Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160463 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Aditya Pranata
"Tingginya level subjective well-being (SWB) telah terbukti dapat melindungi remaja dari stres akibat banyaknya perubahan yang dialami di masa ini. Diketahui bahwa pola asuh orang tua dapat berkontribusi terhadap SWB remaja. Pada keluarga dual earnerkondisi pekerjaan orang tua diprediksi dapat berpengaruh terhadap pola asuh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pola asuh dan SWB remaja di keluarga dual earner. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online. Hasil analisis korelasi terhadap 118 remaja di SMP dan SMA di Jabodetabek menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang siginifkan antara kecenderungan pola asuh autoritatif dengan seluruh komponen SWB. Sementara itu, kecenderungan pola asuh permisif dan otoriter hanya berhubungan signifikan dengan komponen kepuasan hidup dan afek positif dari SWB. Penelitian ini menunjukkan kecenderungan pengasuhan autoritatif memiliki efek paling positif dan optimal bagi SWB remaja
.High subjective well-being(SWB) have been proven as a protective factor for adolescents experiencing stress due to various changes during this developmental period. It is known that parenting style contributes to adolescents’ SWB. In dual earner families, working parents might have certain conditions that influence their parenting which in turn, influence adolescents’ SWB. The purpose of this study is to investigate the relationship between parenting style and adolescent’s SWB in dual earner families. Data was collected via online questionnaire. Correlation analysis of 118 adolescents in middle and high school in Jabodetabek showed significant relationship between parents’ authoritativeness and all SWB components, whereas parents’ permissiveness and authoritarianism showed significant relationship only with life satisfaction and positive affect component. This result suggested that parents’ authoritativeness had the most positive and optimal effect to adolescents’ SWB.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Puspitasari
"Kesejahteraan subjektif yang baik penting untuk dimiliki oleh remaja. Remaja dengan kesejahteraan subjektif yang tinggi cenderung berperforma lebih baik dalam kehidupan. Tantangan seperti pubertas dan tuntutan akademik yang dapat berisiko bagi kesejahteraan subjektif remaja. Keluarga berperan penting dalam terbentuknya kesejahteran subjektif remaja. Remaja dalam kondisi keluarga yang tidak lengkap seperti keluarga ibu tunggal kerap ditemukan memiliki kesejahteraan subjektif yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pola asuh ibu tunggal dengan kesejahteraan subjektif remaja awal. Responden penelitian ini yaitu 66 remaja awal (12-15 tahun) di Karawang. Alat ukur yang digunakan untuk kesejahteraan subjektif yaitu Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), The Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), dan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1999). Pola asuh ibu tunggal diukur dengan Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991). Teknik analisis yang digunakan adalah simple regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh permisif dan autoritatif memprediksi kepuasan hidup, tidak terdapat pola asuh yang memprediksi afek positif dan negatif, serta pola asuh otoriter dan pola asuh autoritatif memprediksi kebahagiaan remaja awal di Karawang.

It is important for adolescent to have a good condition of subjective well-being. Adolescent with high subjective well-being tend to perform better in life. There are challenges such as puberty and academic demands that can be risks for adolescent to attain high subjective wellbeing. Family play an important role in the formation of adolescent’s subjective well-being. Adolescents in incomplete family conditions such as single-mother families are often found to have low subjective well-being. This study aimed to look at the relationship between perceived single mother’s parenting style with subjective well-being of early adolescents. There were 66 early adolescents (12-15 years) in Karawang that participated in this sudy. Subjective well-being were measured with Satisfaction With Life Scale (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), The Positive and Negative Affect Schedule (Watson, Clark, & Tellegan, 1988), and Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper , 1999). Single mother parenting was measured by the Parental Authority Questionnaire (Buri, 1991). The analysis technique used in this study is simple regression. The results showed that permissive and authoritative parenting style predict life satisfaction, there is no parenting style that predicts positive and negative effects, also authoritarian and authoritative parenting style predict the happiness of early adolescents in Karawang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elzza Priscania Raissachelva
"Perpisahan dalam jangka waktu lama yang dialami oleh remaja dan orang tua yang merupakan pekerja migran dapat membuat kualitas hubungan yang terjalin mengalami perubahan dan membentuk hubungan yang buruk diantara mereka. Ketika remaja memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua, mereka mulai menjalin kedekatan dengan teman.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kelekatan pada orang tua dan teman sebaya dengan subjective well-being (SWB) remaja yang ditinggalkan orang tua bekerja sebagai pekerja migran. Partisipan penelitian terdiri dari 42 remaja berusia 12 - 15 tahun. Alat yang digunakan untuk mengukur kelekatan adalah inventory of parent and peer attachment (IPPA) oleh Armsden dan Greenberg (1987).
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur SWB adalah satisfaction with life scale (SWLS) oleh Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985), positive and negative affect schedule (PANAS) oleh Watson, Clark dan Tellegan (1988) dan subjective happiness scale (SHS) oleh Lyubomirsky dan Lepper (1999).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan dan hubungan negatif yang signifikan antara kelekatan pada ayah dengan afek negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada ibu dengan komponen afek positif dan hubungan positif yang signifikan antara kelekatan pada teman sebaya dengan kebahagiaan.

Long-term separation experienced by adolescents and parents who are migrant workers can make quality of the relationships are change and form a bad relationship between them. When adolescent have a bad relationship with parents, they begin to develop closeness with friends.
The aim of this study is to find out the relationship between attachment to parent and peer with subjective well-being (SWB) among adolescents who are left behind by their parent to working as migrant worker. The research sample are 42 adolescents between 12 - 15 years old who are left behind by their parent to working as migrant worker.
Attachment to parent and peer was measured with Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) by Armsden and Greenberg (1987) and SWB was measured with Satisfaction With Life Scale (SWLS) by Diener, Emmons, Larsen, and Griffin (1985), Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) by Watson, Clark and Tellegan (1988), and Subjective Happiness Scale (SHS) by Lyubomirsky and Lepper (1999).
Result of this study indicated that attachment to father has positively significant correlation with life satisfaction and happiness while attachment to father has negatively significant correlation with negative affect. Attachment to mother has positively significant correlation with positive affect and attachment to peer has positively significant to happiness.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah Nurul Hayya
"Kesejahteraan subyektif (SWB) merupakan masalah krusial bagi remaja karena berperan penting dalam mengurangi efek negatif stres akibat perubahan pada periode ini. Diketahui bahwa komunikasi orang tua memberikan kontribusi terhadap angka SWB remaja, namun kondisi kerja orang tua pada keluarga berpenghasilan ganda dapat mempengaruhi keterbukaan orang tua dan masalah komunikasi dan diperkirakan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orang tua dan kesejahteraan subjektif pada anak laki-laki dan perempuan dari beberapa keluarga pencari nafkah. Hasil analisis korelasi pada 112 remaja usia 12-18 tahun di Jabodetabek menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara komunikasi orang tua dengan kesejahteraan subjektif.

Subjective well-being (SWB) is a crucial issue for adolescents because it plays an important role in reducing the negative effects of stress due to changes in this period. It is known that parental communication contributes to the SWB rate of adolescents, but the working conditions of parents in double-income families can affect parental openness and communication problems and are expected to affect the level of subjective adolescent welfare. This study aims to determine the relationship between parental communication and subjective welfare of boys and girls from several breadwinner families. The results of correlation analysis on 112 adolescents aged 12-18 years in Jabodetabek showed a significant positive relationship between parental communication and subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titiana Rahma Ramadan
"Banyaknya faktor risiko yang mungkin dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, membuat well-being pada mereka penting untuk diperhatikan. Salah satu faktor risiko tersebut adalah mereka tidak tinggal bersama orang tua. Oleh karena itu, peer attachment diasumsikan berperan penting dalam kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara peer attachment dan subjective well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Penelitian ini bersifat korelasional dengan melibatkan responden remaja berusia 12 hingga 18 tahun yang tinggal menetap di panti asuhan, di 5 wilayah di Jakarta N=132, L= 66.
Terdapat tiga instrumen penelitian yang digunakan, yaitu Satisfaction with Life Scale SWLS untuk mengukur kepuasan hidup, Positive and Negative Affect Schedule PANAS untuk mengukur afek positif dan negatif, serta Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA untuk mengukur peer attachment.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara peer attachment dan kepuasan hidup ,250, p0,01 serta afek negatif -,025, p>0,01.

The well being of orphanage adolescents is important to be considered as there are numbers of risk factors that they may experience throughout their life. One of those risk factors is that they do not live with their parents. Therefore, peer attachment is assumed to take an important role in their life.
The aim of this study is to find out whether there is a relationship between peer attachment and subjective well being of orphanaged adolescents in Jakarta. This is a correlational study with adolescents from age 12 to 18 years living in orphanage in 5 area in Jakarta as a respondents N 132.
Instruments used in this study are, Satisfaction with Life Scale SWLS to measure life satisfaction, Positive and Negative Affect Schedule PANAS to measure positive and negative affect, and Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA to measure peer attachment.
The results show that there is a positive and significant relationship between peer attachment and life satisfaction ,250, p0,01 and negative affect ,025, p 0,01.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Dwi Syafina
"Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren. Banyaknya peraturan dan tuntutan di pesantren bukanlah hal mudah untuk dijalani oleh para remaja awal. Mereka sangat rentan melakukan berbagai pelanggaran di sekolah yang merupakan indikator rendahnya subjective well-being in school. Padahal subjective well-being in school yang tinggi akan meningkatkan keberhasilan akademik dan membuat mereka memiliki kesehatan mental serta fisik yang baik. Salah satu faktor penting yang memengaruhi subjective well-being in school adalah school belonging. Di pesantren, para siswa diharuskan tinggal bersama dan lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman dan para guru dibandingkan sekolah lainnya, sehingga seharusnya school belonging yang mereka miliki tinggi. School belonging juga merupakan kebutuhan penting bagi para remaja awal. Dengan demikian, remaja awal di pesantren seharusnya memiliki school belonging yang tinggi yang akan berhubungan dengan subjective well-being in school mereka. Responden penelitian ini terdiri dari 167 siswa remaja awal dari 4 pesantren di wilayah Depok dan Bogor. School belonging diukur menggunakan Psychological Sense of School Membership Among Adolescents dan subjective well-being in school diukur menggunakan Brief Adolescents rsquo; Subjective Well-Being in School Scale. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara school belonging dan subjective well-being in school pada remaja awal di pesantren.

The purpose of this study is to know the relationship between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren. The number of rules and demands in pesantren is not easy for early adolescents. They are very vulnerable to violations in school that are indicators of low level subjective well being in school. In fact, high level of subjective well being in school can improve their academic success and have good mental and physical health. One important factor that affecting subjective well being in school is school belonging. In pesantren, students are required to live together and interact more with friends and teachers than any other school. That situation should make their school belonging higher. School belonging is an important needs for early adolescents. Thus, early adolescents in pesantren should have high level school belonging that will relate to their subjective well being in school. The respondents consisted of 167 early adolescents from 4 pesantren in Depok and Bogor. School belonging was measured using Psychological Sense of School Membership Among Adolescents and subjective well being in school were measured using the Brief Adolescents 39 Subjective Well Being in School Scale. The results showed a significant positive correlation between school belonging and subjective well being in school among early adolescents in pesantren."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Penelitian ini dilakukan untuk melihat Hubungan antara Pola Pengasuhan dan
Regulasi Emosi Anak Usia 2-7 tahun pada Keluarga dengan Kedua Orangtua
Bekerja. Sebanyak 80 orangtua pada keluarga dengan kedua pasangan bekerja
menjadi partisipan dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner cetak maupun
online yang berisikan item-item yang mengukur pola pengasuhan orangtua dan
regulasi emosi pada anak. Pola pengasuhan orangtua diukur dengan alat ukur
Parenting Style Development Questionnaire (PSDQ) yang dikonstruksi oleh
Robinson, dkk (1995).Dari hasil penelitian ini, terdapat 41 orangtua yang
menerapkan pola pengasuhanAuthoritative, 25 orangtua yang menerapkan pola
pengasuhan Authoritarian, dan 14orangtua yang menerapkan pola
pengasuhanPermissive. Selanjutnya Regulasi Emosi diukur dengan
menggunakan alat ukur Emotion Regulation Checklist (ERC) yang dikonstruksi
oleh Shields & Cicchetti (1997). Pada penelitian ini ditunjukkan rata-rata hasil
skor regulasi emosi anak usia 2-7 tahun sebesar 72,16, dari angka ini
diidentifikasikan bahwa terdapat 34 anak yang memiliki kemampuan regulasi
emosi baik dan 46 anak yang memiliki kemampuan regulasi emosi buruk.Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapathubungan yang signifikan
antara ketiga pola pengasuhan orangtua dan regulasi emosi pada anak., This study was conducted to see the relationship between parenting style and
emotion regulation on children aged 2-7 years from dual-earner family. A total
of 80 parents in families with both spouses working become participants in this
study by completing a physic or online questionnaire containing items that
measure parenting style and emotion regulation in children. Parenting style was
measured by a Parenting Style Development Questionnaire (PSDQ) constructed
by Robinson, dkk (1995). From the result of this study, there are 41parents who
apply authoritative parenting style,25 parents who apply authoritarian parenting
style, and 14 parents who apply permissive parenting style. Furthermore,
Emotion Regulation is measured by Emotion Regulation Checklist (ERC),
which is constructed by Shields & Cicchetti (1997). In this study, the results
indicated an average score of emotion regulation on children aged 2-7 years at
72.16, this figure was identified that there is 34 children who have a good
emotion regulation abilities and 46 children who have poor emotion regulation
abilities. The results of this study indicate that there are significant relationship
between threeparenting style and emotion regulation on children.]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atsarina Adani Soetikno
"ABSTRAK

Motivasi merupakan faktor utama yang menentukan efek hijab terhadap pemakainya, dan efek tersebut dapat memengaruhi subjective well-being. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motivasi untuk memakai hijab dengan subjective well-being yang dimiliki muslimah yang bersangkutan. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Subjective Happiness Scale yang dikembangkan oleh Lyubomirsky dan Lepper (1999) untuk mengukur subjective well-being serta Relative Autonomy Index yang digunakan oleh Sheldon, Ryan, Deci, dan Kasser (2004) untuk mengukur motivasi berhijab. Pengambilan data dilakukan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berhijab dengan subjective well-being partisipan.


ABSTRACT

Motivation is a major factor that determines the effect of hijab to its wearer, and these effects can influence subjective well-being. This study aims to find the relationship between motivation to wear hijab and subjective well-being of muslim women. This research is a quantitative research with correlational design. This study used Subjective Happiness Scale developed by Lyubomirsky and Lepper (1999) to measure subjective well-being and the Relative Autonomy Index by Sheldon, Ryan, Deci, and Kasser (2004) to measure motivation to wear hijab. The results showed that there was no significant relationship between motivation to wear hijab and subjective well-being of participants.

"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55325
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syifadewi
"Subjective well-being merupakan salah satu topik psikologi positif yang penting untuk dikaji dalam tahapan usia emerging adult. Berbagai tantangan dan permasalahan yang dilalui dapat menjadi faktor risiko bagi well-being mereka. Di antara berbagai aspek yang dapat berhubungan dengan subjective well-being, solitude diasumsikan berperan sebagai faktor protektif bagi well-being. Solitude merupakan kondisi objektif dari kesendirian yang umumnya digunakan secara konstruktif. Oleh karena itu, penelitian ini hendak melihat hubungan solitude dan subjective well-being pada emerging adulthood. Terdapat 317 partisipan berusia 18-25 tahun (M = 21.51, SD = 1.78) yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menggunakan alat ukur Perth A-Loneness Scale (PALs) (Houghton dkk., 2014) dan The PERMA-Profiler adaptasi Indonesia (Elfida dkk., 2021) menunjukkan bahwa solitude berhubungan positif signifikan dengan subjective well-being. Temuan ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kecenderungan dewasa muda menerapkan solitude maka semakin tinggi tingkat subjective well-being.

One of the important areas of positive psychology to research in emerging adult period is subjective well-being. The various challenges and problems they go through can be a risk factor for their well-being. Among the various aspects that can be related to subjective well-being, solitude is assumed to act as a protective factor for well-being. Solitude is an objective condition of solitude that is generally used constructively. Therefore, this study aims to examine the relationship between solitude and subjective well-being in emerging adulthood. There were 317 participants between the ages of 18-25 (M = 21.51, SD = 1.78) who participated in this study. The results of the study using the Perth A-Loneness Scale (Houghton et al., 2014) and The PERMA-Profiler (Elfida et al., 2021) measurement tools showed that solitude was significantly positively related to subjective well-being. This finding can be interpreted that the higher the tendency of young adults to practice solitude, the higher the level of subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Nilam Sari
"Subjective Well-Being (SWB) remaja relatif menurun selama pandemi dan salah satu faktor yang dapat menjadi buffer adalah strength dan virtue dalam diri seseorang. Salah satu virtue tersebut adalah Intellectual Humility (IH) yang relatif memiliki hubungan positif dengan SWB secara umum. Penelitian ini meneliti hubungan IH dengan SWB sekolah (SWBS) yang merupakan salah satu domain khusus dari SWB pada remaja. Partisipan penelitian berjumlah 166 remaja awal umur 12-15 tahun yang merupakan siswa/i SMP Negeri. Alat ukur yang digunakan adalah CIHS (Krumrei-Mancuso & Rouse, 2016) dan BASWBSS (Tian et al., 2014) untuk mengukur kedua variabel. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel IH dengan SWBS, tetapi ada hubungan antara beberapa dimensi dalam IH (Openness to Revise One's Viewpoint dan Lack of Intellectual Overconfidenc) dengan SWBS beserta komponen kognitif di dalamnya. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perbaikan dalam metodologi dan prosedur pegambilan data, serta saran praktis bagaimana menanamkan IH pada siswa/i di sekolah sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka yang telah melalui pembelajaran akademik di era pandemi.

Subjective Well-Being (SWB) of adolescence has relatively decreased during the pandemic and one of the factors that can be a buffer towards it is the strength and virtues possessed by individuals. One of these virtues is Intellectual Humility (IH) which relatively has a positive relationship with SWB in general. This study examines the relationship between IH and SWB in school (SWBS) which is a special domain for adolescents’ well-being. The participants of this study were 166 teenagers aged 12-15 years old who were students of a Public Junior High School. The CIHS (Krumrei-Mancuso & Rouse, 2016) and BASWBSS (Tian et al., 2014) were used as measuring tools in this study. The result of this study showed that there was no significant relationship between IH and SWBS, but there was a relationship between several dimensions in IH (Openness to Revise One's Viewpoint and Lack of Intellectual Overconfidence) with SWBS and its cognitive component. Suggestions for future research are improvements in methodology and data collection procedures, as well as practical suggestions on how to instill IH in students at school as an effort to improve the welfare of students who had gone through academic learning in the pandemic era."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>