Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91562 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leatemia, Hellen Silvia
"Saat ini, banyak produk sistem pembayaran Fintech seperti e-money, mobile payment dan lain sebagainya yang beredar di kalangan masyarakat di Indonesia. Hal ini memberikan beragam pilihan sistem pembayaran bagi masyarakat, sehingga masyarakat bisa memilih sendiri sistem pembayaran mana yang menjadi preferensi masyarakat atau customer dalam memilih sistem pembayaran, apakah menggunakan Financial Technology (Fintech) atau konvensional. Technology Acceptance Model (TAM) yang diperkenalkan oleh Davis (1989) digunakan untuk menjelaskan adaptasi Teknologi Informasi (TI) oleh penggunanya dengan menggunakan instrumen persepsi manfaat dan persepsi kemudahan penggunaan. Dalam penelitian ini, TAM digunakan sebagai framework untuk membantu menjelaskan penggunaan sistem pembayaran Fintech menggunakan instrumen seperti persepsi manfaat, persepsi kemudahan penggunaan, presepsi kredibilitas, promosi Fintech yang mendukung customer memiliki niat untuk menggunakan sistem pembayaran Fintech. Tool yang digunkan untum memproses data dalam penelitian ini menggunakan Lisrel yang merupakan salah satu aplikasi yang digunakan dalam Structural Equation Modelling (SEM).
Hasil dan kesimpulan yang diperoleh yaitu persepsi kemudahan memiliki efek positif terhadap persepsi manfaat, persepsi kemudahan penggunaan memiliki efek positif terhadap persepsi kredibilitas, persepsi kemudahan penggunaan tidak memiliki efek positif terhadap promosi Fintech, persepsi kemudahan penggunaan tidak memiliki efek positif terhadap niat untuk menggunakan, persepsi manfaat memiliki efek positif terhadap promosi Fintech, persepsi manfaat memiliki efek positif terhadap niat untuk menggunakan, persepsi kredibilitas tidak memiliki efek positif terhadap niat untuk menggunakan dan promosi Fintech memiliki efek positif terhadap niat untuk menggunakan.

Many Fintech payment system products nowadays, for example e-money, mobile payments etc., are circulating among people in Indonesia. This provides a variety of payment system options for people, so that people can choose for themselves which payment system is the peoples or the customers preference in choosing a payment system, whether using Financial Technology (Fintech) or conventional. The Technology Acceptance Model (TAM) introduced by Davis (1989) is used to explain the adaptation of Information Technology (IT) by its users by using variables of perceived usefulness and perceived ease of use. In this study, TAM is used as a framework to help explain the adoption of the Fintech payment system using instruments such as perceived usefulness, perceived ease of use, perceived credibility, Fintech promotions that support customers have the intention to use the Fintech payment system. The tool to process data in this study uses Lisrel which is one of the applications used in Structural Equation Modelling (SEM).
The result and conclusion obtained are perceived ease of use has a positive effect on perceived usefulness, perceived ease of use has a positive effect on perceived credibility, perceived ease of use has no positive effect on Fintech promotion, perceived ease of use has no positive effect on intention to use, perceived usefulness has a positive effect on Fintech promotion, perceived usefulness has a positive effect on intention to use, perceived credibility has a positive effect on intention to use and Fintech promotion has a positive effect on intention to use."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T54047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andyan Pradipa
"ABSTRAK
Financial Technology Fintech merupakan sebuah fenomena yang baru berkembang satu dekade terakhir, yang menggabungkan antara penyediaan jasa keuangan dan kemajuan teknologi.. Penggunaan teknologi digital pada kegiatan usaha Fintech dinilai merupakan solusi yang efisien dari permasalahan lembaga keuangan formal, namun penggunaan teknologi digital pada setiap tahap pelaksanaan jasa keuangan tidak selamanya sejalan dengan amanah peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti pada pengaturan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, berbeda hal nya dengan India yang berkat kemajuan teknologinya telah berhasil menyeimbangkan antara efisiensi dan legalitas. Prinsip Mengenal Nasabah merupakan salah satu poin rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF dalam memberantas tindak pidana pencucian uang, dimana Indonesia merupakan negara yang mengadopsi ketentuan dari rekomendasi FATF tersebut. Indonesia yang sempat dinyatakan sebagai negara yang rawan tindak pidana pencucian uang, mengalami penrubahan peraturan Prinsip Mengenal Nasabah dalam dua dekade terakhir. Untuk itu penelitian ini membahas mengenai perkembangan pengaturan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia dari masa ke masa dan perbandingan pengaturannya di masa sekarang antara Indonesia dengan India. Penelitian dari skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan yang menghasilkan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penemuan ini adalah identifikasi perubahan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah di Indonesia dari masa ke masa, dalam hal perbandingan pengaturan antara Indonesia dengan India, persyaratan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah antara kedua negara memiliki persamaan dan perbedaan dimana perbedaan yang paling mencolok adalah pada persebaran peraturan serta pada proses verifikasi data nasabah. Berdasarkan hasil tersebut, BI harus membentuk peraturan terintegrasi serta bekerjasama dengan pihak lembaga pemerintahan maupun swasta dalam membentuk sistem.

ABSTRACT
Financial Technology commonly called as Fintech is an uprising phenomenon during the last decade which combine the provision of financial services and technology advancement. The usage of digital technology in Fintech is seen as a solution for the problems faced by formal financial institution, but it doesn rsquo t always comply with the regulating law in Indonesia such as the regulation of know your customer. On the other side, India has succeed to balance between economic efficiency and the regulation. Know Your Customer Principle is one of the recommendation issued by the FATF to combat money laundering practices, where Indonesia is listed as one of the country that comply with the FATF recommendations. Indonesia which was listed as a non cooperative country on combating money laundering, have several changes of law on know your customer principle during last couple of decade. This thesis discusses about the changes of law on know your customer principle from time to time in Indonesia and the comparation of its regulating law between Indonesia and India. This thesis is a library research which delivers descriptive research typology. The result of this thesis research is an identification of the changes of law in Indonesia regarding to the application of know your customer principle, and the similarities as well as differences between Indonesia and India. The biggest distinction between the two is the regulation regarding the customer verification process. Based on that results, Bank Indonesia should issue an integrated regulation and cooperate with other institution as well as private company to make a digital identity system for application of electric digital customer due diligence."
2017
S69525
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tajhok Meugat Indra
"ABSTRAK
Indonesia dengan potensi geografis dan demografi memiliki kesempatan untuk dapat lebih mensejahterakan masyarakatnya yang berada di kawasan perbatasan dan pulau-pulau terpencil dengan memanfaatkan teknologi keuangan financial technology untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kemampuan finansial secara lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Penulisan tesis ini membahas mengenai bagaimana akses masyarakat terhadap layanan keuangan serta strategi pemerintah dalam menghubungkan fragmentasi serta kesenjangan dalam kesejahteraan masyarakat diantara pulau- pulau di Indonesia melalui sektor jasa keuangan yang menggunakan teknologi sebagai jembatan penghubung dalam menjangkau masyarakat hingga ke pelosok nusantara. Melalui metode penelitian normatif dalam mengkaji regulasi yang dimiliki serta komparasi terhadap peraturan yang ada di negara-negara lain sebagai pembanding. Hasil penelitian menyarankan agar ditingkatkannya pemahaman masyarakat terhadap literasi keuangan untuk memahami penggunaan financial technology agar lebih tepat sasaran serta merata di seluruh wilayah. Kemudian percepatan terhadap pembangunan infrastruktur pendukung layanan keuangan yang berbasis teknologi tersebut agar penetrasi layanan lebih berkualitas dan tidak menghambat perkembangan perekonomian di dalam masyarakat.

ABSTRACT
Indonesia with geographical and demographic are potentially to be more prosperous from the border areas through remote islands by utilizing financial technology to meet their needs of life and improving financial capability across Indonesia. This thesis discusses how public access to financial services and government strategies in connecting fragmentation and gaps in the welfare among islands in Indonesia through the financial services sector that uses technology as a bridge in reaching the community through the corners of the archipelago. Through normative research methods by reviewing the regulation and comparative regulations from other countries as a comparison. The results suggest that enhancing the public understanding of financial literacy to use financial technology more effective and distributed throughout the region. Then the acceleration of the development of technology based financial services support infrastructure so that service penetration is more qualified and does not hinder the development of the economy in the community."
2017
T48647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd Hakim
"Perkembangan filantropi Islam dalam bentuk zakat, infak, sedekah dan wakaf tunai di Indonesia menujukkan pertumbuhan yang positif. Namun demikian potensi filantropi Islam belum tergali dengan maksimal. Momentum perkembangan financial technology fintech dapat menjadi strategi dalam peningkatan penggalangan dana filantropi Islam. Perkembangan fintech yang baru terjadi beberapa tahun terakhir, menyebabkan penelitian tentang filantropi Islam menggunakan fintech masih terbatas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi minat menggunakan fintech untuk filantropi Islam. Tujuan akhir dari penelitian ini agar lembaga filantropi Islam dapat menyusun strategi yang tepat dalam menyediakan pilihan aplikasi fintech bagi donatur nya. Kuesioner survei sebagai instrumen penelitian didistribusikan melalui google forms. Sampel dikumpulkan dengan menggunakan consecutive sampling sebanyak 425 responden. PLS-SEM digunakan sebagai alat analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi kemudahan dan kemanfaatan berpengaruh signifikan terhadap attitude penggunaan fintech. Selanjutnya attitude dan subjective norm berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap minat menggunakan fintech untuk filantropi Islam. Sementara itu Islamic religiosity tidak berpengaruh signifikan terhadap minat menggunakan fintech untuk filantropi Islam.

The development of Islamic philanthropy in the form of zakat, infak, almsgiving and cash waqf in Indonesia showed a growth. However, the potential of Islamic philanthropy has not yet been explored. The momentum of financial technology fintech development can be a strategy in raising Islamic philanthropic fundraising. The development of new fintech has just occurred in recent years, causing research on Islamic philanthropy using fintech is still limited. This research uses a quantitative approach to analyze the factors that influence the interest of using fintech to donate Islamic philanthropy. The goal of this research is that the Islamic philanthropy institute can devise the right strategy in providing the choice of fintech application for its benefactor. The survey questionnaire as a research instrument is distributed through the google forms. Samples were collected using consecutive sampling for 425 respondents. PLS SEM is used as a data analysis tool. The results showed that the dimension of ease of use and usefulness significantly influence attitude toward using. Furthermore, both attitude and subjective norms are important for generous Muslims and positively and significantly influence the interest of using fintech for Islamic philanthropy donation. Meanwhile, Islamic religiosity has no significant effect on the interest of using fintech for donation purpose. "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscillia Sudianto
"Digitalisasi memberikan dampak perkembangan di sektor perbankan yang kian lengkap dengan hadirnya financial technology (fintech). Dalam hal ini, layanan fintech lending memberikan kemudahan untuk mendapatkan pendanaan dengan persyaratan yang cepat dan fleksibel. Adapun, kerja sama antara perusahaan fintech lending dengan e-commerce dapat memberikan dampak positif bagi pemulihan perekonomian. Namun dalam praktiknya pelaksanaan fintech lendingdi Indonesia tidak terlepas dari peran regulasi dalam pemulihan perekonomian nasional. Dalam hal ini, pelaksanaan fintech lending di Indonesia disertai dengan perkembangan regulasi, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Adapun, implementasi kerja sama antara perusahaan fintech lending dengan e-commerce dilaksanakan sebagai bentuk dorongan dalam pemulihan perekonomian nasional. Tulisan ini akan mengidentifikasi perkembangan regulasi terhadap pelaksanaan fintech lendingdalam pemulihan perekonomian nasional dan menganalisis implementasi kerja sama antara perusahaan fintech lendingdengan e-commerce dalam pemulihan perekonomian nasional dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Peran otoritas tentunya dibutuhkan untuk memberikan perlindungan serta pengawasan terhadap pelaksanaan fintech lending di Indonesia. Kewenangan tersebut dilakukan beberapa lembaga, seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan terbitnya berbagai regulasi dari otoritas berwenang untuk mengawasi pelaksanaan fintech lending di Indonesia. Pelaksanaan kerja sama antara perusahaan fintech lending dan e-commerce bertujuan untuk memberikan fasilitas pinjaman kepada para merchant yang telah terverifikasi di e-commerce untuk mengembangkan bisnisnya. Dalam hal ini, e-commerce melakukan kerja sama dengan perusahaan fintech lending yang telah terdaftar dan diawasi oleh otoritas berwenang sehingga pelaksanaan kerja sama tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun, pelaksanaan kerja sama fintech lendingdan e-commerce harus didampingi dengan mitigasi risiko, khususnya risiko gagal bayar. Hal ini dapat diupayakan dengan adanya mitigasi risiko berupa asuransi kredit. Dalam hal ini, otoritas diharapkan dapat memberikan pengaturan terkait kasus gagal bayar Penerima Dana, khususnya mekanisme pencairan dana asuransi yang lebih komprehensif agar terciptanya kepastian hukum dan kejelasan perlindungan terhadap Pemberi Dana pada pelaksanaan fintech lending.

Digitalization has impacted developments in the banking sector which are complete with the presence of financial technology (fintech). In this case, fintech lending services make it easy to get funding with fast and flexible requirements. Meanwhile, cooperation between fintech lending companies and e-commerce can positively impact economic recovery. However, in practice, implementing fintech lending in Indonesia is inseparable from the role of regulation in recovering the national economy. Regulatory developments accompany the development of fintech lending in Indonesia, namely the Financial Services Authority Regulation Number 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Joint Funding Services. Meanwhile, implementing cooperation between fintech lending companies and e-commerce is a form of encouragement in recovering the national economy. This paper will identify regulatory developments on implementing fintech lending in the recovery of the national economy and analyze the implementation of cooperation between fintech lending companies and e-commerce in recovering the national economy using normative juridical research methods. The authorities' role is certainly needed to protect and supervise the implementation of fintech lending in Indonesia. In this case, this authority is carried out by several institutions, such as Bank Indonesia, the Financial Services Authority, and the Ministry of Communication and Information of the Republic of Indonesia. The authorities issue various regulations to oversee the implementation of fintech lending in Indonesia. The implementation of cooperation between fintech lending companies and e-commerce aims to provide loan facilities to merchants verified in e-commerce to develop their businesses. In this case, e-commerce cooperates with fintech lending companies that have been registered and supervised by the competent authorities so that applicable regulations can implement this cooperation. Meanwhile, implementing cooperation between fintech lending and e-commerce must be accompanied by risk mitigation, especially the risk of default. The risk of default can be pursued by risk mitigation in the form of credit insurance. In this case, the authorities are expected to be able to provide arrangements regarding cases of default on Recipients of Funds, in particular, a more comprehensive insurance fund disbursement mechanism in order to create legal certainty and clarity of protection for Fund Providers in the implementation of fintech lending."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Ardiansyah
"Bertambahnya jumlah perusahaan start-up, khususnya financial technology (fintech), berdampak signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, perusahaan rintisan teknologi lebih banyak gagal daripada berhasil. Studi menunjukkan bahwa start-up yang menerapkan prinsip lean menghasilkan lebih sedikit kegagalan daripada start-up yang menggunakan metode tradisional. Studi ini berupaya untuk mengelaborasi penerapan praktik umum dan tantangan kerangka kerja lean dalam pengembangan produk baru dari start-up berdasarkan tahapan pendanaan mereka menggunakan tinjauan literatur sistematis dan analisis kualitatif. Penulis menganalisis dua puluh delapan publikasi berdasarkan peringkat dan relevansinya, kemudian melakukan wawancara mendalam dengan dua belas informan dari enam start-up. Analisis penelitian mengelaborasi tiga framework implementasi lean start-up mulai dari vision, steer, dan acceleration yang masing-masing memiliki empat variabel yang berbeda. Studi ini mengungkapkan perbedaan mendasar antara masing-masing perusahaan start-up dalam mengimplementasikan lean framework saat mengembangkan produk baru dan masalah yang mereka hadapi. Penelitian tentang start-up lean ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan untuk mengimplementasikan lean start-up dalam pengembangan produk baru dengan mempelajari informasi yang diperoleh dari berbagai start-up berdasarkan tahapannya.

The growing number of start-up companies, especially financial technology (fintech), has a significant impact on Indonesia’s national gross domestic product (GDP), contributing to economic growth. However, tech start-up companies fail more than succeed. Study shows that start-ups that apply lean principles result in fewer failures than start-ups that use traditional methods. This study endeavors to elaborate on implementing general practices and challenges of the lean framework in new product development from start-ups based on their funding stages using a systematic literature review and qualitative analysis. The author analyzed twenty-eight publications based on their ratings and relevance, then conducted in-depth interviews with twelve informants from six start-ups. The research analysis elaborates on three lean start-up implementation frameworks starting from vision, steer, and accelerate, each of which has four different variables. This study reveals fundamental differences between each start-up company in implementing the lean framework when developing new products and the problems they face. This research on lean start-ups is expected to be used as a guide for implementing lean start-ups in new product development by studying information obtained from various start-ups based on their stage."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Dewa Made Pranata Wiana
"Di era digitalisasi, akselerasi inovasi financial technology Fintech memiliki potensi besar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Inovasi Fintech yang terus tumbuh berpotensi meningkatkan ancaman risiko keamanan transaksi elektronik sehingga perlu dilakukan analisis faktor risiko keamanan Fintech dalam transaksi elektronik. Agar didapatkan fakta yang disajikan lebih berimbang dan komprehensif, metode yang digunakan dalam identifikasi dan mitigasi risiko keamanan Fintech dalam transaksi elektronik adalah Systematic Literatur Review SLR .Penelitian ini menggunakan literatur terindeks oleh database internasional yang bereputasi dengan rincian sebagai berikut: 39 artikel IEEE, 177 artikel Science Direct, 102 artikel Scopus, 354 artikel Springer Link, dan 198 artikel Proquest. Sintesis dari hasil akhir SLR didapatkan total 19 jurnal dengan rincian sebagai berikut: 2 artikel IEEE, 5 artikel Science Direct, 1 artikel Scopus, 8 artikel Springer Link, dan 3 artikel Proquest. Selanjutnya dalam melakukan analisis dan evaluasi untuk memprioritaskan risiko digunakan tools Analytical Hierarchy Process AHP dengan penilaian 3 orang ahli di bidang Fintech.Hasil penelitian berupa konsep manajemen risiko Fintech dengan hasil risiko kejahatan cyber pada model centralised merupakan risiko tertinggi dengan nilai eigen sebesar 0,157 15,7 dari total 19 risiko yang teridentifikasi melalui SLR. Rekomendasi mitigasi terhadap risiko kejahatan cyber antara lain: penerapan otentikasi ganda, enkripsi data sensitif pada sistem, implementasi teknologi keamanan terbaru dan memenuhi standar best practice terkait cybersecurity.

In the era of digitalization, acceleration of financial technology innovation Fintech has great potential to boost economic growth and provide benefits to society. Fintech 39;s ever-growing innovation may also potentially bring higher risk in electronic transactions security so it is necessary to analyze security risk factors for Fintech rsquo;s in electronic transactions. The method used in the risk identification and mitigation of Fintech security in electronic transactions is Systematic Literature Review SLR The study used indexed literature by reputable international database with following details: 39 articles from IEEE, 177 articles from Science Direct, 102 articles from Scopus, 354 articles from Springer Link, and 198 articles from Proquest. The synthesis of the final SLR results obtained a total of 19 articles with following details: 2 articles from IEEE, 5 articles from Science Direct, 1 article from Scopus, 8 articles from Springer Link, and 3 article from Proquest.Further analysis and evaluation to prioritize the risk used Analytical Hierarchy Process AHP method with the assistance of 3 Fintech experts. This study reveals the cybercrime as the risk which has the highest severity with 0.157 eigen values or equal to 15.7 from the total 19 risks identified risk through SLR. Recomedation for mitigating against cybercrime risk includes: the application of multiple authentication, the encryption of sensitive data on the system, the implementation of the latest security technologies and comply best practice standards related to cybersecurity."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elif Pardiansyah
"ABSTRAK Dewasa ini, industri financial technology (fintech) tumbuh dengan pesat dan menjadi alternatif layanan keuangan, serta mengubah landscape industri layanan keuangan secara global maupun nasional. Akan tetapi, potensi pasar konsumen muslim Indonesia yang begitu besar tidak berbanding lurus dengan kuantitas ketersediaan fintech syariah, sehingga dibutuhkan penelitian tentang minat konsumen muslim pada fintech syariah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intensi konsumen untuk melakukan adopsi fintech syariah, melalui perspektif Technology Acceptance Model (TAM), Trust, dan Religiosity. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) dengan aplikasi SmartPLS untuk menguji sepuluh hipotesis hubungan antar variabel dalam model. Responden sebanyak 205 orang dipilih melalui teknik purposive sampling untuk mendapatkan responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kepercayaan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap persepsi manfaat. Persepsi manfaat dan religiusitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap, sedangkan persepsi kemudahan memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap sikap. Secara langsung persepsi kemudahan, religiusitas, dan kepercayaan tidak berpengaruh signifikan, tetapi berpengaruh positif dan signifikan secara tidak langsung terhadap intensi untuk menggunakan. Adapun persepsi manfaat dan sikap memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intensi untuk menggunakan fintech syariah.

ABSTRACT
Today, the industry of financial technology (fintech) grows exponentially and becomes alternative financial services, as well as changing the landscape of financial service industry globally and nationally. However, the potential of large Muslim market is not met by adequate quantity of islamic fintech. Thus, a study about the Muslim consumer's preference to islamic fintech is needed. This study uses a quantitative approach to analyze the factors that influence consumer intention to adopt islamic fintech, through the perspective of the Technology Acceptance Model (TAM), Trust, and Religiosity. The analysis was conducted using Structural Equation Modeling (SEM) using an application called SmartPLS to test ten hypothesized relationship between the variables in the model. 205 respondents were selected through purposive sampling techniques. The results showed that the perceived ease of use and trust have a positive and significant impact on the perceived usefulness. Perceived usefulness and religiosity have a positive and significant impact on the attitudes, while perceived ease of use has a negative and no significant effect on attitudes. The perceived ease of use, religiosity, and trust do not significantly affect the intention to use directly, but they have positive and significant effect indirectly. Meanwhile, perceived usefulness and attitudes have a positive and significant effect to the intention to use islamic fintech.
"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T51832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Aprilda Rosita Fujianty
"Kegagalan sistem pembayaran pada kasus wirecard terjadi akibat lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap Penyelenggara Fintech Sistem Pembayaran di Jerman. Sebagai penyelenggara fintech sistem pembayaran, yang tidak diawasi oleh Otoritas, Wirecard AG dapat menawarkan produk, layanan, teknologi maupun model bisnis mereka kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). yang memegang peranan penting dalam proses pembayaran. Kegagalan sistem pembayaran dapat terjadi, jika Wirecard berhenti menyediakan layanan teknologinya ke banyak PJSP yang menjadi mitra kerjasamanya. Untuk itu, penelitian ini mencoba meninjau pengaturan dan pengawasan penyelenggara fintech sistem pembayaran di Jerman dan di Indonesia, bagaimana otoritas mengklasifikasikan penyelenggara fintech dalam regulasi sistem pembayaran di negaranya, apakah termasuk sebagai PJSP yang perlu diawasi ataukah hanya sebagai Penyelenggara Penunjang. Selain itu, apakah peraturan dan sistem pengawasan yang ada di Indonesia sudah cukup efektif memitigasi risiko kegagalan pada sistem pembayaran. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundangan-undangan dan pendekatan perbandingan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaturan perizinan penyelenggara fintech sistem pembayaran di Indonesia lebih baik dibandingkan Jerman, karena sudah memiliki regulasi khusus yang mengatur perizinan dan mengawasi penyelenggara fintech, namun demikian ketentuan terkait penyelenggara sistem pembayaran di Indonesia masih tersebar dibanyak peraturan, sehingga disarankan untuk melakukan peyederhanaan peraturan dengan metode omnibus law. Adapun pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia sudah cukup efektif untuk memitigasi risiko kegagalan sistem pembayaran, namun kurang efektif dalam memproses perizinan yang berupa persetujuan pengembangan kegiatan, produk dan aktivitas baru jasa sistem pembayaran serta kerjasama dengan pihak lain. Untuk itu perlu dilakukan perubahan ketentuan, dimana persetujuan kerjasama dan pengembangan produk serta aktivitas baru yang bersifat sederhana dan tidak berisiko cukup dikenakan wajib lapor serta ditentukan batas waktu pemberian hasil keputusan.

The failure of the payment system in the wirecard case occurred due to weak regulation and supervision of the fintech payment system companies in Germany. As a fintech payment system provider, which is not supervised by the Authority, Wirecard AG can offer their products, services, technology and business models to Payment System Service Providers. (PJSP). which plays an important role in the payment process. Payment system failures can occur, if Wirecard stops providing its technology services to the many PJSPs that are its partners. For this reason, this research tries to review the regulation and supervision of the fintech payment system providers in Germany and in Indonesia, how the authorities classify fintech providers in their payment system regulations, whether they are entered as PJSPs that need to be closely monitored or only as supporting providers. In addition, this study will analyze whether the existing regulations and supervisory systems in Indonesia are sufficiently effective in mitigating the risk of the payment system failure. This research uses normative legal research, with a statutory approach and a comparative approach. The results of the analysis show that the regulations for fintech payment system providers in Indonesia are better than Germany, because it already has special regulations that regulate licensing and supervise fintech providers. however, the provisions related to payment system operators in Indonesia are still scattered in many regulations, so it is advisable to simplify regulations using the omnibus law method. The regulation and supervision carried out by Bank Indonesia was effective enough to mitigate the risk of payment system failures, however, it was not effective enought in processing approvals for developing new payment system activities, products and services as well as collaborating with other parties. For this reason, it is necessary to change the provisions, in which cooperation agreements and product development as well as new activities that are simple and not sufficiently risky are subject to a mandatory report and a deadline for the issuance of the decision results."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Satria Kurniawan
"Perkembangan pesat layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi juga membawa risiko tinggi seperti masalah kredit macet. Tidak adanya sistem pertukaran data yang wajib untuk layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi telah mengakibatkan peningkatan risiko gagal bayar dari peminjam, berbeda dengan sektor perbankan. Sistem pertukaran data konsumen akan membantu Perusahaan Fintech untuk mendeteksi debitur macet, dan untuk mengurangi risiko kredit macet. Adapun dengan demikian mengenai rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana pertukaran data konsumen di sektor jasa keuangan, (2) bagaimana implementasi pertukaran data konsumen antara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. (3) pertukaran data konsumen yang tepat bagi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Metode Peneilitan yang digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif. Alat pengumpulan data adalah data sekunder berupa studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara. Dengan menerapkan penelitian hukum menggunakan pendekatan normatif, dan komparatif. Hasil penelitian yang dilakukan adalah sektor jasa keuangan memiliki dua adalah dua entitas pertukaran konsumen yang diatur oleh Otoritas Jasa. Meskipun ada dua entitas pertukaran data, pada praktiknya mayoritas layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi menggunakan entitias swasta..Dengan demikian pertukaran data konsumen yang paling cocok untuk pinjaman adalah LIPIP

The rapid development of Peer-to-Peer Lending Fintech also brings problem such as the high risk of the nonperforming loan. The absence of mandatory data exchange system has resulted in an increased risk of default from borrowers. Unlike the banking sector, where there are mandatory, there is no mandatory exchange information of consumer data between peer-to-peer lending Fintech companies. The consumer data exchange system would help Fintech Company to detect bad debtor, and to mitigate the risk of the nonperforming loan. This undergraduate thesis explores there main issues: (1) how consumer data sharing in Financial sector especially for Peer-to-Peer Lending Financial Technology consumer is regulated, and (2) how the implementation of consumer data exchange. (3) which is consumer data sharing is suitable for peer-to-peer lending Fintech companies.  By applying the normative legal research using the statute, and comparative approach and support by interview this undergraduate conclude that are two consumer exchange entities : (1) sistem Layanan Informasi Kreditur (SLIK), under Financial Service Authority (OJK). (2) Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP), under private entities, and consumer data exchange is regulated in several provision such as the Financial Service Authority (OJK) Law, Banking law, and also financial regulation. Even though there are two data exchange entities, in practice the majority of Peer-to-Peer Lending Financial Technology are using LPIP and non-using SLIK. The reason is SLIK seen as more tightly regulated, that can hinder growth or even losing business edge from other financial industry. Thus the most suitable consumer data exchange for lending is LPIP
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>