Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144800 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Fatima Azzahra
"Latar belakang: Kondisi penyakit periodontal dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi.Pada teknik radiografi digitaldapat dilakukan image enhancement untuk memperbaiki kualitas gambar dengan mengoptimalkan brightness dan contrast. Tujuan :Mengetahui batasan valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightnessdan contrast pada kasus periodontitis mild - moderate.Metode :Dilakukan image enhancementdengan mengubah brightnessdan contrastpada 100 radiograf dengan kasus periodontitis mild-moderatedengan interval poin -20,-10, +10 dan +20 pada setiap sampel pada masing-masing kelompok menggunakan program software Digora for Windows. Hasil :Valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightness pada kasus periodontitis mild-moderateberkisarpada valuedibawah +10 dan yang dapat ditoleransi dalam pengaturan contrastberkisardari valuediatas -20.Kesimpulan :Pengaturan brightnessdan contrastdilakukan pada valuetersebut tidak akan mempengaruhi ataupun mengubah interpretasi radiografik periodontitis mild - moderatejika dilakukan pada value toleransinya.

Background :Periodontal disease condition can be checked by clinical and radiograph examination. In digital radiography techniques, image enhancement can be done to improve image quality by optimizing brightness and contrast. Objective :To determine the limit of values that can be tolerated in brightness and contrast setting in mild-moderate periodontitis cases. Methods :Adjust the image enhancement setting by changing the brightness and contrast of 100 radiographs with mild-moderate periodontitis with points intervals of -20, -10, +10 and +20 each sample in each group using the Digora for Windows. Result :Values that can be tolerated in brightness setting in interpretation of mild-moderate periodontitis rangeat values below +10 and values that can be tolerated in contrast setting rangefrom values above -20. Conclusion :Brightness and contrast adjustment made at these values will not affect the radiographic interpretation of mild-moderate periodontitis if carried out at their tolerance values."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelvy Nur Utami
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui nilai batas toleransi pengaturan brightness dan
contrast pada radiograf digitized dengan diagnosis periodontitis apikalis dan abses
dini. Metode: Pengaturan brightness dan contrast pada 60 radiograf periapikal
dengan periodontitis apikalis dan abses dinioleh 2 pengamat. Uji reliabilitas
dengan Kappa Coefficient dan kemaknaan dengan uji wilcoxon. Hasil: Nilai batas
toleransi periodontitis apikalis adalah -5 dan +5, abses dini adalah -10 dan +10,
dan gabungan keduanya adalah -5 dan +5. Kesimpulan: Pengaturan nilai
brightness dan contrast yang terlalu tinggi dapat mengubah evaluasi lesi
pulpoperiapikal dan diagnosis banding lesi pulpoperiapikal.

ABSTRACT
Objective: To measure the tolerance limit value of brightness and contrast
adjustment on digitized radiograph with apical periodontitis and early abscess.
Method: Brightness and contrast adjustment on 60 periapical radiograph with
apical periodontitis and early abscess made by 2 observers. Reliabilities tested by
Kappa Coeficient and significancy tested by wilcoxon test. Results: Tolerance
limit value for apical periodontitis is -5 and +5, early abscess is -10 and +10, and
both is -5 and +5. Conclusion: Brightness and contrast adjustment which not
appropriate can alter the evaluation and differential diagnosis of periapical lesion.
"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikail
"Latar Belakang: Penerapan teknik image enhancement pada radiografi digital saat ini dilakukan berdasarkan preferensi subjektif pengamat. Pengaturan peningkatan citra dilakukan untuk memperjelas citra radiografi, antara lain dengan mengubah kecerahan dan kontras, sehingga memudahkan interpretasi dalam penanganan kasus. Tujuan: Untuk mengetahui toleransi nilai kecerahan dan kontras pada radiografi digital kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini yang gambaran radiografinya sulit dibedakan. Metode: Menyesuaikan pengaturan peningkatan gambar dengan menyesuaikan nilai kecerahan dan kontras pada nilai +10, +15, -10, -15 yang akan diamati, diproses, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak analisis data. Hasil: Kisaran nilai yang dapat ditoleransi dalam pengaturan peningkatan dan penurunan kecerahan dan kontras pada kasus periodontitis apikal dan abses apikal dini adalah di bawah +10 dan di bawah -10. Kesimpulan: Mengatur kecerahan dan kontras ke nilai di atas 10 untuk peningkatan dan penurunan dapat mengubah informasi diagnostik secara signifikan.

Background: The application of image enhancement techniques in digital radiography is currently carried out based on the subjective preference of the observer. Image enhancement settings are made to clarify the radiographic image, among others by changing the brightness and contrast, so as to facilitate interpretation in case management. Objective: To determine the tolerance for brightness and contrast values ​​on digital radiography of cases of apical periodontitis and early apical abscess whose radiographic features are difficult to distinguish. Method: Adjust the image enhancement settings by adjusting the brightness and contrast values ​​at +10, +15, -10, -15 values ​​to be observed, processed, and analyzed using data analysis software. Results: The range of tolerable values ​​in the setting of increasing and decreasing brightness and contrast in cases of apical periodontitis and early apical abscess was below +10 and below -10. Conclusion: Setting the brightness and contrast to values ​​above 10 for increase and decrease can significantly change the diagnostic information."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Purnamasari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pada teknik radiografi digitized, image enhancement dilakukan
untuk memperbaiki kualitas gambar dengan mengoptimalkan brightness dan
contrast. Tujuan: Mengetahui rentang nilai yang dapat ditoleransi pada
pengaturan brightness dan contrast pada abses apikalis kronis dan granuloma
apikalis. Metode: Dilakukan pengaturan image enhancement dengan mengubah
nilai brightness dan contrast pada 60 radiograf dengan diagnosis abses apikalis
kronis dan granuloma apikalis. Hasil: Rentang nilai yang dapat ditoleransi pada
pengaturan brightness dan contrast dalam interpretasi abses apikalis kronis dan
granuloma apikalis berkisar dari -10 hingga +10. Kesimpulan: Pengaturan
brightness dan contrast radiograf tidak mempengaruhi interpretasi radiografik
apabila pengaturan dilakukan dalam rentang nilai toleransinya.

ABSTRACT
Background: In digitized radiography techniques, adjusment of image
enhancement can be done to improve image quality by optimizing brightness and
contrast. Objective: To determine the value range of brightness and contrast
adjustment on chronic apical abscess and apical granuloma interpretation.
Methods: 60 radiographs diagnosed chronic apical abscess apical granuloma
were adjusted by changing brightness and contrast values. Results: The value
range of brightness and contrast adjustments on radiographic interpretation of
chronic apical abscess and apical granuloma ranging from -10 to +10.
Conclusion: Brightness and contrast adjustments on digital radiograph do not
affect radiographic interpretation if conducted within the value range."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anisa Auriani Pribadi
"Skripsi ini bertujuan untuk mencari penjelasan teoretis dari keadaan pencahayaan pada museum di Jakarta yang beroperasi pada siang hari. Penelitian ini berpusat pada kontras tingkat terang antara system pencahayaan Task dan Ambient yang mengurangi kualitas penglihatan di dalam museum tersebut. Pembahasan isu skripsi ini juga didukung dengan pedoman konservasi, tingkat terang umum, rasio illuminance, adaptasi, dan silau. Hubungannya dengan ketajaman visual juga dipertimbangkan untuk memahami kontribusi kontras tingkat terang dalam menciptakan lingkungan museum bercahaya yang relevan.
Analisis didasarkan pada perbandingan antara prinsip pencahayaan museum, data observasi dan wawancara di tiga museum studi kasus, dan data pengunjung yang diperoleh melalui kuesioner online. Penelitian ini menunjukkan bahwa kontras tingkat terang yang tinggi pada sistem pencahayaan task/ambient mengurangi kenyamanan dan ketajaman visual. Adaptasi dan silau juga mempengaruhi ketajaman visual. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semua museum studi kasus belum berhasil menciptakan lingkungan museum bercahaya yang relevan.

This research is based on a pursuit of theoretical explanation regarding inappropriate lighting condition in daytime museums located in Jakarta. The thesis focuses on brightness contrast between task and ambient lighting systems as the issue that has lessened the quality of vision inside such museums. The issue is further discussed by considering conservation guidelines, general perceived brightness, illuminance ratio, adaptation and glare. A relationship to visual acuity is also included to understand the contribution of brightness contrast in creating a relevant luminous museum environment.
Analysis is based on comparison between museum lighting principles and data collected through observation and interviews in three case study museums, and visitor data collected through online questionnaire. The research shows that high task/ambient brightness contrast results in less visual comfort and less visual acuity. Adaptation and glare also contribute in determining visual acuity. The research also shows that none of all case study museums have successfully achieved relevant luminous museum environment.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S55405
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Suciati
"ABSTRAK
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perbedaan berbagai parameter
posturografi pada risiko jatuh derajat ringan dan sedang.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada 163 usila yang mampu ambulasi
mandiri, terdiri dari 108 subjek dengan risiko jatuh ringan dan 55 subjek dengan
risiko jatuh sedang yang datang ke poli geriatri terpadu dan poli Departemen
Rehabilitasi Medik RSCM. Parameter posturografi statik (Gravicorder GS-Anima
3000, Tokyo-Japan) adalah panjang ayun tubuh (PA), kecepatan ayun tubuh (KA),
Luas area (LA), Romberg quotient (RQ) dan deviasi Centre of Pressure (COP).
Penilaian posturografi dilakukan dalam 4 kondisi yaitu keadaan mata terbuka dan
tertutup serta dengan atau tanpa busa. Risiko jatuh dinilai dengan Berg Balance Scale
(BBS).
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nilai PA, KA, LA dan RQ
antara kedua kelompok risiko jatuh, namun hanya nilai LA yang bermakna secara
statistik. Terdapat kecenderungan deviasi COP ke arah antero-posterior (AP)
dibandingkan ke arah medio-lateral (ML) pada kedua kelompok risiko jatuh.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara panjang ayun tubuh,
kecepatan ayun tubuh serta Romberg quotient pada kelompok usila dengan risiko
jatuh ringan dan risiko jatuh sedang. Terdapat perbedaan yang bermakna luas area
ayun tubuh pada kelompok usila dengan risiko jatuh ringan dan risiko jatuh sedang.
Kata kunci: usila, risiko jatuh, posturografi statik, Berg Balance Scale

ABSTRACT
Study purpose: To evaluate different parameters of static posturography in elderly
with mild and moderate risk of falls that lives in community.
Methods: A cross sectional study was conducted in 163 elderly who can ambulate
independently without assistive device in Poliklinik Geriatri Terpadu, PM&R
department and Neuro-Otology division ENT department RSCM. There were 108
subjects with mild risk of falls and 55 subjects with moderate risk of falls. Static
posturography (Gravicorder GS-Anima 3000, Tokyo-Japan) parameters were length
of body sway (LNG), velocity of body sway (LNG/TIME), Envelope Area (ENV),
Romberg quotient (RQ) and Centre of Pressure (COP) deviation. Posturography
measurement was taken in four conditions, with eyes open (EO) and closed (EC) and
also with and without rubber foam (R). Risk of falls measurement was using Berg
Balance Scale (BBS).
Results: There were different values in length of body sway (LNG), velocity of body
sway (LNG/TIME) and Romberg quotient (RQ). Envelope Area (ENV) has
statistically significant value between mild and moderate risk of falls. The COP was
tended to deviate more in antero-posterior (AP) than in medio-lateral (ML) direction.
Conclusion: The values of length of body sway (LNG), velocity of body sway
(LNG/TIME) and Romberg quotient (RQ) has not statistically significant. Envelope
Area (ENV) has statistically significant value between mild and moderate risk of falls"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditarahma Imaningdyah
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui hubungan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang yang diukur secara bertahap pada saat pasien tiba di rumah sakit, beberapa jam pasca trauma, dan sekian hari perawatan di rumah sakit, sehingga dapat digunakan sebagai petanda kerusakan otak.
Latar belakang : Cedera otak menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Diagnosis cedera otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan atau MRI untuk melihat kerusakan anatomi. Pemeriksaan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang dengan menggunakan bahan serum diperlukan untuk mendeteksi dan dapat untuk mengevaluasi adanya kerusakan otak pasca traumatik.
Metode : Subyek penelitian adalah orang sehat dan pasien cedera otak ringan dan sedang berdasarkan nilai SKG, pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan, yang diambil darahnya untuk pemeriksaan kadar protein S100 pada saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan. Pemeriksaan kadar protein S100 dalam serum menggunakan Elecsys S100 dengan prinsip ECLIA.
Hasil : Terdapat perbedaan bermakna (p = 0,001) pada semua kadar protein S100 yang diukur saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan, baik pada pasien cedera ringan maupun sedang. Puncak kadar protein S100 tercapai pada 6 jam pasca trauma pada pasien cedera otak ringan dan sedang. Kadar protein S100 pada pasien cedera otak sedang saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasien cedera otak ringan (median 0,259 μg/L rentang 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001) dan kadar protein S100 pasien cedera otak ringan saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kadar protein S100 orang sehat (median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L vs rerata 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).
Kesimpulan : Pada pasien cedera otak ringan dan sedang saat tiba di rumah sakit sudah terdapat peningkatan kadar protein S100 secara bermakna dibandingkan dengan orang sehat. Protein S100 dapat digunakan sebagai petanda untuk deteksi dan evaluasi kerusakan otak pasca traumatik.

ABSTRACT
Objective: To identify the relation of protein S100 level in mild and moderate brain injury patient, which is measured repeatedly at admission, few hours post trauma, and few days of hospitalization, thus it can be used as brain injury biomarker.
Background: Brain injury becomes worldwide public health issue since it may cause disability and mortality. The diagnosis of brain injury is made based on clinical neurology examination, and CT scan or MRI, to observe anatomical impairment. Serum S100 protein examination in mild and moderate brain injury patients is needed to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury.
Method: This research subject is healthy people and patients with mild and moderate brain injury, based on their GCS grade, clinical neurologic examination, and CT scan. On these patients, the blood for S100 protein examination is taken at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and last day of hospitalization. Examination of a serum S100 protein is conducted using Elecsys S100 with ECLIA method.
Result: There is significant difference (p = 0,001) in mild or moderate brain injury patients in all serum S100 protein which is measured at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and the last day of hospitalization. The peak level of serum S100 protein reached at 6 hours post trauma. Serum S100 protein in moderate brain injury patients at admission is significantly higher than the mild ones (median 0, 259 μg/L range 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001), and serum S100 protein in mild brain injury patients is also significantly higher than healthy people (median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L vs mean 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).
Conclusion: In mild and moderate brain injury patients, serum S100 protein is already significantly increased at admission, compared to healthy people. Serum S100 protein can be used as brain injury biomarker to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Hamidah
"Kövecses (2004:127) menyatakan bahwa ungkapan metaforis tidak dapat lepas dari kognisi manusia. Kognisi tersebut berasal dari pengalaman yang terjadi, yang dirasakan oleh tubuh atau indra manusia, kemudian diproses oleh otak, lalu diungkap melalui bahasa, termasuk ungkapan metaforis. Penelitian ini akan dibahas unsur-unsur semantik apa saja yang menjadi ranah sumber metafora, konsep emosi (Kövecses) dan klasifikasi metafora konseptual apa yang muncul (Lakoff dan Johnson). Subjek penelitian akan bersumber dari mahasiswa baru (angkatan 2018) yang diduga menderita depresi ringan dan sedang. Mahasiswa akan diberikan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan PHQ 9 untuk mengetahui tingkat depresi dan kemudian mereka diminta untuk menuliskan pengalaman suka dan duka mereka sebagai mahasiswa baru. Dalam menceritakan pengalamannya sebagai mahasiswa baru tersebut muncul metafora yang dipengaruhi oleh kondisi mental mereka. Metafora yang bersifat emotif inilah yang menjadi fokus penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa mahasiswa yang diduga menderita depresi ringan dan sedang tidak mengalami gangguan dalam proses kognitif yang berfungsi pada pembentukan metafora; sebanyak 53% metafora pada penelitian ini merupakan metafora emosi negatif; unsur semantis dan konsep emosi metafora pada data dipengaruhi oleh kondisi mental dan juga dipengaruhi latar belakang sosial dan budaya terlihat dari beragamnya unsur semantis yang muncul

According to Kövecses (2004:127), metaphorical expressions cannot be separated from human cognition. Cognition comes from experiences that occur, which are felt by the human body or senses, then processed by the brain, then expressed through language, including metaphorical expressions. Cognition comes from experiences that occur and being felt by the human body or senses, and then being processed by the brain and expressed through languages, including metaphorical expressions. This research will discuss: the semantic elements as the source domains of metaphors, the concept of emotions (Kövecses) and the classification of conceptual metaphors that emerge (Lakoff and Johnson). This research involved first-year college students (class of 2018) as informants who are suspected of suffering from mild and moderate depression. The students will be given a questionnaire consisting of PHQ 9 questions to find out the level of depression. Afterwards, they were asked to write down their experiences as a new student. The emotion metaphor influenced by their mental state is the focus of the research. The results revealed that students suspected of suffering from mild and moderate depression did not experience interference in cognitive processes that take a part in creating metaphors; 53% of metaphors in this research are negative emotion; Semantic elements and the concept of metaphorical emotions in data are influenced by mental state as well as social and cultural backgrounds which are seen from the various semantic elements that appear."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Pradhana
"Prevalensi gejala depresi pada orang dengan demensia ODD berkisar 30-50 . Hal ini menandakan bahwa pada sebagian besar ODD gejala depresi timbul beriringan dengan penurunan kognitif. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa gejala depresi pada demensia timbul karena ODD kehilangan kemandirian dalam beraktivitas sehari-hari serta melupakan banyak hal esensial dalam hidup, seperti nama keluarga dan kerabat, terutama pada ODD dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Penelitian ini ingin melihat apakah terdapat korelasi antara skor gejala depresi dan skor kognitif global dengan memeriksa 42 ODD menggunakan Montgomery-Asberg Depression Rating Scale MADRS untuk menilai skor gejala depresi dan Mini Mental State Examination MMSE untuk menilai skor kognitif global. Pada penelitian ini ODD yang digunakan sebagai subjek penelitian dibatasi, yaitu hanya ODD dengan rentang skor MMSE 17-23 gangguan kognitif ringan dan MADRS.

T is estimated that 30 50 of people with dementia PWD suffer from significant depression. This fact marks that in most PWD, depression occurs at the same time with cognitive decline. Several researches explain that this happens because PWD cannot run their daily activities independently and forgot many essential things, such as family. It is also known that depression occurs more in highly educated people. Therefore, this research is made with the intention to find the correlation between the depression score and global cognitive score in 42 PWD using Montgomery Asberg Depression Rating Scale MADRS to assess the symptoms of depression and Mini Mental State Examination MMSE to assess te global cognitive score. PWD that are included in this research restricted only they who had MMSE score between 17 and 23 mild cognitive impairment , and MADRS score below 34 no depression, mild depression, and moderate depression . Of 42 subjects, depression occurred in 41 97,6 of 42 subjects and the global cognitive score mean is 19,53. Depression score has a strong correlation with global cognitive score r 0,647, p"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Oktarini
"Penelitian mengenai efektivitas favipiravir pada COVID-19 di beberapa negara memberikan hasil yang beragam. Studi populasi Indonesia masih terbatas pada derajat sedang dan berat. Evaluasi efektivitas dan keamanan favipiravir pada tingkat keparahan ringan dan sedang diperlukan dalam melengkapi pedoman terapi dengan bukti yang sesuai. Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif menggunakan rekam medis pasien COVID-19 derajat ringan dan sedang yang dirawat di RS Grha Permata Ibu Depok pada Juli 2020 hingga 2021. Efektivitas dinilai berdasarkan perbaikan klinis saat keluar rumah sakit, hasil PCR akhir, status oksigenasi, dan durasi rawat. 192 rekam medis pasien rawat inap COVID-19 dibagi dalam kelompok favipiravir (n=96) dan non-favipiravir (n=96). Favipiravir memberikan perbaikan klinis yang lebih baik dengan effect size yang kecil (p=0,038; RR=1,19; 95% CI=1,02-1,39). Namun setelah dikontrol variabel usia, jumlah komorbid, dan oksigenasi awal, pemberian favipiravir meningkat menjadi 2,55 kali lebih efektif daripada non-favipiravir. Favipiravir juga memberikan pengaruh signifikan pada hasil PCR akhir serta durasi rawat inap (p=0,009 ; 0,002) namun tidak memberikan perbedaan dalam status oksigenasi (p=0,097). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada proporsi kejadian yang tidak diinginkan (KTD) selama pemberian favipiravir (30%) dan non-favipiravir (23%) (p=0,33). Pemberian favipiravir secara signifikan terkait dengan peningkatan perbaikan klinis pasien COVID-19. KTD yang muncul selama terapi relatif aman.

Research on the effectiveness of favipiravir against COVID-19 has yielded mixed results in several countries. Study in Indonesian population was still limited in moderate to severe COVID-19. Assess the efficacy and safety of favipiravir at mild to moderate severity is necessary to complement therapy guidelines with appropriate evidence. The study was conducted in a retrospective cohort using medical records of COVID-19 hospitalized patients at Grha Permata Ibu Hospital Depok from July 2020 to 2021. Efficacy was assessed using clinical improvement at discharge, final PCR results, oxygenation status, and lenght of stay. Medical records of 192 COVID-19 hospitalized patients were divided into favipiravir (n=96) and non-favipiravir (n=96) groups. Favipiravir provided better clinical improvement with small effect size (p=0.038; RR=1.19; 95% CI=1.02-1.39). However, after controlling age, number of comorbidities, and initial oxygenation variables, favipiravir 2.55 times more potent than non-favipiravir. Favipiravir also had a significant effect on final PCR results and length of stay (p=0.009;0.002), but has no difference in oxygenation status (p=0.097). There was no difference in the adverse drug reactions during treatment with antiviruses (p=0.33). Favipiravir administration was significantly associated with enhanced clinical improvement in COVID-19 patients. Side effects that occur during treatment are relatively safe."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>