Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33200 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Rezza Naufal
"Tesis ini membahas tentang Keanggotaan DPD terkait Larangan dari Partai Politik, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keanggotaan DPD terkait larangan dari partai politik, problematika yang timbul dari keanggotaan DPD dari partai politik dan mengetahui keanggotaan DPD yang ideal untuk mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriptif yaitu melakukan pendekatan secara intensif, mendalam dan mendetail serta komprehensif untuk menggali secara mendalam mengenai masalah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanggotaan DPD dari partai politik terkait larangan diatur pertama kali oleh Pasal 63 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bahwa calon anggota DPD tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Kemudian syarat tersebut dihilangkan pada undang-undang selanjutnya. Kemudian diatur kembali dalam Putusan MK No. 30/PUU/XVI/2018. MK menafsirkan makna ā€œpekerjaan lainā€ dalam Pasal 182 huruf l UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum termasuk sebagai pengurus Partai Politik mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi partai politik yang bersangkutan. Problematika yang timbul dari keanggotaan DPD dari partai politik ini adalah dapat menimbulkan konflik kepentingan antara DPD dengan partai politik dan merubah original intent DPD sebagai pembawa aspirasi daerah dan kekuatan penyeimbang antara politik dan daerah.

This thesis discusses about DPD membership related to the Prohibition of Political Parties, with the aim to find out how the DPD membership is related to the prohibition of political parties, problems arising from the DPD membership of political parties and to find out the ideal DPD membership to realize checks and balances in the Indonesian constitutional system. This research was conducted using normative legal research methods, through library research, with prescriptive research typologies that are conducting intensive, profound, detailed and comprehensive to explore deeply about research issues. The results showed that the membership of the DPD from political parties related to the ban was first regulated by Article 63 of Law No. 12 of 2003 concerning the General Election of Members of the DPR, DPD, and DPRD that the DPD candidate members do not become administrators of political parties for at least 4 (four) years as of the nomination date. Then these conditions are removed in the next law. Then rearranged in the Constitutional Court Decision No. 30 / PUU / XVI / 2018. The Constitutional Court interprets the meaning of 'other work' in Article 182 letter l of Law No. 7/2017 regarding General Elections including being an administrator of a Political Party starting from the central level to the lowest level in accordance with the organizational structure of the political party concerned. The problems that arise from the DPD membership of political parties are that it can lead to conflicts of interest between the DPD and political parties and change the DPD's original intent as a carrier of regional aspirations and a balancing force between politics and the region.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Alif Nurbani
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018 terhadap Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah, serta urgensi keanggotaan DPD RI yang berasal dari unsur partai politik akibat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018. Metode yang digunakan kualitatif dengan pendekatan Yuridis Normatif. Temuan pada penelitian ini adalah: Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa frasa "pekerjaan lain" dalam Pasal 182 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai politik (parpol). Putusan MK tersebut berdampak pada larangan pencalonan anggota DPD dari unsur pengurus parpol. DPD tidak dapat diisi oleh pengurus parpol, "Pengurus parpol" struktur organisasi parpol yang bersangkutan. MK mengakui bahwa Pasal 182 huruf i UU Pemilu memang tidak secara tegas melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD. Sikap MK berdasarkan putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Sehingga, secara otomatis pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya mencakup juga kekuatan mengikat (binding). Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada pelaksanaannya telah terjadi problematika mengenai berlakunya putusan tersebut yang dianggap berlaku surut. Mahkamah Agung yang membatalkan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 karena berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 berlaku surut. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU- XVI/2018 tetap harus dilaksanakan, sehingga timbul ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, penafsiran dari Mahkamah Konstitusi yang harus dijadikan pedoman dan dilaksanakan.

The background of this research is the existence of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018 against the Institution of the Regional Representatives Council, as well as the urgency of DPD RI membership originating from political parties as a result of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018. The method used in this study is to use a qualitative method with a normative juridical approach. The findings of this study are: The Constitutional Court in its decision emphasized that the phrase "other work" in Article 182 letter i of the Election Law is contrary to the 1945 Constitution and does not have conditionally binding legal force as long as it is not interpreted to include administrators of political parties (political parties). The Constitutional Court's decision had an impact on the ban on the candidacy of DPD members from elements of political party management. So, the DPD cannot be filled by political party officials. The "administrators of political parties" in this decision are administrators starting from the central level to the lowest level according to the organizational structure of the political party concerned. The Constitutional Court acknowledged that Article 182 letter i of the Election Law does not explicitly prohibit political party officials from nominating themselves as candidates for DPD members. Even though the Constitutional Court's stance based on previous decisions always emphasized that candidates for DPD members could not come from members of political parties. Thus, this article automatically contradicts the 1945 Constitution if it is not interpreted as prohibiting political party officials from nominating themselves to become members of the DPD. The Constitutional Court has the authority to review laws against the constitution, decide on disputes over state institutions, decide on the dissolution of political parties, and decide on disputes over the results of general elections at the first and last levels. The decision of the Constitutional Court is final, meaning that it includes binding powers. Decisions of the Constitutional Court have binding power, evidentiary power, and executorial power. In its implementation, there have been problems regarding the validity of the decision which is considered retroactive. The Supreme Court canceled PKPU Number 26 of 2018 because it was of the opinion that the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 was retroactive. However, the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 must still be implemented, resulting in legal uncertainty. The Supreme Court is considered to have ignored the decision of the Constitutional Court. In the case of the implementation of the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, it is the interpretation of the Constitutional Court that must be used as a guideline and implemented."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eddie
"Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia sebagai lembaga baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia merupakan fenomena menarik. Secara teoretis, kehadiran kamar kedua dalam parlemen dimaksudkan untuk mewakili ruang (daerah) dan memberikan pendapat kedua dalam pembuatan undang-undang atau melakukan checks and balances kepada kamar pertama. Fungsi dan wewenang DPD yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang sangat terbatas, dan bahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD semakin dibatasi lagi dengan keterlibatan DPD dalam pembahasan hanya pada tahap pembicaraan tingkat I.
Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikaji pembentukan DPD, bagaimana bikameralisme di negara-negara lain, bagaimana kamar kedua melaksanakan checks and balances kepada kamar pertama atau upper house dan bagaimana implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. Karena itu, tesis ini mencoba membahas bentuk bikameralisme di Indonesia dan bagaimana DPD melaksanakan checks and balances kepada DPR. Penelitian dilakukan dengan tipe kualitatif deskriptif sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi kehadiran DPD yang dilakukan secara intensif, mendalam, terinci dan komprehensif. Pengumpulan data diiakukan dengan pengamatan langsung, studi pustaka, wawancara mendalam dengan pakar terkait, serta anggota DPD dan DPR.
Berdasarkan teori bikameralisme yang dikembangkan oleh Sartori, Lijphart, Ellis dan C.F. Strong serta melakukan perbandingan dengan bikameralisme di beberapa negara, bikameralisme di Indonesia termasuk dalam kategori yang berbeda atau bikameralisme yang Iain dari yang lain. Meskipun dengan kewenangan yang sangat terbatas, DPD - yang anggotanya dipilih Iangsung oleh rakyat dalam, pemilihan umum legislatif - masih dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dalam kerangka checks and balances terhadap DPR melalui pengusulan RUU di bidang tertentu, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dan fungsi pertimbangan dalam APBN ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Monawati Sukma
"ABSTRAK
Dibentuknya DPD merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yang fungsi dan kewenangannya telah diatur di dalam UUD NRI 1945. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD tahun 2018, Pada Pasal 249 ayat (1) huruf J DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Hal ini kemudian menjadi problematika ketika DPD sebagai lembaga legislatif, harus melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah, yang berlaku dalam lingkungan daerah. Penelitian ini dilakukan guna menemukan jawaban atas permasalahan mengenai kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda tepat atau tidak, serta bagaimana lingkup kewenangan dalam pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan
Perda yang dilakukan oleh DPD. Ditinjau dari kedudukan dan kemampuannya, tidak tepat bila DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Meskipun demikian, DPD telah merumuskan ketentuan yang mengatur mengenai lingkup dan mekanisme pelaksanaan kewenangan tersebut. Lingkup dalam melakukan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan DPD adalah berbentuk rekomendasi. Rekomendasi ini selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden, bukan kepada daerah yang bersangkutan. Seharusnya dalam merumuskan suatu kebijakan, lembaga legislatif harus benarbenar memahami isi dan makna dari suatu produk hukum yang akan dibentuk, agar tidak menjadi masalah ketika produk hukum tersebut diterapkan. Selain itu, kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda yang diatur dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J ini dilakukan judicial review
karena kewenangan ini tidak tepat diberikan kepada DPD.

ABSTRACT
The establishment of DPD is solution to solve problems of central and regional
governments, whose functions and authorities have been regulated in the
Constitution of Indonesia Republic of 1945. However, after the enactment of the
Law regulating the MPR, DPR, DPD and DPRD in 2018, Article 249 section (1)
letter J DPD is given the authority to carry out monitoring and evaluation of the
Raperda and Perda. This then becomes a problem when the DPD, as a legislative
x
institution, must supervise regional legal products, which apply in the regional
environment. This research was conducted to find answers to problems regarding
the DPD's authority to monitor and evaluate the draft regional regulation and
regional regulation whether it is appropriate or not, as well as how the scope of
authority in monitoring and evaluating the draft regional regulations and
regional regulation conducted by the DPD. Judging from its position and
capacity, it would not be right for the DPD to be given the authority to monitor
and evaluate the Raperda and Perda. Nonetheless, the DPD has formulated
provisions regulating the scope and mechanisms for exercising this authority. The
scope of monitoring and evaluation carried out by the DPD is in the form of
recommendations. These recommendations will then be submitted to the DPR and
the President, not to the regions concerned. In formulating a policy, the
legislative institution should really understand the content and meaning of a legal
product to be formed, so that it does not become a problem when the legal
product is applied. In addition, the DPD's authority to monitor and evaluate the
draft regional regulations and regional regulation as stipulated in Article 249
section (1) letter J is subject to a judicial review because this authority is not
properly assigned to the DPD."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Illiyina
"Tesis yang merupakan kajian interdisipliner antara kajian lembaga negara dengan kajian politik ini membahas perkembangan koalisi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat dalam era reformasi. Penelitian ini menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi legislatif di Indonesia. Dalam menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia penulis menemukan bahwa konfigurasi partai politik dan koalisi partai politik yang terbangun turut mempengaruhi pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan (statutory approach), dan pendekatan kasus (case approach) ini merekomendasikan perlunya koalisi berbasis kesamaan ideologi dan haluan (platform) politik diantara partai politik yang berkoalisi, menata pelembagaan koalisi yang mapan, menata ulang format pemilu dalam arti luas.

This thesis is an interdisciplinary study between state organ studies and political studies that discusses the development of political party coalition in reformation era of the House of Representative of the Republic of Indonesia. In analyze the dynamic of political party coalition and its influence to application to the House of Representative function in Indonesia, the author find that the configuration of political party and political party coalition that was built also influences the function of the House of Representative of the Republic of Indonesia. The research conducted by statutory approach and case approach recommend that need to set up the coalition base on similarity ideology and political platform among political party in coalition, to institutionalizing of establish coalition and reformulation of general electoral design in broader sense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31445
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafi Eltharik Sofyan
"Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Hak tersebut berbeda dengan hak asasi manusia maupun hak hukum. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, terdapat larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Meskipun putusan tersebut dapat diargumentasikan berpengaruh positif dalam mengembalikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah kepada maksud asli pembentukannya serta mencegah representasi ganda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, namun putusan tersebut tidak mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif. Penelitian ini menawarkan perspektif lain dalam mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUUXVI/2018, yaitu dengan menggunakan pendekatan hak konstitusional yang sama sekali tidak dibahas dalam pertimbangan hukum putusan. Penelitian ini mengkaji tinjauan umum mengenai hak konstitusional, sejarah lembaga Dewan Perwakilan Daerah, serta perbandingan hak konstitusional pengisian jabatan anggota kamar kedua di negara-negara lain. Pada akhirnya terdapat kesimpulan bahwa larangan bagi pengurus partai politik dalam pengisian jabatan anggota Dewan Perwakilan Daerah terindikasi bertentangan dengan hak konstitusional yakni hak untuk dipilih dan memilih serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, pembatasan terhadap hak konstitusional yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 juga tidak sesuai dengan ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak konstitusional.

Constitutional rights are the rights regulated in the Indonesian 1945 Constitution, both expressly and implicitly. These rights are different from human rights nor legal rights. After the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, there is a ban for political party administrators to become candidates for Regional Representatives Council members. Although it can be argued that the decision has a positive effect in returning the Regional Representatives Council institution to its formation original intent and preventing double representation with the People's Representatives Council, the decision does not consider various matters comprehensively. This study offers another perspective in reviewing the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, namely by using a constitutional rights approach that is not discussed at all in the legal considerations of the decision. This study examines an overview of constitutional rights, the history of the Regional Representatives Council, and a comparison of constitutional rights to fill the position of second chamber member in other countries. In the end, there is a conclusion that the prohibition for political party administrators to fill the positions of Regional Representatives Council members is indicated to violate constitutional rights, namely the right to be elected and to elect and the right to obtain equal opportunities in government. In addition, the restrictions on constitutional rights referred to by the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 are also not in accordance with the provisions regarding restrictions on constitutional rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzulfikar Fikri
"

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah-daerah tersebut. DPD sebagai lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945 awalnya diharapkan dapat merealisasikan sistem dua kamar (bicameral), sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPD memiliki fungsifungsi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pertimbangan. Semua tugas dan wewenang DPD terbatas pada aspek-aspek yang terkait erat dengan daerah. Ini merupakan sebuah potensi bagi DPD untuk dapat berperan lebih dalam berbagai aspek dalam pemerintahan daerah termasuk dalam pembangunan. Pembangunan diawali dengan perencanaan dan dalam ini adalah tahap paling penting karena disinilah partisipasi dari berbagai pemegang kepentingan disuarakan dan disatukan menjadi sebuah rencana pembangunan yang komprehensif untuk dapat mendukung pembangunan sebuah daerah. DPD sebagai lembaga perwakilan yang menjadi perwakilan wilayah seharusnya dapat lebih dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan mengingat kompleksnya proses pembangunan dan berbagai macam kepentingan di dalamnya.


The Regional Representative Council (DPD) as a regional representative institution that has a representative character based on regions has a broader representation character than the DPR, because the dimension of representation is based on all the people in these areas. The DPD as a new state institution after the amendment of the 1945 Constitution was initially expected to realize a two-chamber system (bicameral), as a people's representative institution, the DPD has functions as stipulated in the 1945 Constitution. These functions are legislative functions, budget functions, and consideration functions. All the duties and powers of the DPD are limited to those aspects closely related to the regions. This is a potential for the DPD to be able to play a deeper role in various aspects of regional governance including in development. Development begins with planning and in this is the most important stage because this is where the participation of various stakeholders is voiced and united into a comprehensive development plan to be able to support the development of a region. The DPD as a representative institution that becomes the regional representative should be more involved in the development planning process given the complexity of the development process and the various interests in it.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Kautsar Sangaji
"Muhamad Kautsar Sangaji. 1206253294. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Skripsi. Kewenangan Gubernur Dalam Penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perihal Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Ditolak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan kewenangan gubernur dalam penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah adalah dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam masa 1 tahun. Penulisan skripsi ini dibuat untuk menjawab beberapa permasalahan di antaranya mengenai: (1) kewenangan Gubernur dalam penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; (2) produk hukum penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan (3) kekuatan hukum peraturan gubernur dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Tujuan umum dari penelitian ini ialah untuk mengetahui kewenangan Gubernur dalam penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah perihal Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ditolak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang berarti bahwa Penulis melakukan analisa terhadap permasalahan tersebut dengan menggunakan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berbagai literatur seperti buku, jurnal, tesis, dan kamus sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata, Penulis menyimpulkan bahwa Gubernur memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah jika terjadi penolakan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ditolak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Muhamad Kautsar Sangaji. 120653294. Faculty of Law of Universitas Indonesia. Authority of Governors about Determination of Regional Revenues and Expenditures Budget regarding The Refusal of Regional Revenues and Expenditures Budget by Regional People?s Legislative Council.
This thesis discribes the regulation of regional revenues and expenditures budget and governor authority in determining of regional revenues and expenditures budget. Regional revenues and expenditures budget is the basis of regional budget management for one year. This thesis writing is made in order to answer: (1) governor?s authority in determining regional revenues and expenditures budget; (2) legal product of determination of regional revenues and expenditures budget if it is refuse by regional people?s legislative council; (3) governor?s regulation power in the implementaion of regional revenues and expenditures budget. The overall purpose of this thesis is to understand the authotity or the power of governor about determination of regional revenues and expenditures budget regarding the refusal of regional revenues and expenditures budget by regional people?s legislative council. This thesis writing uses a research method of juridical normative analysis which means that The Writer conducts the analysis regarding the issues above by using the articles in applicable laws and regulations and various literatures e.g. books, journals, thesis, and dictionaries as the references in this thesis writing. Finally, writer concludes that a governor has the authority to determine regional revenues and expenditures budget regarding the refusal of regional revenues and expenditures budget by regional people?s legislative council."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S65180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Riyan Rizki
"Pemanggilan paksa merupakan mekanisme untuk memanggil seseorang dalam rangka meminta keterangannya terkait suatu permasalahan tertentu, ketentuan terkait pemanggilan paksa umumnya digunakan dalam ranah penegakan hukum. Ketentuan mengenai penggunaan pemanggilan paksa dalam meminta keterangan selain dalam ranah penegakan hukum juga digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang diatur dalam UU MD3. Pada tahun 2018, yang merupakan perubahan kedua UU MD3 terdapat beberapa pasal kontroversial, salah satunya yaitu memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan seseorang sebelumnya pernah dipanggil DPR namunĀ  tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, sebelum akhirnya pasal kontroversial tersebut diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018. Penelitian ini dilakukan untuk membahas dan menjawab permasalahan yaitu bagaimana pengaturan dan penerapan hak subpoena oleh Lembaga Negara di Indonesia dan analisis mengenai pemanggilan paksa oleh DPR dalam Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis-normatif dan menggunakan data-data yang diperoleh berdasarkan hasil studi kepustakaan serta menelaah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil analisis menemukan bahwa DPR RI memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, yakni dalam menjalankan fungsi pengawasan, akan tetapi kewenangan dalam melakukan pemanggilan paksa tersebut dikatikan dengan adanya upaya penghinaan terhadap parlemen/contempt of parliamentsehinggan terdapat alasan yang jelas terkait dilakukannya pemanggilan paksa terhadap seseorang.

Forced summons is a mechanism to summon someone in order to ask for information regarding a particular problem, provisions related to forced summons are generally used in the realm of law enforcement. Provisions regarding the use of forced summons when requesting information other than in the realm of law enforcement are also used by the Republic of Indonesia's House of Representatives (DPR) which are regulated in the MD3 Law. In 2018, which was the second amendment to the MD3 Law, there were several controversial articles, one of which was giving the authority to the DPR RI to carry out forced summons using the assistance of the Indonesian National Police to present someone who had previously been summoned by the DPR but was absent 3 (three) times successively without proper and valid reasons, before finally the controversial article was decided unconstitutional by the Constitutional Court through Decision Number 16/PUU-XVI/2018. This research was conducted to discuss and answer problems, namely how to regulate and apply subpoena rights by State Institutions in Indonesia and an analysis of forced summons by the DPR in the Constitutional Court Decision Number 16/PUU-XVI/2018. To answer these problems, the author uses research methods with a normative-juridical approach and uses data obtained based on the results of literature studies and examines the provisions in the applicable laws and regulations. The results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out the results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out its supervisory function, but the authority to carry out forced summons is tied to attempts to insult parliament/contempt of parliament so that there are clear reasons related to carrying out forced summons against someone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Puji Rahmanto
"Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah kebutuhan daerah dan kehendak masyarakat DIY itu sendiri dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dijamin oleh konstitusi. Status istimewa yang dimiliki oleh DIY merupakan fakta sejarah yang tidak akan terhapus oleh kondisi jaman yang berubah.
Fungsi membentuk undang-undang (legislasi) yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih sangat lemah jika dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Padahal melalui fungsi legislasi, DPD diharapkan menjadi lembaga yang dapat menjembatani kepentingan daerah di tingkat pusat salah satunya adalah pembentukan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY).
Hal yang menarik terkait dengan peran DPD di dalam pembentukan UUK DIY adalah keterlibatan DPD yang cukup jauh padahal selama ini keterlibatan DPD dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang hanya sebatas menyampaikan pandangan dan pendapat akhir saja.
Keterlibatan DPD yang cukup jauh tersebut tidak lepas dari pendekatan politik yang dilakukan oleh Pimpinan Komite I DPD kepada Pimpinan Komisi II DPR. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, UU No. 12 Tahun 2011, dan Tata Tertib DPR, belum memberikan ruang kepada DPD untuk ikut membahas secara penuh dalam proses Pembicaraan Tingkat I. Padahal keberadaan DPD terbukti dapat meningkatkan ketahanan nasional melalui pemberdayaan daerah-daerah.

The specialty of Yogyakarta Special Region is a regional needs and desires Yogyakarta community itself in its efforts to improve the welfare of the people guaranteed by the Constitution. Special status held by Yogyakarta is a fact of history that will not be erased by the time the conditions change.
Functions make statutes (legislation) that is owned by the Regional of the Representative Council of the Republic of Indonesia (Senate) is still very weak in comparison to the House of Rerepsentative and the President. Through the legislative function, Senate of Indonesia is expected to be an institution that can bridge the interests of the region at the central one of which is the establishment of the Law Privileges Yogyakarta. (UUK DIY).
The interesting thing related to Senate's role in the formation of UUK DIY engagement Senate is quite far but so far Senate involvement in any discussion of the draft law was limited to conveying the views and opinions of the end of the course.
Involvement Senate could not be separated far enough from the political approach taken by the Chair of Committee I Senate to the Chair of Commission II House. Law No. 27 In 2009, Law no. 12 In 2011, and the Discipline of the House, not to give space to discuss the Council to participate fully in the Discussion Level I. Though the presence of Senate proven to improve national defense through empowerment of the regions."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>