Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111668 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nisti Yulia
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan langkah pertama dalam proses identifikasi individu. Tulang panggul dan tengkorak merupakan sumber yang paling akurat untuk menentukan jenis kelamin, namun apabila tulang panggul dan tengkorak yang ditemukan tidak utuh, mandibula dapat menjadi sumber utama dalam penentuan jenis kelamin karena mandibula merupakan tulang yang kuat, anatomisnya dipertahankan relatif lama, dan menunjukkan dimorfisme seksual yang tinggi. Salah satu parameter pada mandibula yang dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin adalah sudut gonion. Sudut gonion dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin karena kekuatan otot pengunyahan memiliki pengaruh yang kuat pada sudut gonion, dimana kekuatan otot ini berbeda pada laki laki dan perempuan.
Tujuan: Menganalisis penentuan jenis kelamin menggunakan metode radiomorfometrik besar sudut gonion pada radiograf panoramik digital.
Metode: Menganalisis radiomorfometrik besar sudut gonion pada 100 sampel radiograf panoramik digital yang terdiri dari 50 sampel laki laki dan 50 sampel perempuan.
Hasil: Perempuan memiliki nilai rata-rata sudut gonion lebih besar daripada laki-laki yaitu sebesar 124.52o sedangkan laki-laki sebesar 123.84o, namun tidak terdapat perbedaan signifikan sudut gonion pada laki-laki dan perempuan secara statistik.
Kesimpulan: Besar sudut gonion dengan metode radiomorfometrik pada laki-laki dan perempuan tidak dapat digunakan secara tunggal dalam penentuan jenis kelamin.

Background: The first step towards identification of an individual is by sex determination. Pelvis and skull bones are the most accurate sources used for sex determination purpose, however when a whole pelvis or skull bones could not be obtained, an alternative would be necessary. The mandible would serve as a great alternative for this purpose because it is strong, its anatomy persists for a long time and it shows a strong sexual dimorphism. One of the mandible properties that can be used for sex determination purpose is its gonial angle. This is because the gonial angle is affected by the strength of the masticatory muscles, which is different for different sexes.
Aim: To analyze the validity of sex determination by radiomorphometric method using gonial angle on digital panoramic radiographs.
Method: By using radiomorphometric method to analyze the gonial angle of 100 digital panoramic radiographs consisting of 50 male and 50 female samples.
Result: Women have an average gonial angle of 124.52o which is greater than mens average of 123.84o, however the difference is not statistically significant.
Conclusion: Radiomorphometric method using gonial angle cannot be used as a sole source for sex determination."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Meisaputri
"

Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin memiliki peran penting dalam proses identifikasi individu. Tengkorak merupakan tulang paling dimorfik setelah pelvis, namun pada kasus hanya serpihan tengkorak yang ditemukan mandibula menjadi peran penting dalam identifikasi jenis kelamin karena mandibula adalah bagian tulang tengkorak yang paling kuat, besar dan dimorfik. Tinggi ramus mandibula dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin karena tahap perkembangan, tingkat pertumbuhan, dan durasi pada kedua jenis kelamin berbeda. Identifikasi jenis kelamin dengan tinggi ramus mandibula dilakukan menggunakan metode radiomorfometrik karena pengukuran pada radiograf menunjukkan hasil yang akurat serta teknik yang sederhana dan non-invasif. Tujuan:Menganalisis tinggi ramus mandibula dengan metode radiomorfometrik pada radiograf panoramik digital untuk penentuan jenis kelamin. Metode: Menganalisis radiomorfometrik tinggi ramus mandibula pada 50 sampel radiograf panoramik pria dan 50 sampel radiograf panoramik wanita. Hasil: Terdapat perbedaan tinggi ramus mandibula yang menunjukkan bahwa pria memiliki nilai rata-rata lebih tinggi sebesar 59.86 mm sedangkan wanita sebesar 54.86 mm. Nilai akurasi persamaan probabilitas jenis kelamin tinggi ramus mandibula sebesar 70%. Kesimpulan: Tinggi ramus mandibula dengan metode radiomorfometrik pada pria dan wanita dapat digunakan dalam penentuan jenis kelamin. Namun penggunaan tinggi ramus mandibula harus disertai variabel morfologi lainnya karena hanya berperan sebesar 30% dalam penentuan jenis kelamin sehingga tidak cukup akurat.


Background: Gender identification have an important role in a process of personal identification. Skull is the most dimorphic bone after pelvis, but when in cases only fragmentary bones are found mandibular have an important role in gender identification because it is the strongest, largest and most dimorphic bone of skull. Mandibular ramus height can be used for gender identification because the duration, development and growth pattern in both genders are different. Gender identification with mandibular ramus height was carried out using the radiomorphometric method because measurements on radiographs shows accurate results as well as simple and non-invasive techniques. Aim: To analyze mandibula ramus height with radiomorphometric methods on digital panoramic radiographs for gender identification. Method: By analyzing mandibular ramus height using radiomorphometric methods on 50 male panoramic radiograph samples and 50 female panoramic radiographs samples. Result: There is a difference in mandibular ramus height which indicates that men have a higher mean value of 59.86 mm while women of 54.86 mm. The accuracy value of the probability equation of the mandibula ramus height is 70%. Conclusion: Mandibular ramus height with radiomorphometric methods in men and women can be used in gender identification, but the use of mandibula ramus height must be accompanied by other morphological variables because it only accounts for 30% in gender identification so it is not accurate enough.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeanne Adiwinata Pawitan
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0151
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki
"ABSTRAK
Mandibula merupakan salah satu tulang yang penting dalam Forensik Odontologi untuk estimasi jenis kelamin. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan sudut gonion, jarak inferior foramen mentalis, dan tinggi ramus mandibula pada pria dan wanita. Metode penelitian dilakukan analisis radiomorfometri pada 200 radiograf panoramik. Hasil penelitian menunjukkan besar sudut gonion pria 121.8 , wanita 125.5 , jarak inferior foramen mentalis pria 14.73 mm, wanita 13.35 mm, tinggi ramus mandibular pria 56.82 mm, wanita 51.37 mm. Tingkat akurasi persamaan regresi ketiga variabel sebesar 83.5 . Kesimpulan, adanya perbedaan signifikan besar sudut gonion, foramen mentalis, dan tinggi ramus mandibular pada pria dan wanita
ABSTRACT
Mandibular bone has important role for sex determination in Odontology Forensic investigations. The aim of this research is to analyze gonial angle, mental foramen, and mandibular ramus height. Radiomorphometric analysis was performed in this research on 200 panoramic radiographs. Result of this research demonstrate gonion angle in men are 121.8 whereas 125.5 in women, inferior distance of mental foramen in men are 14.73 mm and 13.35 mm in women, mandibular ramus height in men are 56.82 mm and women are 51.37 mm. Regression equation of three variables has 83.5 accuracy. Conclusion, there is significant difference between male and female for gonial angle, mental foramen, and mandibular ramus height. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakurar, Alice Swope
Hoboken, N.J.: John Wiley & Sons, 2009
611.018 PAK d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Nur Hanifah
"ABSTRACT
Latar belakang: Sudut gonial merupakan salah satu struktur anatomis pada mandibula yang mengalami perubahan paling signifikan pada proses pertumbuhan. Pengukuran sudut gonial banyak dijadikan parameter evaluasi tumbuh kembang yang bermanfaat bagi bidang ilmu kedokteran gigi termasuk ortodonsi dan prostodonsi. Tujuan: untuk mengetahui nilai rerata sudut gonial berdasarkan usia, jenis kelamin, status dental, dan morfologi kondil pada radiograf panoramik sehingga dapat digunakan sebagai nilai acuan dalam melihat pola perubahan sudut gonial mandibula. Metode: Pengukuran sudut gonial pada 210 sampel radiograf panoramik digital usia diatas 21 tahun, dengan mengkategorikan berdasarkan usia, jenis kelamin, status dental dan morfologi kondil mandibula. Hasil: Pengukuran sudut gonial terhadap usia, jenis kelamin, status dental, dan morfologi kondil mandibula tidak berbeda bermakna secara statistik, namun besar sudut gonial cenderung mengecil sesuai perubahan usia. Nilai rata-rata sudut gonial ditemukan cenderung lebih kecil pada laki-laki dan juga pada individu dengan status dental dentate. Kesimpulan: Nilai sudut gonial menunjukkan perubahan yang tidak berbeda bermakna berdasarkan usia, jenis kelamin, maupun morfologi kondil mandibula.

ABSTRACT
Background: The gonial angle is one od the anatomical structures in the mandible that experiences the most significant changes in the growth process. Gonial angle measurements are widely used as evaluation parameters of growth and development wich are beneficial for the field of dentistry such as orthodontics and prosthodontics. Objective: to determine the average value of the gonial angle based on age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology on panoramic radiograph so that it can be used as a reference value in seeing the pattern of changes in the gonial angle of mandible. Methods: Gonial angle measurements in 220 samples of digital panoramic radiographs over the age of 21 years, categorizing by age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology. Results: Gonial angle measurements of age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology did not differ statistically significant, ut the size of the gonial angle tended to shrink according to age change. The average gonial angle values were found to tend to be smaller in men and also in individuals with dental status dentate. Conclusion: The gonial angle values show changes that are not significantly different based on age, gender, and mandibular condyle morphplogy."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Lorenza
"Latar Belakang: Bone loss merupakan kondisi yang terjadi seiring penuaan akibat berbagai faktor risiko. Pemeriksaan densitas tulang dapat dilakukan dengan melihat grayscale value tulang kanselus mandibula pada radiograf panoramik digital. Tujuan: Mengetahui perbandingan rerata grayscale value tulang kanselus mandibula menurut jenis kelamin, usia, dan besar arus listrik pada radiograf panoramik digital. Metode: Penelitian ini menggunakan 294 sampel radiograf panoramik digital pria dan wanita berusia 31-75 tahun di RSKGM FKG UI. Rerata grayscale value didapatkan dari pengukuran menggunakan Software I-Dixel Morita© di tulang kanselus mandibula kiri atau kanan daerah apikal regio premolar. Analisa statistik dilakukan 2 kali dengan atau tanpa mempertimbangkan variasi kondisi besar arus(mA). Analisa pertama melibatkan seluruh 294 sampel dengan rentang besar arus 3,3-8 mA. Analisa kedua melibatkan 60 sampel dengan rentang besar arus 5,7-6,4 mA. Hasil: Hasil analisa statistik pertama menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 113,52±14,88 dan kelompok wanita sebesar 109,98±14,08. Rerata Grayscale value kelompok usia 31-45 tahun sebesar 112,38±13.39, kelompok usia 46-60 tahun sebesar 111,76±13.75, dan kelompok usia 61-75 tahun sebesar 111,11±16.49. Hasil analisa statistik kedua menunjukkan rerata grayscale value kelompok pria sebesar 116,66±13,75 dan kelompok wanita sebesar 105,58±13,55. Rerata grayscale value kelompok usia 32-53 tahun sebesar 115,42±10,89 dan kelompok usia 54-75 tahun sebesar 106,81±16,72. Kesimpulan: Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin dan kelompok usia tidak berbeda bermakna (3,3-8 mA). Rerata grayscale value tulang kanselus mandibula antar jenis kelamin serta antar kelompok usia berbeda bermakna (5,7-6,4 mA).

Background: Bone loss is a condition that occurs during aging due to various factor risk. Bone density examination can be performed by measuring grayscale value at the mandibular cancellous bone on a digital panoramic radiograph. Objective: To obtain comparison of mean grayscale value of mandibular cancellous bone by gender, age, and tube current on digital panoramic radiograph. Method: This study utilizing secondary data, totally 294 digital panoramic radiograph of men and women age 31-75 years old at RSKGM FKG UI. Mean grayscale value is obtained by measurement using Software I- Dixel Morita© in the left or right mandibular cancellous bone in the apical area of the premolar region. Two alternative statistical analysis were carried out, with or without considering the variation in tube current condition (mA). The first analysis involved all 294 samples with tube current condition range from 3,3-8 mA. The second analysis involved 60 samples with tube current condition range from 5,7-6,4 mA. Result: First statistical analysis showed that mean grayscale value of the men group is 113,52±14,88 and women group is 109,98±14,08. Mean grayscale value of the 31-45 years old group is 112,38±13.39, 46-60 years old group is 111,76±13.75, and 61-75 years old group is 111,11±16.49. Result from second statistical analyses shows mean grayscale value of the men group is 116,66±13,75 and women group is 105,58±13,55. Mean grayscale value of the 32-53 years old group is 115,42±10,89 and 54-75 years old is 106,81±16,72. Conclusion: Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are not statistically different (3,3-8 mA). Mean grayscale value mandibular cancellous bone by gender and age group are statistically different (5,7-6,4 mA)."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dellyan Putra Mulia
"Resorpsi akar gigi sulung dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Resorpsi akar fisiologis terjadi pada gigi sulung yang sehat atau tidak mengalami karies mencapai pulpa, dan resorpsi akar patologis terjadi pada gigi sulung yang mengalami karies mencapai pulpa. Pengetahuan mengenai pengaruh resorpsi pada gigi sulung secara fisiologis maupun patologis terhadap tumbuh kembang gigi permanen penting untuk menentukan rencana perawatan yang tepat.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara resorpsi akar gigi sulung terhadap tumbuh kembang gigi permanen pada anak laki-laki usia 7-8 tahun.
Metode : Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain potong lintang. Subjek penelitian berupa 71 gigi molar satu dan molar dua bawah sulung serta gigi premolar satu dan premolar dua yang dilihat menggunakan radiografi panoramik anak laki-laki usia 7-8 tahun yang berjumlah 32 lembar.
Hasil : Tidak terdapat pengaruh (p>0.05) antara resorpsi akar gigi sulung terhadap tumbuh kembang gigi permanen pada anak laki-laki usia 7-8 tahun.

Primary root resorption can occur physiologically and pathologically. Physiological root resorption occurs in healthy primary teeth or in primary teeth with caries, but, without pulp involvement and pathological root resorption occurs in primary teeth with pulp caries. The knowledge about physiological and pathological primary root resorption towards the development of permanent successor is important to define the proper treatment plan.
Aim : The aim of this research was to analyze about the effect of primary root resorption towards the development of permanent successor in boys aged 7-8 years old.
Method : The method of this research was descriptive with cross-sectional design. The subject consisted of 71 mandibular primary molars and mandibular premolars that was seen using 32 sheets panoramic radiograph in boys aged 7-8 years old.
Result : Result showed that there was no effect of primary root resorption towards the development of permanent successor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Adinda Janatry
"[ Keong tutut (Bellamya javanica) telah lama dikenal oleh masyarakat tradisional di
Indonesia sebagai alternatif untuk mengobati penyakit kuning yang merupakan
gejala penyakit hati, terutama karena kandungan asam amino yang diduga terdapat
dalam keong tutut, khususnya asam amino glutamat, glisin, dan sistein. Tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian daging keong tutut sebagai
hepatoprotektor melalui pengamatan histopatologi hati dan pengukuran aktivitas
alkali fosfatase (ALP) dalam serum menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Sejumlah 36 ekor tikus putih jantan Sprague-Dawley dibagi menjadi 6 kelompok
perlakuan, yaitu kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif, dosis 1, dosis 2,
dan dosis 3. Kelompok kontrol normal dan kontrol negatif diberikan CMC 0,5%,
kontrol positif diberikan silymarin dosis 9,45 mg/200 g bb tikus sedangkan untuk
kelompok dosis diberikan serbuk daging keong tutut dengan dosis berturut-turut 56
mg/200 g bb tikus, 112 mg/200 g bb tikus, dan 224 mg/200 g bb tikus selama 14
hari. Pada hari ke-15, semua kelompok kecuali kelompok kontrol normal diinduksi
hepatotoksik dengan CCl4 untuk mendapatkan kondisi kerusakan hati kemudian
semua tikus dipuasakan makan dengan tetap diberikan minum. Setelah 24 jam
induksi CCl4, dilakukan pengukuran aktivitas ALP serum dan pembedahan untuk
mengambil organ hati. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pemberian
daging keong tutut dosis 112 mg/200 g bb tikus dan 224 mg/200 g bb tikus
mempunyai efek hepatoprotektor dalam mencegah kerusakan hati dibandingkan
dengan kontrol negatif. Selain itu, terdapat perbedaan efek pada pemberian tiga
varian dosis serbuk daging keong tutut. Dosis yang memiliki efek potensial sebagai
hepatoprotektor adalah dosis 224 mg/200 g bb tikus (p < 0.05)., Fresh water snail (Bellamya javanica) has been known by traditional communities
in Indonesia as an alternative to treat jaundice which is a liver disease symptoms,
especially because its amino acid compounds, in particular, glutamic acid, glysine,
and cysteine that can be found in tutut snail. This study aimed to observe the effect
of fresh water snail flesh as hepatoprotector through liver histopathology and
alkaline phosphatase (ALP) activities measurements in serum using UV-Vis
spectrophotometer. A total of 36 white male rats of Sprague-Dawley were divided
into 6 groups: normal control, negative control, positive control, dose 1, dose 2, and
dose 3. Normal and negative control groups were received CMC 0,5%, positive
control group were received silymarin dose 9,45 mg/200g bw rats and for dose
groups were received fresh water snail flesh powder, consecutively, dose 56
mg/200g bw rats, dose 112 mg/200 g bw rats, and dose 224 mg/200 g bw rats for
14 days. On day-15, all groups, except normal control group, are hepatotoxicity
induced by CCl4 to obtain liver damage in rats and were not allowed to eat for 24
hours. After 24 hours of CCl4 induced, ALP activities in serum was measured and
the rats were being dissected to take the liver. The results showed that fresh water
snail flesh powder at a dose of 112 mg/200 g bw and 224 mg/200 g bw give a
hepatoprotective effect when being compared to negative control. In addition, there
are variance effect in 3 doses and the potential effect as a hepatoprotector is given
by dose 224 mg/200 g bw (p < 0.05).]"
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S59220
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Nadia
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan salah satu identifikasi yang berperan penting dalam proses identifikasi individu. Sinus frontalis merupakan struktur anatomis yang berperan dalam bidang odontologi forensik sebagai alat penentu jenis kelamin. Sinus frontalis memiliki ciri khas dan keunikan yang menjadikannya salah satu struktur anatomis yang berperan penting dalam menentukan jenis kelamin. Salah satu cara untuk menganalisis sinus frontalis adalah dengan mengukur indeks sinus frontalis pada radiografi sefalometri lateral, yang termasuk ke dalam metode radiomorfometrik karena metode ini sederhana dan non-invasif. Tujuan: Untuk menganalisis indeks sinus frontalis dengan metode radiomorfometrik pada radiografi sefalometri lateral digital untuk penentuan jenis kelamin. Metode: Menganalisis indeks sinus frontalis dengan 2 parameter, yaitu tinggi maksimum sinus frontalis dan lebar maksimum sinus frontalis pada 150 sampel radiografi sefalometri lateral, yang terdiri dari 75 sampel laki-laki dan 75 sampel perempuan. Hasil: Perempuan memiliki rata-rata indeks sinus frontalis lebih tinggi sebesar 3.67, sementara laki-laki sebesar 3.07. Pada laki-laki rata-rata tinggi maksimum sinus frontalis lebih tinggi sebesar 25.87 mm, dibandingkan perempuan sebesar 24.88 mm. Pada laki-laki rata-rata lebar maksimum sinus frontalis juga lebih tinggi sebesar 8.88 mm, dibandingkan perempuan sebesar 7.04 mm. Kesimpulan: Adanya perbedaan signifikan lebar maksimum sinus frontalis dan indeks sinus frontalis pada laki-laki dan perempuan. Persamaan regresi probabilitas jenis kelamin dengan akurasi tertinggi pada penelitian ini adalah pada indeks sinus frontalis yang memiliki akurasi sebesar 68%.

Background: Gender determination is one of the identifications that plays an important role in the process of identifying individuals. The frontal sinus is an anatomical structure that plays a role in the field of forensic odontology as a gender determination tool. The frontal sinus has a distinctive and unique feature that makes it one of the anatomical structures that plays an important role in determining gender. One way to analyze the frontal sinus is to measure the frontal sinus index on lateral cephalometric radiograph, which is included in the radiomorphometric method because it is simple and non-invasive. Objective: To analyze the frontal sinus index using radiomorphometric method on digital lateral cephalometric radiography for gender determination. Method: Analyzing the frontal sinus index with 2 parameters, which are the maximum height of the frontal sinus and the maximum width of the frontal sinus in 150 lateral cephalometric radiographs, consisting of 75 male samples and 75 female samples. Results: Women have an average frontal sinus index of 3.67, which is greater than men’s average of 3.07. In men, the average maximum height of the frontal sinus of 25.87 mm, which is greater than women’s average of 24.88 mm. In men, the average maximum width of the frontal sinus of 8.88 mm, which is greater than women’s average of 7.04 mm. Conclusion: There are significant differences in the maximum width of the frontal sinus and frontal sinus index in men and women. The gender probability regression equation with the highest accuracy in this study was on the frontal sinus index which had an accuracy of 68%."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>