Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leonardus Ariotirto Wibisono
"ABSTRAK
Tulisan ini berusaha untuk membahas konflik tanah adat yang terjadi di Papua dengan menggunakan studi kasus perusakan lahan sagu di Kampung Harapan, Sentani. Konflik yang terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan norma-norma budaya tentang tanah di dalam masyarakat. Perbedaan norma-norma budaya inilah yang membentuk persepsi masyarakat dalam memandang dan menilai tanah. Persepsi-persepsi tersebut seharusnya tidak dapat disamaratakan karena masing-masing budaya memiliki nilai dan norma yang berbeda-beda. Culture as crime menjelaskan bahwa norma budaya tidak dapat digeneralisir oleh sebuah budaya. Ketika generalisir dilakukan, maka masyarakat akan cenderung subjektif dalam melihat budaya lain. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap suatu budaya. Proses kriminalisasi ini lah yang menjadi pemicu konflik karena adanya persinggungan dua atau lebih kebudayaan.

ABSTRACT
This paper discusses indigenous land conflicts that occur in Papua by using case studies of the destruction of sago land in Kampung Harapan, Sentani. The conflicts that occur are caused by differences in cultural norms about land in society. Differences in cultural norms that shape people's perceptions of land. Perceptions must not be generalized because each culture has different values and norms. Culture as a crime explains cultural norms that cannot be generalized by a culture. When generalizing is done, it will be very subjective in seeing a culture that can lead to the criminalization of a culture. This process of criminalization is what triggers conflict because of the intersection of two or more cultures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge.
"
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Azlin Tauchid
"Penggusuran merupakan fenomena di perkotaan terkait pembangunan dalam upaya peningkatan kualitas kotadanmanusia. Didalam praktik penggusuran yang terjadi, seringkali penggusuran yang dilakukan berujung pada konflik dan luka sosial sehingga menimbulkan reaksi dari korban yang tergusur. CAP 16 Kampung merupakan salah satu bentuk reaksi dari korban penggusuran yang dilakukan dengan membangun koalisi diantara masyarakat dan menuntut agar diikut sertakannya masyarakat didalam penataan kota. Proses CAP 16 Kampung yang mengedepankan dialog dan partisipatif sejalan dengan penyelesaian dalam perspektif kritis, salah satunya Peacemaking Criminology. Dalam pendekatan perspektif Peacemaking Criminology, proses CAP 16 Kampung yang dilakukan pada kampung yang telah tergusur berjalan dengan lebih baik karena sudah terbangun empati di masyarakat karena adanya empati yang lahir dari proses menderita secara bersama-sama dan adanya afirmasi dari korban penggusuran atas nasib mereka. Pada kampung Muara Baru yang sekedar diwacanakan untuk digusur, proses CAP 16 Kampung belum berjalan dengan baik karena tidak adanya ancaman penggusuran yang nyata dan belum adanya afirmasi dari kampung tersebut karena belum terbentuk empati.

Eviction is phenomenon that happens in city livelihood related to city and human life development. In practice, eviction could lead to conflicts and social injury in which it causes reactions from the victims. CAP 16 Kampung is one of the reactions, in which the victims started a coalition to demand their participation in city development. CAP 16 Kampung process that involves dialogs and participatory actions are in line with Peacemaking Criminology perspective. From Peacemaking Criminology approach, CAP 16 Kampung in the evicted Kampung Akuarium fares much better due the already existing empathy and their affirmation actions about their shared fate as evicted victims. The other kampung, Kampung Muara Baru that yet tobe evicted doesnt have thesame degree of success because they didnt share the same threat as Akuarium did and there is no solid affirmation from them due the lacks of empathy being built."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T54601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Anggia Suhada
"Konflik penyerahan tanah ulayat merupakan konflik yang banyak terjadi di Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Konflik ini terjadi ketika ninik mamak melakukan penyerahan tanah ulayat secara sepihak atau tanpa musyawarah dengan masyarakat hukum adat terlebih dahulu. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat adalah dengan mediasi dan musyawarah. Konflik penyerahan tanah ulayat dan penyelesaiannya akan dianalisis dengan perspektif peacemaking criminology. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kajian pustaka dan studi data sekunder terhadap kasus-kasus yang ada di Nagari, Provinsi Sumatera Barat. Dengan menggunakan teori violence as unresponsiveness dari Pepinsky, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana peran dan tanggung jawab ninik mamak dalam penyerahan tanah ulayat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah integrasi dari masyarakat diperlukan untuk menolak keberadaan perusahaan di tanah ulayat mereka. Integrasi ini didapatkan ketika masyarakat menyelesaikan konflik internal dengan pemimpin adat. Kemudian masyarakat bergerak bersama untuk menyelesaikan konflik dengan perusahaan.

Conflict of handover communal land is a conflict that often occurs in Minangkabau, West Sumatera Province. This conflict occurred when ninik mamak handed over communal land unilaterally or without deliberation with indigenous peoples first. Settlement of conflicts carried out by indigenous peoples is through mediation and deliberation. Conflict of handover communal land and its solution will be analyzed by peacemaking criminology perspective. The method used in this paper is a literature review and secondary data study of cases in Nagari, West Sumatera Province. By using Pepinsky's theory of violence as unresponsiveness, this paper will explain how the role and responsibility of ninik mamak in the handover case of communal land. The conclusion of this paper is that integration from the community is needed to reject the existence of companies in their communal land. This integration is obtained when the community resolves internal conflicts with traditional leaders. Then the community work together to resolve conflicts with the company."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Olidita Indahrami Sanggenafa
"Tesis ini membahas tentang Peran Dewan Adat Suku Sentani (DASS) dalam penyelesaian KDRT yang dialami perempuan Sentani. Masyarakat Sentani sudah mengenal DASS yang didirikan pada tahun 2002 dan memiliki beberapa fungsi dalam urusan aspek politik, aspek ekonomi, hukum, keamanan, dan keagamaan. Kajian ini lebih terfokus kepada DASS sebagai lembaga hukum yang berfungsi dan bertugas menyelesaikan masalah-masalah adat dalam suku Sentani, khususnya konflik KDRT pada perempuan Sentani. Masalah penelitiannya adalah: faktor apa yang mendorong perempuan Sentani memilih menyelesaikan konflik KDRT melalui DASS.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi pada sidang-sidang DASS. Wawancara dilakukan terhadap perempuan korban KDRT, ketua DASS, wakil gereja, tokoh adat, tokoh masyarakat, pelaku KDRT, dan warga masyarakat Sentani lainnya.
Perempuan Sentani yang mengalami KDRT mencari penyelesaian melalui DASS karena alasan unsure kedamaian dalam persidangan, denda adat, dan menghindar rasa malu. Terkait dengan denda adat, terjadi perubahan bentuk dendanya yaitu yang semula berupa benda tertentu (tomako batu, manic-manik, dan gelang batu) menjadi rupiah. Sekalipun perempuan korban KDRT memperoleh penyelesaian secara adat, namun penyelesaian itu belum memberikan rasa keadilan bagi mereka.
Makanya KDRT di Sentani menimbulkan perbedaan pandangan pada beberapa pihak. Pemerintah daerah, gereja, dewan adat, kaum perempuan, dan korban memandang bahwa KDRT adalah pelanggaran HAM yang harus dihukum. Sementara pelakuk KDRT dan laki-laki muda berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang biasa dalam budaya Sentani. Dalam perspektif antropologi, KDRT di Sentani merupakan persoalan antara kebudayaan dan hak yang mewarnai perdebatan mengenai relativisme budaya.

This thesis discusses the role of Sentani Tribal Council in the resolution of domestic violence experienced by Sentani woman. Sentani society acknowledges that Sentani Tribal Council established in has several functions in political, economic, legal, security, and religion affairs. This study focused on the Sentani Tribal Council as a legal institution in solving domestic violence against Sentani women. The research problem is: what factors encourage Sentani women choose resolving domestic conflicts through Sentani Tribal Council.
This is a qualitative research which employed in depth interview technique and observation in the DASS courts. Interviews were carried out to victim of domestic violence, head of tribal council, adat and community leaders, domestic violence doer, and Sentani people.
Sentani women who were victim of domestic violence went to DASS to solve their problem due to several reasons, namely peaceful court, customary fine and avoiding shame. There is a change in the customary fine from certain goods to rupiah currency. Although Sentani women obtained conflict resolution in the DASS, but it did not provide justice yet.
There are different views on domestic violence in Sentani. Some parties local government, church, tribal council, women and victim perceived that domestic violence is violating human rights, therefore, must be sentenced. While the doers and young men in Sentani perceived that violence against women is common in their culture. From anthropological perspective, domestic violence in Sentani is a debate between culture and rights in the context of cultural relativism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T38832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yosepine Christina
"Klithih merujuk pada aksi kekerasan di jalanan Yogyakarta pada malam hari. Fenomena ini tidak terbatas pada perilaku iseng remaja, namun telah berubah menjadi subkultur yang kompleks di Yogyakarta. Tugas karya akhir ini membahas bagaimana  klithih dilihat masyarakat sebagai perilaku yang bersifat kriminogenik sedangkan klithih dikontestasikan sebagai kegiatan kultural oleh pelaku klithih itu sendiri. Adanya perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari eksistensi konflik budaya. Pengumpulan data diperoleh melalui studi literatur. Pembahasan tulisan ini dibantu dengan perspektif kriminologi budaya dan teori subkultur delinkuen milik Albert Cohen, serta konsep kebudayaan, konfllik budaya dan subkultur. Hasilnya,  konflik budaya antara pelaku klithih dengan masyarakat Yogyakarta terjadi karena adanya perbedaan interpretasi terhadap nilai dan norma yang ada. Konflik budaya menjadi akar dari pembentukan wacana yang cenderung negatif terhadap klithih sebagai

Klithih refers to violent acts on the streets of Yogyakarta at night. This phenomenon is not limited to juvenile fad behavior, but has turned into a complex subculture in Yogyakarta. This final project discusses how klithih is seen by the community as criminogenic behavior while klithih is contested as a cultural activity by the klithih actors themselves. The existence of these different views cannot be separated from the existence of cultural conflicts. Data collection was obtained through literature study. The discussion of this paper is assisted by the perspective of cultural criminology and delinquent subculture theory by Albert Cohen, also the concept of culture, cultural conflict and subculture. As a result, cultural conflicts between klithih actors and the people of Yogyakarta occur because of different interpretations of existing values and norms. Cultural conflict is the root of the formation of discourse that tends to be negative towards klithih as a reactive subculture in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosepine Christina
"Klithih merujuk pada aksi kekerasan di jalanan Yogyakarta pada malam hari. Fenomena ini tidak terbatas pada perilaku iseng remaja, namun telah berubah menjadi subkultur yang kompleks di Yogyakarta. Tugas karya akhir ini membahas bagaimana klithih dilihat masyarakat sebagai perilaku yang bersifat kriminogenik sedangkan klithih dikontestasikan sebagai kegiatan kultural oleh pelaku klithih itu sendiri. Adanya perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari eksistensi konflik budaya. Pengumpulan data diperoleh melalui studi literatur. Pembahasan tulisan ini dibantu dengan perspektif kriminologi budaya dan teori subkultur delinkuen milik Albert Cohen, serta konsep kebudayaan, konfllik budaya dan subkultur. Hasilnya, konflik budaya antara pelaku klithih dengan masyarakat Yogyakarta terjadi karena adanya perbedaan interpretasi terhadap nilai dan norma yang ada. Konflik budaya menjadi akar dari pembentukan wacana yang cenderung negatif terhadap klithih sebagai reactive subculture di masyarakat.

Klithih refers to violent acts on the streets of Yogyakarta at night. This phenomenon is not limited to juvenile fad behavior, but has turned into a complex subculture in Yogyakarta. This final project discusses how klithih is seen by the community as criminogenic behavior while klithih is contested as a cultural activity by the klithih actors themselves. The existence of these different views cannot be separated from the existence of cultural conflicts. Data collection was obtained through literature study. The discussion of this paper is assisted by the perspective of cultural criminology and delinquent subculture theory by Albert Cohen, also the concept of culture, cultural conflict and subculture. As a result, cultural conflicts between klithih actors and the people of Yogyakarta occur because of different interpretations of existing values and norms. Cultural conflict is the root of the formation of discourse that tends to be negative towards klithih as a reactive subculture in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferrell, Jeff
London: Sage, 2008
364.25 FER c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>