Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154269 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekar Jatiningrum
"Penelitian ini membahas tentang proses pembentukan konsep diri pada penari di Jakarta dengan kategori usia dewasa muda. Menggunakan konsep dasar dari teori interaksional simbolik, penelitian ini juga melihat bagaimana para penari bertukar simbol untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Tindakan yang dilakukan oleh para penari tersebut digali lebih dalam untuk memahami bagaimana interaksi yang mereka lakukan membentuk konsep diri mereka dan juga bagaimana keputusan serta cara mereka berkomunikasi dibangun dari konsep diri yang mereka miliki. Oleh sebab itu, dapat dikatakan pertukaran simbol yang penari lakukan melibatkan dua komponen penting dalam diri mereka, yaitu profesi sebagai penari serta aktivitas menari yang dijalankan sehari-hari. Penemuan dari penelitian ini menyatakan bahwa masing-masing komponen memberikan peran tersendiri bagi konsep diri individu dengan proses dan takaran yang beragam. Hal tersebut juga didasari oleh kaitan beberapa aspek yang mendukung, seperti bagaimana para individu memulai memutuskan untuk mengikuti aktivitas menari, cara mereka merespon pandangan orang lain tentang profesinya, nilai dan tujuan yang mereka bentuk dalam menari, serta konsekuensi dari menari itu sendiri. Semua aspek tersebut dirangkum dan digali dari para individu melalui wawancara mendalam untuk mendapatkan data dari pengalaman serta pemaknaan yang mereka punya. Untuk dapat melihat proses pembentukan konsep diri dengan lebih komprehensif, penelitian.

This study discusses the process of forming self-concept in dancers in Jakarta with young adult age categories. Using the basic concepts of symbolic interactional theory, this study also looks at how dancers exchange symbols to try and discuss with the surrounding environment. The actions taken by the dancers were explored more deeply to discuss about how they made their self-concept and also how to decide how they would build from the self-concept they made. Therefore, it can be discussed symbols that dancers do two important components for themselves, namely dancers and activities performed daily. The findings from this study state that each component provides its own role for individual self-concepts with diverse processes and measurements. This is also based on the renewal of several supporting aspects, such as how individuals begin to decide to participate in dance activities, how they respond to other people's views about their profession, the values and goals they make in the form of dancing, and discuss from the work itself. All aspects are summarized and explored from individuals through interviews to get data from their experience and meaning. To be able to see the process of making self-concept with more complete research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdiyanto
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2017
792.802.809.2 NUR d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yos Rizal Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah gambaran peran jenis
kelamin pria penari tarian tradisional. Pemilihan pokok permasalahan dilandasi oleh
kenyataan bahwa umumnya pria (khususnya remaja pria) tidak tertarik menjadi penari.
Ketidak-tertarikan pria untuk menjadi penari dapat disebabkan oleh unsur-unsur tarian
(gerak, ekspresi, dan ritme), dan juga ketrampilan penunjang tarian (diantaranya tata rias
wajah dan tubuh), yang kesemuanya itu cenderung menuntut pria untuk lebih
mengembangkan sifat/ciri-ciri feminin (kewanitaan).
Kehidupan sanggar tari yang umumnya wanita menjadikan kaum pria sebagai
golongan minoritas. Pergaulan bersama wanita akan menyebabkan remaja pria Iebih
menginternalisasikan nilai-nilai dan ketrampilan wanita, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan ia lebih terpengaruh oleh sifat-sifat feminin. Kondisi ini lebih diperparah
lagi oleh berkembangnya stereotip peran jenis kelamin didalam masyarakat, akibatnya
sebagai golongan minoritas para penari pria sering dianggap memiliki sifat-sifat dari
golongan mayoritasnya (wanita).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas diperkirakan adanya hubungan antara peran jenis
kelamin penari pria dengan faktor-faktor seperti : usia mulai menari, lamanya bergabung
dalam sanggar tari, dan banyaknya tarian yang dikuasai.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1996 sampai Desember 1996,
terhadap sejumlah sanggar tari tradisional di Jakarta. Subyek penelitian adalah penari pria
yang berusia remaja, yaitu mulai dari 11 tahun sampai 24 tahun. Subyek diambil secara
accidental/incidental sampling dengan teknik non probability sampling. Subyek
penelitian yang berhasil diperoleh berjumlah 71 orang.
Penelitian ini menggunakan kuesioner dan skala maskulin-feminin. Kuesioner terdiri
dari data kontrol dan data-data tambahan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Skala
maskulin-feminin digunakan untuk mengetahui tingkat maskulinitas dan femininitas
individu. Skala ini merupakan axlaptasi dari Bern 's Sex Role Inventory.
Metode analisa data menggunakan prosentase, dan untuk mengetahui ada-tidaknya
hubungan antara maskulinitas-femininitas dengan usia awal menari, lamanya bergabung
dalam sanggar tari, dan banyaknya tarian yang dikuasai, digunakan perhitungan Chi-
Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran peran jenis kelamin penari pria
cenderung berperan jenis kelamin maskulin, androgini, dan feminim. Selain itu diketahui
bahwa hanya faktor usia awal mulai menari yang terbukti secara signifikan berhubungan
dengan peran jenis kelamin penari pria. Sedangkan faktor lamanya bergabung dalam sanggar tari dan banyaknya tarian yang dikuasai tidak terbukti secara signifikan
berhubungan dengan peran jenis kelamin penari pria.
Dengan demikian, dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa sebagian besar
penari pria ternyata dapat tetap mempertahankan peran jenis kelamin maskulin, yang
merupakan peran jenis kelamin yang cocok bagi pria. Usia awal mulai menari merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan peran jenis kelamin penari pria.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, akhirnya peneliti mengajukan beberapa saran,
yaitu : bagi pria yang beminat menjadi penari disarankan untuk memperhatikan faktor usia
saat berniat menjadi penari, pria jangan ragu untuk menjadi penari karena ternyata hanya
sebagan kecil saja penari pria yang tergolong feminin. Sedangkan masyarakat disarankan
untuk Iebih menerima dan mendukung pria menjadi penari."
1997
S2921
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canisa Cahya Aulia Katri
"Tubuh dan ruang dipahami sebagai produk produk budaya dan sejarah yang saling berkorelasi dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang penari menggunakan ruang sebagai media untuk menghadirkan pengalaman gerak tubuh. Dengan mengkaji sebuah tarian, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki cara tubuh bergerak, berinteraksi dengan ruang, dan bagaimana budaya mempengaruhi hubungan tersebut. Masyarakat tradisional Jawa memiliki keyakinan kosmologis yang menunjukkan bahwa manusia hanyalah sebagian kecil mikrokosmos yang harus mengetahui posisinya dengan kekuatan yang lebih besar di alam semesta makrokosmos. Masyarakat tradisional Jawa menggunakan kepercayaan ini untuk membentuk arsitektur, yang juga tarian tradisional mereka. Tari Srimpi adalah salah satu tarian tradisional Jawa yang berkaitan erat dengan budaya dan tradisi daerah yang diadakan sebagai upacara sakral oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kraton Jogja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memeriksa rekaman pertunjukan tari Srimpi di Bangsal Sri Manganti di Keraton Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan kosmologis yang mereka pegang mempengaruhi bagaimana penari Srimpi bergerak di dalam ruang dengan mengacu pada kekuatan pusat dan orientasi utara selatan.

Body and space are both cultural and historical products which correlate and affecting each other. Dancers present body movements experience as spatial performance in the architectural environment it takes place. By examining dance, this study aims to investigate the way bodies move through and interact with space and how cultural cognition affects their relationship. Javanese traditional people have the cosmological belief that humans are just a small part microcosmos who must know their position with the more significant power in the universe macrocosmos. Javanese traditional people use this belief to form architecture, which also their traditional dance. Srimpi Dance is one of the most known traditional Javanese dance, which closely related to the regional culture and tradition that held as a sacred ceremony by Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kraton Jogja. The study uses the qualitative approach by examining the Srimpi dance performance recording at Bangsal Sri Manganti Ward of Kraton Yogyakarta. The result indicates the cosmological belief they hold influence how the dancer of the Srimpi dance embodied the space by the power of the center and north south oriented."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Aj. Siti Nurchaerani Kusumastuti
"Perkembangan signifikan koreografi di Indonesia, termasuk karya tari kontemporer, terjadi sejak berdirinya Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki PKJ-TIM tahun 1968 hingga batas temporal penelitian ini yakni tahun 1987.Di Indonesia, ditinjau dari sejarah penciptaannya, karya tari baru pengembangan dari tradisi, modern, dan kontemporer cenderung bertolak dari karya-karya yang sudah ada. Selanjutnya, mengikuti gagasan artistik atau gagasan ideal sang seniman, karya-karya yang sudah ada diolah hingga terwujud kebaruan dengan segala kekhasannya bahkan jejak karya lama bisa sama sekali tak terlihat.
Merunut ke belakang, para seniman tari termotivasi menciptakan kebaruan pada karya-karya tari yang didorong oleh kebijakan kebudayaan Presiden Soekarno 1950-1959, yang menggariskan keindonesiaan yang juga berlaku pada kesenian, termasuk seni tari.Di era kepemimpinan Presiden Soeharto 1966-1998, para seniman mengharapkan adanya kebebasan berekpresi dan tersedianya fasilitas pertunjukan yang memadai. Hal tersebut ditanggapi oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan membangun PKJ-TIM yang diresmikan pada tahun 1968 dan membentuk Dewan Kesenian Jakarta DKJ dengan komite-komitenya, termasuk Komite Tari, dan menyediakan anggaran yang diperlukan.Berdasarkan analisis sepintas tampaknya ada keterkaitan antara dukungan pemerintah, kreativitas dan produktivitas seniman, kehadiran penonton, media massa.
Pertanyaan mendasar adalah kebijakan dan langkah apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung seniman dalam upaya kreatif penciptaan karya tari baru dan kontemporer; bagaimana para koreografer memformulasikan gagasan yang berasal dari pergumulan pemikiran tentang kebaruan karya tari; bagaimana upaya PKJ-TIM menyediakan sarana untuk hadirnya input eksternal yang kemudian bersinergi dengan daya kreatif pada diri seniman tari; tindakan apa yang dilakukan oleh Komite Tari DKJ, pengelola PKJ-TIM, seniman tari dan media massa untuk mendatangkan penonton sehingga pertunjukan karya tari baru dan kontemporer bisa berkelanjutan.Kajian ini mengungkapkan peran individu, kelompok individu dan institusi, sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan struktur sosial yang bisa disebut sebagai agen-agen perubahan agents of change . Dengan demikian pendekatan strukturistik menjadi tepat digunakan.
Melalui metodologi tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa telah terjadi perkembangan pemikiran, proses kreatif dan penataan koreografi sehingga karya-karya baru bermunculan. Sebagian adalah karya baru pengembangan dari tradisi dan di antara itu ada yang melakukan eksplorasi lebih jauh lagi untuk mencapai level kontemporer. Gairah penciptaan muncul karena didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Di luar itu terdapat sebuah lembaga pemasok dana jangka panjang yakni Pemerintah Daerah Pemda DKI Jakarta. Melalui manajemen yang baik berdasarkan visi dan misi yang padu, bermunculanlah karya-karya tari yang menarik minat penonton. Dari sana terbentuklah segi tiga ideal: seniman dan DKJ, pemerintah, penonton yang di dalamnya juga terdapat media massa, pengamat dan kritikus.

The significant development of modern dance, including contemporary dance, has started from the establishment of the PKJ TIM Pusat Kesenian JakartaTaman Ismail Marzuki Jakarta Arts Center Taman Ismail Marzuki in 1968 until the temporal limit of this research, in 1987. In Indonesia, looking at the history of its creation, some new works developed from tradition, and there are modern or contemporary dances which tends to embark from existing or old works. Then, following the artist's artistic ideas or ideals, the old works go through a process until some sort of newness emerge, with all its unique elements so much so that the traces of the old works are no longer detectable.
In hindsight, dance artists have been motivated to do these rejuvenations since the first decade after the Independence 1950 ndash 1959 through President Soekarno's policies on culture, championing elements of Indonesia, which also applied to arts, including dance. In the era of President Soeharto 1966 ndash 1998 , artists were hoping for freedom of expression and adequate performance facilities. The governor of Jakarta at the time, Ali Sadikin, responded by building PKJ TIM, launched in 1968 forming the DKJ Dewan Kesenian Jakarta Jakarta Arts Council with its committees, including the Dance Committee and providing the necessary budgets. An overview analysis shows that there is a connection between the government, artists'creativity and productivity, audience number, and the media.
The fundamental question is what kind of policies and actions that the government takes to support artists in their creative endeavors to create new and contemporary dance pieces how choreographers formulate ideas coming from the mixture of thoughts about the newness of dance pieces what actions PKJ TIM takes to provide facilities for external inputs that would synergice with the creative power within dance artists what actions taken by the Dance Committee of DKJ, the PKJ TIM management, dance artists, and the media to attract audiences so that new and contemporary dance performances can continue to thrive.
This study reveals the roles of individuals, individual and institutional groups, as a determinant factor in transforming and reproducing the change in social stucture that can be referred to as an agent of change. Therefore, the use of a structural approach is appropriate. With this methodology, this research comes to a conclusion that there has been a development of ideas, creative process, and choreography, which are responsible for the emergence of new works. Some are new works developed from tradition, and some explore even further to reach a contemporary level. The passion for creation emerges by being supported by facilities and infrastructure available. Without interferring the policy of Dance Committee of DKJ, the government of Jakarta gives long term funds to DKJ. With a good management based on a solid vision and mission, new dance arts will emerge and it will attract audience. Then we will achieve the ideal triangle artists, the government, and the audience, which includes the media, observers, and critics.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2354
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfisyah Nurhayati
"Studi ini mengkaji tentang Jatinegara dalam kaitannya dengan; (1) dinamika nilai-nilai kesenian jaipong (local knowledge) yang terarah pada kehidupan kesenian dalam konteks sosial-budaya masyarakat urban yakni Jakarta, sebagai kota metropolitan; (2) fenomena pergulatan siasat perempuan seni tradisi jaipong dalam wacana seksualitas dan kekuasaan; (3) strategi dan siasat apa yang digunakan dalam mendialogkan kepentingan perempuan seni tradisi jaipong dengan kekuasaan.
Untuk mendapatkan validitas data dan tidak keluar dari tradisi keilmiahan serta dapat mengambarkan apa yang terjadi sebenarnya - sebagai sebuah realitas - maka dengan metode etnografi yang tidak hanya etic tetapi emic dalam hal ini tentukan. Dalam metode penelitian etnografi salah satunya pengamatan terlibat atau partysipant observation (Spradley, 1979). Penelitian dengan teknik wawancara, saya lakukan tidak terstruktur untuk mendapat data yang sebenar-benarnya dan tanpa tekanan. Sedang dalam analisis data merupakan penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Seluruh data dianalisis secara kualitatif agar mempermudah menjawab permasalahan penelitian.
Dalam kajian ini saya menggunakan pendekatan antropologi kekuasaan, kekuasaan disini mengacu pendapat Foucault (1978:92), bahwa kekuasaan sebagai sebuah model strategis canggih dalam masyarakat tertentu dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Kekuasaan ada diinana-mana dan datang dari mana-mana. Kekuasaan berbagai hubungan yang imanen, permainan perjuangan dan pertarungan tanpa henti mengubah, memperkokoh, memutarbalikkan, suatu sistem bisa terbangun atau justru peminggiran dan pengucilan dan sebagai strategi tempat hubungan-hubungan kekuatan itu berdampak. Sehingga kristalisasi dalam lembaga terwujud dalam kerangka negara, perumusan hukum dan hegemoni sosial.
Jaipong Jatinegara hadir sebagai pertunjukan yang berfungsi hiburan. Bentuk dan struktur pertunjukan tidak jauh beda dengan jaipong di daerah lain, akan tetapi lebih mendekati sebagai sanggar tradisional (semacam diskotik) tetapi terbuka. Setiap malam mereka tampil kecuali malam Jumat atau hari-hari besar Islam. Bahkan pada bulan Ramadhan mereka tetap tampil sampai dini hari. Kehidupan kota Jakarta di sekitar Pisangan Lama, yang notabene kehidupan padat dan kumuh, akan tetapi justru membuat mereka dapat menikmati hidup. Kehidupan malam menyelimuti kawasan Jaipong Jatinegara yang terkesan dengan hiburan malam. Mulai dari pasar, Pekerja Seks Komersial (PSK), baik waria maupun PSK di bawah umur menjadi pemandangan yang rumit. Alasan ekonomi dan pengangguran menjadi alasan utama mereka untuk ramai-ramai datang ke kota.
Ada dua grup yang ikut berkontestasi dalam sesaknya kehidupan kota, yaitu Mekar Munggaran dan Lestari Warga Saluyu. Jaipong ini hadir sejak dekade akhir 60-an sampai sekarang mereka mampu bertahan dengan penuh perjuangan. Jaipong hiburan yang telah berakar pada masyarakat Sunda terutama daerah Pantura Jawa Barat, mencerminkan kehidupan mereka dalam masa transisi. Perubahan terus bergulir tidak terelakkan. Grup jaipong juga menerima modemisasi dengan baik, yaitu dengan menambah alat musik organ dan gitar serta melantunkan lagu-lagu dangdut. Perempuan sebagai pusat pertunjukan tradisi ini adalah sinden dan penari yang berjurnlah tidak kurang dari 9-11 orang. Salah satu yang menjadi ciri utama jaipongan adalah goyang pinggul yang terkenal dengan `goyang Karawang' yaitu 3 G (gitek, gaol dan goyang) serta uyeg gerak tubuh yang lebih sensual. Gelinjang kaki dan permainan tangan lincah dibarengi dengan paras wajah yang telah dirias dengan cantik, maka menambah kemeriahan sebuah pertunjukan jaipong. Tubuh sinden dan penari jaipong dengan baju yang ketat serta transparan menambah kemolekan tubuh yang sintal.
Kehidupan sinden dan penari tidak lepas dari jantung pertunjukan jaipong yaitu bajidor. Dengan cengkraman ekonomis bajidor mempengaruhi hidup sinden atau penari. Wacana hegemoni terus dilakukan oleh laki-laki tersebut akan tetapi kenyataan bahwa para perempuan jaipong ini tidak selalu pasif atau sub-ordinat, budaya patriarkhal yang melingkupi kehidupan masyarakat secara umum membuat posisi 'demikian tidak menguntungkan perempuan jaipong. Agama yang dianut mereka, termasuk negara menunjukkan. wacana hegemoni terus di pupuk oleh pihak penguasa. Hal ini didukung pula oleh konstruksi ilmu pengetahuan yang berkembang ikut serta melegitimasi, seperti aliran feminisme yang dianut oleh,beberapa pemikir, akademisi, dan LSMINGO. Ikut meramaikan perkembangan dunia perempuan. Konstruksi gender dan kekuasaan yang masih timpang dan tidak setara masih terus berkembang.
Studi ini setidaknya memberikan pradigma baru pandangan terhadap perempuan seni tradisi jaipong. Di mana mereka menyandang stigma atau sterotipe sebagai pelacur atau perempuan nakal dsb, dengan melihat siasat dan strategi yang digunakan oleh perempuan jaipong, melalui politik tubuh dan seksualitasnya terutama pada saat di panggung pertunjukan dimainkan, Manipulasi tubuh, Citra fisik tubuh dan Hasrat penonton (Body Manipulatins, Pchycal Image & Audiens Need) oleh penari dan sinden sebagai ajang negosiasi dan kontestasi akan hegemoni kekuasaan. Gerak tari erotis dengan musik yang ajeg didukung raut muka menggairahkan dan mendesah, para penari/sinden dapat menguasi kekuatan bajidor, dengan demikian kekuasaan akan bergerak pindah dan bergulir.
Perempuan jaipong bertarung dan berjuang untuk dapat mendominasi para penonton, jaipong sebagai arena kontestasi sangat menguntungkan bagi perempuan seni tradisi ini.
Dalam kajian ini terlihat dengan jelas, bahwa perempuan ini punya kekuasaan setara dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Bagi perempuan jaipong mereka tidak pernah merasa tereksploitasi atau terpedaya, akan tetapi justru mereka sadar akan politik tubuh mereka untuk mengeksploitasi laki-laki atau masyarakat yang memarjinalkan mereka. Cultural hegemony (Gramsci,1985:169) akan terus dikontestasikan agar mendapatkan pengakuan. Begitu pula pada persoalan perempuan jaipong dengan siasat mereka dapat eksis, meskipun sulit untuk merubah pandangan masyarakat terhadap penari atau sinden. Akan tetapi dengan membuka wacana ketidakmutlakkan kebenaran masyarakat secara umum akan mengerti pembedaan yang disosialisasikan oleh masyarakat sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Graham, Martha
Singapore: Harwood Academic Publisher , 1999
920.9 GRA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sasha Bashir
Malaysia: Sasha Bashir Sdn. Bsn, 2009
R 792.802 809 2 SAS d
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Wicaksana
"Tesis ini membahas tentang proses pembentukan konsep diri pada penyandang disabilitas melalui komunikasi antarpribadi dengan pekerja sosial. Dengan berlandaskan paradigma konstruktivis, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana konsep diri penyandang disabilitas terbentuk dan faktor-faktor apa yang membentuknya. Melalui teori interaksionisme simbolik dan tahapan pembentukan konsep diri, peneliti berusaha menjelaskan bagaimana self seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain, khususnya dengan significant others-nya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan kaitan yang erat antara komunikasi antarpribadi yang dilakukan pekerja sosial terhadap konsep diri yang terbentuk pada diri penyandang disabilitas. Peneliti merekomendasikan agar penelitian ini bisa terus dikembangkan dengan melihat faktor lain yang dapat membentuk konsep diri penyandang disabilitas seperti media, lingkungan, dan lain-lain.

This thesis discusses the process of the formation on the concept of selft in interpersonal communication through the disabled with social worker. With the constructivist paradigm, based on this research aims to examine how the concept of the disabled self is formed and what factors that shape it. Through the theory of symbolic interactionism and the stages of self concept formation, researchers try to explain how a persons self is formed through interaction with others, especially with the significant others. The results of this study indicate a close relationship between interpersonal communication conducted by social workers to the concept of self that is formed on the disabled. Researchers recommend that this research can continue to be developed by looking at others factors that can shape the concept of selft disabled people such as media, environment, and others.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T50086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sardono W. Kusumo
Jakarta: Kubuku, 2004
927.928 SAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>