Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7875 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nani Mulyati
Depok: Rajawali Pers, 2018
346.066 NAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muladi, 1943-
Jakarta: Kencana, 2010
346.066 MUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwidja Priyatno
"Legislative policy on corporate criminal liability system in Indonesia."
Bandung: UTOMO, 2004
345 DWI k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Yosua Roald
"Tesis ini membahas.pertanggunjawaban pidana maskapai penerbangan apabila terdapat indikasi keterlibatannya terhadap tetjadinya suatu kecelakaan pesawat udara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Undang-undang Penerbangan yang dalam hal ini sebagai aturan yang mengatur masalah penerbangan tidak mengenal subjek hukum pidana korporasi. Keterbatasan hukum yang teijadi di Undang-undang Penerbangan berkaitan dengan mengenai tidak dikenalnya korporasi sebagai subjek hokum pidana dapat diambil alih dengan menerapkan UUPK yang sudah mengenal korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Dengan demikian, UUPK dapat dijadikan pintu masuk untuk dapat meminta pertanggungjawaban korporasi (maskapai penerbangan) bila terdapat indikasi keterlibatan perusahaan penyedia jasa penerbangan atas teijadinya kecelakaan pesawat udara.

This thesis discusses the criminal liability of airlines if there are indications of their involvement in the occurrence of an aircraft accident. This research is a qualitative research with a descriptive design. The Aviation Law, which in this case is a rule that regulates aviation matters, does not recognize the subject of corporate criminal law. The legal limitations that occur in the Aviation Law relating to the unfamiliarity of corporations as subjects of criminal law can be taken over by implementing UUPK which already recognizes corporations as perpetrators of criminal acts. Thus, the UUPK can be used as an entry point to be able to hold corporations (airlines) accountable if there are indications of the involvement of aviation service providers in the occurrence of aircraft accidents."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dwidja Priyatno
"Latar Belakang Penelitian
Pada saat ini kita sudah memasuki Pelita kelima yang merupakan tahap akhir dari pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama. Pada akhir Pelita kelima harus tercipta landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus sehingga dalam Pelita keenam pembangunan di Indonesia dapat memasuki proses tinggal landas, untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri menuju terwujudnya masyarakat adil dan makinur berdasarkan Pancasila.
Sejak dicanangkannya pembangunan hukum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pembangunan hukum di Indonesia pada hakekatnya menuntut adanya perubahan sikap mental sedemikian rupa dan menghendaki agar hukum tidak lagi hanya dipandang sebagai perangkat norma semata-mata melainkan hukum dipandang juga sebagai sarana untuk merubah masyarakat. Hukum tidak lagi berkembang dengan mengikuti masyarakat, melainkan hukum harus dapat memberikan arah kepada masyarakat sesuai dengan tahap-tahap pembangunan yang dilaksanakan.
Pembangunan hukum mengandung makna ganda pertama, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua, ia bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun.
Selanjutnya dalam GBHN, berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1988, mengenai sasaran pembangunan di bidang hukum antara lain digariskan bahwa :
"Pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan kebenaran dan ketertiban dalam Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakkan, pelayanan dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional.
Selanjutnya dalam GBHN, ditegaskan bahwa
"Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu antara lain kodifikasi dan unifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat".
Pelita kelima (1989-1994) sama dengan Pelita-pelita sebelumnya akan memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi negara kita dengan titik berat pada sektor pertanian dan sektor industri. Namun dengan ditambahkan sekarang, bahwa prioritas di atas ditujukan kepada "mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang antara Industri dan pertanian baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyerapan tenaga kerja "(GBHN,1988). Kalimat terakhir ini tidak terdapat dalam rumusan-rumusan GBHN yang lalu. Penambahan yang lain adalah bahwa dalam sektor industri diberikan penekanan pada : "Industri yang menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trysa Agustia Arifin
"ABSTRAK
Penyertaan Pada Pertanggungjawaban Pidana Grup Korporasi Berdasarkan Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi Studi Putusan No. 2239 K/Pid.Sus/2012 a.n. Terdakwa Suwir Laut Trysa Agustia Arifin, Surastini FitriasihIlmu Hukum, Fakultas Hukumtrysaagustiaarifin@gmail.com AbstrakSeiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan ekonomi, ada kalanya suatu tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu korporasi yang tergabung dalam kesatuan grup perusahaan. Hal inilah yang memicu dibuatnya Pasal 6 Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi yang mengatur tentang pertanggungjawaban grup korporasi. Skripsi ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang konsep penyertaan dalam pertanggungjawaban pidana grup korporasi serta penerapannya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 yang melibatkan Perusahaan Grup Asian Agri. Skripsi ini menjelaskan teori-teori pertanggungjawaban korporasi, grup korporasi, dan penyertaan dalam hukum pidana. Berdasarkan teori-teori dasar tersebut, skripsi ini kritis menganalisis konstruksi penyertaan jika diterapkan dalam tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu korporasi yang tergabung dalam kesatuan grup atau hubungan lainnya. Dan diketahui bahwa pertama harus dibuktikan bahwa korporasi melalui agennya telah melakukan tindak pidana yang pemidanaannya dapat dibebankan kepada korporasi. Selanjutnya, ditentukan apa peran masing-masing perusahaan dalam kaitannya dengan ruang lingkup penyertaan. Diterapkan dalam analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012, diketahui bahwa agar penegakkan hukum dalam bidang pertanggungjawaban grup korporasi dapat berlangsung secara efektif, tidak cukup hanya dengan ketentuan hukum formil sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Pema No. 13 Tahun 2016. Tetapi juga harus ada ketentuan undang-undang yang mengakomodir ketentuan hukum materiil mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana tertentu. Skripsi ini menyarankan dua saran utama, yaitu pertama pembuat Undang-Undang harus secara selaras mengatur ketentuan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan oleh korporasi. Kedua, penegak hukum harus lebih berani dalam mendakwakan lebih dari satu korporasi dalam satu dakwaan apabila memang dapat dibuktikan adanya penyertaan pada tindak pidana grup korporasi.

ABSTRACT
Complicity in Corporate Criminal Liability According to Article 6 of Perma 13 2016 Case Study of Suwir Laut, 2239 K Pid.Sus 2012 AbstractArticle 6 of Perma 13 2016 stipulates a provision regarding complicity in group corporation criminal liability. However the article itself does not provide a further guidance on how this liability concept should be applied. This thesis is intended to answer such gap left by the Article and how it is supposed to be applied in the decision of Indonesian Supreme Court No. 2239 K Pid.Sus 2012 which involves group corporation named Asian Agri Group and its tax manager, Suwir Laut. In the substance, this thesis explains legal theories with regards to corporate criminal liability, group corporation, and complicity. In accordance with such theories, this thesis further analyse the construction of complicity applied in a case where a crime committed by more than one corporation bound by group relation. It is then acknowledged that there at least two steps that need to be taken, first the conduct of corporate agent could be attributed to the corporation being concerned. Second, each of corporation should be assessed what are their part in commission of the crime. Such steps could not be squarely applied in the case of Suwir Laut because in that case the crime committed by the defendant and the group corporation was not regulated as crime that could be committed by corporation. It is therefore, in order to apply procedural rules regarding group corporate criminal liability, the legislatives must provide a regulation which stipulates that certain crime could be committed by a corporation. Once there are such regulations, the law enforcement officers shall be confident to indict several corporation bound by group relation because it is just and necessary."
2017
S69530
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refani Anwar
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S23580
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Helmi Syarif
"ABSTRAK
Terjadinya kecelakaan atas transportasi massal yang menimbulkan
banyaknya korban meninggal dunia, adakalanya ditengarai karena ulah
manajemen, seperti misalnya perusahaan otobus, yang tidak secara teratur melakukan pemeriksaan kelaikan alat transportasinya, atau tidak memenuhi kelayakan teknis dengan tujuan menghemat biaya investasi yang mana perbuatan itu pada akhirnya dapat mengabaikan faktor keselamatan penumpang bus dan pengguna jalan yang lain, sehingga mengakibatkan kecelakaan yang fatal yang
banyak orang meninggal atau luka-luka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diundangkan tanggal 22 Juni 2009 memunculkan perspektif baru dalam hukum pidana menyangkut pertanggungjawaban pidana bagi perusahaan angkutan umum sebagaimana ketentuan di pasal 315 ayat (1) yang menyatakan dalam hal tindak pidana dilakukan oleh perusahaan angkutan umum, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap perusahaan angkutan umum dan/atau pengurusnya. Namun demikian, walaupun pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan
umum sudah diatur dalam ketentuan pidana, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum, para penegak hukum masih saja menempatkan pengemudi kendaraan sebagai subyek tindak pidana yang harus bertanggungjawab secara pidana. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi dalam ketentuan pidana yang mengatur Perusahaan Angkutan Umum di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, dapatkah ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dipergunakan untuk menjerat perusahaan
angkutan umum dalam kasus kecelakaan lalu lintas, apakah yang menjadi
hambatan dalam penegakan hukum terhadap perusahaan angkutan umum dalam
kasus tindak pidana lalu lintas. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa Perusahaan Angkutan Umum sebagai subjek tindak pidana hanya diatur di 3 (tiga) pasal saja yaitu pasal 308 yang mengatur tentang pelanggaran izin trayek, pasal 309 tentang pelanggaran karena tidak mengikuti asuransi ganti kerugian kepada penumpang dan pasal 313 karena pelanggaran karena tidak mengasuransikan penumpang dan awak kendaraannya. Secara teoritis, ajaran/doktrin Identifikasi dapat diterapkan di Pasal
308 dalam ketentuan pelanggaran izin trayek, yang mana ketentuan ini
mensyaratkan adanya directing mind walaupun pelaku fisiknya adalah pengemudi angkutan umum. Doktrin Strict Liability dapat digunakan dalam pasal 309 serta pasal 313. Namun demikian pasal-pasal tersebut tumpang tindih atau berbenturan dengan pasal 199, yang mana pasal ini mengatur ketentuan yang sama hanya sanksinya berupa sanksi administratif. Berdasarkan analisa contoh kasus, secara teoritis perusahaan angkutan umum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam hal kecelakaan yang diakibatkan ketidaklaikan kendaraan. Namun dalam dalam pelaksanaannya belum dapat dilakukan karena undang-undang tidak mengatur secara jelas dalam hal apa dan kapan perusahaan angkutan umum dapat dikatakan melakukan perbuatan
pidana dan hambatan yuridis belum diakuinya korporasi dalam hukum acara pidana. Perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
pertanggungjawaban pidana perusahaan angkutan umum dalam undang-undang
nomor 22 tahun 2009, khususnya berkaitan dengan kejahatan lalu lintas.

ABSTRACT
The occurence of the accident on mass transportation which caused
many victims died sometimes suspected because of the manner of transportation transportation instrument, or not meet technical feasibility for the purpose to save the cost that where the dees ultimately don?t care about passenger safety and other
road users resulting in a fatal accident that many people killed or injured. Republic Indonesia Act number 22/2009 on traffic and road transportaion which was enacted on 22 June 2009, led to a new perspective in the criminal law regarding criminal responsibility for transportation companies as stipulated in article 315 paragraph (1) expressed in terms of the offenses are committed by
public transport companies, the criminal charges aganist the public trasport company and/or managers. Despite, the criminal liability of transportation companies is subjected to the provisions of criminal, in case of traffic accidents involving trasportation
companies, the law enforcer is still only puts the driver?s vehicle as the subject of criminal act should be criminally liable. This research was conducted to answer the question of wether the doctrine of corporate criminal responsibility of criminal provisions in act no.22/2009 that regulate transportation company, can the
criminal provisions in the Act No.22/2009 on road traffic and transport used to trap transportation companies in case of a traffic accident, what are the bottlenecks in the law enforcement against transportation companies in case of traffic offences. This is a normative research. The result showed that the transportation company as a criminal offense subject set at 3 articles only, namely article 308 which regulates the route permit violations, Article 309 of violations for not follow the insurance compensation to passangers, and Article 313 for violation not insuring his passanger and crew. Theoritically, doctrine of identification can be applied in
violation of the provision of article 308 in the route permit, which requires a directing mind despite his physical perpetrator is transportation company drivers. Doctrine strict liablility can be used in article 309 and article 313. However, these
provisions overlap or conflict with article 199, which sets out the provisions just the same which is their different in sanctions, article 199 have an administrative sanctions nor article 308 have a criminal responsibility. Based on the analysis of case, theoritically transportation company can be held accountable in a traffic accidents because of incapable and unsafe company's vehicle. But in its implementation, it is not success because the
regulation does not set clearly in terms of what and when the transportation company can be said to commit a criminal act and there is legal barriers the corporation have not admitted in the act of criminal trial procedure. It is necessary to improve criminal liability of transportation company in act number 22/2009,
particularly with regard to traffic crimes."
2013
T32590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Prestianto Rizki Yudha Putra
"Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi telah diterapkan dalam beberapa kasus pidana yang melibatkan korporasi di Indonesia. Namun ditemukan banyak kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam melaksanakan proses hukum terhadap korporasi. Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi untuk melengkapi Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana Dengan Subjek Hukum Korporasi untuk mempermudah proses hukum terhadap korporasi. Akan tetapi apakah korporasi selaku subyek hukum pidana telah memperoleh perlindungan yang memadai selayaknya subyek hukum manusia? Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Perlu diingat bahwa konsepsi subyek hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini masih berfokus pada subyek hukum manusia sehingga penelitian ini akan membandingkan korporasi dengan manusia sebagai subyek hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan dukungan pendekatan wawancara terhadap narasumber yang diharapkan dapat mengkonfirmasi adanya hak dari subyek hukum pidana dan bagaimana kondisi korporasi saat berhadapan dengan hukum pidana ditinjau dari aspek hak asasi manusia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korporasi juga merupakan subyek yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya subyek hukum manusia namun terdapat perbedaan mendasar diantara kedua subyek hukum pidana dimaksud yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian penerapan hukum. Ketidaksesuaian penerapan hukum tersebut menimbulkan kerugian bagi korporasi karena korporasi tidak mempunyai perlindungan sebagaimana terdapat dalam konsep hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, konsepsi subyek hukum pidana korporasi perlu diadopsi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana sehingga hak-hak korporasi sebagai subyek hukum pidana dapat terlindungi.

The concept of corporate criminal liability has been applied in several criminal cases. However, there are challenges faced by law enforcement officers in the criminal justice system against corporation. To address such issues, the Supreme Court has issued Regulation No. 13/2016 on the Procedures to settle Criminal Cases involving corporation, in addition to the Regulation of Attorney General No. PER 028/A/JA/19/2014 on the Guideline to Handle Criminal Procedure for Corporation. These are regulations to address the hurdles of applying corporate criminal liability within the criminal justice system. The question is whether corporation is viewed as subject of Indonesian criminal law. This research attempts to answer such question considering that in Indonesia, the focus is only on individual or human person as a subject of criminal law. Hence, to answer such question, this research will apply normative analysis relying on documentation as well as interview to get confirmation on the presence of rights and obligation of legal entity namely corporation which is quite similar with the rights and obligation of legal person. Nevertheless, there are some differences between them leading to unfortunate situation faced by corporation as corporation lacks of protection under human rights regime. Therefore, the concept of corporation as subject of criminal law needs to be adopted so the rights of corporations can be protected."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutan Remy Sjahdeini
"On corporate crimes in Indonesia."
Jakarta: Kencana, 2017
345.02 SUT a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>