Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136173 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sheila Anggita
"Feminisme bukanlah yang bersifat monolit. Teori kekerasan epistemik merupakan alat untuk menunjukkan bagaimana produksi pengetahuan feminisme masih menunjukkan adanya dominasi oleh kelompok tertentu. Interseksionalitas adalah metode yang dapat membongkar kekerasan epistemik yang dialami oleh individu dengan multiplisitas identitas. Dengan kerangka berpikir matriks, metode interseksionalitas dapat melakukan penyelidikan terhadap bagaimana cara kerja relasi di antara privilese dan penindasan. Memahami cara kerja multiplisitas identitas dan privilese yang tidak bekerja secara linear merupakan sifat inklusif yang dimiliki oleh feminisme. Dengan metode interseksionalitas, maka kita melakukan penolakan terhadap homogenisasi pengalaman individu dalam produksi pengetahuan.

Feminism is not monolithic. The theory of epistemic violence is a tool to indicate the presence of domination from certain groups within the feminist knowledge. Intersectionality is a method which is able to dismantle epistemic violence experienced by individuals with identity multiplicity. By utilizing matrix thinking, intersectionality method can investigate how privilege and oppression work in its relation to one another. Feminism’s inclusivity is exemplified by recognizing how identity multiplicity does not always operate in linear. With intersectionality as a method, we therefore repudiate acts of homogenizing individual’s experience within knowledge production."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Collins, Hill Patricia
Cambridge: Polity Press, 2016
305.1 COL i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amila Hasya
"Artikel ini membahas mengenai persoalan ketidakadilan epistemik yang muncul dalam rape culture. Rape culture dianggap sebagai hal yang normal karena tiadanya pengakuan tubuh dan pengalaman di ruang publik, sementara tubuh privat sendiri diatur. Perbincangan sarat pelecehan sering kita temui sehari-hari, bahkan korban tidak dapat menolak. Penelitian ini membongkar epistemologi yang terjadi di masyarakat, hingga rape culture bisa dinormalkan. Penelitian ini menerapkan metode analisis, yaitu metode epistemologi feminis yang fokus pada standpoint knowledge dalam pengumpulan data. Saya memiliki argumen bahwa masyarakat mampu berpikir demikian, dikarenakan ada epistemologi yang bekerja secara menyimpang. Cara kerja epistmeologi ini membuktikkan bagaimana standar pengetahuan masyarakat membiarkan rape culture terbentuk dan terus dibiarkan dalam kehidupan sehari-hari.

This article discusses the issue of epistemic injustice that arises in rape culture. Rape culture is considered as a normal thing because there is no recognition of the body andexperience in the public space, while the private body itself is regulated. We often encounter conversations full of harassment every day, even victims cannot refuse. This research dismantles the epistemology that occurs in society, so that rape culture can be normalized. This study applies an analytical method, namely a feminist epistemologicalmethod that focuses on standpoint knowledge in data collection. I have an argument that society is able to think that way, because there’s an epistemology that works in a wrong way. The way this epistemology works is proves how public knowledge standards allow rape culture to form and continue to be allowed in everyday life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Bernardo Gyorgy
"ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperjelas permasalahan justifikasi epistemik. Descartes, pada kedua buku tersebut, diasumsikan memiliki argumentasi yang mendasari pengetahuan-pengetahuan yang ia temui. Beberapa dari pengetahuan tersebut adalah eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif. Epistemologi Descartes berangkat dari fondasi 'aku berpikir'; pengetahuan tersebut niscaya benar dan indubitable. Dari situ, Descartes mengetahui bahwa substansi ada dua: mind dan body. Setelah itu, ia mendeduksi (non-silogistik) bahwa pengetahuan mengenai realitas objektif bukan direpresentasikan oleh sensasi, melainkan direpresentasikan oleh ide-ide bawaan di dalam mind. Dari penelitian saya, saya berkesimpulan tiga hal. Yang pertama Descartes melakukan kekeliruan (invaliditas) ketika ia mengetahui eksistensi diri. Descartes keliru mencampur knowing-how dan knowing-that, dan menganggap 'aku berpikir' sebagai objek, hal yang dihipotesiskan tidak luput dari Evil Genius. Yang kedua pengetahuan mengenai distingsi mind-body inkoheren. Hal ini dikarenakan kekeliruan kategoris yang ia lakukan. Yang ketiga prakondisi pengetahuan Descartes mengenai realitas objektif tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan justifikasi realitas formal dengan realitas objektif sama, dan akhirnya pengetahuan tersebut bergantung pada natural light. Oleh karena ketiga hal tersebut, argumentasi Descartes, dalam kedua buku tersebut, mengenai eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif tidak justified.

ABSTRACT
This undergraduate thesis aims to clarify the issues raised about the problem of epistemic justification. Descartes, on both of this book, is assumed to have underlying arguments on the knowledge he discovered. Some of these knowledge are self-existence, the mind-body distinction, and objective reality. Descartes‘ epistemology started from the foundation of 'I think'; such knowledge is necessarily true and indubitable. Descartes recognized that there are two substances: mind and body. Then, he deduced (non-syllogistically) that the knowledge of objective reality is not represented by sensation, but rather by the innate ideas inside of the mind. From my research, I concluded three things. First, Descartes committed an invalid deduction when he discovered self-existence. Descartes mistakenly mixed 'knowing-how' and 'knowing-that', and thought that 'I think' as an object, things which is hypothetically couldn't escape from the Evil Genius. Second, the mind-body distinction is incoherent. This is caused by categorical error that he committed. Third, Descartes' precondition of knowledge about objective reality is not sufficient. This is because in Descartes formal reality and objective reality is the same, and ultimately the knowledge depend on natural light. Because of these three notions, Descartes' arguments inside the two books, about the existence of self, mind-body distinction, and the objective reality are not justified."
2014
S54464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Satya Nugraha
"Pemerintah dan media massa memiliki andil dalam kekerasan agama. Pemerintah mengeluarkan regulasi diskriminatif seperti SKB 3 Menteri no 3 tahun 2008 sementara media kerap memberitakan isu kekerasan agama secara menyudutkan. Penelitian ini berusaha melihat produksi berita kekerasan agama di Kantor Berita Antara yang memiliki afiliasi dengan pemerintah. Penelitian kualitatif ini menggunakan teori strukturasi dari Giddens dan konsep jurnalisme keberagaman. Analisis dilakukan dengan paradigma kritis dan metode studi kasus tunggal analisis level jamak (mikro, meso, dan makro). Temuan menunjukan bahwa tidak ditemukan interelasi agensi dan struktur dalam kasus ini. Antara memiliki kekuatan namun tunduk pada struktur sehingga strukturasi tidak terjadi.

Indonesia government and media play a part in anti-minority group violence. Government sponsors violence through discriminative regulation, like SKB 3 Menteri no 3 tahun 2008, while media tend to cover the issue with a discriminative tone. This undergraduate thesis explains the production of anti-Ahmadiyah violence in a government-owned news agency named Antara. Giddens’ Structuration and multicultural journalism are incorporated in this qualitative research. The researcher uses critical paradigm for single case multi-level (micro, mezzo, macro) analysis method. The finding shows that there is no interrelation between agency and structure found in this case study. Antara, as a powerful agent, bows down to the government that acts as the structure. Thus Antara plays no role in structuration."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56648
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Izzatunnisa
"Proyek akhir ini membahas mengenai penggunaan modalitas epistemik makna ‘keharusan’ jenis intraklausal, yaitu harus, perlu, wajib, mesti, dan patut, dalam korpus berita daring. Modalitas dimaknai sebagai ‘unsur leksikal yang pemakaiannya menggambarkan sikap pembicara terhadap proposisi’. Adanya tumpang-tindih makna dari setiap jenis modalitas menyebabkan perlunya pemahaman lebih mendalam mengenai jenis penggunaannya sehingga maksud tuturan dapat lebih mudah tercapai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan ranah penggunaan, perilaku sintaktis, dan kecenderungan penggunaan modalitas epistemik ‘keharusan’ intraklausal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan desain deskriptif. Data yang digunakan berasal dari laman Leipzig Corpora Collection pada bagian news 2020. Melalui analisis kolokasi, penelitian ini menggambarkan bahwa ranah penggunaan pengungkap modalitas epistemik ‘keharusan’ intraklausal cenderung berada pada ranah kebijakan pemerintah. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab pengungkap modalitas epistemik ‘keharusan’ intraklausal cenderung digunakan secara deontis daripada secara epistemis. Adanya sumber deontik dan risiko kuat dan lemah atas perintah yang diberikan kepada pelaku aksi menguatkan bahwa pengungkap modalitas epistemik ‘keharusan’ intraklausal pada korpus berita daring lebih dekat maknanya dengan modalitas deontik ‘perintah’ daripada dengan modalitas epistemik ‘keharusan’.

This final project discusses the use of intraclausal ‘keharusan’ epistemic modalitiy, such as harus, perlu, wajib, mesti, dan patut, in the online news corpus. Modality is defined as a ‘lexical element that describes the speaker’s attitude towards the proposition’. The overlapping meaning of each type of modality causes the need for a deeper understanding so that the meaning of the utterance can be more easily achieved. The purpose of this study is to describe the domain, syntactic behavior, and the tendency towards the use of intraclausal ‘keharusan’ epistemic modality. The method used in this research is a qualitative method with a descriptive design. The data comes from the Leipzig Corpora Collection news 2020 section. Through collocation analysis, this study describes that the domain of using intraclausal ‘keharusan’ epistemic modality is in the government policy. This is one of the reasons why the intraclausal ‘keharusan’ epistemic modality tends to be used deontically rather than epistemically. The existence of deontic sources and the strong and weak risks confirm that the intraclausal ‘keharusan’ epistemic modality in the online news corpus is closer meaning to the ‘perintah’ deontic modality rather than ‘keharusan’ epistemic modality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Yudha Sentana
"Makalah ini bertujuan mengurai bagaimana eksklusi dan marginalisasi secara ganda terjadi dalam produksi pengetahuan dan kebijakan food estate di Indonesia, dengan menggunakan teori standpoint feminis sebagai kerangka kerja filosofis. Kebijakan food estate di Indonesia merupakan sebuah kebijakan kontroversial yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan produktivitas pertanian dengan mengembangkan perkebunan berskala besar di kawasan hutan dan lahan gambut. Namun, kebijakan ini dikritik karena mengabaikan suara dan kepentingan masyarakat lokal, terutama perempuan dan masyarakat adat, yang bergantung pada hutan sebagai sumber mata pencaharian dan identitas budaya mereka. Teori standpoint feminis berargumen bahwa pengetahuan bersifat situasional dan parsial, dan bahwa perspektif kelompok-kelompok yang terpinggirkan dapat menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif dan kritis terhadap realitas. Melalui teori standpoint feminis, dominasi produksi pengetahuan yang mempengaruhi kebijakan food estate di Indonesia mencoba diurai karena telah menghasilkan masyarakat yang tereksklusi dan termarginalisasi secara ganda. Makalah ini menggunakan refleksi kritis dan metode penelitian filosofis untuk menganalisis masalah dan tantangan aktual, dan untuk mengusulkan suatu bentuk evaluasi kritis non-teknis dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik.

This paper aims to unravel how multiple exclusion and marginalization occur in the production of knowledge and food estate policies in Indonesia, using feminist standpoint theory as a philosophical framework. The food estate policy in Indonesia is a controversial policy that aims to improve food security and agricultural productivity by developing large-scale plantations in forest and peatland areas. However, it has been criticized for ignoring the voices and interests of local communities, especially women and indigenous peoples, who depend on forests for their livelihoods and cultural identity. Feminist standpoint theory argues that knowledge is situational and partial, and that the perspectives of marginalized groups can offer a more comprehensive and critical understanding of reality. Through feminist standpoint theory, the dominance of knowledge production that influences food estate policies in Indonesia is unraveled as it has resulted in a doubly excluded and marginalized society. This paper uses critical reflection and philosophical research methods to analyze actual problems and challenges, and to propose a form of non-technical critical evaluation in public policy formulation and implementation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah
"Beberapa variabel psikologi ditemukan menjadi faktor disposisi yang mempengaruhi ideologi politik misalnya motivasi epistemik, right wing authoritarianism dan social dominance orientation. Selain faktor psikologi, faktor agama diprediksikan dapat menjadi faktor disposisi ideologi politik karena agama dan politik mempunyai akar kebutuhan psikologi yang sama. Sifat multiinterpretatif ajaran Islam tidak bisa melihat Islam secara monolitik sehingga Muslim akan berbeda-beda dalam bersikap politik. Penelitian ini bertujuan melihat peran agama dan faktor psikologis dalam memetakan tipologi ideologi politik Muslim di Indonesia. Studi pendahuluan dilakukan dengan mewawancarai 12 partisipan dari organisasi Islam untuk menggambarkan perbedaan sikap politik dan perbedaan interpetasi dalam memahami ajaran Islam. Beberapa Muslim digambarkan meyakini dan memahami ajaran Islam sebagai pedoman menyeluruh (total) dalam semua aspek kehidupan termasuk kehidupan politik dan bernegara.
Totalitas dalam Islam tersebut diduga menjadi prediktor terhadap ideologi politik Muslim. Untuk itu perlu dilakukan adaptasi dan analisis struktur skala totalisme Islam (studi 1a) dengan partisipan sebanyak 653 muslim. Selanjutnya menguji korelasi dan regresi dengan variabel yang terkait dengan ideologi (1b) dengan partisipan sebanyak 376 mahasiswa muslim. Selanjutnya studi 2 menggunakan survei sebanyak 1208 muslim dari beberapa provinsi dengan karakteristik tertentu yang bertujuan untuk membuktikan hipotesis utama yaitu keberagaman ideologi politik Muslim di Indonesia. Hasilnya terdapat 6 kelompok ideologi politik dengan perbedaan karakteristik pada motivasi epsitemik, right wing authoritarianism, social dominance orientaiton dan totalisme Islam.

Some psychological variables are found as the disposition factors that influence to political ideology such as epistemic motivation, right wing authoritarianism and social dominance orientation. Besides psychological factors, the religious factors are predicted to be a disposition factor for political ideology because religion and politics have the similar root in psychological needs. The multi-interpretative nature of Islamic teachings cannot be seen Islam as monolithically interpretation, so Muslims will be different in their political behavior. This study aims to analyze the role of religion and psychological factors in mapping the typology of Muslim political ideology in Indonesia. A preliminary study was conducted by interviewing 12 participants from Islamic organizations to illustrate differences in political attitudes and differences in interpretation in understanding Islamic teachings. Some Muslims are depicted as believing and understanding the teachings of Islam as an absolute guidance (total) in all aspects of life including political and state life.
Totality in Islam is thought to be a predictor of Muslim political ideology. For this reason, it is necessary to adapt and analyze the structure of the Islamic totalism scale (study 1a) with 653 Muslim participants and test correlation and regression with variables related to ideology (1b) with a total of 376 Muslim student participants. Furthermore Study 2 focused on a survey to 1208 Muslims from several provinces with certain characteristics aimed at proving the main hypothesis of the diversity of Muslim political ideologies in Indonesia. The result is that there are 6 groups of political ideologies with different characteristics in epistemic motivation, right wing authoritarianism, social dominance orientation and Islamic totalism.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fandy Achmad Fathoni
"Artikel ini merupakan interpretasi kritis feminisme terhadap ketidakadilan reproduksi dalam program kontrasepsi. Program kontrasepsi dianggap sebagai alat untuk membebaskan perempuan dari beban peran keibuan. Akan tetapi, dari program kontrasepsi muncul masalah pengekangan berupa pemaksaan sterilisasi serta berbagai perilaku diskrimiatif lainnya yang didorong oleh pemahaman eugenisme, rasisme, klasisme, dan sejenisnya. Berdasarkan penelusuran pustaka yang ada ditemukan bahwa perempuan yang berasal dari kelompok marjinal lebih rentan mengalami pemaksaan sterilisasi serta perilaku diskriminatif lainnya dibandingkan perempuan yang berasal dari kelompok privilese. Politik diskriminasi yang dipertahankan membuat perempuan kelompok marjinal jadi kesulitan mengakses hak-hak reproduksinya; memperoleh otonominya. Konsep hak reproduksi yang memperjuangkan ketersediaan haknya berbasis pada advokasi legal terbukti tidak mampu mengakomodasi pengalaman perempuan yang beragam. Oleh karena itu, pendekatan reproduksi berkeadilan dengan lensa interseksionalitas menjadi penting untuk digunakan dalam upaya mengatasi ketidakadilan reproduksi perempuan, khususnya perempuan kelompok marjinal. Menggunakan metode pendekatan kritik feminis yang berbasis pada metode cultural and standpoint feminist, tulisan ini mengolah temuan dari berbagai penelusuran pustaka terkait pengekangan reproduksi perempuan. Temuan tersebut
kemudian dianalisis menggunakan kerangka reproduksi berkeadilan dengan lensa interseksionalitas. Tulisan ini
hendak menyatakan bahwa pengakuan terhadap pengalaman reproduksi yang berbeda diperlukan dalam upaya
mengatasi ketidakadilan reproduksi yang dialaminya.

This article critically interprets feminism in the context of reproductive injustice within contraception programs.
The contraceptive program is often regarded as a means to liberate women from the burdens of motherhood.
However, issues of restraint have emerged within the contraceptive program, manifesting as forced sterilization
and various other discriminatory behaviors driven by eugenics, racism, classism, and similar beliefs. Extensive
literature indicates that women from marginalized groups are more susceptible to forced sterilization and other
forms of discrimination compared to women from privileged groups. The perpetuation of discriminatory politics
makes it challenging for women in marginalized groups to access their reproductive rights and achieve
autonomy. The concept of reproductive rights, which advocates for the availability of these rights through legal means, has proven insufficient in accommodating the diverse experiences of women. Therefore, adopting an approach to reproductive justice that incorporates an intersectional lens becomes crucial in addressing reproductive injustices faced by women, particularly those in marginalized groups. This paper employs a feminist critical approach utilizing cultural and standpoint feminist methods to analyze findings from various literature searches pertaining to the constraints on women's reproduction. These findings are further examined
through the lens of intersectionality within a reproductive justice framework. The paper asserts that
acknowledging the different reproductive experiences is vital in the pursuit of overcoming the reproductive
injustices women encounter.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ajanti Trijanuary
"Tren cancel culture saat ini telah menjadi topik yang mengundang banyak perdebatan di media sosial. Yang dimaksud dari tren cancel culture adalah sebuah konsep bahwa seorang individu atau kelompok dapat “dibatalkan” atau “disingkirkan” akibat memiliki perilaku bermasalah yang tidak dapat diterima oleh publik (Mayasari, 2022). Pada topik penelitian ini, penulis mengakarkan permasalahan pada pertanyaan mengapa dominasi pandangan subjektif dapat mengindikasikan bahwa tren cancel culture termasuk ke dalam satu bentuk baru dari budaya perundungan. Subjektivitas pada tren cancel culture ini nyatanya berperan besar pada asumsi bahwa cancel culture merupakan satu bentuk baru dari budaya perundungan. Hal tersebut menyatakan bahwa dominasi pandangan subjektif individu tidak seharusnya menjadi upaya untuk menghasilkan output yang objektif sebab dapat mengesampingkan aspek logis dalam menilai individu lain dan mengindikasikan hadirnya hasrat kebencian di dalam pandangan subjektif tersebut. Banyak dijumpai masyarakat yang didapati memiliki intensi kebencian (dalam konteks rasial ataupun non-rasial) kepada korban dari tren cancel culture dan hal tersebut dianggap inheren dengan budaya perundungan. Seperti pada beberapa kasus cancel culture yang diterapkan kepada beberapa tokoh publik seperti Gofar Hilman, Kim Seon Ho, dan Johnny Depp yang sama-sama memiliki pola kejadian serupa. Maka dari itu, penelitian ini berupaya untuk melahirkan kesadaran akan dominasi keberadaan subjektivitas yang nyatanya menghasilkan kepercayaan objektif yang buruk dengan hadirnya tren cancel culture sebagai sebuah bentuk budaya perundungan yang baru. Penulis menjadikan teori ketidakadilan epistemik atau epistemic injustice yang digagas oleh Miranda Fricker (1966), seorang filsuf Inggris, yang menegaskan pemikirannya pada ketidakadilan epistemik yang bersumber dari konsep ketidakadilan yang dilakukan agen penahu terhadap seseorang. Dominasi subjektivitas yang terdapat pada tren cancel culture ini membawa penulis pada analisis mengenai adanya ketidakadilan epistemik yang terdapat dalam subjektivitas tersebut.

The current cancel culture trend has become a topic that invites a lot of debate on social media. What is meant by the cancel culture trend is a concept that an individual or group can be “canceled” or “removed” due to having problematic behavior that is unacceptable to the public (Mayasari, 2022). On this research topic, the authors root the problem on the question why the dominance of subjective views can indicate that the cancel culture trend is included in a new form of bullying culture. The subjectivity of the cancel culture trend actually plays a major role in the assumption that cancel culture is a new form of bullying culture. This states that the domination of individual subjective views should not be an effort to produce objective outputs because it can override the logical aspect of judging other individuals and indicates the presence of a desire for hatred in that subjective view. There are many people who are found to have hateful intentions (in a racial or non-racial context) towards victims of the cancel culture trend and this is considered to be inherent in a culture of bullying. As in several cases of cancel culture which was applied to several public figures such as Gofar Hilman, Kim Seon Ho, and Johnny Depp who both had a similar pattern of incidents. Therefore, this research seeks to raise awareness of the domination of subjectivity which in fact produces bad objective beliefs with the presence of the cancel culture trend as a new cultural form of bullying. The author makes the theory of epistemic injustice initiated by Miranda Fricker (1966), a British philosopher, who emphasizes her thoughts on epistemic injustice originating from the concept of injustice perpetrated by a knowledge agent against someone. The dominance of subjectivity in the cancel culture trend brings the author to an analysis of the existence of epistemic injustice in that subjectivity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>