Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafifrian Evandio
"ABSTRAK
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terkait dengan bagaimana dampak dari terjadinya stateless terhadap kehidupan masyarakat etnis Rohingya pasca penerapan Myanmar Citizenship Law tahun 1982. Adapun, perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teori statelessness. Dalam teori tersebut, disebutkan bahwa terdapat empat jenis faktor penyebab terjadinya stateless, yaitu adanya konflik hukum kewarganegaraan, warisan penjajahan, perampasan kewarganegaraan secara sewenang-wenang dan hambatan administratif beserta kurangnya dokumentasi. Selain itu, dalam teori itu juga disebutkan mengenai dampak dari terjadinya stateless, yaitu hilangnya sejumlah hak fundamental sebagai warga negara. Hak-hak fundamental itu diantaranya adalah hak untuk mengakses dan menggunakan layanan publik, hak untuk memilih dan melakukan fungsi publik tertentu, hak untuk berdaya secara ekonomi serta hak untuk berpartisipasi dan memperoleh perlindungan. Di samping itu, metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik studi literatur. Untuk itu, hasil penelitian ini adalah bahwa hilangnya sejumlah hak fundamental masyarakat etnis Rohingya sebagai warga negara tersebut merupakan dampak dari terjadinya stateless pasca penerapan Myanmar Citizenship Law tahun 1982.

ABSTRACT
This research is intended to answer research questions related to how the impact of statelessness on the lives of Rohingya ethnic communities after the implementation of the Myanmar Citizenship Law in 1982. Meanwhile, the perspective used in this study is to use the statelessness theory. In this theory, it is stated that there are four types of factors causing statelessness, namely the conflict of citizenship law, the legacy of colonization, arbitrary deprivation of citizenship and administrative barriers along with a lack of documentation. In addition, the theory also mentions the impact of statelessness, namely the loss of a number of fundamental rights as citizens. These fundamental rights include the right to access and use public services, the right to choose and perform certain public functions, the right to be economically empowered and the right to participate and obtain protection. In addition, the research method used is qualitative with literature study techniques. To that end, the results of this study are that the loss of a number of fundamental rights of the Rohingya ethnic community as citizens is the impact of the occurrence of stateless post implementation of the Myanmar Citizenship Law in 1982."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marieta Nurnissa
"Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang inheren dan tidak dapat diambil secara sewenang-wenang. Namun, kenyataannya seringkali hak tersebut dirampas dari mereka yang tidak dianggap sebagai warga negara di suatu negara. Stateless persons sebagai sekumpulan individu yang tidak diakui oleh negara manapun seringkali mengalami pelanggaran atas hak asasi manusianya serta tidak mendapatkan perlindungan dari negara tempat mereka tinggal. Salah satu contoh stateless persons ialah kaum etnis Rohingya yang dianggap sebagai the most persecuted ethnic minority in the world. Skripsi ini menganalisis berbagai hak asasi manusia bagi stateless persons, khususnya kaum Rohingya; seperti hak untuk memiliki kewarganegaraan; serta tanggapan dari pemerintah Myanmar dan masyarakat internasional atas krisis tersebut. Kesimpulan yang diperoleh ialah hak asasi manusia yang paling utama bagi kaum etnis Rohingya ialah hak untuk memiliki kewarganegaraan sebagai the right to have rights. Namun, terlepas dari tidak adanya status warga negara tersebut, penegakan atas hak asasi manusia bagi kaum etnis Rohingya sebagai hak yang inheren tetap harus dijalankan.

Human rights are considered inherent and cannot be arbitrarily deprived from one individual. However, the fact shows that many individuals are still arbitrarily deprived from their rights. Stateless persons, as certain individuals who are not considered as a citizen by the country they currently residing in, often experience the violation of their human rights and are not bound to any protection. One of the examples is the ethnic community of Rohingya whom UN considered as the most persecuted minority ethnic in the world. This thesis addresses the problem of human rights of stateless persons, especially the Rohingyas such as the right to nationality also, responses from the Myanmar government and the international community. The conclusion of the thesis is that the main right that should be given to the Rohingyas is the right to nationality, as the right to have rights. Nevertheless, despite of their status as stateless persons, their inherent human rights as human beings should still be enforced.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Artantri Widyautami
"Kudeta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 sebagai penggagalan hasil Pemilu 2020 Myanmar menjadi fenomena yang menggemparkan di Asia Tenggara hingga seluruh dunia. Berbagai aksi protes dan perlawanan dari masyarakat sipil, EAOs, dan PDF terhadap militer Myanmar (SAC) kian memperkeruh situasi keamanan dan kondisi kemanusiaan di Myanmar. ASEAN merespons krisis tersebut dengan menunjuk Utusan Khusus untuk Myanmar demi mengupayakan mediasi antara pihak-pihak berkonflik, sejalan dengan konsensus bersama yang tertuang dalam Five-Point Consensus (FPC). Akan tetapi, mediasi belum tercapai hingga akhir Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023. Menanggapi fenomena tersebut, skripsi ini mempertanyakan mengapa Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belum berhasil memediasi pihak-pihak berkonflik dalam krisis Myanmar sejak 2021 setelah melewati tiga Keketuaan ASEAN. Dengan menggunakan kerangka analisis special envoy communication-based approach, penelitian ini menemukan bahwa faktor kemampuan Utusan Khusus ASEAN dalam menginisiasi diskusi dan negosiasi, serta struktur dan pendekatan trust-building ASEAN yang menentukan arah gerak dan capaian Utusan Khusus berpengaruh terhadap keberhasilan upaya memediasi pihak-pihak berkonflik di Myanmar. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa mediasi tidak tercapai jika salah satu indikator saja dalam kerangka analisis tidak terpenuhi, seperti transparansi yang luput diperhatikan ketika menjelang Jakarta Informal Meeting November 2023.

The Myanmar military coup on February 1, 2021, following the 2020 Myanmar elections, was a shocking event in Southeast Asia and globally. Protests and resistance from civil society, EAOs, and PDF against the Myanmar military (SAC) have worsened the security situation and humanitarian conditions in Myanmar. In response to the crisis, ASEAN appointed a Special Envoy for Myanmar to mediate between the conflicting parties, as outlined in the Five-Point Consensus (FPC). Despite efforts spanning three ASEAN Chairmanships, including Indonesia's leadership until 2023, mediation efforts have not achieved the intended outcomes. This study aims to understand why the ASEAN Special Envoy for Myanmar has not been successful in mediating the Myanmar crisis after passing through three ASEAN Chairmanships. Using the special envoy communication-based approach as the analytical framework, this research found that the special envoy’s ability to initiate discussions and negotiations, as well as the influence of ASEAN's structure and trust-building approach, determines the success of efforts to mediate all parties concerned in Myanmar. Furthermore, this study concludes that successful mediation hinges on meeting each aspect of this framework; for instance, transparency, notably lacking when approaching the Jakarta Informal Meeting in November 2023."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Mustikasari
"Skripsi ini menjelaskan kasus pengusiran paksa etnis Rohingya menggunakan perspektif ekonomi dan politik yaitu tuntutan globalisasi ekonomi yang mendorong pemerintah Myanmar untuk melakukan perampasan tanah di negara bagian Rakhine. Secara umum, penyebab konflik yang muncul di media massa dilatarbelakangi oleh perbedaan identitas primordial seperti agama dan etnis yang kemudian ditengarai menimbulkan gesekan berupa konflik komunal antara etnis Rakhine dengan etnis Rohingya. Namun, setelah mempelajari berbagai literatur, studi ini sampai pada temuan bahwa pemerintah Myanmar memainkan peran penting dibalik ketegangan konflik horizontal disana dalam konteks urusan lahan yang ditempati atau menjadi tempat tinggal etnis Rohingya selama ini. Hal ini diperjelas dengan adanya rencana pembangunan infrastruktur dan industri yang akan dibangun di wilayah tersebut. Oleh karena itu, demi menjamin kelancaran proyek pembangunan dan investasi asing maka pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Myanmar melalui tangan militer melakukan tindakan yang mengakibatkan etnis Rohingya harus keluar dari tanah Rakhine yang telah ditempati sejak masa kolonial Inggris tanpa memberikan kompensasi apapun. Konflik perampasan tanah tersebut menyebabkan pengusiran etnis Rohingya secara paksa untuk mendukung proyek pembangunan infrastruktur dan industri di wi

This thesis explains the case of Rohingya ethnic's forced evictions using political economy perspectives, specifically on the demands of economic globalization which encouraged the Myanmar government to grab some lands in Rakhine state. In general, the cause of the conflict stated in the mass media was motivated by primordial identity differences such as religion and ethnic group which then suspected to cause friction in the form of communal conflict between Rakhine and Rohingya ethnic groups. However, after conducting literature review, this study came to the finding that Myanmar government played an important role behind horizontal conflict tensions of occupying the land where people from Rohingya ethnic live. This was clarified by the development plans of infrastructure and industry to be built in the region. Therefore, in order to ensure the smoothness of those projects and foreign investment, the government must create a conducive climate for investment. In relation to this, Myanmar government, with the help from the military force, had taken actions that caused the Rohingyas to leave Rakhine land that had been occupied since the British colonial period without providing any compensation. The land grabbing conflict led to the forced eviction of Rohingya ethnic group to support infrastructure and industrial development projects in Rakhine region through Asia 39s Final Frontier policy. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinda Widya Laraswati
"Hubungan Uni Eropa (UE) dan Myanmar mengalami pasang surut sejak tahun 1990an hingga saat ini, dan diwarnai banyak pemberian sanksi UE atas Myanmar. Hubungan mereka mulai membaik ketika Myanmar melakukan transisi politik di tahun 2010. Sanksi-sanksi UE dicabut dan peningkatan kerja sama terjadi seiring dengan perubahan politik Myanmar. Namun, pasca demokrasi, hubungan keduanya kembali memanas ketika terjadi penyerangan oleh militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017. Ribuan etnis Rohingnya dilaporkan menjadi korban dan mengakibatkan arus pengungsi cukup besar keluar Myanmar. UE merespon tindakan militer Myanmar dan mengecam pemerintah yang dianggap tidak melakukan apa-apa. Namun, respon UE kali ini tidak setegas dan sekeras sanksi-sanksi UE sebelumnya. Sanksi UE menuai protes dari NGO dan pembela hak asasi manusia karena dianggap tidak memberikan insentif yang kuat bagi militer Myanmar. Tesis ini bertujuan untuk menganalisis praktik teori Selective Aid Sanctions dalam keputusan sanksi bantuan UE ke Myanmar terkait konflik Rohingya 2017-2019. Penelitian ini bersifat kualitatif dan fokus pada faktor yang mempengaruhi keputusan UE dalam memberikan sanksi kepada Myanmar. Berdasarkan teori Selective Aid Sanctions, keputusan sanksi UE ini kemungkinan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kondisi hubungan UE-Myanmar, eksternalitas negatif yang ditimbulkan terhadap UE dan pertimbangan jenis sanksi bantuan luar negeri. Penulis menemukan bahwa kondisi hubungan UE-Myanmar yang sudah semakin membaik meningkatkan kepentingan ekonomi maupun keamanan UE di Myanmar sehingga sulit untuk membuat keputusan sanksi seperti dahulu. Sementara untuk dua variabel lainnya, penulis tidak menemukan keterkaitan yang kuat yang dapat mempengaruhi keputusan sanksi UE.

The relationship between the EU and Myanmar has had its ups and downs since the 1990s until now and has been marked by many EU sanctions against Myanmar. Their relationship began to improve when Myanmar made a political transition in 2010. EU sanctions were lifted, and increased cooperation occurred as Myanmar's politics changed. However, post-democracy, the relationship between the two became heated again when there was an attack by the Myanmar military against the Rohingya in Rakhine State in 2017. Thousands of Rohingya were reported to have been victims and resulted in a large flow of refugees out of Myanmar. The EU responded to the actions of the Myanmar military and condemned the government for doing nothing. However, the EU's response this time was not as firm and harsh as previous EU sanctions. The EU sanctions have drawn protests from NGOs and human rights defenders because they are deemed not to provide strong incentives for the Myanmar military. This thesis aims to analyze the practice of Selective Aid Sanctions theory in the decision of EU aid sanction to Myanmar related to the 2017-2019 Rohingya conflict. This research is qualitative research and focuses on the factors of EU’s decision in imposing sanctions on Myanmar. Based on the theory of Selective Aid Sanctions, the EU sanctions decision may be influenced by three things, namely the condition of the EU-Myanmar relationship, the negative externalities caused to the EU and the consideration of the types of foreign aid sanctions. The author finds that the improving condition of EU-Myanmar relations has increased the economic and security interests of the EU in Myanmar, making it difficult to make sanctions decisions as in the past. Meanwhile, for the other two variables, the authors did not find a strong relationship that could influence the EU sanctions decision."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maftuha
"Tesis ini membahas tentang Dampak Kebijakan Politik Budaya Burmanifikasi Pada Masa Pemerintahan Ne Win 1962-1988 Terhadap Etnis Rohingya. Pembahasan tesis ini dibatasi pada kurun waktu pemerintahan Ne Win di Myanmar 1962-1988 . Pembahasan tesis ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan terhadap faktor munculnya tindakan diskriminasi pada masa pemerintahan Ne Win di Myanmar dan bagaimana dampak dari kebijakan burmanifikasi di Myanmar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor sejarah, faktor agama, dan faktor budaya yang melandasi munculnya kebijakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya. Adapun tindakan diskriminatif pemerintah militer Myanmar pada masa Ne Win telah menimbulkan reaksi dari etnis Rohingya yang berupa penerimaan cara menggunakan nama-nama yang diadopsi dari nama-nama etnis Burma, menerima status imigran, dan menerima aturan dalam perkawinan campur. Sedangkan perlawanan dilakukan dengan cara pemberontakan dan pelarian. Tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sejarah dan sumber sekunder.

This postgraduate thesis discusses about the Impact of Cultural Political Policy Burmanification in Ne Win era 1962 1988 on Ethnic Rohingyas. The discussion of this thesis was limited to the Ne Win government period in Myanmar 1962 1988 . The discussion of this thesis was conducted to answer the question of the factors of Burmanifications policies in the Ne Win Era. Also, to answer about the impact of Burmanification policies in Myanmar. The results of this study indicate that there are historical factors, religious factors, and cultural factors that underlie the emergence of discriminatory policies against ethnic Rohingya. The discriminatory actions of the military government of Myanmar during the Ne Win period have caused a reaction from the Rohingyas in the form of acceptance of using names adopted from Burmese ethnic names, accepting immigrant status, and accepting rules in mixed marriages. While the resistance that was done by rebellion and escape. This thesis is a qualitative research using historical research methods and secondary sources."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
T48121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge, 2017
346.012 SUB
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Singh, Bilveer, 1956-
"On violence against Muslim Rohingya, a minority ethnic in Burma"
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
305.8 SIN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Chitra Likita
"ABSTRAK
Berkembangnya hukum internasional telah merubah prinsip kedaulatan, ia tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada penduduknya. Doktrin intervensi humaniter yang ada, masih menimbulkan keresahan di kalangan komunitas masyarakat internasional. Berangkat dari hal tersebut timbulah gagasan doktrin Responsibiliy to Protect R2P untuk memberikan justifikasi baru terhadap intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal untuk melindungi penduduknya dari 4 empat kejahatan, yakni: genosida, war crimes, crimes against humanity, dan ethnic cleansing. Penelitian ini lantas menganilis mengenai tindakan kejahatan berat yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar serta kemungkinan ASEAN untuk menerapkan doktrin R2P tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dimungkinkannya ASEAN untuk menerapkan R2P kepada pemerintah Myanmar, sebab pemerintah Myanmar telah terbukti melakukan dan memenuhi unsur ndash; unsur dari tindakan kejahatan berat genosida dan crimes against humanity yang diatur pada hukum internasional yang merupakan syarat ndash; syarat untuk diadakannya R2P. Pemerintah Myanmar juga dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi dan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, maka tanggung jawab tersebut dapat berpindah kepada komunitas internasional dalam hal ini ialah ASEAN.ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizen s human rights. Humanitarian intervention doctrine is still lacks of support from the international community. Departing from that, the Responsibiliy to Protect R2P comes to serve a new justification for a State who is failed to protect its citizen from 4 four violations, such as genocide, war crimes, crimes against humanity, and ethnic cleansing. This study thus seeks to analyse gross violation that happen to ethnic Rohingya in Myanmar along with possibility of implementing R2P by ASEAN. The method used in this study is normative method study. This study then found the possibility of ASEAN to implement R2P for Myanmar s government, due to its action and fulfilment of the elements of gross violation genocide and crimes against humanity that stipulated in international law as the requirements of R2P implementation. Myanmar s government might be judged for has no capability to comply its responsibility to protect and becomes the perpetrator itself. Subsequently, the responsibility may devolve to international community especially ASEAN for this case."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Yulyana
"ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan mengenai permasalahan kewarganegaraan etnis Rusia di Estonia. Sebagai negara
pecahan Uni Soviet yang telah mendapatkan kemerdekaannya Estonia menjadi sebuah negara yang mempunyai
banyak persoalan yang harus di selesaikan salah satunya adalah permasalahan kewarganegaraan. Kebijakan migrasi
yang dilakukan Uni Soviet menyisakan banyak warga negara Rusia yang terjebak di negara pecahan Uni Soviet
yang telah merdeka. Sehingga sebagian besar etnis Rusia tersebut menjadi tidak memiliki kewarganegaraan atau
disebut juga gray passport.Pemerintah Estonia membuat kebijakan kebijakan untuk mengkualifikasi warga negara
yang akan mendapatkan kewarganegaraan Estonia. Permasalahan ini terus berlanjut selama bertahun tahun sejak
kemerdekaan Estonia, hingga saat ini Estonia telah bergabung menjadi bagian dari Uni Eropa. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menjelaskan mengapa etnis Rusia di Estonia mengalami permasalahan kewarganegaraan khususnya
pada tahun 2004. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode
penelitian historis. Sejarah kelam Estonia berada dibawah Uni Soviet membuat pemerintah Estonia tidak
memberikan status kewarganegaraan Estonia dengan mudah. Bergabungnya Estonia kedalam Uni Eropa membawa
titik terang bagi permasalahan kewargaaan untuk non-penduduk di Estonia.

ABSTRACT
This study explains the citizenship problems of Russian ethnic in Estonia. After gaining independence from
Soviet, Estonia faced many problems related to citizenship. Migration policy of the Soviet Union left many Russian
citizens in the former Soviet Union and caused them to become stateless (sometimes called Gray Passport holder).
Moreover, Estonian government made strict policies to qualify the citizens who will obtain Estonian citizenship.
This problem continues for many years until Estonia has joined the European Union. Regarding the problems, this
study explained why Russian ethnics in Estonia experienced discrimination and faced citizenship problems,
especially in 2004. This study used a qualitative approach and historical methods.The dark history of Estonia under
Soviet Union made Estonian government not give Estonian citizenship status easily. However, Estonia joinned the
European Union brought a bright spot for the citizenship problems of non-citizen in Estonia."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>