Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71643 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Reza Winata
"Pengesampingan putusan memunculkan diskursus mengenai fleksibilitas tindak lanjutnya. Tesis ini hendak menjawab rumusan masalah yaitu pemaknaan finalitas dan kekuatan mengikat putusan dalam pembentukan undang-undang, serta fleksibilitas tindak lanjut putusan dalam pembentukan undang-undang. Metode penelitian berbentuk penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan komparasi negara Austria, Italia, Jerman, Turki, dan Rusia. Hasil penelitian menunjukan makna final berarti tidak ada mekanisme hukum untuk menguji kembali putusan dan mengikat bersifat erga omnes atau mengikat umum, tapi sekaligus bersifat non-self implementing. Selanjutnya, kajian terhadap putusan MK tahun 2003-2013, ditemukan 15 putusan pengesampngan dengan karakteristik: (1) diundang 7 putusan dan tidak diundang 8 putusan; (2) eksplisit 5 putusan dan implisit 10 putusan; (3) berlasan 5 putusan dan tanpa alasan 10 putusan. Perbandingan negara lain, tidak terdapat pengaturan konstitusi yang mewajibkan mutlak selalu mengikuti putusan, sedangkan secara doktrinal Austria dan Jerman membolehkan pengesampingan, sedangkan Italia, Jerman, dan Turki melarang pengesampingan. Rasionalisasi pengesampingan: (1) pembentuk undang-undang memiliki kewenangan konstitusional untuk membentuk undangundang, sehingga dapat memberikan kembali validitas norma yang telah inkonstitusional; (2) pengesampingan merupakan wujud checks and balances antara cabang kekuasaanyaitu; (3) terjadinya keadaan sosial dan kebutuhan hukum baru dimasyarakat yang tidak sesuai lagi dengan putusan. Ketika terjadi pengesampingan putusan, haruslah berdasarkan argumentasi yang komperhensif dan rasional.

The ignore response to decision raises discourse about the responds flexibility. This study aims to answer research questions, the meaning of finality and binding force of decisions in lawmaking, then the response flexibility to decisions in lawmaking. The research method is normative juridical research through literature study with comparative countries of Austria, Italy, Germany, Turkey, and Russia. The results show that the final meaning means that is no legal mechanism to review the decisions and erga omnes or binding generally to all legal subjects, but also limited by non-self implementing. Based on study to Constitutional Court decisions from 2003-2013, from 15 decisions are found with characteristics: (1) 7 invited decisions and 8 not invited decisions; (2) 5 explicit decisions and 10 implicit decisions; (3) 5 decisions with reason and 10 decision without reason. Comparison to other countries, no requirement to absolutely follow the decision, while doctrinally Austria and Germany allow ignore, but Italy, Germany, and Turkey prohibit ignore. The rationalization ignore: (1) the legislators have constitutional authority to form laws, so it is constitutional to give again the validity of unconstitutional norms; (2) ignore is a form of checks and balances between branches of power; (3) development social situation and new legal needs no longer in line with the decision. When the ignore of decision happened, it must be based on comprehensive and rational arguments."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55271
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Devi Melissa
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis normatif terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian konstitusional undang-undang ratifikasi. Sebagaimana diketahui, kebutuhan kerjasama antarnegara berkembang secara signifikan dalam berbagai aspek. Dalam rangka mengadopsi dan mengimplementasi setiap perjanjian yang disetujui di tingkat bilateral, regional, dan multilateral, Indonesia wajib melakukan ratifikasi melalui legislasi nasional. Akan tetapi, produk hukum hasil ratifikasi perjanjian internasional bukan merupakan produk legislasi meskipun secara hierarki kedudukannya dikategorikan sebagai undang-undang. Hal ini disebabkan, sifat undang-undang ratifikasi itu sendiri terutama dalam hal substansi, yaitu adanya perbedaan karakteristik dengan undang-undang yang berlaku pada umumnya. Atas hal itu, pengujian terhadap undang-undang ratifikasi sepatutnya tidak dapat dilakukan mengingat persoalan yang dapat ditimbulkan. 

This research attempts to analyze normatively the jurisdiction of Constitutional Court in doing constitutional review towards ratification act. As we know, the need of cooperation between countries is increasing significantly in variant aspects. In order to adopt and implement every single agreement that has been agreed in bilateral, regional, and multilateral level, Indonesia needs to ratify through national legislation. However, the product of ratification of international treaty is not legislation product law even though it is equally extended to the act based on hierarchy.  This caused by the nature of ratification act itself mainly in the substances area, in which comprehensively different with characteristics of common act applied.  Therefore, the examination of ratification act could not be done since it may disclose problematic decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Ali
"Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) lahir dari adanya pendelegasian kewenangan mengatur yang timbul dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dimana pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi muatan mengenai mekanisme teknis formil pembentukan undang-undang bukanlah materi muatan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut pun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan memperoleh dukungan dari teori konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi senantiasa berisikan hal yang pokok dan penting. Misalnya seperti jaminan hak asasi manusia maupun norma fundamental ketatanegaraan seperti pengaturan tugas, fungsi, dan pengisian lembaga utama negara. Meskipun demikian pada konteks Indonesia materi muatan tentang pembentukan undang-undang yang diatur di dalam UUP3 tersebut memiliki signifikansi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Sebab sejak amandemen ketiga UUD 1945, Republik Indonesia telah membentuk lembaga negara baru berupa Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenangnya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi bentuk pengujian undang-undang tersebut tidaklah dibatasi dalam artian materil semata atau juga dalam segi formil. Pada praktiknya sejak berdiri pada 2003 yang lalu, Mahkamah Konstitusi secara kontinu menerima dan memutus pengujian materil maupun formil konstitusionalitas undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang ini lah UUP3 akhirnya memiliki signifikansi untuk diberikan kedudukan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengaturan terkait pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan sejumlah landasan berpikir dan prinsip proses pembentukan undang-undang, akan tetapi UUD 1945 tidaklah mengatur mengenai ketentuan metode dan teknis formil pembentukan undang-undang. Sebab hal tersebut memang bukanlah materi muatan UUD 1945 secara teoretik. Dengan demikian UUP3 khusus dalam konteks pengujian formil konstitusionalitas undang-undang harus digunakan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Karena jika hal tersebut tidak diterapkan maka sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi akan mengalami kesulitan dalam memutus permohonan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang yang diterimanya. Pandangan tersebut pun memperoleh dukungan dari sejumlah teori hierarki norma, judicial review, maupun pendekatan konsep pendelegasian kewenangan mengatur. Selain itu pada praktiknya terdapat sedikitnya 22 (dua puluh dua) Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan UUP3 dalam kedudukannya sebagai tolok ukur dalam pengujian formil konstitusionalitas undang-undang.

The Law on the Establishment of Legislation (UUP3) was emerged from the delegation of regulatory authority arising from the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution. Where the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution stipulate that further provisions regarding the formation of laws are regulated by law. This shows that the content material regarding the formal technical mechanism of forming laws is not the content material of the 1945 Constitution as the constitution of the Republic of Indonesia. This is also based on the results of the analysis that has been carried out to obtain support from constitutional theory which states that constitutional content material always contains basic and important matters. For example, such as guarantees of human rights and constitutional fundamental norms such as the arrangement of tasks, functions, and the filling of the main state institutions. Nevertheless, in the Indonesian context, the content material regarding the formation of laws regulated in the UUP3 has significance in examining the constitutionality of laws in Indonesia. Because since the third amendment to the 1945 Constitution, the Republic of Indonesia has established a new state institution in the form of the Constitutional Court, one of whose powers is to review laws against the 1945 Constitution. In practice, since its establishment in 2003, the Constitutional Court has continuously accepted and decided on material and formal reviews of the constitutionality of laws. In connection with the implementation of the formal review of the constitutionality of laws, the UUP3 finally has the significance of being given a position as a benchmark in this review. This is caused by the lack of regulation regarding the formation of laws in the 1945 Constitution. Although the 1945 Constitution has stipulated a number of rationale and principles for the process of forming laws, the 1945 Constitution does not regulate provisions regarding formal methods and techniques for forming laws. This is because it is not theoretically content material of the 1945 Constitution. Thus the UUP3 in the context of formal review of the constitutionality of laws must be used as a benchmark in this review. Because if this is not implemented, of course the Constitutional Court will experience difficulties in deciding the application for a formal review of the constitutionality of the law it receives. This view has also received support from a number of normative hierarchical theories, judicial review, as well as the delegation of regulatory authority concept approach. Besides that, in practice there are at least 22 (twenty two) Constitutional Court Rulings that use UUP3 in its position as a benchmark in the formal review of the constitutionality of laws."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding) serta memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan, namun ada beberapa putusannya tidak dapat langsung dilaksanakan karena harus memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan, sebagai misal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IV/2007 yang mengabulkan permohonan Pemohon mengenai “calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”, tidak dapat langsung berlaku secara operasional, tanpa ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pembentukan undang-undang dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis diperbolehkan, meskipun undang-undang yang bersangkutan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam pembentukan undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagai bahan acuan menentukan konstitusionalitas Rancangan Undang-Undang yang disusun terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"
JLI 6:4 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Fauzi
"Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja yang cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi masih memiliki daya laku dan daya ikat sebagai undang-undang. Uji formil itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 21 November 2021. Pembentukan dan pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan dibidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UJi formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Terdapat tiga masalah yang akan diuraikan dan dianalisis yaitu terkait dengan putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020, implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Undang-Undang, dan menguraikan terkait konsep ideal pembentukan undang-undang agar undang-undang tidak cacat formil. Hasil penelitian menunjukan cacat formil diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 karena telah melanggar Peraturan Pembentukan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yaitu terkait penggunaan metode omnibus law, asas keterbukaan dengan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat, dan terdapat perubahan terhadap substansi rancangan undang-undang setelah disetujui. Dalam implementasinya putusan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang sehingga mengakibatkan muncul permasalahan baru dalam bidang legislasi. Hal itu terjadi akibat tidak konkritnya norma hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang memberi tafsiran baru terhadap inkonstitusional bersyarat dengan menyatakan undang-undang tetap berlaku sampai syarat dipenuhi.

The research was conducted with the aim of describing and analyzing the problems in the Process of law making of Law Number 11 Concerning Job Creation which was formally flawed and declared conditionally unconstitutional but still has enforceable and binding power as a law. This judicial review of legislative process or due process of law making was decided by the Constitutional Court through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on November 21, 2021. The process of law making and the due process of law making are mutually continuous processes in the principle of checks and balances. The formal test conducted by the Constitutional Court is a control over the process of law making which is the authority of powers in the field of legislation by the judicial institution, namely an effort to control the law making of law in the Indonesian constitutional system. The formal examination of the law is a process of examining the legality of the formation of the law. The process was carried out based on an application submitted by the public to the Constitutional Court against a law deemed to have violated the regulations for its law making. There are three problems that will be described and analyzed, namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision 91/PUU-XVIII/2020 on the process of law making, and elaborate on the ideal concept of forming a law. law so that the law is not formally flawed. The results of the research show that the Constitutional Court decided on a formal defect against Law 11 of 2020 because it had violated the Regulations for Forming a Law stipulated in Law Number 12 of 2011 in conjunction with Law Number 15 of 2019, namely related to the use of the omnibus law method, the principle of openness with the non-fulfillment of public participation, and there are changes to the substance of the draft law after it is approved. In its implementation, the decision can be interpreted differently by legislators and law enforcers, resulting in new problems in the field of legislation. This happened due to the lack of concrete legal norms in the decision of the Constitutional Court, which gave a new interpretation of conditional unconstitutionality by stating that the law remains in force until the conditions are met."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fathimah Azzahra Syafril
"Tesis ini mengkaji mengenai pengujian formil undang-undang di Indonesia yang merupakan kompetensi kewenangan dari Mahkamah konstitusi dengan melakukan analisis terhadap putusan-putusan terhadap pengujian formil. Adapun beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini meliputi: (i) desain dan praktik pengujian formil undang-undang di Indonesia; (ii) permasalahan pengujian formil undang-undang di Indonesia; dan (iii) desain gagasan ideal penataan pengujian formil undang-undang di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Untuk menunjang penelitian ini, metode pendekatan yang dilakukan meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual,  dan pendekatan perbandingan. Pengujian formil undang-undang memiliki kaitan erat dengan pengejawantahan dari berbagai teori tentang pembentukan undang-undang yang pada intinya menekankan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas dan prosedur formil baik secara teoritis maupun normatif, dikarenakan tanpa pemenuhan unsur tersebut sebuah undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku. Sehingga pengujian formil merupakan kerangka untuk menguji dan menilai pemenuhan persyaratan formil dalam pembentukan undang-undang. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian formil dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dengan tetap menggunakan perspektif konstitusionalitas dalam melakukan pengujian. Pada perkembangannya tren putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan Mahkamah Konstitusi cenderung membatasi diri untuk mengabulkan pengujian formil undang-undang kendati terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan proses formil. Tercatat, Mahkamah Konstitusi baru sekali memutuskan dengan amar putusan mengabulkan pengujian formil yakni pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Maka dari itu, terdapat urgensi bagi Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk membuat sebuah batasan dan standar yang bersifat relatif dan bersifat mutlak. Standar yang bersifat relatif ini berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran relatif yang tidak berimplikasi pada pembatalan sebuah undang-undang. Di sisi lain standar mutlak ini berkaitan dengan standar yang harus dipenuhi yang mana pelanggaran terhadap standar ini akan berdampak pada sebuah norma dinyatakan inkonstitusional.

This thesis examines the formal review of laws in Indonesia which is the competence of the constitutional court by conducting an analysis of decisions on formal review. Some of the issues discussed in this thesis research include: (i) the design and practice of formal review of laws in Indonesia; (ii) the problem of formal review of laws in Indonesia; and (iii) the design of ideal ideas for the arrangement of formal review of laws in Indonesia. This research is normative legal research with an explanatory research typology. To support this research, the approach taken includes a statutory approach, a conceptual approach, and a comparative approach. The formal examination of laws has a close relationship with the embodiment of various theories regarding the formation of laws which in essence emphasize that the formation of laws must comply with the principles and formal procedures both theoretically and normatively, because without fulfilling these elements a law can be declared not applicable. So that formal testing is a framework for testing and assessing the fulfillment of formal requirements in the formation of laws. In practice, the Constitutional Court carries out a formal review by referring to the laws and regulations that regulate the procedures for forming statutory regulations while still using the perspective of constitutionality in carrying out trials. In its development, the trend of Constitutional Court decisions shows that the Constitutional Court tends to limit itself to granting a formal review of a law even though it is proven that the law is contrary to the formal process. It is recorded that the Constitutional Court has only decided once with a ruling to grant a formal review, namely in the Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020. Therefore, there is an urgency for the Indonesian Constitutional Court to make a limitation and standard that is both relative and absolute. This relative standard relates to relative violations that do not have implications for the cancellation of a law. On the other hand, this absolute standard relates to standards that must be met where violations of these standards will have an impact on a norm being declared unconstitutional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aditya Wahyu Saputro
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020 memantik wacana memberikan jangka waktu keberlakuan suatu peraturan meskipun teknik penyusunan undang-undang tidak mengenal adanya hal tersebut. Pemberian jangka waktu keberlakuan suatu peraturan merupakan konsep sunset legislation. Skripsi ini membahas tiga hal, yaitu konsep sunset legislation dan penerapannya di Negara Bagian Colorado dan Inggris Raya, pembentukan undang-undang di Indonesia, dan terakhir analisis penerapan sunset legislation dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Penelitian terhadap tiga masalah tersebut menggunakan metode yuridis normatif. Berdasarkan penelitian skripsi ini, sunset legislation mempunyai dua unsur sebagai karakternya, yaitu adanya sunset clause atau jangka waktu keberlakuan dan adanya evaluasi pelaksanaan peraturan. Ketika jangka waktu keberlakuan telah habis, peraturan yang menerapkan sunset legislation akan secara otomatis tidak berlaku. Sunset legislation diterapkan pada undang-undang yang mengatur tentang program kebijakan, pembentukan lembaga pemerintah, dan hal-hal yang bersifat sementara. Negara Bagian Colorado menjadikan sunset legislation sebagai mekanisme akuntabilitas bagi lembaga pemerintah. Sedangkan, penerapan sunset legislation oleh Parlemen Inggris Raya bermula dari sebagai mekanisme menciptakan keseimbangan kekuasaan antara raja dengan parlemen hingga menjadi mekanisme pengawasan terhadap pemerintah (executive). Indonesia tidak menerapkan sunset legislation secara penuh, melainkan terdapat beberapa undang-undang yang memiliki jangka waktu keberlakuan atau memberlakukan sunset clause saja. Materi pengaturan undang-undang di Indonesia yang menerapkan sunset legislation berupa materi tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, perihal perencanaan, keadaan darurat atau bahaya, dan program daerah khusus pemerintahan daerah.

The decision of the Constitutional Court Number 37/PUU-XVIII/2020 sparked a discourse providing an expiry date for a regulation albeit legislation drafting techniques do not have it. Giving an expiry date of a regulation is a concept of sunset legislation. This thesis discusses three things, namely the concept of sunset legislation and its implementation in the State of Colorado and the United Kingdom, the law making in Indonesia, and finally the analysis of the implementation of sunset legislation in the law making in Indonesia. Research on these three problems uses the normative juridical method. Based on the research of this thesis, sunset legislation has two elements as its character, namely the existence of a sunset clause or expiry date and an evaluation of the implementation of the regulations. When the validity period has expired, the regulations that apply sunset legislation will automatically become invalid. Sunset legislation is applied to laws that regulate policies, the formation of government institutions, and temporary matters. The State of Colorado makes sunset legislation an accountability mechanism for government agencies. Meanwhile, the application of sunset legislation by the UK Parliament began as a mechanism from creating a balance of power between the monarch and parliament to becoming an oversight mechanism against the government. Indonesia does not fully implement sunset legislation, but there are several laws that have a period of validity or, in other word, apply sunset clauses. Material content of laws in Indonesia that apply sunset legislation are in the form of material on the state budget, planning, emergencies or dangers, and specific local government. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aang Sirojul Munir
"Rakyat sering kali tidak diuntungkan karena pembentukan suatu undang-undang. Beberapa peristiwa seperti keributan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, pelemahan KPK melalui pengubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai pada pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara menjadi kabar buruk yang tidak dikehendaki oleh rakyat. Semua itu tercipta karena rakyat tidak memiliki sarana atau porsi lebih dalam pembentukan suatu undang-undang. Menanggulangi hal tersebut sistem referendum dapat menjadi salah satu opsi solusi. Referendum yang dimaksud adalah pemberian persetujuan oleh rakyat terhadap pembentukan suatu undang-undang. Melalui jajak mendapat rakyat memberikan jawaban iya (menyetujui) atau tidak (menolak) undang-undang yang telah dibentuk atas persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Contoh paling memukau dari pelaksana referendum dengan jenis itu adalah negara Selandia Baru dan Swiss. Baik secara tradisi kenegaraan maupun kebudayaan kedua negara itu sudah mapan menggunakan referendum dalam kurun waktu sampai ratusan tahun. Bercermin dari kedua negara itu, referendum sebagai sarana persetujuan rakyat dalam pembentukan undang-undang di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang mustahil bahkan menjadi suatu rekomendasi yang harus dipertimbangkan.

People often do not benefit from law-making processes. Several events, such as the commotion over the law-making process of the Job Creation Law, the weakening of the KPK through the amendment of the Corruption Eradication Commission Law, to the establishment of the State Capital Law, became bad news that the people did not want. All this was created because the people did not have the means or more portion in the law-making processes. To overcome this, the referendum system can be one solution option. The referendum in question is giving approval by the people to the law-making process. Through the ballot, the people gave the answer yes (approved) or no (rejected) to the law that had been formed with the joint approval of the DPR and the President. The most striking examples of implementing this type of referendum are New Zealand and Switzerland. Both the state and cultural traditions of the two countries have been well established using referendums for hundreds of years. Reflecting on the two countries, a referendum as a means of people's approval in the law-making process in Indonesia is not something that is impossible and even becomes a recommendation that must be considered."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>