Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177136 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferucha Moulanda
"Trauma kepala merupakan penyebab tersering gangguan penghidu yang masih merupakan tantangan dikarenakan belum ditemukan tatalaksana yang definitif. Gangguan penghidu dapat berupa tipe konduktif dan/sensorineural dan dapat berupa penurunan kemampuan dalam mendeteksi odoran yang disebut hiposmia atau hilangnya kemampuan mendeteksi odoran yang disebut anosmia. Tatalaksana latihan penghidu dapat berupa Latihan Penghidu Orthonasal (LPO) yaitu dengan memberikan paparan odoran berulang dari anterior hidung dalam jangka waktu tertentu dan diharapkan dapat membangkitkan sensitifitasolfaktori dan memodulasi neuroplastisitas. Latihan Penghidu Retronasal (LPO) merupakan latihan yang mengintegrasikan sistem olfaktori, gustatori dan somatosensori yang bertujuan menciptakan cita rasa yang kuat dan dapat membangkitkan memori olfaktori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan penghidu pasca cidera kepala dan mengetahui serta membandingkan efektifitas LPO dengan kombinasi LPO dan LPR. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol paralel 2 kelompok, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan April 2019 sampai dengan September 2019 terhadap pasien yang mengalami gangguan penghidu pasca cidera kepala usia 18-50 tahun. Dari penelitian ini diketahui latihan OOT dan kombinasi OOT dan ROT sama-sama dapat meningkatkan fungsi penghidu dan tidak terdapat perbedaan efektifitas latihan OOT dengan kombinasi latihan OOT dan ROT dalam meningkatkan fungsi penghidu pasien pasca trauma.

Head injury is a challenging cause of olfactory dysfunction due to limited definitive treatment of choice. Olfactory dysfunction can be divided into conductive and/sensorineural type and also based on decrease ability or inability to detect odoran called hyposmia and anosmia. Orthonasal olfactory training (OOT) is using repeated exposure of odoran form anterior nostril within certain period time to increase the olfactory sensitivity and modulate neuroplasticity. Retronasal olfactory training (ROT) is an integrated training of olfacoty, gustatory and somatosensory systems that create a strong flavour and evokes olfactory memory. This study aimed to identify type and grade of post traumatic olfactory dysfunction and to identify and compare the efficacy of OOT with combined OOT and ROT. This 2 groups randomized clinical trial study, conducted at the ORL-HNS polyclinic FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo on April 2019 to September 2019 of post traumatic olfactory dysfunction patients between 18-50 years old. This study showed that OOT and combined OOT and ROT were both effective and wasn’t different statistically in increasing olfactory function post head injury."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Mardhatillah
"Latar belakang : Gangguan penghidu saat ini lebih disadari oleh masyarakat akibat terjadinya pandemi COVID-19. Tatalaksana gangguan penghidu pasca-virus belum disepakati secara universal meskipun beberapa obat telah diuji coba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran jenis dan derajat gangguan penghidu pasca-virus serta efektifitas kombinasi latihan penghidu ortonasal (LPO) dan protokol terapi penghidu terhadap perbaikan fungsi penghidu pasca-virus. Metode: Penelitian dilakukan bulan Februari – Mei 2022 di poliklinik THT-KL RSCM. Desain penelitian yang digunakan uji kuasi eksperimental 1 grup pre dan post test dengan 12 subjek gangguan penghidu yang terjadi mendadak pasca infeksi virus. Subjek penelitian dilakukan penilaian fungsi penghidu dengan uji penghidu alkohol (UPA), uji penghidu intravena (UPI) dan sniffin stick test (SST). Subjek penelitian diberikan kombinasi LPO dan protokol terapi hidung yang terdiri dari irigasi hidung, steroid intranasal, dekongestan topikal, omega-3 dan oles balsam aromatik selama 6 minggu kemudian dilakukan penilaian statistik. Hasil: Didapatkan hiposmia 8 subjek dan ansomia 4 subjek. Pada subjek hiposmia terdapat 2 subjek pantosmia dan 3 subjek parosmia, sedangkan pada subjek anosmia didapatkan 1 subjek pantosmia. Pada penelitian ini didapatkan 9 subjek jenis sensorineural dan 3 subjek jenis konduksi. Setelah dilakukan terapi didapatkan hasil siginifikan berdasarkan pemeriksaan UPA, UPI, diskriminasi, identifikasi dan total ADI (p<0,05). Kesimpulan: Karakteristik gangguan penghidu pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural dan konduksi serta derajat anosmia dan hiposmia. Kombinasi LPO dan protokol terapi hidung selama 6 minggu terbukti efektif pada gangguan penghidu pasca-virus.

Background: Postviral olfactory dysfunction is becoming more aware of the public due to the COVID-19 pandemic. The management of chronic postviral olfactory dysfunction is still unknown, although several drugs have been tried, but the treatment is not universally agreed yet. Objective: This study was conducted to describe the types and degrees of postviral olfactory dysfunction and the effectiveness of the combination of orthonasal olfactory training and nasal protocols therapy on the improvement of postviral olfactory function. Methode: The research was conducted from February to May 2022 at ENT outpatient clinic Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The research design used was a quasi-experimental test with 1 pre and post-test group with 12 subjects with olfactory dysfunction that occurred suddenly after viral infection. The research subjects will be assessed for olfactory function using the alcohol sniff test (AST), the intravenous olfactory test (IOT) and the sniffin stick test (SST). Subjects will be given a combination of orthonasal olfactory training and a nasal protocol therapy consisting of nasal irrigation, intranasal steroids, topical decongestants, omega-3 and aromatic balsam for 6 weeks then statistical analysis was performed. Results: There were 8 subjects with hyposmia and 4 subjects with ansomia. In hyposmic subjects there are 2 phantosmia subjects and 3 parosmia subjects, while in anosmia subjects there are 1 subject with phantosmia. The types of post-viral olfactory disorders in this study were 9 sensorineural subjects and 3 conductive subjects. The results of statistical calculations of olfactory function after therapy were found to be significant based on AST, IOT, discrimination, identification and TDI (p<0.05). Conclusion: The characteristics of the olfactory dysfunction in this study are sensorineural and conduction olfactory dysfunction. The combination of orthonasal olfactory training and nasal protocol therapy for 6 weeks has been shown to be effective in improving olfactory function in postviral olfactory dysfunction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tissa Indriaty
"ABSTRAK
Diagnosis gangguan penghidu memerlukan pemeriksaan yang akurat. Saat ini Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan Sniffin? Sticks sebagai pemeriksaan rutin. Uji penghidu intravena (UPI) merupakan pemeriksaan penghidu sederhana yang dapat melengkapi pemeriksaan Sniffin? Sticks dalam menilai jalur retronasal dan prognosis. Tujuan: Mengetahui sebaran nilai normal ambang penghidu berdasarkan UPI pada subjek dewasa tanpa gangguan penghidu. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Terpadu THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari-Februari 2016 dengan melibatkan 55 subjek normosmia. Hasil: Rerata (± simpang baku) nilai normal ambang berdasarkan UPI adalah 16,29 ± 5,52 detik dengan persentil 5 pada 9,46 detik dan persentil 90 pada 22,99 detik. Tidak terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan ambang penghidu berdasarkan UPI dengan ambang penghidu maupun skor total pemeriksaan Sniffin? Sticks. Kesimpulan: Uji penghidu intravena dapat diaplikasikan dalam evaluasi fungsi penghidu sebagai pelengkap Sniffin? Sticks.

ABSTRACT
Background: The diagnosis of olfactory loss needs accurate examinations. At this moment, Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery (ORL-HNS) has used Sniffin? Sticks as a routine examination. Intravenous olfaction test (IOT) is a simple examination to complement the Sniffin? Sticks examination( due to its ability to evaluate retronasal pathway and prognosis. Objective: To investigate the normative value of olfactory threshold using the IOT in adult subjects without olfactory loss. Method: This research is a cross sectional, descriptive study took place at ORL-HNS Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital included 55 normosmia subjects in January-February 2016. Results: Normative value of olfactory threshold using IOT was 16,29 ± 5,52 seconds (mean ± standard deviation) with the 5th percentile on 9,46 seconds and 90th percentile on 22,99 seconds. There was no correlation between the olfactory threshold results based on IOT with the olfactory threshold or the overall score of Sniffin? Sticks. Conclusion: Intravenous olfactory test is applicable for the evaluation of olfactory function, complementing the Sniffin? Sticks examination."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yanti Nuraeni
"Arteri etmoidalis anterior (AEA) adalah landmark penting pada tindakan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.Tomografi komputer dapat mengidentifikasi landmark AEA yang dapat membantu dokter bedah untuk menemukannya.
Tujuan penelitian: untuk mencari hubungan adanya pneumatisasi supraorbita dan konfigurasi fosa olfaktorius dengan posisi AEA menggantung di bawah basis kranii serta untuk mengetahui proporsi variasi posisi anatomi AEA terhadap basis kranii.
Metode penelitian: retrospektif terdiri dari 552 CT kepala tanpa kontras teknik MPR yang terbagi dalam 4 kelompok, masing-masing 138 sampel.
Hasil penelitian: pneumatisasi supraorbita (OR= 106 (IK95%: 49,06 - 230,61)) dan fosa olfaktorius tipe dalam (OR= 2,55 (IK95%: 1,51 - 4,31)) merupakan faktor risiko adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii,dengan model formula probabilitas AEA menggantung = 1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x pneumatisasi supraorbita - 0.936 x tipe fosa olfaktorius)}. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii sebanyak 62% dan posisi AEA tepat setinggi basis kranii sebanyak 38%.
Kesimpulan: Pneumatisasi supraorbita dan fosa olfaktorius tipe dalam meningkatkan kemungkinan adanya posisi AEA menggantung di bawah basis kranii dengan pneumatisasi supraorbita merupakan faktor risiko dominan dibandingkan fosa olfaktorius. Proporsi posisi AEA menggantung di bawah basis kranii lebih banyak dibandingkan posisi AEA tepat setinggi basis kranii.

The anterior ethmoidal artery (AEA) is an important landmark for FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery). CT scan can identify landmark AEA to help the ENT surgeons find the AEA.
Aim: to correlate the presence of supraorbital pneumatization and olfactory fossa with the free AEA under the skull base, and to get proportion of AEA variations from the skull base.
Material and methods: Retrospective review of 552 paranasal sinus and head CT scans with Multi Planar Reformattion (MPR) technique that consists of 4 group.
Result: Supraorbita pneumatization (Odds Ratio = 106 (CI95%: 49,06 to 230,61)) dan deep olfactory fossa (Odds Ratio = 2.55 (CI95%: 1,51 to 4,31)) are the risk factors for the presence of the free AEA under the skull base, with probability formula of the free AEA =1 / {1 + exp (1.523 - 4.667 x supraorbita pneumatization - 0.936 x configuration of olfactory fossa)}. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is 62% and the proportion of the AEAs that course in the skull base is 38%.
Conclussion : Supraorbita pneumatization and the deep olfactory fossa increase probability of the free AEAs that course under the skull base where supraorbita pneumatization is the dominan risk factor compare to olfactory fossa. Proportion of the free AEAs that course under the skull base is more than the AEAs that course in just the skull base.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica
"Latar Belakang: Akumulasi lemak viseral pada pasien Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi metabolik dan risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan dalam bentuk kombinasi High Intensity Interval Training (HIIT) dan latihan beban terhadap perubahan lemak viseral pada pasien DM Tipe 2. Metode: Analisis sekunder dari Randomized Controlled Trial (RCT) pada bulan Juli 2017 sampai Januari 2018. Subjek berjumlah 18 orang yang diambil dari kelompok eksperimen. Subjek melakukan HIIT sebanyak 3x/minggu dan latihan beban 2x/minggu dengan durasi 12 minggu latihan. Protokol HIIT dengan perbandingan 1 menit intensitas tinggi dan 4 menit intensitas lebih rendah, sedangkan latihan beban terdiri dari 9 jenis latihan meliputi ekstrimitas atas, batang tubuh, dan ekstrimitas bawah. Hasil: 18 pasien (72% perempuan) dengan rerata usia 50,94 tahun. Seluruh subjek berada pada kategori overweight (17%), dan obese (83%), serta obesitas sentral (100%). Tidak didapatkan perubahan lemak viseral yang signifikan (p>0.05) dengan pengukuran menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Kesimpulan: Didapatkan seluruh subjek berada pada kategori overweight dan obese serta memiliki obesitas sentral. Tidak didapatkan perubahan lemak viseral yang bermakna dari kombinasi HIIT dan latihan beban selama 12 minggu pada pasien DM Tipe 2.

Background: The accumulation of visceral fat in Type 2 Diabetes Mellitus patient can cause metabolic complications and risk of cardiovascular disease. Goals: This study aims to determine the effect of combined High Intensity Interval Training (HIIT) and Resistance training on the Changes in Visceral Fat in Type 2 Diabetes Mellitus Patient. Methods: Secondary analysis of the Randomized Controlled Trial (RCT) on July 2017 and completed January 2018. Eighteen participants were taken from the experimental group. Participants did HIIT three times a week and resistance training twice a week with the duration of 12 weeks. HIIT protocol was comprised of one minute of high intensity and 4 minutes of lower intensity. Resistance training was comprised of nine exercises for upper extremities, core, and lower extremities. Results: 18 patients (72% female) with an average age of 50.94 years. All subjects were in the overweight (17%), obese (83%), and central obesity (100%). There were no significant changes in visceral fat (p>0,05) with measurements using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Conclusion: All participants are overweight, obese and have central obesity. There were no changes in visceral fat from a combination of HIIT and resistance training in
Type 2 DM patients in 12 weeks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Magdalena Wartono
"Latar Belakang: Pekerja mebel di Kelurahan Pondok Bambu adalah pekerja informal yang dalam pekerjaannya terpajan dengan pelarut organik seperti toluen. Telah terbukti adanya pengaruh pajanan toluen terhadap kejadian gangguan penghidu. Belum ditemukan prevalensi gangguan penghidu akibat pajanan kimia di tempat kerja di Indonesia. Gangguan penghidu ini sering kali tidak dikeluhkan oleh penderita. Menurunnya fungsi penghidu dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan pekerja karena akan terus menginhalasi zat kimia berbahaya.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pekerja mebel di RW 01, Kelurahan Pondok Bambu yang berjumlah 44 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi penghidu dengan Sniffin Sticks dan pemeriksaan kadar lingkungan toluen dengan personal sampling.
Hasil: Dari 44 subjek, 37 (84,1%) dari mereka mengalami gangguan penghidu, yang termasuk kategori risiko pajanan tinggi adalah 14 (31,8%) orang dan yang berisiko pajanan rendah 30 (68,2%) orang. Sebanyak 13 (92,9%) subjek yang berisiko tinggi mengalami gangguan penghidu, sedangkan yang berisiko rendah 24 (80%). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan terjadinya gangguan penghidu. Median Kadar toluen rata-rata adalah 0,48 ppm (0,002 – 7,72). Didapatkan hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan gangguan penghidu, p = 0,02, OR = 26,4 ( IK 95% 1,59 - 453,77). Variabel lain seperti kebiasaan minum alkohol, gejala rinitis kronik dan riwayat atopi tidak ada yang secara signifikan berhubungan dengan gangguan penghidu.
Kesimpulan: Kejadian gangguan penghidu pada subjek penelitian ini tidak berhubungan dengan besar risiko pajanan toluen di tempat kerjanya tetapi berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Background: Workers at the furniture industry of Pondok Bambu village are informal workers who may be occupationally exposed to organic solvents such as toluene. The influence of toluene exposure on smell disorders has been proven. The prevalence of smell disorders due to chemical exposure in the workplace in Indonesia is not yet been found. Occupational- related smell disorder is rarely complained by the patient. Decreasing of smelling function can affect the health and safety of workers as he will continue to inhale harmful chemicals.
Methods: This study used a cross-sectional design. 44 subjects recruited from the furniture industry in RW 01, Pondok Bambu village were studied. Data were collected through interviews, physical examination, quantitative smell function test with Sniffin Sticks and personal sampling airborne toluene levels measurement.
Results: Among the fourty-four studied subjects, 37 (84.1%) subjects had smell disorder. Fourteen (31.8%) of them were categorized as high-risk exposure group and 30 (68.2%) as low-risk exposure group. Thirteen (92.9%) subjects from the high-risk exposure group had smell disorder, whereas from the low-risk group were 24 (80%) subjects. Exposure risk status was not statistically significant with smell disorder. The median score of airborne toluene levels is 0.48 ppm (range from 0.002 to 7.72). Smoking habit was the only variable that statistically significant with smell disorder, p = 0.02, OR = 26.4, (95% CI 1.59 to 453.77). Other variables such as alcohol consumption, chronic rhinitis symptoms and atopic history were not statistically significant.
Conclusion: The smell disorders on the studied subjects is not associated with the exposure risk to toluene in the workplace but related to smoking habit.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Isnawan Risqi Rakhman
"Gangguan kognitif umum terjadi setelah serangan stroke dan berbagai upaya rehabilitatif diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Musik sebagai terapi yang dikombinasikan dengan latihan memori dapat diberikan sebagai bentuk input neuropsikologi dan terapi non-farmakologik pada pasien stroke fase akut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi kombinasi aktivitas mendengarkan musik dan latihan memori terhadap kemampuan kognitif pasien stroke fase akut. Metode penelitian ini menggunakan quasi-experimental design dengan pendekatan pre-post test nonequivalent control group yang melibatkan dua kelompok yang akan diobservasi sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Kemampuan kognitif diukur sebelum dan setelah perlakuan menggunakan instrumen Montreal Cognitive Assessment versi Bahasa Indonesia (MoCA-Ina). Rerata usia responden adalah 51,89 tahun (±8,23), 57,1% berpendidikan ≤ 12 tahun, 60,7% memiliki riwayat hipertensi, dan 25% saja dengan riwayat diabetes mellitus. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan rerata skor MoCA-Ina sebesar 3,21 pada kelompok intervensi (p= 0,003) dengan peningkatan signifikan pada domain eksekutif, bahasa, dan memori. Peningkatan rerata skor MoCA-Ina sebesar 1,43 poin kelompok kontrol (p=0,008) tanpa disertai peningkatan bermakna pada domain kognitifnya. Meskipun kedua kelompok mengalami peningkatan bermakna (within group), namun selisih peningkatan antar kedua kelompok tidak bermakna signifikan (p=0,61). Perbaikan kognitif pada stroke fase akut dimungkinkan oleh karena proses fisiologis. Skor baseline kognitif di fase akut diduga berpengaruh terhadap efektivitas intervensi yang diberikan. Intervensi mendengar musik sebagai aktivitas regulator yang dikombinasikan dengan latihan memori sebagai aktivitas kognator dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kemampuan kognitif pasien stroke fase akut. Diperlukan kehati-hatian dalam menggunakan hasil penelitian ini. Penelitian lanjut diperlukan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas intervensi

Cognitive impairment is common after stroke and rehabilitative efforts are needed to overcome the problem. Music as therapy combined with memory training can be given as a form of neuropsychological input and non-pharmacological therapy in acute stroke patients. The purpose of this study was to determine the effect of combination of listening music activities combined with memory training on the cognitive abilities of acute phase stroke patients. This research method uses a quasi-experimental design with a nonequivalent control group pre-post test involving two groups. Cognitive ability was measured by the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina). The mean age of the respondents was 51.89 years (±8.23), 57.1% had an education ≤ 12 years, 60.7% had a history of hypertension, and only 25% had a history of diabetes mellitus. The results showed an increase in the mean MoCA-Ina score of 3.21 in the intervention group (p= 0.003) with a significant increase in the executive, language, and memory domains. The increase in the mean score of MoCA-Ina was 1.43 points in the control group (p=0.008) without a significant increase in the cognitive domain. Although both groups experienced a significant increase (within group), the difference in increase between the two groups was not significant (p=0.61). Cognitive improvement in the acute phase of stroke is possible due to physiological processes. The cognitive baseline score in the acute phase is thought to have an effect on the effectiveness of the intervention. The intervention of listening to music as a regulatory activity combined with memory training as a cognator activity can be implemented to improve the cognitive abilities of acute phase stroke patients. The results of this study must be interpret and utilize carefully. Further research is needed to develop and test the effectiveness of interventions
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candrarukmi Yogandari
"Beberapa studi di bidang akupunktur mengemukakan bahwa akupunktur merupakan salah satu modalitas terapi untuk mengurangi radikal bebas pada atlet yang menjalani latihan teratur dengan intensitas tinggi dan durasi lama. Latihan dasar kemiliteran merupakan latihan intensif yang dijalani oleh setiap calon prajurit yang memungkinkan terjadinya stres oksidatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan apakah modalitas akupunktur manual dan elektroakupunktur mempunyai pengaruh yang sama terhadap kadar malondialdehid pada calon prajurit saat latihan dasar kemiliteran. Metode penelitian menggunakan uji acak tersamar tunggal dengan kontrol. Penelitian ini dilakukan terhadap 34 calon prajurit saat latihan dasar kemiliteran dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok akupunktur manual dan kelompok elektroakupunktur yang masing-masing terdiri dari 17 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih rerata kadar MDA plasma pada kelompok akupunktur manual 0,228 ± 0,441 dan selisih rerata kadar MDA plasma pada kelompok elektroakupunktur 0,409 ± 0,415.

Several studies in the field of acupuncture suggests that acupuncture is a treatment modality for reducing free radicals in athletes who undergo regular training with high intensity and long duration. Military basic training is intensive training undergone by each candidate that would allow soldiers to oxidative stress. The purpose of this study was to compare whether the manual acupuncture and electroacupuncture modalities have the same effect on levels of malondialdehyde in recruits during training military base. The research method uses a single-blind randomized trials with a control. This study was conducted on 34 recruits when basic military training and were divided into 2 groups: manual acupuncture and electroacupuncture group, each of which consists of 17 people. The results showed that the mean difference of plasma MDA concentration on manual acupuncture group 0.228 ± 0,441 and mean difference of plasma MDA concentration in electroacupuncture group 0.409 ± 0.415."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rafika
"Latar Belakang: Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan dengan prevalensi dan beban yang cukup tinggi di dunia. Inkotinensia urin tekanan (SIU) merupakan salah satu bentuk inkontinensia urin dengan prevalensi di Indonesia berkisar antara 14,57-52%. Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu pencegahan dan tatalaksana yang direkomendasikan untuk inkontinensia urin. Namun, perbandingan antara efektivitas latihan yang dilakukan selama masa kehamilan dan pasca persalinan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan sebagai pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan.
Metode: Dilakukan penelitian dengan desain uji klinis acak terkontrol dan kerangka konsep etiologik. Populasi penelitian yaitu semua ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan. Dalam kurun waktu penelitian didapatkan sampel sebanyak 70 ibu hamil dengan gejala inkontinensia urin tekanan pasca persalinan yang dibagi dalam kelompok tanpa intervensi, kelompok latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan, dan kelompok latihan otot dasar panggul pasca persalinan. Data dianalisis dengan metode analisis bivariat kategorik tidak berpasangan dua kelompok.
Hasil: Dari hasil penelitian ini, didapatkan adanya hubungan yang bermakna pada ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul baik sejak masa kehamilan (p-value = 0.002) maupun pasca persalinan (p-value = 0.006) dengan penurunan proporsi kejadian inkontinensia urin tekanan menetap pasca persalinan. Namun, tidak didapatkan adanya perbedaan hasil yang bermakna secara statistik antara kelompok ibu hamil yang diberikan latihan otot dasar panggul sejak masa kehamilan dengan yang diberikan latihan pasca persalinan (p-value = 1.000).
Kesimpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan. Namun, latihan otot dasar panggul pada masa kehamilan dan setelah persalinan terbukti efektif dalam pencegahan dan pengobatan terhadap terjadinya inkontinensia urin tekanan yang menetap pasca persalinan dibandingkan dengan yang tidak melakukan.

Background: Urinary incontinence (UI) is one of the problematic health problems with high prevalence and monetary burden in the world. Stress urinary incontinence is one form of UI with a prevalence of 14.57 -52% in Indonesia. Pelvic floor muscle training (PFMT) is one of its recommended preventive and curative measures. Nevertheless, comparison between PFMT initiated during pregnancy period and postpartum period has never been studied before.
Objective: This study aims to determine the effectiveness of pelvic floor muscle exercises during pregnancy and after childbirth as prevention and treatment of the occurrence of persistent postpartum urinary incontinence.
Method: A randomized controlled trials with an etiological conceptual framework was done in this study. The study population were all pregnant women with symptoms of urinary incontinence. In the study period, a sample of 70 pregnant women with symptoms of postpartum urinary incontinence consisting of no-intervention group, pregnancy PFMT group, and postpartum PFMT group. The data were analyzed by two groups of unpaired categorical bivariate analysis methods.
Results: It was found that there was a significant association between pregnant women given pelvic floor muscle training (PFMT) both during pregnancy (p-value = 0.002) and postpartum (p-value = 0.006) with decline of persistent postpartum urinary incontinence proportion. However, there was no statistically significant difference of outcome found in the group of pregnant women given PFMT since pregnancy with those who were given after childbirth, p-value = 1,000.
Conclusion: In this study there was no significant difference of outcome between PFMT during pregnancy and after delivery. However, PFMT during pregnancy and after childbirth have been proven effective in the prevention and treatment of the occurrence of postpartum urinary incontinence compared with those who did not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58707
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Parmaditya Pamungkas
"Latar belakang: SARS-CoV2, virus yang menyebabkan COVID-19 merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi dunia dewasa ini. Gangguan penghidu dan pengecap saat ini telah diakui menjadi suatu entitas gejala pada COVID-19 namun studi terkait evaluasi objektif dan tata laksana gangguan ini masih sangat terbatas.
Tujuan penelitian: Mengetahui gambaran klinis gangguan penghidu pada COVID-19 berdasarkan uji penghidu alkohol (UPA) dan uji penghidu intravena (UPI) serta efektifitas terapi hidung sebagai tambahan terapi standar pasien COVID-19 dengan gangguan penghidu.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol paralel dengan penyamaran tunggal pada 2 kelompok menggunakan 24 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami gangguan penghidu dan dirawat di RS Cipto Mangunkusumo periode Juli-Oktober 2020. Penapisan gangguan penghidu menggunakan UPA dan dilanjutkan dengan UPI. Protokol terapi hidung yang digunakan terdiri dari steroid intranasal, cuci hidung Nacl 0,9%, dekongestan topikal dan balsam aromatik selama 2 minggu kemudian dilakukan analisis statistik perbedaan delta pada hasil pemeriksaan UPA dan UPI menggunakan Uji T independent atau Uji Mann Whitney.
Hasil: Terdapat 4 subyek yang keluar dari penelitian dan analisis akhir dilakukan hanya pada 10 subyek per kelompok. Pada pengukuran awal didapatkan rerata nilai pengukuran UPA yang terganggu (kontrol 5,13 ± 3,79; terapi 2,6 ± 2,23). Pada pemeriksaan UPI didapatkan perlambatan onset UPI {kontrol 26 (8-300); terapi :131,5 (20-300)} penurunan nilai durasi {(kontrol:111 (0-182); terapi:44 (0-70)}. Uji perbedaan delta semua variabel pasca terapi didapatkan bahwa terdapat hasil perbedaan signifikan pada onset UPI kelompok terapi (p<0,001) dibandingkan kontrol. Terdapat peningkatan persentase perbaikan semua biomarka: UPA (170,13%), onset UPI (13,45%), dan durasi UPI (32,82%) pada kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan keunggulan persentase >10%.
Kesimpulan: Karakteristik gambaran gangguan penghidu pada subyek COVID-19 pada penelitian ini sesuai dengan jenis gangguan penghidu sensorineural. Subyek pada kedua kelompok mengalami perbaikan gangguan penghidu pasca follow up 2 minggu. Pemberian terapi hidung memberikan nilai tambah dengan bukti awal perbaikan pada nilai onset UPI dibanding pemberian terapi standar saja.

Background: SARS-CoV2, the virus that causes COVID-19, makes the disease biggest health problem the world facing today. Smell and taste disorders are currently recognized as a symptom entity in COVID-19, but studies related to objective evaluation and management of this disorder are still very limited.
Aim : To evaluate the clinical presentation of olfactory disorders in COVID-19 based on the alcohol sniff test (AST) and the intravenous olfaction test (IOT) and the effectiveness of the nasal therapy protocol as an adjunct to standard therapy in COVID-19 patients with olfactory disorders.
Methods: This study was a two-group single-blind randomized trial of 24 COVID-19 patients with olfactory disorders in Cipto Mangunkusumo General Hospital from July to October 2020. Assestment of olfactory function in this study was performed using AST and IOT. Screening for olfactory disorders performed using AST and followed by IOT. The nasal therapy used consisted of intranasal steroids, Nacl 0,9% nasal washing, topical decongestants and aromatic balms for 2 weeks. Statistical analysis of delta differences was carried based on the results of AST and IOT using independent T test or Mann Whitney test.
Results: Four subject were lost to follow up. The final analysis was performed on each 10 subjects per group. The initial measurement showed all subjects included in this study have decreased AST value (control: 5.13 ± 3.79; therapy: 2.6 ± 2.23). Late onset IOT {control: 26 (8-300); therapy: 131.5 (20-300)}, decreased duration {(control: 111 (0-182); therapy: 44 (0-70)}. Statistical tests of delta differences of all post-therapy variabel found that there were significant results on delta IOT latency in the treatment group (p <0.001). There were difference of the percentage improvement of AST (170.13%), IOT onset (13.45%), and duration of IOT (32.82%) in the therapy group compared to the control group. with a percentage advantage >10%.
Conclusion: The characteristics of the olfactory disorder in COVID-19 subjects in this study were in accordance with the type of sensorineural olfactory disorders. Both subject of two groups have showed improvement in two weeks follow up. The administration of a nasal therapy provides early evidence of improvement in the IOT onset value compared to standard therapy alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>