Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afif Rasyad
"Latar Belakang: Salah satu prosedur dalam fertilisasi in vitro (FIV), yaitu stimulasi ovarium terkendali (SOT), dapat mengurangi reseptivitas dari endometrium. Hal ini disebabkan oleh administrasi dari recombinant follicle stimulating hormone (r-FSH), yang akan menyebabkan tubuh untuk melepaskan beberapa folikel disaat yang bersamaan (supervoulasi). Kondisi ini dapat mempengaruhi ekspresi dari glikodelin-A (GdA), yang memiliki peran dalam mempersiapkan endometrium dalam proses implantasi.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian berbagai kadar r-FSH dalam prosedur SOT pada ekspresi glikodelin-A pada berbagai kompartemen jaringan endometrium dari hewan Macaca nemestrina (beruk).
Metode: Penelitian ini menggunakan jaringan uterus beruk yang tersimpan di dalam blok parafin. Subjek dari penelitian ini terdiri dari 15 beruk betina yang berada di dalam usia reproduksi, sekitar 8-10 tahun, dan telah melahirkan sebelumnya. Subjek kemudian dibagi menjadi empat kelompok; kelompok kontrol yang tidak dilakukan administrasi r-FSH, dan juga kelompok uji yang diberikan administrasi r-FSH dengan berbagai kadar (30, 50, dan 70 IU) sesuai dengan protokol SOT. Jaringan kemudian akan diberi pewarnaan immunohistokimia, dan ekspresinya diukur menggunakan plugin IHC Profiler dari perangkat lunak ImageJ, dimana hasil pengukuran berupa Histological Score (H-Score). Hasil tersebut kemudian dianalisis secara statistik dengan ANOVA satu arah.
Hasil dan Pembahasan: Hasil analisis ANOVA satu arah menunjukkan bahwa perbedaan ekspresi GdA di kelenjar (F(3,10) = 0,80, p = 0,52) dan stroma (F(3,11) = 0,92, p = 0,47) endometrium antar kelompok tidaklah signifikan, dan variasi data di dalam kelompok lebih besar dibandingkan antar kelompok . Ekspresi GdA memiliki variasi perbedaan antar kelompok lebih tinggi, namun tidak signifikan (F(2,8) = 1,80, p = 0,23). Hasil ini dapat disebabkan oleh; Ekspresi GdA yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh administrasi r-FSH, perbedaan fase antar sampel, dan juga jumlah sampel yang kecil.

Background: One of the crucial steps of in vitro fertilization (IVF), the controlled ovarian hyperstimulation (COH), may decrease the receptivity of endometrial tissue. This is due to the administration of recombinant follicle stimulating hormone (r-FSH), which aims to make the body to release multiple follicles at the same time (superovulation). This can alter the expression of Glycodelin-A (GdA), which has a role in preparing the endometrial tissue to go through the implantation process.
Objective: To find out the effects of different r-FSH dosages administration during COH protocol on glycodelin-A endometrial tissue compartments expression in Macaca nemestrina (southern pig-tailed macaque).
Methods: Paraffin-embedded tissue blocks of macaques uterus were used for this study. The subjects that were included consist of 15 female macaques, all on reproductive age of 8-10 years and have given birth beforehand. The subjects were then divided into four groups; the control group were those who had not been administered with r-FSH, and those who had been administered with different dosages of r-FSH (30, 50, and 70 IU) in accordance to the COH protocols. The tissues were then stained using immunohistochemistry, and the expressions were measured using the plugin IHC Profiler of the ImageJ software, where the result of the measurement were in Histological Score (H-Score). The result were then statistically analysed using one-way ANOVA.
Results and Discussion: The result of one-way ANOVA showed, that the differences of glycodelin-A expression in the endometrial glands (F(3,10) = 0.80, p = 0.52) and stromal parts of the tissue (F(3,11) = 0.92, p = 0.47) between the groups were insignificant, the variance of data among the groups were larger than between the groups. Glycodelin-A expression in the four groups of luminal parts however, have higher variances between the groups than among the groups, but the differences were insignificant (F(2,8) = 1.80, p = 0.23). This result were caused by; The expression of GdA which is not directly affected by the administration of r-FSH, different phases of each samples, and also the low number of samples.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adriana Viola Miranda
"Latar belakang: Meski krusial untuk keberhasilan fertilisasi in vitro (FIV), stimulasi ovarium terkendali (SOT) diketahui dapat menurunkan reseptivitas endometrium dan mempengaruhi keberhasilan prosedur tersebut secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan administrasi recombinant follicle stimulating hormone (r-FSH) yang meregulasi ekspresi regulator reseptivitas endometrium, termasuk leptin, melalui perantara estradiol.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai dosis r-FSH pada SOT terhadap perubahan ekspresi leptin pada jaringan endometrium Macaca nemestrina (beruk).
Metode: Penelitian ini menggunakan blok parafin berisi jaringan uterus Macaca nemestrina fase midluteal dari penelitian sebelumnya. Subjek adalah 15 beruk betina usia reproduktif (8-10 tahun) dengan riwayat melahirkan yang dibagi ke dalam empat kelompok: kelompok dengan administrasi r-FSH dosis 30 IU, 50 IU, 70 IU (kelompok intervensi), dan tanpa pemberian r-FSH (kelompok kontrol). Stimulasi ini diberikan selama 10 atau 12 hari pertama siklus haid. Pewarnaan dilakukan secara immunohistokimia. Ekspresi leptin diukur menggunakan plugin IHC Profiler pada software ImageJ serta dihitung secara semikuantitatif sebagai Histological Score (H-score). Analisis statistik untuk data normal dan homogen dilakukan dengan ANOVA satu arah, sedangkan untuk data tidak normal atau tidak homogen dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis.
Hasil dan Pembahasan: Pengaruh SOT pada jaringan endometrium ditemukan pada kompartemen epitel kelenjar, stroma, dan epitel luminal. Perbedaan ekspresi leptin antara keempat kelompok pada ketiga kompartemen tersebut bersifat tidak bermakna secara signifikan (Fkelenjar(3,10) = 0.464, p = 0.714; pstroma = 0.436; pluminal = 0.155). Hasil ini kemungkinan disebabkan oleh hubungan r-FSH dan leptin yang tidak bersifat langsung, tetapi diperantarai oleh estradiol. Limitasi penelitian ini adalah jumlah sampel yang kecil, serta keterbatasan dalam mengukur durasi fase siklus haid dan cadangan ovarium pada subjek penelitian."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quamila Fahrizani Afdi
"Latar Belakang: Respon ovarium setelah stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan salah satu langkah penting untuk menentukan kesuksesan Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) terutama Fertilisasi In Vitro (FIV). Melalui SOT dapat terlihat seberapa banyak oosit yang dapat digunakan dalam TRB. Kelompok perespon buruk memiliki respon ovarium yang tidak normal dan memiliki angka kegagalan kehamilan yang tinggi terkait dengan penurunan kualitas dan juga kuantitas oosit. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh berbagai faktor (usia, IMT, endometriosis, dan riwayat pembedahan di daerah ovarium) terhadap respon ovarium pada FIV, sehingga konseling untuk pencegahan serta pertolongan secepatnya dapat diberikan pada kelompok yang berisiko menjadi perespon buruk. Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan desain cross sectional retrospektif yang menggunakan data sekunder dengan tujuan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang memengaruhi respon ovarium di Klinik Yasmin, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam 5 tahun (2013 sampai dengan 2017). Dipakai dua definisi perespon buruk, setelah suatu prosedur SOT, dalam penelitian ini yaitu berdasarkan jumlah oosit (kriteria Bologna) dan kriteria Poseidon. Hasil: Dari tahun 2013-2017 terdapat 749 pasien yang memenuhi kriteri inklusi. Berdasarkan jumlah oosit yang dihasilkan terdapat 188 pasien (25%) perespon buruk dan 561 pasien (75%) perespon normal. Faktor usia, endometriosis, riwayat operasi di daerah ovarium secara signifikan berhubungan dengan kelompok perespon buruk (p< 0,001), walaupun dalam analisis multivariat hanya usia yang secara signifikan memprediksi perespon buruk (p= 0,004). Berdasarkan kriteria Poseidon, terdapat 262 orang subyek (35%) termasuk dalam kelompok non Poseidon (perespon normal). Terdapat 7 orang (0,9%) sesuai dengan grup  Poseidon 1a, 64 orang (8,5%) termasuk dalam grup Poseidon 1b, 30 orang (4%) dalam kelompok grup Poseidon 2a, 113 orang (15,1%) sesuai dengan grup Poseidon  2b, 73 orang (9,7%) sesuai dengan grup Poseidon 3, dan 200 orang sisanya (26,7%) sesuai dengan grup Poseidon 4. Masing-masing faktor memiliki pengaruh tersendiri terhadap grup Poseidon. Endometriosis merupakan determinan yang signifikan untuk grup Poseidon 1 dan 4. Riwayat operasi merupakan determinan signifikan untuk grup Poseidon 2 dan 3, sedangkan peningkatan IMT justru menurunkan risiko seorang wanita masuk kedalam grup Poseidon 3. Endometriosis dan riwayat operasi daerah ovarium tidak dapat dikatakan memiliki hubungan langsung terhadap kelompok Poseidon 1 dan 2 karena adanya variasi individu yang mendasari pembagian kelompok Poseidon tersebut. Kesimpulan: Berdasarkan temuan diatas maka faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam memprediksi respon ovarium seorang wanita setelah SOT pada FIV, karena memiliki pengaruh yang signifikan. Hal tersebut penting sebagai pertimbangan untuk melakukan konseling dan menentukan tatalaksana yang lebih jauh.

Background: The ovarian response after a controlled ovarian stimulation (COS) is one important step to determine the success of assisted reproductive technology (ART), especially In Vitro Fertilization (IVF). Through COS, it can be seen how much oocytes can be used in ART. Poor responders have a bad ovarian response and have a high rate of pregnancy failure associated with a decrease in quality and also oocyte quantity.
Objective: This study aims to see the effect of various factors (age, BMI, endometriosis, and history ovarian surgery) on the ovarian response in IVF, therefore counseling for prevention and management can be given for those who has the risk to become a poor responder.

Methods: This is a retrospective cross-sectional research that uses secondary data with the aim to determine the relationship of factors that affecting ovarian response at Yasmin Clinic, Dr. Hospital. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 5 years (2013 to 2017). Two definitions of poor response were used (after a COS procedure) in this study; based on the number of oocytes (Bologna criteria) and Poseidon criteria. Results: From 2013-2017 there were 749 patients who met the inclusion criteria. Based on the number of oocytes produced there were 188 patients (25%) poor responder and 561 patients (75%) normo responder. Age, endometriosis, and history of ovarian surgery were significantly associated with a poor response group (p <0.001), although in the multivariate analysis only age that significantly predicted poor response (p = 0.004). Based on Poseidon criteria, there were 262 subjects (35%) included in the non Poseidon group (normo responder). There were 7 people (0.9%) according to the Poseidon 1a group, 64 people (8.5%) included in the Poseidon 1b group, 30 people (4%) in the Poseidon 2a group, 113 people (15.1%) according with the Poseidon 2b group, 73 people (9.7%) according to the Poseidon 3 group, and the remaining 200 people (26.7%) in accordance with the Poseidon group 4. Each factor has its own influence on the Poseidon group. Endometriosis is a significant determinant for the Poseidon group 1 and 4. The surgical history is a significant determinant for the Poseidon group 2 and 3, while an increase in BMI actually decreases the risk of a woman entering the Poseidon group 3. Endometriosis and surgical history cannot be said to have a direct relationship with the group Poseidon 1 and 2 because of individual variations underlying the division of the Poseidon group.

Conclusions: on the findings above, these factors become important in predicting a woman's ovarian response after SOT on IVF, due to their significance effect. This becomes important as a consideration for counseling and deciding better management.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Rahmaningrum
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stimulasi ovarium terkendali (SOT) merupakan langkah krusialdalam prosedur fertilisasi in vitro (FIV). SOT dilakukan dengan memberikan hormon gonadotropin eksogen. Pemberian hormon eksogen ini akan menyebabkan kondisi suprafisiologis hormon steroid. Perubahan kadar hormon-hormon steroid ini mempengaruhi reseptivitas endometrium, sehingga berpengaruh pada peristiwa implantasi. Biomarker mucin-1 dapat digunakan sebagai indikator terhadap perubahan yang terjadi dalam jaringan endometrium.
Tujuan: Mengetahuipengaruh prosedurSOT dengan berbagai dosis r-FSH yang berbeda pada ekspresi mucin-1 pada berbagai kompartemen jaringan endometrium dari hewan primata Macaca nemestrina.
Metode: Studi ini menggunakan jaringan uterus Macaca nemestrinayang tersimpan dalam blok paraffin. Subjek terdiri dari 15 kera betina berusiareproduktifdan memiliki riwayat melahirkan. Subjek terbagi dalam empat kelompok; kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang mendapatkan administrasi r-FSH dengan dosis yangberbeda (30, 50, dan 70 IU) sesuai dengan protokol SOT. Immunohistokimia dilakukan pada jaringan endometrium dan ekspresi mucin-1 dihitung menggunakan pluginRGB Measuredari perangkat lunak imageJ dan secara manual. Hasil kemudian dianalisis dengan uji statistik ANOVA satu-arah, uji post-hocTukey HSD, dan uji korelasi bivariat Pearson
Hasil dan Pembahasan: Tedapat perbedaan ekspresi mucin-1 yang bermakna pada kompartemen kelenjar endometrium antara kelompok intervensi dengan uji ANOVA satu arah (F (3,10) = 7,474, p = 0,007). Namun, hasil yang tidak bermakna ditunjukkan dalam luminal (F (3,8) = 1,129, p = 0,394) dan stromal (F (3,11) = 1,129, p = 0,357) endometrium. Hasil yang signifikan dari kelenjar endometrium dapat dijelaskan dengan kondisi suprafisiologis hormon steroid. Sedangkan hasil yang tidak signifikan dapat dijelaskan oleh ekspresi mucin-1 yang terbatasdi bagian stromal, perbedaan 7 hari antara administrasi SOT dan pengambilan jaringan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sedikitnya jumlah subjek, karena spesies subjek Macaca nemestrina, terbatas untuk pemanfaatan penelitian di negara kami.
Kesimpulan: Perbedaan dosis r-FSH memiliki pengaruh ekspresi mucin-1 pada jaringan endometrium secara signifikan pada bagian glandular namun tidak pada bagian stromal dan luminal.

ABSTRACT
Different r-FSH dosages affects mucin-1 expression on endometrial tissues significantly in glandular parts but not in luminal and stromal parts."
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhea Debby Pradhita
"GnRH digunakan dalam program fertilisasi in vitro (FIV) sebagai salah satu regimen stimulasi ovarium. Agonis GnRH memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan endometrium terutama saat fase implantasi. Penggunaan agonis GnRH dapat berefek negatif terhadap perkembangan endometrium setelah pemberian stimulasi ovarium terhadap ekspresi reseptor dan apoptosis sel endometrium. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak pemberian agonis GnRH terhadap ekspresi reseptor GnRH dan protein apoptosis sel-sel endometrium fase luteal terhadap perkembangan endometrium. Sampel dari penelitian ini menggunakan bahan biologi tersimpan berupa serum dan jaringan endometrium Macaca nemestrina. Total sampel ada 8 yang terbagi atas 2 kelompok, Stimulasi dan Kontrol. Setiap sampel dilakukan 2 pemeriksaan yaitu Enzym-Linked Immunosorebent Assay (ELISA) untuk serum dan Imunohistokimia (IHK) untuk jaringan endometrium. Jaringan IHK diperiksa dengan 2 jenis antibody, reseptor GnRH dan Caspase 3. Consentrasi diukur menggunakan ELISA reader lalu dikonversi dengan Optical Density (OD) menggunakan software SoftMax Pro. Sel pada jaringan IHK dihitung secara kuantitatif berdasarkan pewarnaan menggunakan software ImageJ lalu dinilai menggunakan IHC Optical Density Score. Tidak ada perbedaan signifikan pada serum GnRH, Reseptor GnRH, dan Caspse 3 diantara kedua kelompok (p> 0,05). Terdapat korelasi negatif pada serum GnRH dengan reseptor GnRH (p=0,014; r=-0,762). Tidak terdapat korelasi antara serum GnRH dengan caspase 3 (p>0,05). Tidak ada korelasi antara reseptor GnRH dengan caspase 3 (p>0,05).

GnRH is widely used in the embryo fertilization program as one of the ovarian stimulation regimens. At the implantation window, GnRH agonists are known to have an effect on the endometrium directly or indirectly. GnRH estimated has a negative effect on the development of endometrial cells after ovarian stimulation. This study is to analyze the impact of GnRH agonist on ovarian stimulation procedures on receptor expression and endometrial cell apoptosis due to endometrial development. The study sample was a stored biological material (BBT) from serum and the endometrial tissue of Macaca nemestrina. The total sample is 8 and divided into 2 groups, the stimulated and control groups. Each sample will be examined 2 types which are the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for serum and immunohistochemistry (IHC) for endometrial tissue. IHC was performed with anti-GnRH receptor and caspase 3 antibody. Serum concentration is measured using an ELISA reader and then converts to a concentration using SoftMax Pro Software. Quantitative data of IHC were performed using the Image-J Analyzer programs and scored by IHC Optical Density Score. There is no significant difference between GnRH serum, GnRH receptors, and Caspase 3 in stimulation or control group (p>0,05). There was a strong negative correlation between serum GnRH levels and GnRH receptors (p=0,14; r=-0,762). There was no correlation between GnRH in serum with activation of caspase 3 (p>0,05). There was no correlation between GnRH receptors with activation of caspase 3 (p>0,05)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Galuh Areta Trustha
"Sindrom metabolik atau sindrom X merupakan kondisi yang berpotensi meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit tidak menular. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 39% dan lebih banyak terjadi pada wanita. Gaya hidup berpotensi mempengaruhi terjadinya sindrom metabolik. Namun, penelitian terdahulu tentang hubungan gaya hidup yang meliputi aktivitas fisik, pola makan dan merokok terhadap sindrom metabolik menunjukkan hasil yang beragam. Selain itu, belum ada penelitian tentang sindrom metabolik spesifik pada populasi wanita di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan sumber data dari Riskesdas 2018.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia sebesar 37,6%. Umur berhubungan signifikan dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita (PR=1,711; 95% CI=1,640-1,785; nilai P=0,001). Dalam penelitian ini, aktivitas fisik, merokok, konsumsi makanan manis, minuman manis, makanan berlemak, soft drink, buah, dan sayur tidak terbukti berhubungan secara statistik dengan sindrom metabolik. Karena tingginya prevalensi sindrom metabolik pada wanita di Indonesia, perlu untuk meningkatkan program skrining, seperti pengukuran lingkar perut, tekanan darah, dan gula darah secara rutin. Selain itu, perlu untuk menerapkan gaya hidup sehat bagi wanita untuk mencegah terjadinya sindrom metabolik.

Metabolic syndrome or syndrome X is a condition that can increase a person's risk of developing non-communicable diseases. Based on Riskesdas 2013 data, the prevalence of metabolic syndrome in Indonesia reaches 39% and is more prevalent in women. Lifestyle has the potential to influence the incidence of metabolic syndrome. However, previous research on the relationship between lifestyle including physical activity, diet and smoking on metabolic syndrome has shown mixed results. In addition, there has been no research on specific metabolic syndrome in women in Indonesia. This study aims to determine the relationship between lifestyle and the incidence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia. The study design used was cross-sectional with data sources from Riskesdas 2018.
The results showed that the prevalence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia was 37.6%. Age is significantly associated with the incidence of metabolic syndrome in women (PR=1.711; 95% CI=1.640-1.785; P=0.001). In this study, physical activity, smoking, consumption of sweet foods, sweet drinks, fatty foods, soft drinks, fruit and vegetables were not statistically proven to be associated with metabolic syndrome. Due to the high prevalence of metabolic syndrome among women in Indonesia, it is necessary to improve screening programs, such as routine measurements of abdominal circumference, blood pressure and blood sugar. In addition, it is necessary to adopt a healthy lifestyle for women to prevent metabolic syndrome.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Mawar Hadini
"Pendahuluan: Jumlah pasien Sindrom Koroner Akut SKA semakin meningkat dari tahun ketahun. Ticagrelor merupakan penghambat P2Y12 dengan onset cepat dan efekhambatan platelet lebih besar dibandingkan klopidogrel, namun memiliki masalahmeningkatnya efek samping perdarahan mayor, efek samping lain, dan biaya yanglebih mahal. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi efektifitas, keamanan,dan cost effectiveness analysis ticagrelor dibandingkan klopidogrel add on aspirinpada pasien SKA sejak tahun 2014-2016 di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode:Penelitian ini menggunakan design kohort retrospektif. Rekam medis dari pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan klopidogrel dan pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan ticagrelor dimasukkankedalam kriteria inklusi. Outcome efektivitas adalah insiden major adversecardiovascular events MACE yang dapat dicegah dalam 3, 6, 9, dan 12 bulan.Outcome safety adalah insiden efek samping yang timbul dalam 3 bulan.Outcomebiaya dinilai dengan cost effectiveness analysis CEA . Data untuk CEA disajikandalam bentuk incremental cost effectiveness ratio ICER . Untuk menilaiketidakpastian data uncertainty digunakan analisa sensitivitas satu arah.
Hasil:Rekam medis dari 123 pasien klopidogrel-aspirin dan 57 pasien ticagrelor-aspirinberhasil dievaluasi. Trend pemakaian ticagrelor semakin meningkat sejak tahun2014 sampai dengan 2016, sedangkan klopidogrel semakin menurun. Outcomeefektivitas adalah MACE yang dapat dicegah dalam 3 bulan. Dalam 3 bulanMACE terjadi pada 15.8 pasien di kelompok ticagrelor dan 31.7 pasien dikelompok klopidogrel RR; 0,498, 95 CI; 0,259 ndash;0,957, P = 0,039 . Tidak adaperbedaan signifikan pada bulan ke 6,9, dan 12. Ticagrelor memiliki efek sampingperdarahan mayor melena lebih tinggi dibanding klopidogrel 5,3 vs 1,62 , P= 0,681 , terutama pada pasien geriatri. ICER = Rp 279.438,87., denganpengertian diperlukan tambahan biaya Rp 279.438,87., untuk setiap insidenMACE yang dapat dihindari dalam 3 bulan jika digunakan ticagrelor sebagaiDAPT. ICER tersebut dianggap cost effective karena berada dibawah 1 GDP Gross Domestic Product Indonesia tahun 2016, yaitu 3603 Rp 49.000.800.
Kesimpulan: Ticagrelor-aspirin lebih efektif dan lebih cost-effective dalam mencegah MACEdalam 3 bulan dibandingkan klopidogrel-aspirin pada pasien SKA. Masihdiperlukan penelitian prospektif lanjutan dengan jumlah besar terutama padapasien geriatri dengan SKA.

Introduction The enormous number of acute coronary syndrome ACS cases make it importantto evaluate the economic burden of this illness. Ticagrelor is a P2Y12 inhibitorwith pronounced platelet inhibition effect and more rapid onset compared toclopidogrel, with disadvantages of higher price and major bleeding adverseeffects. This study aimed to evaluate effectiveness, safety, and cost effectivenessanalysis of dual antiplatelet aspirin ticagrelor compared with aspirin clopidogrelat ACS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during 2014 2016
Methods This is a retrospective cohort study from data records of ACS patient treated inCipto Mangunkusumo Hospital between 2014 2016 period. ACS patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin clopidogrel and patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin ticagrelor were included.Effectiveness outcome were the occurence of major adverse cardiovascular events MACE successfully avoided within 3, 6, 9, and 12 months of antiplatelettreatment. Safety outcome were the insidence of adverse drug reactions within 3months. Cost outcome were determined with cost effectiveness analysis CEA .Data for CEA calculation were presented as Incremental Cost Effectiveness Ratio ICER . One way sensitivity analysis were performed to evaluate data uncertainty.
Results A total of 123 data records of ACS patients treated with aspirin clopidogrel and57 with aspirin ticagrelor were evaluated. Trend for antiplatelet prescriptionshowed that ticagrelor prescription increased since 2014 until 2016, whileclopidogrel decreased. Within the first three months, the MACE rate was 15.8 inticagrelor group and 31.7 in clopidogrel group RR 0,498, 95 CI 0,259 ndash 0,957, P 0,039 . There were no significant differences of MACE betweengroups after 6, 9, and 12 months treatment. Ticagrelor had unsignificant majorbleeding melena higher than clopidogrel 5,3 vs 1,62 , P 0,681, especiallyin geriatric patients. ICER value was IDR 279.438,87, indicating additional costneeded for every MACE incidence successfully avoided within 3 month if aspirinticagrelorwas used. ICER under 1 Indonesian GDP Gross Domestic Product in2016 3603, equal to IDR 49.000.800 is considered cost effective.
Conclusions Ticagrelor aspirin is a clinically superior and cost effective option for MACEprevention among ACS patients especially during the first three monthsantiplatelet treatment. Further prospective rearch with higher number especially ingeriatric patients with ACS is still needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Naomi Niari
"Latar Belakang: Skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) adalah
model stratifikasi risiko yang secara luas telah digunakan untuk memprediksi luaran
pada pasien infark miokard akut (IMA). Pasca IMA dapat terjadi disfungsi miokard
baik sistolik maupun diastolik. Myocardial Performance Index (MPI) merupakan
parameter ekokardiografi yang mampu menggambarkan fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel kiri secara bersamaan dan merupakan prediktor independen
kejadian Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) pasca IMA.
Tujuan: Mengetahui peranan penambahan MPI ke dalam skor GRACE untuk
memprediksi MACE selama lima hari perawatan rumah sakit.
Metode: Penelitian kohort prospektif pada 75 pasien IMA di ruang perawatan
intensif jantung RSCM antara Juli-November 2020. Dilakukan perhitungan total
skor GRACE saat pasien masuk rumah sakit dan pemeriksaan ekokardiografi untuk
mendapatkan nilai MPI dilaksanakan dalam 72 jam perawatan rumah sakit.
Observasi terhadap kejadian MACE selama 5 hari perawatan rumah sakit dilakukan
pada seluruh pasien. Peranan penambahan parameter MPI ke dalam skor GRACE
dinilai menggunakan perubahan area under curve (AUC) metode DeLong,
likelihood ratio test (LRT) dan continous net reclassification improvement (cNRI).
Hasil: Kemampuan prediksi skor GRACE baik (AUC 0,753 IK 95% 0,639-0,868).
Penambahan MPI ke dalam skor GRACE secara signifikan meningkatkan performa
model kombinasi (AUC 0,801 IK 95% 0,699-0,902 p=0,354, LRT 4,65 p=0,03 dan
cNRI 0,515 IK 95% 0,008-1,021 p=0,046).
Simpulan: Penambahan MPI ke dalam skor GRACE signifikan meningkatkan
kemampuan skor kombinasi untuk memprediksi MACE selama lima hari perawatan
rumah sakit pada pasien IMA.

Background: The Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) risk score
is widely recommended for risk assessment in patients with acute myocardial
infarction (AMI). Myocardial infarction induces variable degrees of impairment in
left ventricular (LV) systolic and diastolic function. Myocardial Performance Index
(MPI) is an echocardiography parameter that capable of estimating combined
systolic and diastolic LV performance and can independently predict Major
Adverse Cardiovascular Events (MACE) post AMI.
Objective: To investigate whether MPI has incremental predictive value over the
GRACE risk score in predicting MACE during five days of hospitalization after
AMI.
Methods: A prospective cohort study was conducted in 75 patients presented with
AMI in Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital between July
to November 2020. Total GRACE score was calculated on patient admission and
echocardiography was conducted within 72 hours of hospitalization for
measurement of MPI. All patients were observed for the incidence of MACE during
five days of hospitalization. The incremental predictive value of the GRACE risk
score alone and combined with MPI was assessed by the change in area under
curve (AUC) by DeLong’s method, likelihood ratio test (LRT) and continuous net
reclassification improvement (cNRI).
Results: The GRACE risk score demonstrated good discrimination for MACE
(AUC 0.753 95% CI 0.639-0.868). Adding MPI to the GRACE risk score improved
model performance significantly (AUC 0.801 95% CI 0.699-0.902 p=0.354, LRT
4.65 p=0.03 and cNRI 0.515 95% CI 0.008-1.021 p=0.046).
Conclusions: Adding MPI to the GRACE risk score significantly improves risk
prediction of MACE during five days of hospitalization after AMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Permata Sari
"Latar belakang: Belum banyak studi yang menyatakan pengaruh latihan penguatan terhadap peningkatan kapasitas aerobik pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan serta apa pengaruhnya terhadap tekanan darah dan laju jantung.
Tujuan: Mengetahui manfaat kombinasi latihan aerobik dan latihan penguatan pada pasien SKA risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan membandingkan kapasitas aerobik dan hemodinamik pasien SKA pasca intervensi koroner perkutan yang diberikan latihan aerobik saja dan kombinasi latihan aerobik dan penguatan selama 8 minggu.
Hasil: Dari April 2012 - Januari 2013 terdapat 20 subjek yang mengikuti penelitian ini sampai dengan selesai. Terdapat peningkatan kapasitas aerobik setelah perlakuan pada kelompok yang mendapat latihan aerobik saja maupun kelompok yang mendapatkan latihan aerobik ditambah dengan penguatan dengan selisih yang lebih besar pada kelompok latihan aerobik dan penguatan (0,75 + 1,09 vs 2,35 + 0,99) namun perbedaan yang bermakna hanya terdapat pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan (p<001). Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna antara kedua kelompok sesudah perlakuan (7,3 (5,27 - 9,33) vs 9,75 (4,43 - 11,43), p<001). Untuk variabel hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik istirahat, laju jantung istirahat, laju jantung tercapai, dan laju jantung pemulihan) tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Analisa multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi peningkatan kapasitas aerobik adalah umur, dengan batasan umur ≤ 55 tahun.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan setelah perlakuan.;Background: Aerobic exercise has been use for years in patients with Acute coronary syndrome after a percutaneus coronary intervention but only a few study explain how strengthening exercise combined with aerobic exercise could influence aerobic capacity and hemodynamic parameters in patients with coronary heart disease who had underwent percutaneus coronary intervention (PCI).

Aim od study: to know influence of combined aerobic and strengthening exercise in patients underwent PCI to aerobic capacity and hemodynamics.
Method: This research use experimental study design to compare aerobic capacity in patients post PCI given only aerobic exercise and combine aerobic and strengthening exercises for 8 weeks.
Results: From April 2012 - January 2013 there were 20 subjects volunteered to follow the study. There is an increasing aerobic capacity in aerobics only training group and combined exercise group with the larger difference in aerobic and strengthening exercise group (0.75 + 1.09 vs. 2.35 + 0.99). but the difference only significant in combined exercise group (p <001). There is a significant difference in aerobic capacity between the two groups after treatment (7.3 (5.27 to 9.33) vs. 9.75 (4.43 to 11.43), with p <001). There is no difference in hemodynamic variables in both groups. Multivariate analysis showed that factors influencing the increase aerobic capacity is age, with ≤ 55 years of age limitations.
Conclusion: There is a significant difference in aerobic capacity in the cluster get aerobic and strengthening exercises after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>