0,165-1,829), dengan metastasis non viseral OR 1,533 (95% CI 0,565-4,157), dan dengan kedua metastasis viseral dan non viseral OR 0,960 (95% CI 0,351-2,624). Untuk analisis antara protein HER2 dengan metastasis viseral
menghasilkan OR 2,333 (95% CI 0,825-6,599), dengan metastasis non viseral OR 0,538 (95% CI 0,223-1,302), dan dengan kedua metastasis viseral dan non viseral OR 1,061 (95% CI 0,442-2,549). Semua analisis menghasilkan p>0,05.
Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara HR maupun HER2 terhadap jenis metastasis kanker payudara
Background: Breast cancer is a cancer with the second highest incidence in the world in 2018. For every 100,000 women in Indonesia, 40 suffer from breast cancer. Mortality in breast cancer is mostly caused by the incidence of visceral organ metastases which are reported to have a worse prognosis than non-visceral metastases. Hormonal receptor (HR) and protein expression
HER2 or molecular intrinsic subtypes are indicated to predict the type or location of breast cancer metastases. Therefore, there needs to be research on the relationship between HR and HER2 to the type of breast cancer metastases, especially in the population in Indonesia to estimate the course of the disease.
Objective: To determine the relationship between hormonal receptors and HER2 on the type of breast cancer metastasis, visceral and non-visceral.
Methods: This cross-sectional design study used data from ninety-one breast cancer patients with metastases selected by consecutive sampling from RSCM and MRCCC Siloam Hospital. HR and HER2 status were taken from immunohistochemical examination, while the type of metastasis was taken from the results of radiological examination or anatomical pathology. Data processed with chi square test and presented in tabular form.
Results: Bivariate analysis of HR with visceral metastases resulted in OR 0.549 (95% CI 0.165-1.829), with non-visceral metastases OR 1.533 (95% CI 0.565-4.157), and with both visceral and non-visceral metastases OR 0.960 (95% CI 0.351-2.624). For analysis between HER2 protein and visceral metastases resulted in an OR of 2.333 (95% CI 0.825-6.599), with non-visceral metastases OR 0.538 (95% CI 0.223-1.302), and with both visceral and non-visceral metastases OR 1.061 (95% CI 0.442-2.549). All analyzes yielded p>0.05.
Conclusion: There was no significant relationship between HR and HER2 on the type of breast cancer metastases"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Candra
"ABSTRAK
Kanker menunjukkan suatu potensi untuk invasi baik in vitro maupun in vivo. Proses ini dimediasi oleh Methaderin (MTDH). Hipoksia-inducible factor-2α (HIF-2α) dapat meningkatkan ekspresi MTDH; Namun, sedikit diketahui tentang korelasi antara HIF-2α dan MTDH ekspresi dalam kanker payudara. Suatu studi telah menyelidiki hubungan antara HIF-2 dan MMP9. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara HIF-2 dan MTDH. Desain penelitian ini adalah analisis berpasangan dengan 48 sampel jarinagn kanker payudara sebelum dan sesudah Kemoterapi dan terapi hormonal yang terdiri dari 20 terapi hormonal dan 28 kemoterapi. Ekspresi mRNA HIF-2 dan MTDH diukur dengan menggunakan QRT-PCR. HIF-1 ekspresi protein dideteksi oleh teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH setelah terapi tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan sebelum terapi. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada derajat histopatologi III tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan histopatologi I dan II. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada usia > 40 tahun tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan <40 tahun. Spearman analisis korelasi mengungkapkan bahwa HIF-2α dan ekspresi MTDH secara signifikan berkorelasi (r = 0,632; P = 0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya ekspresi HIF-2α dikaitkan dengan buruk nya prognosis pada pasien dengan kanker payudara dan menjadikan bahwa HIF-2α dan MTDH bisa menjadi penanda dari perkembangan kanker payudara.

ABSTRACT
Malignant cells show increased invasion potency in vitro and in vivo. This process is considered to be mediated by Methaderin (MTDH). Hypoxia-inducible factor-2α (HIF-2α) may upregulate MTDH expression; however, little is known about the correlation between HIF-2α and MTDH expressions in breast cancer. The current study investigated correlation between HIF-2 and MMP9 immunohistochemically according to various clinical and pathological features in 102 paraffin-embedded archival tissue block specimens from patients with breast cancer. Aim of this study is to investigate correlation between HIF-2 and MTDH. Design of this study is couple analysis with 48 breast cancer sample before and after Chemoteraphy and hormonal therapy comprises 20 hormonal therapy and 28 chemotheraphy. Expression of mRNA HIF-2 and MTDH were measured using qRT-PCR. HIF-1 protein expression was detected by enzim linked immunoabsorbant assay (ELISA). mRNA HIF-2 and MTDH expression after theraphy is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to before theraphy. mRNA HIF-2 and MTDH expression in Histopathology Grade III is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to histopathology grade I and II. mRNA HIF-2 and MTDH expression in >40 years old is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to <40 years old. Spearman correlation analysis revealed that HIF-2α and MTDH expression ons were significantly correlated (r = 0.632; P = 0.000). These results suggest that high HIF- 2α expression is associated with poor overall survival in patients with breast cancer, indicating that HIF-2α could be a valuable marker of breast cancer"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Shakina
"ABSTRAK
Latar belakang: Kehilangan gigi merupakan penyakit utama rongga mulut.
Berkurangnya jumlah gigi akan menurunkan kemampuan mastikasi dan
menyebabkan pemilihan makanan yang berujung pada kurangnya asupan nutrisi.
Nutrisi yang buruk dapat berakibat pada perubahan indeks massa tubuh (IMT).
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kemampuan mastikasi dan IMT. Metode:
Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 129 subjek berusia 34-80
tahun. Subjek diukur tinggi badan dan berat badannya, diwawancara menggunakan
kuisioner kemampuan mastikasi dan dilakukan pemeriksaan intra oral. Analisis Chi
Square digunakan untuk mengetahui hubungan antara kemampuan mastikasi,
kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan, usia, jenis kelamin dan status ekonomi
dengan IMT. Hasil penelitian: Kemampuan mastikasi tidak memiliki hubungan
yang bermakna dengan IMT (p=0,963). Ditemukan hubungan yang bermakna antara
usia dengan IMT (p=0,028). Kesimpulan: Usia mempengaruhi indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Tooth loss is a major disease of the oral cavity. The primary function
of teeth is mastication. Decreasing number of teeth will reduce the masticatory
performance and causing food selection which leads to lack of nutrition. Poor
nutrition resulted changes in body mass index (BMI). Objective: To analyze the
relationship between masticatory performance and BMI. Methods: The study was
conducted with a cross-sectional method on 129 subjects age 34-80 years. Subject
was measured their height and weight, then interviewed using a questionnaire about
masticatory performance and intra oral examination was conducted. Chi square was
used to analyse the relation between the masticatory performance, tooth loss, denture
wearer, age, gender, economic status with BMI. Result: Masticatory performance
was not significantly associated with BMI (p = 0.963). A significant association was
found between age and BMI (p = 0.028). Conclusion: Age affects the body mass
index."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safarudin
"Beberapa bukti menunjukkan perubahan metabolik pada pasien kanker payudara dengan indeks massa tubuh (IMT) tinggi berhubungan resistensi insulin dan khususnya perubahan terkait produksi sitokin oleh jaringan adiposa yang merupakan kontributor utama terhadap sifat agresif dari kanker payudara yang berkembang melalui pengaruhnya terhadap angiogenesis dan stimulasi kemampuan invasif dari sel kanker. Studi kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Kanker Dharmais ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh IMT terhadap disease-free survival (DFS) lima tahun pasien kanker payudara.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus sampai November 2014. Sampel yang digunakan pada studi ini diambil secara konsekutif sebanyak 127 pasien. Dari studi ini, diketahui bahwa DFS lima tahun pasien kanker payudara adalah 70,0%. Berdasarkan kategori IMT, pasien kanker payudara dengan IMT tinggi (>22,9 kg/m2) memiliki DFS lima tahun yang paling besar, yaitu 75,5%, diikuti pasien dengan IMT rendah (<18,5 kg/m2) sebesar 68,6%, dan 60,4% untuk pasien dengan IMT normal (18,5?22,9 kg/m2). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa IMT tidak memiliki asosiasi dengan kejadian kekambuhan atau metastase (HR=1,052, 95% CI 0,413-2,678) setelah dikontrol oleh variabel pendidikan, sosioekonomi, stadium, keterlibatan kelenjar getah bening, histopatologi, pekerjaan, dan subtipe biologis.

There are some evidences that the metabolic changes in breast cancer patients with high body mass index (BMI) associated with insulin resistance and, in particular, the related alteration in cytokine production by adipose tissue which are major contributors to the aggressive behavior of breast cancer that develop through their effects in angiogenesis and stimulation of invasive capasity of cancer cells. Retrospective cohort study conducted at the Dharmais National Cancer Hospital aims to determine the effect of BMI on five-year disease-free survival (DFS) breast cancer patients.
This study was conducted from August to November 2014. The samples in this study were collected consecutively as many as 127 patients. From this study, it is known that the five-year DFS of breast cancer patients was 70.0%. Based on the category of BMI, breast cancer patients with high BMI (>22.9 kg/m2) had the biggest DFS, followed by low BMI (<18,5 kg/m2) and normal BMI (18,5 ? 22,9 kg/m2) that the precentages successively were 75.5%, 68.6%, and 60.4%. Multivariate analysis showed that BMI was not associated with the events of recurrence or metastases (HR 1.055; 95% CI 0.413-2.678) after being controlled by other variables, such as education, sosioeconomic, staging, lymph node involvement, histopathology, occupation, and biological subtypes.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T43328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Geta Junisyahana
"Latar Belakang: Hipotermia pasca bedah merupakan kejadian yang umum terjadi pada pasien pascabedah, khususnya geriatri yaitu sebesar 70%. Hipotermia memiliki dampak serius, antara lain gangguan koagulasi dan perdarahan, gangguan metabolisme obat, infeksi, iskemia miokardial, aritmia, hospitalisasi lama, dan peningkatan morbiditas serta mortalitas pascabedah. Di Indonesia, khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo memiliki karakteristik distribusi status fisik preoperasi, jumlah pemberian cairan, dan indeks massa tubuh yang berbeda dari negara lain.
Tujuan: Studi ini dilakukan untuk menganalisa hubungan status fisik preoperasi, jumlah pemberian cairan kristaloid intraoperasi, dan indeks massa tubuh terhadap hipotermia pascabedah pada pasien geriatri.
Metode: Penelitian menggunakan metode potong-lintang dengan uji observasional terhadap 108 subjek penelitian dari rekam medis sejak November 2018-Januari 2019. Subjek penelitian adalah pasien geriatri yang telah menjalani pembedahan dalam anestesi umum dengan/tanpa anestesi regional dan dirawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Kriteria eksklusi yaitu pasien tidak memiliki catatan rekam medis lengkap, meninggal pada saat operasi atau saat tiba di rumah sakit, dan sudah mengalami hipotermia sebelum pembedahan.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan proporsi hipotermia pascabedah pada pasien geriatri adalah 67,6%. Hasil penelitian antara hipotermia pascabedah dengan status fisik preoperasi, jumlah pemberian cairan kristaloid intraoperasi, dan indeks massa tubuh pada pasien geriatri yaitu nilai p = 0,997, p = 0,310, p = 0,413.
Kesimpulan: Hipotermia pascabedah pada pasien geriatri tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan status fisik preoperasi, jumlah pemberian cairan kristaloid intraoperasi, dan indeks massa tubuh pada pasien geriatri.

Background: Postoperative hypothermia is commonly found in postoperative patients, especially in geriatrics, which is 70%. Hypothermia also has serious effects, including coagulation and bleeding disorders, drug metabolism disorders, infections, myocardial ischemia, arrhythmias, prolonged hospitalization, and increased postoperative morbidity and mortality. In Indonesia, especially in Centre Cipto Mangunkusumo Hospital subjects characteristics, the distribution of preoperative physical status, amount of fluid administration, and body mass index are different from other countries.
Objective: This study was conducted to analyze the association between preoperative physical status, the amount of intraoperative crystalloid fluid administration, and body mass index for postoperative hypothermia in geriatric patients.
Methods: This was a cross-sectional observational study which included 108 research subjects and obtained from the medical records since November 2018-January 2019. Subjects were geriatric patients who under going surgery with general anesthesia with/without regional anesthesia in Centre dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Exclusion criteria were patient who did not have a complete medical record, died during surgery or when arrived at the hospital, and had history of hypothermia before surgery.
Results: In this study, the incidence of postoperative hypothermia among geriatric patients was 67.6%. The results of the study between postoperative hypothermia with preoperative physical status, the amount of intraoperative crystalloid fluid administration, and body mass index in geriatric patients were p = 0.997, p = 0.310, p = 0.413.
Conclusion: Postoperative hypothermia in geriatric patients did not have significant association with preoperative physical status, amount of intraoperative crystalloid fluid administration, and body mass index in geriatric patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>