Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dine Evantara
"Perubahan Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan terhadap pembagian urusan Metrologi Legal Tera dan Tera Ulang, yang awalnya urusan provinsi menjadi urusan kabupaten/kota. Sejak Perubahan urusan ini  baru 202 Unit Metrologi Legal (UML) dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Beberapa daerah kabupaten/kota mengalami stagnansi pelayanan tera dan tera ulang karena berbagai hambatan dalam pembentukan Unit Metrologi Legal, kekurangan SDM Tera, sarana prasarana dan kesadaran kepala daerah dalam pembentukan Unit Metrologi Legal. Peran Metrologi Legal menjamin keadilan dalam perdagangan, khususnya di bidang penimbangan dan pengukuran, perlindungan konsumen, harmonisasi standar dan persyaratan teknis membentuk kondisi dan meningkatkan daya saing produk produk domestik di pasar internasional. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif di Provinsi Jawa Barat dengan tiga daerah Kabupaten Karawang, Kota Depok dan Kabupaten Purwakarta ini berusaha menganalisis bagaimana urusan metrologi legal sebelum dan sesudah Undang Undang No. 23 Tahun 2014, distribusi pembagian urusan metrologi legal yang tepat di Indonesia dan desain urusan metrologi legal yang ideal di Indonesia ke depannya. Analisis dilakukan dengan informasi dan data yang diperoleh di lapangan dengan didukung berbagai informasi yang diperoleh dari buku, publikasi, laporan dan pendapat pakar ahli metrologi legal dan otonomi daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan urusan metrologi legal merupakan 'tugas pembatuan yang tidak disadari', sebelum Undang Undang No. 23 Tahun 2014 berpola tugas pembantuan yang tidak disadari sampai provinsi, sedangkan setelahnya tugas pembantuan tidak disadari sampai kabupaten/kota. Distribusi urusan metrologi legal saat ini tidak tepat, ada urusan-urusan yang tidak konsisten diserahkan/diemban oleh pusat. Selain itu urusan ini tidak tepat dilakukan di daerah karena metrologi legal berdampak nasional, berkaitan dengan standar yang harus seusai dengan standar nasional dan internasional dan perlindungan konsumen yang memang harus menjadi urusan pusat. Peran sawsta sangat dibutuhkan dalam pengukuran metrologi legal skala besar dengan standar yang ditetapkan oleh pusat. Distribusi pembagian urusan metrologi legal ideal ke depan dapat dilakukan dengan dua pilihan yaitu: Pilihan 1 membenahi tugas pembantuan yang tidak disadari, pilihan 2 diambil kembali oleh pusat dengan cara dekonsentrasi.

Amendment to Law No. 23 of 2014 concerning Local Government brought changes to the distribution of Legal Metrology Calibration and Re-calibration, which were initially provincial affairs into regency/municipality affairs. Since the change of this matter, there are only 202 Legal Metrology Unit from 514 regencies/municipalities in Indonesia. Some regencies/municipalities experienced stagnation of calibration and recalibration services due to various obstacles in the formation of Legal Metrology Legal, lack of  calibrasi human resources, infrastructure and awareness of regional heads in the formation of Legal Metrology Unit. The role of Legal Metrology guarantees fairness in trade, particularly in the areas of weighing and measuring, consumer protection, harmonization of standards and technical requirements to shape conditions and improve the competitiveness of domestic products in the international market. This research was conducted through a qualitative approach in West Java Province with three regions of Karawang Regency, Depok Municipality and Purwakarta Regency trying to analyze how legal metrology matters before and after Law No. 23 of 2014, the proper distribution of legal metrology functions in Indonesia and the ideal design of legal metrology in Indonesia in the future. The analysis is carried out with information and data obtained in the field supported by various information obtained from books, publications, reports and opinions of experts in legal metrology and regional autonomy. The results of the study showed that the implementation of legal metrology matters was 'unconscious co-administration', before Law No. 23 of 2014 has a pattern of co-administration tasks that are not realized up to the provinces, whereas after co-administration tasks are not realized up to the regencies/municipalities. The distribution of legal metrological affairs is currently inaccurate, there are functions that are not consistently assigned/ carried by the central government. In addition, this matter is not appropriate to be carried out in the regions because legal metrology has a national impact, related to standards that must be in line with national and international standards and consumer protection which must indeed be a central matter. Private involvement is needed in the implementation mass calibration legal metrology in the future with the standars set by central government.The distribution of ideal legal metrology distribution in the future can be done with two choices, namely: Option 1. fixes unconscious co-administration, option 2 is taken back by the center government by deconcentration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T55144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moogy Frianto Hartomo
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37504
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Moogy Frianto Hartomo
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25198
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bisman Bhaktiar
"Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan daerah otonom di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan masa pasca reformasi diwarnai dengan pasang surut perkembangannya, baik dari aspek konsep, bobot atau besaran urusan pemerintahan yang terbagi untuk Pemerintah dan daerah otonom serta kecenderungannya ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Berkaitan dengan itu, penelitian ini melakukan kajian terhadap bagaimana dinamika pengaturan tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan daerah otonom serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Oleh karena itu, penelitian ini mendeskripsikan desentralisasi dan otonomi daerah serta pembahasan tentang pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan daerah otonom dalam undang-undang dasar dan undang-undang, mulai saat Indonesia merdeka hingga saat ini. Dari penelitian ini menunjukkan telah terjadi dinamika pengaturan dan kondisi yang melatarbelakanginya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan daerah otonom di Indonesia, diantaranya adalah kondisi sosial dan politik, perubahan konstitusi dan politik hukum. Kondisi sosial dan politik yang berkembang, sangat berpengaruh pada pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan daerah otonom. Pada konfigurasi politik yang demokratis dan terdapat keseimbangan diantara kekuatan politik, maka hubungan Pemerintah dan daerah otonom akan cenderung desentralisasi. Namun sebaliknya, pada konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoritarian maka hubungan Pemerintah dan daerah otonom cenderung sentralisasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26625
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Dina Algina
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan bentuk Lembaga Pengelola Investasi sebagai Sovereign Wealth Fund di Indonesia. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan yaitu tentang konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) yang digunakan dalam pendirian lembaga pengelola investasi serta kedudukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang didirikan dengan konsep SWF berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melalui UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Indonesia membentuk SWF dengan nama Lembaga Pengelola Investasi. LPI nantinya akan bertugas untuk mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang untuk membiayai pembangunan berkelanjutan. LPI bekerja dengan cara menarik dana dari luar negeri untuk diinvestasikan di dalam negeri. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis – normatif dengan tipe deskriptif – analitik. Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa Sebagai SWF, Lembaga Pengelola Investasi merupakan badan hukum yang bersifat sui generalis. yaitu dapat lembaga publik yang juga pada saat yang sama merupakan badan privat. LPI akan meniru model SWF milik Rusia yaitu Russian Direct Investment Fund.

This research discusses about the legal standing of the Indonesia Investment Authority as a Sovereign Wealth Fund in Indonesia. This research has raised two issues : the concept of Sovereign Wealth Fund (SWF) which is used in Indonesia Investment Authority and the position of the Investment Management Institution (LPI) which was established with the SWF concept based on the laws and regulations in Indonesia. Through Act Number 11 of 2020 concerning Job Creation, Indonesia formed the SWF under the name Indonesia Investment Authority. The investment of LPI will manage to optimize the value to finance sustainable development. LPI works by attracting funds from abroad to be invested domestically. The method used in this research uses a juridical - normative approach with descriptive - analytic types. The results of the research concluded that as a SWF, the Investment Management Institution is a legal entity with the status of sui generalists. that is, it can be a public institution that is also a private body at the same time. LPI will follow Russia's SWF model, which is the Russian Direct Investment Fund."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pratiwi Eka Sari
"Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity memiliki kekayaan spesies tanaman obat sehingga Indonesia menarik bagi peneliti asing yang ingin melakukan penelitian baik untuk kepentingan komersial maupun non-komersial. Sumber Daya Genetik Tanaman Obat Indonesia yang bernilai di pasaran Internasional, membuat Biopiracy berpotensi terjadi apabila perlindungan pelaksanaan akses dan pembagian keuntungan belum optimal sebagaimana amanah tujuan Protokol Nagoya mengenai pembagian yang adil dan seimbang dari setiap keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan Sumber Daya Genetik. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai kendala, diantaranya: (i) perbedaaan konsep pandangan masyarakat lokal yang komunal berlawanan dengan konsep paten dalam rezim hak kekayaan intelektual yang bersifat individual; (ii) database tanaman obat dan pengetahuan tradisional yang belum terintegrasi dengan baik sebagai amanah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan untuk diintegrasikan dalam Pendataan Kebudayaan Terpadu; (iii) mekanisme perizinan yang rumit; (iv) pembagian keuntungan yang belum maksimal karena terkendala rendahnya Bargaining Position peneliti Indonesia dalam kerjasama; (v) belum adanya standarisasi Material Transfer Agreement (MTA), Mutually agreed Terms (MAT), Prior Informed Consent (PIC); dan (vi) belum disahkannya beberapa aturan hukum yang mengatur mekanisme pendukung akses dan pembagian keuntungan sumber daya genetik yang hingga saat ini masih dalam proses harmonisasi juga membuat pelaksanaan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten belum dapat dilaksanakan secara maksimal.

Indonesia, known as a mega biodiversity country has rich species of medicinal plants. This makes Indonesia attractive to foreign researchers who want to conduct research for both commercial and non-commercial purposes. The commercial value of Indonesian medicinal genetic resources makes biopiracy potentially occur if the regulation of granting access and profit sharing is not optimal in carrying out safeguards as mandated of the Nagoya Protocol. This is caused by various obstacles, among others: (i) related to the differences in the concept of communal local community views, of course contrary to the Patent concept in the regime of individual Intellectual Property Rights; (ii) database related to medicinal plants and traditional knowledge that has not been well integrated as one of the mandates of law Promoting Culture; (iii) licensing mechanism to obtain complicated access; (iv) profit sharing that has not been maximized due to constrained low Indonesian Bargaining Position; (v) absence of Material Transfer Agreement standard, Mutually Agreed Terms, Prior Informed Consent; and (vi) several legal rules that regulate supporting mechanisms for Genetic Resources Access and Profit Sharing that are still in the process of harmonization also make the implementation of Article 26 Paragraph (3) of Law Number 13 of 2016 concerning Patents has not been fully implemented."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53767
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khoiriah
"ABSTRAK
Keberadaan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi konsensus
Nasional. Konsenssus nasional mengenai keberadaan otonomi daerah dalam NKRI tersebut
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi Negara tidak hanya
semata-mata atas dasar sentralisasi dan dekonsentrasi sebagai penghalusannya, tetapi juga atas
dasar desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dari dimensi administrasi,
prinsip diatas menuntut agar otonomisasi yang terjadi didasarkan pada faktor dan pertimbangan
objektif serta kebijakan yang dapat menjamin kemampuan daerah dalam mengemban otonomi.
Inilah makna otonomi yang nyata tercakup dalam dimensi ini adalah perlunya dukungan
wewenang dalam bidang keuangan dan perangkat bagi setiap penyerahan urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah.
Menurut logika hukum keuangan daerah yang juga merupakan keuangan publik, tidak lagi
tunduk pada ketentuan keuangan Negara. Keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk
mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
Pentingnya posisi keuangan daerah dalam menyelanggarakan otonomi daerah sangat disadari
oleh pemerintah. Demikian pula alternatif cara untuk mendapatkan keuangan yang memadai.
Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada
setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan sumber pendapatan
daerah pajak dan retribusi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, hasil
perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman
daerah.
Dalam hal kewenangan kepala daerah Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000
menyebutkan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah disebutkan bahwa
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya
mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Dalam hal
pengelolaan keuangan daerah kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah; Dalam melaksanakan kekuasaan kepala daerah melimpahkan sebagian atau selurah
kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban, serta pengawasan, keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah,
Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan
antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.

Abstract
The existence of regional autonomy in the Republic of Indonesia has become a national
consensus. The National Consensus about the existence of regional autonomy within the
Republic of Indonesia means that the implementation of the organization and administration of
the State is not merely on the basis of centralization and deconcentration as soften, but also on
the basis of decentralization and regional autonomy as its realization. From the dimensions of the
administration, demanding that the above principle of autonomization that occurred based on
objective factors and considerations as well as policies that can ensure the ability to carry out
regional autonomy. This is the real meaning of autonomy which is included in this dimension is
the need to support the authority in the field of finance and devices for each delivery of
governmental affairs by the government to the regions.
According to the logic of local finance law which is also the public finances, no longer subject to
the provisions of State Finance. Local finance as one indicator to determine the ability of regions
to organize and manage their own households, the financial position of regional importance in
organizing the regional autonomy is realized by the government. Similarly, an alternative way to
obtain adequate finance. In order to organize the Regional Autonomy of financial authority
inherent in any government authority to regional authorities. While the source of local income
taxes and levies, the financial balance between central and local government, the regional-owned
enterprises, and the separated regional wealth management, lending areas.
In terms of local authority heads of Government Regulation Number 84 of the year 2000
mention is the Regional Head of Governors, Regents and Mayors. In Government Regulation
Number 58 Year 2005 concerning the Financial Management stated that the Holder of Power
Financial Management is a regional head office has the authority for conducting the overall
management of regional finances. In terms of financial management of the head area is the area
of financial management authority regions; In exercising the power of regional chief delegate
part or all of the powers of planning, implementation, administration, reporting and
accountability, and oversight, regional finance to the local officials, delegation of some or all
power is based on the principle of separation of powers between the ordering, testing, and
receiving/spending money."
2012
T31537
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rahmadan
"Praktik investasi melalui Penggalangan Dana Dalam Bentuk Ekuitas Berbasis Teknologi Informasi PDETI di Indonesia belum didukung oleh peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan OJK. Ketiadaan aturan hukum yang mengatur secara khusus dapat menimbulkan risiko untuk investor. Dalam kondisi ketiadaan peraturan, keabsahan dari investasi melalui PDETI harus ditinjau dari peraturan-peraturan yang relevan, khususnya terkait keabsahan dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak untuk melakukan PDETI yaitu Perjanjian Kustodian dan Investasi PKI yang melibatkan beberapa aspek hukum dan dibuat oleh Perusahaan X. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam PKI dan kekuatan hukumnya berdasarkan hukum Indonesia, serta potensi risiko dan perlindungan hukum bagi investor. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis, termasuk meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan tujuan untuk menemukan fakta-fakta dari praktik yang dilakukan oleh para pihak terkait secara umum dan perjanjian kustodian dan investasi yang dibuat penyelenggara PDETI secara khusus. Hasil analisis terhadap hubungan hukum antara para pihak menunjukan adanya potensi pelanggaran yaitu larangan praktik pinjam nama berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal yang mengakibatkan PKI menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu diperlukan tindakan pro-aktif dari OJK untuk melindungi investor yang berinvestasi melalui PDETI dengan segera mengeluarkan peraturan terkait bisnis PDETI.

The practice of investment through Equity Crowdfunding ECF in Indonesia has not been supported by regulations from the Financial Services Authority of Indonesia OJK . The absence of specific regulations may cause risks for investors. In the absence of any regulations, the legality of this investment should be seen from regulations relevant to this transaction, specifically regarding the enforceability of the agreement made by the parties to conduct ECF, which is called Custodian and Investment Agreement CIA which involves several legal aspects and created by Company. This paper intends to seek the legal standing of the parties in CIA and its enforceability under Indonesian law, as well as the potential risk and legal protection for investors. This paper uses a juridical normative method which uses written applicable laws and literature, with the aim to get fact finding from the practices made by the related parties in general and specifically from the CIA. The result of the analysis of the legal relationship amongst the parties shows that there are potential breaches such as the prohibition of nominee arrangement under Investment Law resulting in the CIA to be null and void. Hence, a proactive action by OJK is required to protect investors investing through ECF business by issuing the necessary regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairia Meidi Rifada
"Setidaknya terdapat 41 perusahaan yang melakukan tindakan go private sejak tahun 1997, beberapa diantaranya secara finansial merupakan perusahaan sehat. Akan tetapi hingga saat ini pengaturan mengenai tindakan go private masih tersebar-sebar dan bukan merupakan pengaturan yang secara langsung membahas mengenai tindakan go private. Skripsi ini membahas mengenai perbandingan mekanisme tindakan go private atau perubahan status perusahaan yang mengajukan diri menjadi perusahaan terbuka kembali menjadi perusahaan tertutup di Negara Indonesia, Singapura dan Hong Kong. Pelaksanaan tindakan go private yang tidak secara tegas diatur memberikan kesempatan bagi perusahaan yang secara finansial dikatakan perusahaan sehat keluar dari pasar modal. Penentuan suatu perusahaan dalam keadaan sehat, menggunakan rasio likuiditas terhadap laporan keuangan perusahaan. Adapun negara Singapura dan Hong Kong saat ini memiliki suatu regulasi yang secara ketat mengatur pelaksanaan go private guna meminimalisir pelaksanaan go private. Penelitian penulisan dilakukan menggunakan metode yuridis-normatif dengan membandingkan regulasi mekanisme go private. Perbandingan pengaturan mekanisme yang berlaku di Singapura dan Hong Kong kemudian dijadikan suatu acuan norma hukum yang dapat diimplementasikan terhadap pembentukan pengaturan yang lebih komprehensif dalam pengaturan pelaksanaan go private di Indonesia.

At least 41 companies have gone private since 1997, some of which are sustainable companies. However, until now the regulation regarding the act of going private is still scattered and is not a regulation that directly discusses the act of going private. This thesis discusses the comparison of the mechanism of action to go private or change the status of a company that proposes to become a public company back into a closed company in Indonesia, Singapore and Hong Kong. The implementation of the go private action which is still scattered in various regulations provides an opportunity for companies that are said to be financially sound companies to exit the capital market. Determination of a company in good health, using the ratio of liquidity to the company's financial statements. Singapore and Hong Kong currently have a regulation that strictly regulates the implementation of going private in order to minimize the implementation of going private. The research was conducted using the normative juridical method by comparing the regulation of  go private mechanisms. The comparison of regulatory arrangements in Singapore and Hong Kong is then used as a reference to legal norms that can be implemented towards the establishment of more comprehensive arrangements for regulating the implementation of going private in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raynanda Bintang Pradhana
"Pinjaman online berkembang sangat pesat, namun terdapat tantangan dan pontensi masalah yang memerlukan perhatian serius. Salah satunya adalah pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia. Penerapan bunga dalam pinjaman ini bertentangan dengan Pasal 76 ayat (2) huruf c UU Pendidikan Tinggi. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Penulis menguraikan dan menganalisis dua permasalahan dalam penelitian ini, yaitu pengaturan pinjaman online di Indonesia dan analisis regulasi dan peran pemerintah dalam menerapkan pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan agar sesuai dengan regulasi yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sudah terdapat peraturan mengenai pinjaman online secara umum di Indonesia yang diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi dan SEOJK Nomor 19/SEOJK.05/2023 Tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi Informasi. Namun, belum terdapat peraturan khusus terkait pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan. Pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia merupakan bentuk inovasi yang sangat baik. Disisi lain, pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia saat ini bertentangan dengan Pasal 76 ayat (2) huruf c UU Pendidikan Tinggi karena dilakukan dengan menerapkan bunga. Seharusnya bantuan diberikan tanpa dikenakan bunga dan dibayarkan setelah lulus dan/atau mendapatkan pekerjaan (gaji) yang layak sehingga tidak memberatkan pengguna. Pada hakikatnya, setiap masyarakat berhak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana amanat dalam Pasal 31 UUD 1945. Dengan demikian, pemerintah khususnya Kemdiktisaintek dan OJK perlu merumuskan peraturan khusus terkait pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan agar dapat memberikan akses pendidikan yang inklusif, berkeadilan, dan terjangkau sehingga tidak ada bunga yang memberatkan, mengintegrasikan layanan pembiayaan ke dalam program pendidikan, atau menerapkan skema Income Contingent Loan, perlu juga melakukan upaya preventif dan represif untuk mengawasi pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan, lalu bagi penyelenggara pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan dapat menyesuaikan dengan ketentuan UU Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, jika memang harus mengenakan bunga sebaiknya memiliki skema subsidi bunga untuk mahasiswa, OJK sebagai regulator perlu menetapkan melalui revisi POJK atau SEOJK maupun melalui penerbitan kebijakan baru. Kemudian, pengguna pinjaman online untuk pembiayaan pendidikan wajib melunasi pinjaman sesuai perjanjian karena jika tidak dapat berdampak pada reputasi kredit dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum.

Online loans are growing rapidly, but there are challenges and potential problems that require serious attention. One of them is online loans for education financing in Indonesia. The application of interest in these loans is contrary to Article 76 paragraph (2) letter c of the Higher Education Law. This research was prepared using doctrinal research methods. The author describes and analyzes two problems in this research, namely the regulation of online loans in Indonesia and the analysis of regulations and the role of the government in implementing online loans for education financing in accordance with existing regulations in Indonesia. The results of this study show that there are already regulations regarding online loans in general in Indonesia which are regulated in POJK Number 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology- Based Joint Funding Services and SEOJK Number 19/SEOJK.05/2023 concerning the Implementation of Information Technology-Based Funding Services. However, there are no specific regulations regarding online loans for education financing. Online lending for education financing in Indonesia is a very good form of innovation. On the other hand, online loans for education financing in Indonesia currently contradict Article 76 paragraph (2) letter c of the Higher Education Law because they are made by applying interest. Assistance should be provided without interest and paid after graduation and/or getting a decent job (salary) so as not to burden users. In essence, every citizen has the right to education as mandated in Article 31 of the 1945 Constitution. Thus, the government, especially the Ministry of Higher Education, Science and Technology and Financial Services Authority, needs to formulate special regulations related to online loans for education financing in order to provide inclusive, equitable, and affordable access to education so that there is no burdensome interest, integrate financing services into education programs, or apply the Income Contingent Loan scheme, it is also necessary to make preventive and repressive efforts to supervise online loans for education financing, then for online loan providers for education financing can adjust to the provisions of the Higher Education Law. However, if they have to charge interest, they should have an interest subsidy scheme for students, OJK as a regulator needs to determine through revisions to POJK or SEOJK or through the issuance of new policies. Then, users of online loans for education financing are required to repay loans according to the agreement because otherwise it can have an impact on credit reputation and potentially lead to legal consequences."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>