Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196687 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khobir Abdul Karim Taufiqurahman
"Pernikahan dini selalu berkaitan dengan kesehatan reproduksi pada perempuan. Komplikasi kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian pada anak perempuan berusia 15-19 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan yang berhubungan dengan usia pernikahan pada perempuan menikah yang berusia 15-24 tahun di Indonesia Tahun 2017. Penelitian ini merupakan penelitian jenis deskriptif analitik dengan desain cross-sectional. Sampel penelitian ini adalah wanita menikah yang berusia 15-24 tahun di Indonesia pada tahun 2007, 2012, dan 2017. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariabel dan multivariabel dengan menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tren median usia kawin pertama terjadi peningkatan dari tiga tahun data SDKI dan persentase usia kawin pertama kurang dari 20 tahun mengalami sedikit penurunan. Tingkat pendidikan perempuan, status pekerjaan perempuan, tingkat pendidikan suami, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga merupakan faktor determinan berpengaruh terhadap pendewasaan usia pernikahan. Temuan pada penelitian ini adalah akses media dan peran pengambilan keputusan yang protektif. Perempuan yang tetap bersekolah dengan program pendewasaan usia perkawinan melalui teman sebaya berperan penting dalam menunda usia pernikahan, selain itu paparan media terutama media sosial merupakan media yang paling efektif untuk memberikan informasi tentang penundaan usia pernikahan pada perempuan.

Early marriage is always related to reproductive health in women. Pregnancy and childbirth complications are the main causes of death in girls aged 15-19 years. This study aims to determine the determinants associated with marriage age in married women aged 15-24 years in Indonesia in 2017. This study is a descriptive analytic type research with cross-sectional design. The sample of this study was married women aged 15-24 years in Indonesia in 2007, 2012 and 2017. The analysis used in this study was univariable and multivariable analysis using multiple logistic regression. The results of this study indicate that the median trend of first marriage age is an increase from three years of IDHS data and the percentage of age of first marriage less than 20 years has decreased slightly. Women's education level, women's occupational status, husband's education level, and education level of the head of the household are the determinant factors influencing the age of marriage. The findings in this study are media access and the role of protective decision making. Women who continue to go to school with a marriage age maturity program through peers play an important role in delaying the age of marriage, besides exposure to the media, especially social media, is the most effective media for providing information about delaying marriage to women."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paskalinda Maria Yosefa Bandur
"Preferensi jumlah anak ideal dan preferensi kontrasepsi remaja saat ini dapat mempengaruhi fertilitas dan pemakaian kontrasepsi dimasa yang akan datang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan preferensi jumlah anak ideal dan preferensi pemakaian kontrasepsi pada remaja usia 15-24 tahun, belum menikah di Indonesia tahun 2017 dengan menggunakan analisis data SDKI-KRR tahun 2017. Penelitian menggunakan desain cross sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa preferensi jumlah anak ideal yaitu sebanyak 69,9% dan preferensi pemakaian kontrasepsi yaitu sebanyak 82,5%. Berdasarkan model multivariat preferensi jumlah anak ideal pada remaja dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, status ekonomi, akses intenet dan diskusi dengan teman sebaya. Pada preferensi pemakaian kontrasepsi pada remaja dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, status ekonomi, akses internet dan diskusi dengan tokoh masyarakat. Dengan demikian, diharapkan kepada pemerintah dalam pelaksanaan program remaja dapat difokuskan pada faktor-faktor tersebut.

The ideal number of child preferences and current adolescents contraceptive preferences can affect fertility and contraceptive use in the future. The purpose of this study was to determine the determination of the number of child preferences and preferences for contraceptive use in adolescents aged 15-24 years, unmarried in Indonesia in 2017, using data analysis of SDKI-KRR in 2017. The design of this study was cross sectional. The results of this study indicate that the ideal number of children preference is 69.9% and the preference for contraception use is 82.5%. Based on the multivariate model, the ideal number of children preference in adolescents is influenced by age, gender, education, knowledge about reproductive health, economic status, internet access and discussions with peers. The preference for contraception among adolescents is influenced by age, sex, education, knowledge about reproductive health, economic status, internet access and discussions with community leaders. Thus, it is expected that the government in creating and implementing youth programs can refer to these factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Alifia Husna
"Pulau Kalimantan merupakan pulau dengan provinsi yang memilili kejadian perkawinan anak tertinggi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Banyak dampak kesehatan yang timbul akibat perkawinan anak, pemerintah Indonesia dalam RPJMN dan Dunia dalam SDG’s menargetkan penghapusan praktik perkawinan anak turun menjadi 8,74% (2024) dan 6,94% (2030). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tren dan determinan perkawinan anak pada wanita menikah usia 15-29 tahun di Pulau Kalimantan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Sampel penelitian adalah seluruh wanita menikah berusia 15-29 tahun yang terpilih menjadi responden dalam SDKI 2007, 2012 dan 2017 di Pulau Kalimantan dan dianalisis menggunakan analisis regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan tren kejadian perkawinan anak dari tahun 2007-2017 stagnan (Prevalensi2007: 54,4%; Prevalensi2012:52,3%; Prevalensi2017:52,4%). Pendidikan, pendidikan pasangan, perbedaan umur, wilayah tempat tinggal, dan indeks kekayaan merupakan determinan perkawinan anak tahun 2007 dan 2007-2017. Pendidikan, perbedaan umur, wilayah tempat tinggal, dan indeks kekayaan merupakan determinan perkawinan anak tahun 2012. Pendidikan, pendidikan pasangan, pekerjaan pasangan, dan perbedaan umur merupakan determinan perkawinan anak tahun 2017. Selanjutnya, determinan utama yang mempengaruhi perkawinan anak di Pulau Kalimantan secara berturut-turut yakni status pendidikan (OR 2,9;95%CI:1,17-5), perbedaan umur (OR 2,9; 95%CI: 2,2-3,7), pekerjaan pasangan (OR 13,9; 95%CI: 1,4-137,5), dan perbedaan umur (OR 2,6; 95%CI: 2,2-3).

Kalimantan Island is an island with the highest number of child marriages in Indonesia in the last 10 years. Due to many health impacts resulting from child marriage, Indonesian government in the RPJMN and SDG’s targeting the elimination of the practice of child marriage to fall to 8.74% (2024) and 6.94% (2030). This research aims to determine trends and determinants of child marriage among married women aged 15-29 years on the island of Kalimantan. This study used a cross-sectional design. The research sample was all married women aged 15-29 years who were selected as respondents in the 2007, 2012 and 2017 IDHS on Kalimantan Island and analyzed using multiple logistic regression analysis. The research results show that the trend in the incidence of child marriage from 2007-2017 was stagnant (Prevalence2007: 54,4%; Prevalence2012:52,3%; Prevalence2017:52,4%). Education, partner's education, age difference, area of residence, and wealth index are determinants of child marriage for 2007 and 2007-2017. Education, age difference, area of residence, and wealth index are determinants of child marriage for 2012. Education, partner’s education, partner's occupation, and age difference are determinants of child marriage for 2017. Furthermore, the main determinants that influence child marriage on Kalimantan Island respectively namely education (OR 2.9; 95%CI: 1.17-5), age difference (OR 2.9; 95%CI: 2.2-3.7), partner's occupation (OR 13.9; 95%CI: 1.4-137.5), and age differences (OR 2.6; 95%CI: 2.2-3)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Syifa 'Uttami
"Perilaku seksual pranikah pada remaja wanita merupakan perilaku bermasalah yang dapat mengancam kesehatan dan kesejahteraan remaja di masa mendatang. Terlebih remaja wanita menjadi kelompok berisiko jika harus mengalami kehamilan pada usia remaja. Presentase perilaku seksual pranikah remaja wanita baik pada daerah perdesaan maupun perkotaan mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor penyebab terjadinya perilaku seksual pranikah pada remaja wanita di perdesaan dan perkotaan. Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 dan dengan studi potong lintang. Populasi pada penelitian ini adalah remaja wanita usia 15-24 tahun yang belum menikah. Berdasarkan hasil uji regresi logistik berganda usia, konsumsi alkohol, konsumsi narkoba, sikap terhadap perilaku seksual pranikah, pengetahuan kesehatan reproduksi dan pengaruh teman sebaya berhubungan dengan perilaku seksual pranikah remaja wanita di perkotaan. Sementara faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah remaja wanita di perdesaan meliputi usia, pendidikan, status ekonomi, sikap terhadap perilaku seksual pranikah, paparan media massa, perilaku merokok, konsumsi alkohol, pengalaman pacaran dan komunikasi kesehatan reproduksi dengan tenaga kesehatan. Variabel sikap terhadap perilaku seksual pranikah menjadi faktor yang berhubungan paling dominan dengan perilaku seksual pranikah remaja wanita di perkotaan maupun remaja wanita di perdesaan.

Premarital sexual behavior in female adolescent is a problematic behavior that can affect negative impact on health. Female adolescent is a risk group if they get pregnant at young age. The percentage of premarital sexual behavior among female adolescents in both rural and urban areas has increased. This study aims to determine the factors associated with premarital sexual behavior among female adolescent adolescent in rural and urban areas. This research used secondary data from Indonesian Demographic Health Survey (IDHS) 2017 with cross-sectional design. The population in this study were unmarried female adolescent aged 15-24 years. Based on the results of multiple logistic regression, age, alcohol consumption, drug consumption, attitudes towards premarital sexual behavior, knowledge of reproductive health, and peer influence are related to premarital sexual behavior of adolescent girls in urban areas. Meanwhile, factors related to premarital sexual behavior of teenage girls in rural areas are age, education, economic status, attitudes towards premarital sexual behavior, exposure to mass media, smoking behavior, alcohol consumption, dating experience, and reproductive health communication with health workers. The attitude variable towards premarital sexual behavior is the most dominant factor associated with the premarital sexual behavior of female adolescents in urban and rural areas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prila Khairunnisa
"Infeksi menular seksual merupakan pintu masuk terjadinya infeksi HIV. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu di tahun 2013 ditemukan (9%) kasus baru IMS pada wanita usia subur (10-19 tahun), Di Ambon terjadi peningkatan kejadian IMS pada wanita usia subur (15-24 tahun) dari (28,67%) di tahun 2011 menjadi (32,53%) di tahun 2013. Tahun 2018 ditemukan (15%) kasus IMS di RSCM terdiri dari anak berusia (12-22 tahun). Penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor yang berhubungan dengan risiko terjadi infeksi menular seksual pada wanita usia subur (15-24 tahun) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel 4.240 wanita usia (15-24 tahun). Data diperoleh dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2017 dan dianalisis menggunakan analisis multivariat cox regression. Analisis multivariat cox regression menunjukkan bahwa faktor risiko terjadi IMS pada wanita usia subur (15-24 tahun) adalah pengetahuan, usia dan usia pertama kali berhubungan seskual. Prediktor utama adalah pengetahuan remaja (PR 1,489; p: 0,000, CI 1,243-1,783) yang artinya wanita yang memiliki pengetahuan kurang baik tentang IMS berisiko terkena IMS sebesar 1,489 kali dibanding wanita yang memiliki pengetahuan baik. Menghilangkan stigma seksual adalah tabu dan terbatas pada pasangan sudah menikah serta promosi alat kontrasepsi kondom perlu ditingkatkan sehingga wanita memperoleh informasi tentang dampak dan pencegahan tertular IMS dengan lebih baik.

Sexually transmitted infections are the gateway to HIV infection. Based on the results of previous studies in 2013, new STI cases were found (9%) in women of childbearing age (10-19 years). in 2011 to (32.53%) in 2013. In 2018 it was found (15%) STI cases at RSCM consisted of children aged (12-22 years). This study aims to find factors associated with the risk of sexually transmitted infections in women of childbearing age (15-24 years) in Indonesia. This study used a cross-sectional design with a sample of 4,240 women aged (15-24 years). Data were obtained from the 2017 Indonesian Health Demographic Survey and analyzed using cox regression multivariate analysis. Multivariate cox regression analysis showed that the risk factors for STIs in women of childbearing age (15-24 years) were knowledge, age and age when they first had sexual intercourse. The main predictor was knowledge of adolescents (PR 1.489; p: 0.000, CI 1.243-1.783) which means that women who have poor knowledge about STIs are at risk of getting STIs by 1.489 times compared to women who have good knowledge. Eliminating sexual stigma is taboo and limited to married couples and the promotion of protective equipment needs to be increased so that women get better information about the impact and prevention of contracting STIs. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rahmadini
"Pernikahan dini didefinisikan sebagai perkawinan seorang anak perempuan atau laki-laki sebelum usia 18 tahun. Pernikahan dini memiliki lebih banyak implikasi negatif terhadap kelangsungan hidup remaja yang mengalaminya seperti kematian ibu, kanker serviks, ketidakmampuan ibu untuk mengambil keputusan untuk kepemilikan anak/penggunaan kontasepsi dan lainnya. Usia pernikahan yang semakin dini akan berdampak pada kesehatan ibu dan anaknya, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tren dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini pada perempuan muda usia 15-24 tahun di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan sumber data berasal dari sata sekunder Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2017. Sampel penelitian ini adalah WUS berusia 15-24 tahun yang sudah menikah berjumlah 4.075 responden. Data dianalisis menggunakan regresi cox untuk mengetahui prevalensi rasio pernikahan dini dengan variabel yang di duga sebagai fakto risiko. Signifikansi dinilai dengan melihat rentang kepercayaan (confident interval/CI) 95%. Sedangkan untuk menganalisis tren digunakan data survei mulai 1987 – 2017. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa tren pernikahan dini pada WUS 15-24 tahun di Indonesia mengalami penurunan yaitu 57,8% menjadi 40,0%. Dari 4.075 WUS 15-24 tahun didapati 40,0% responden yang menikah usia <18 tahun. Responden dengan usia 15-19 tahun memiliki nilai aPR 2,10 (CI 95% : 1,88 – 2,32), Usia pertama berhubungan seksual <15 memiliki nilai aPR 1,75 (CI 95% : 1,51 – 2,02). Tingkat pendidikan sekunder (SMP-SMA) memiliki nilai aPR 5,07 (CI 95% : 3,37 – 7,64), tingkat pendidikan primer (SD) memiliki aPR 7,44 (CI 95% : 4,85 – 11,43) dan responden yang tidak sekolah memiliki aPR 6,43 (CI 95% : 3,33 – 12,43). Responden yang tidak pernah terpaparan internet memiliki aPR 1,16 (CI 95% : 1,05 – 1,30). Responden dengan perbedaan usia dengan pasangan >5 tahun memiliki aPR 1,14 (CI 95% : 1,03 – 1,26). Perbedaan tingkat pendidikan dengan pasangan yang terdiri dari pendidikan suami lebih tinggi dari istri memiliki aPR 0,71 (CI 95% : 0,58 – 0,86), tingkat pendidikan suami dan istri sama memiliki aPR 0,79 (CI 95% : 0,69 – 0,90), dan suami dan istri tidak sekolah memiliki aPR 0,76 (CI 9%% : 0,32 – 1,81). Dalam hal ini terlihat bahwa tingkat pendidikan memiliki angka tertinggi sebagai faktor risiko pernikahan dini sehingga penguatan faktor pendidikan diperlukan untuk menekan angka pernikahan dini pada wanita di Indonesia.

Early marriage is defined as the marriage of a girl or boy before the age of 18. Early marriage has more negative implications for the survival of adolescents who experience it such as maternal death, cervical cancer, the inability of the mother to make decisions about child ownership / use of contraceptives and others. An earlier marriage age will have an impact on the health of the mother and child, as well as increase morbidity and mortality. The study was conducted to look at trends and factors related to early marriage among young women aged 15-24 years in Indonesia. This study used a cross-sectional study design with data sources derived from secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey. The sample of this study was female women aged 15-24 who were married with 4,075 respondents. Data analysis used cox regression to see the ratio of the ratio of early marriage to the variables suspected of being risk factors. Significance can be seen by looking at the 95% confidence range (CI). Whereas to analyze the trends used survey data from 1987 - 2017. The results of the study note that the trend of early marriage on WUS 15-24 years in Indonesia decreased by 57.8% to 40.0%. Of the 4,075 WUS 15-24 years, it was found that 40.0% of respondents were married aged <18 years. Respondents aged 15-19 years have aPR were of 2.10 (95% CI: 1.88 - 2.32), first age having sex <15 with aPR were of 1.75 (95% CI: 1.51-2, 02). Secondary education level (SMP-SMA) has aPR were 5.07 (95% CI: 3.37 - 7.64), primary level education (SD) with aPR 7.44 (95% CI: 4.85 - 11, 43) and respondents who do not go to school have aPR 6.43 (95% CI: 3.33 - 12.43). Respondents who have never been exposed to the internet have aPR 1.16 (95% CI: 1.05 - 1.30). Respondents aged> 5 years had aPR 1.14 (95% CI: 1.03 - 1.26). The difference in education level with partners consisting of husband / wife who has PR 0.71 (95% CI: 0.58 - 0.86), the education level of the couple and wife has aPR of 0.79 (95% CI: 0.69 - 0 , 90), and husbands and schools do not have aPR 0.76 (9% CI%: 0.32 - 1.81). It is seen that the level of education has the highest number as the risk of early marriage so an increase in educational factors is needed to reduce the number of early marriages for women in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sunya Kumala
"Cakupan inisiasi menyusu dini (IMD) di Indonesia masih rendah. Tempat persalinan dan penolong persalinan dapat mendukung wanita bersalin untuk melakukan IMD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tempat dan penolong persalinan dengan praktik IMD pada wanita usia subur (WUS) di Indonesia. Desain penelitian ini adalah cross sectional dan menggunakan data sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007 dan 2017. Sampel pada penelitian ini adalah wanita usia 15-49 tahun yang melahirkan anak terakhir dalam periode 5 tahun terakhir sebelum survei . Hasil analisis dengan uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara WUS yang bersalin di rumah dan di rumah sakit pemerintah dibandingkan dengan yang bersalin di rumah sakit swasta/ RSIA/ RS bersalin dalam praktik IMD. Sementara WUS yang bersalin di poskesdes/ polindes (AOR: 1,78, 95% CI: 1,35-2,35), puskesmas (AOR: 1,53, 95% CI: 1,31-1,78), praktik bidan mandiri (AOR: 1,56, 95% CI: 1,37-1,77), dan bidan desa (AOR: 1,35, 95% CI: 1,14-1,59) berpeluang lebih besar melakukan IMD daripada tempat bersalin lainnya. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dibandingkan dengan yang ditolong oleh dukun bayi menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam praktik IMD. Peningkatan monitoring pelaksanaan IMD, sosialisasi dan pelatihan secara periodik kepada tenaga kesehatan, jumlah fasilitas kesehatan yang menerapkan Baby-Friendly Hospital Initiative, serta promosi kesehatan kepada masyarakat luas diperlukan untuk memperbaiki cakupan IMD.

The coverage of early initiation of breastfeeding (EIBF) in Indonesia is still low. The place of delivery and birth attendants can support women who give birth to perform EIBF. This study aims to determine the relationship between place and birth attendant with the practice of EIBF in women of childbearing age (WCA) in Indonesia. . The design of this study is cross sectional and uses secondary data from the 2007 and 2017 Indonesian Health Demographic Survey. The sample in this study were women aged 15-49 years who gave birth to their last child in the last 5 years before the survey. The results of the analysis by multiple logistic regression tests showed that there was no significant difference between WCA who gave birth at home and in government hospitals compared to those who gave birth in private hospitals birth in EIBF practice. While WCA who gave birth at the village health post/ village maternity post (AOR: 1.78, 95% CI: 1.35-2.35), primary health center (AOR: 1.53, 95% CI: 1.31-1.78), private midwives (AOR: 1.56, 95% CI: 1.37-1.77), and village midwives (AOR: 1.35, 95% CI: 1.14-1.59) had a greater chance of EIBF than other delivery places. Deliveries assisted by health personnel compared to those assisted by traditional birth attendants showed no significant difference in EIBF practice. Improved monitoring of EIBF implementation, periodic outreach and training to health workers, the number of health facilities implementing the Baby-Friendly Hospital Initiative, and health promotion to the wider community are needed to improve EIBF coverage."
Depok: Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Solihat
"ABSTRAK
Pertumbuhan penduduk merupakan peristiwa terjadinya perubahan jumlah penduduk pada suatu wilayah, baik bertambah maupun berkurang. Indonesia merupakan negara yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi.BKKBN menyebutkan bahwa rata-rata Wanita Usia Subur melahirkan 2,6 anak dan laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan jika rata-rata Wanita Usia Suburmelahirkan 2,1 anak. Kelompok usia remaja merupakan komponen yang beradapada usia produktif. Kelompok usia muda adalah paling dominan di antara kelompok usia lainnya. SDKI tahun 2002/2003 menunjukkan penurunan menjadi10,4 remaja yang sudah pernah melahirkan atau sedang mengandung anakpertama, pada tahun 2007, terdapat 8,5 remaja sudah pernah melahirkan dan sedang mengandung anak pertama yaitu sebesar 6,6 remaja sudah pernah melahirkan dan 1,9 remaja sedang mengandung anak pertama BKKBN, 2008 .Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah yang kompleks terkait dengan pendidikan, kemiskinan, norma sosial budaya, dan geografis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas remaja kawin di Indonesia, analisis lanjut data SDKI tahun 2012 dengan pedoman kuesioner WUS Wanita Usia Subur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi crossectional. Pengolahan data dilakukan pada bulan Februari-Juni 2017 dengan sampel yang diambil berjumlah 2176 responden memenuhi kriteria inklusi. Hasil yang didapat adalah usia kawin pertama, usia pertama melakukan hubungan seksual, dan usia pertama melahirkan memiliki nilai estimasi resiko terbesar dibandingkan dengan variabel lain. Remaja yang berumur2anak dibandingkan dengan remaja yang berumur ge;20 tahun saat kawin pertama. Terdapat beberapa responden yang berusia kurang dari 20 tahun saat kawin pertama, melakukan hubungan seksual pertama kali, dan saat melahirkan pertama kali. Oleh karena itu, penguatan sosialisasi pendewasaan kehamilan, penguatan program PKPR, dan sosialisasi serta penguatan program KB dalam penjarangan kehamilan yang dapat disampaikan melalui KUA kepada para calon pengantin sangat diperlukan untuk menekan permasalahan yang terjadi pada usia remaja.

ABSTRACT
Population growth is the occurrence of changes in the number of people in a region, either increased or decreased. Indonesia is a country that has a high population growth rate. BKKBN mentioned that the average Fertile Women gave birth to 2.6 children and the rate of population growth can be suppressed if the average of Women Aged Fertile gave birth to 2.1 children. The adolescent age group is a component that resides in the productive age. The younger age group is the most dominant among other age groups. IDHS in 2002/2003 showed a decrease to 10.4% of teenagers who had given birth or being pregnant with the first child, in 2007, there were 8.5% of teenagers had given birth and were pregnant with the first child that is 6.6% Childbirth and 1.9% of teenagers being pregnant with the first child (BKKBN, 2008). This can lead to complex problems related to education, poverty,
socio-cultural norms, and geography. This study aims to determine the factors affecting the fertility of adolescents mating in Indonesia, further analysis of data SDKI 2012 with guidelines questionnaire WUS (Female Age Fertile). This research uses a quantitative approach with cross sectional study. Data processing conducted in February-June 2017 with the sample taken amounted to 2176 respondents with inclusion criteria. The results obtained are the first marriage age, the first age of sexual intercourse, and the first age of birth has the greatest risk estimation value compared with other variables. Teenagers <20 years old at first marriage had a 4- fold higher risk of having > 2 children compared with ≥20 years of age at first
marriage.
"
2017
S69754
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelly Maya Lova
"Prevalensi penggunaan metode kontrasepsi modern merupakan salah satu indikator keberhasilan program KB, yang berfungsi sebagai salah satu strategi untuk mengendalikan jumlah penduduk serta mendukung percepatan penurunan AKI, AKB, dan KTD, namun demikian capaiannya masih relatif rendah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan penggunaan metode kontrasepsi modern pada Wanita Usia Subur di Pulau Sumatera. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross- sectional, menggunakan data sekunder dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Sampel penelitian berjumlah 5.276 responden. Analisis data menggunakan uji statistik regresi logistik. Hasil analisis didapatkan persentase penggunaan metode kontrasepsi modern pada WUS di pulau Sumatera adalah sebesar 85%. Tetapi jenis kontrasepsi jangka panjang seperti masih rendah yaitu IUD (4,1%) dan Implan (10,1%), yang paling banyak adalah penggunaan suntik 3 bulan (36,7%). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi penggunaan metode kontrasepsi modern adalah pendidikan, status bekerja, pengetahuan tentang KB, tempat tinggal, dukungan suami dan dukungan tenaga kesehatan. Dengan faktor dominan yaitu dukungan suami berpeluang 3,35 kali menggunakan metode kontrasepsi modern. Untuk meningkatkan cakupan penggunaan kontrasepsi modern pemerintah perlu meningkatkan pelayanan dan menyusun strategi KIE yang efektif untuk WUS dan pasangannya.

The prevalence of modern contraceptive use is an indicator of the success of the family planning program, which functions as a strategy to control the population and support the accelerated reduction in maternal mortality, unwanted pregnancies, and abortion, however the achievements are still relatively low. The aim of this research is to analyze the determinants of modern contraceptive use among women of childbearing age on the island of Sumatera. This type of research is a quantitative study with a cross-sectional research design, using secondary data from the 2017 Indonesian Health Demographic Survey (IDHS). The study sample consisted of 5276 respondents. Data analysis used logistic regression statistical test. The results of the analysis showed that the percentage of use of modern contraceptive methods among WUS on the island of Sumatra was 85%. However, the types of long-term contraception are still low, namely IUDs (4.1%) and implants (10.1%), the most common being the use of 3-month injections (36.7%). The results of the multivariate analysis show that the factors that influence the use of modern contraceptive methods are education, work status, knowledge about family planning, place of residence, husband's support and support from health workers. With the dominant factor, namely husband's support, there is a 3.35 times chance of using modern contraceptive methods. To increase coverage of modern contraceptive use the government needs to improve services and develop effective IEC strategies for WUS and their partners."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Novi Handayaning
"Latar belakang: Program Keluarga Berencana (KB) merupakan metode dalam menekan angka pertumbuhan penduduk serta meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar masih memiliki angka penggunaan kontrasepsi yang rendah. Pengetahuan mengenai kontrasepsi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan penggunaan kontrasepsi.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan kontrasepsi dan unmet need pada wanita usia subur di Indonesia.
Metode: Penelitian analitik komparatif tidak berpasangan dengan metode potong lintang dilakukan pada data sekunder yang didapatkan dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 dan 2017. Subjek pada penelitian ini adalah semua wanita usia subur usia 15-49 tahun. Subjek dengan data tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Pengetahuan tentang kontrasepsi dinilai baik apabila subjek mengetahui minimal salah satu metode kontrasepsi modern. Unmet need didefinisikan sebagai wanita usia subur yang tidak menggunakan kontrasepsi tapi tidak menginginkan anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan. Dilakukan analisis chi-square pada data kategorik dan analisis Mann-Whitney U untuk data numerik. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dengan nomor surat lolos kaji etik KET-1252/UN2.F1/ETIK/PPM.00.02/2020.
Hasil: Sebanyak 45.607 WUS pada data SDKI 2012 dan 29.627 WUS pada data SDKI 2017 diikutsertakan dalam penelitian. pada data SDKI 2012, faktor yang menjadi risiko kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah daerah tempat tinggal pedesaan (p = 0,004), pendidikan rendah (p < 0,0001), pendidikan suami rendah (p < 0,0001), tidak adanya kepemilikan listrik (p < 0,0001), dan ketidakmauan diskusi pubertas dengan anak perempuan (p = 0,001). Pada data SDKI 2017, faktor yang menjadi risiko kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah usia muda (p < 0,0001), daerah tempat tinggal pedesaan (p = 0,011), pendidikan rendah (p < 0,0001), pendidikan suami rendah (p < 0,0001), tidak memiliki pekerjaan (p < 0,0001), dan tidak memiliki radio, televisi, internet, handphone (p < 0,0001), dan internet (p = 0,002). Pada data SDKI 2012, faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah usia (p = 0,023) dan paritas (p < 0,0001). Pada data SDKI 2017, faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah daerah tempat tinggal (p = 0,003), pendidikan (p = 0,008), pendidikan suami (p < 0,0001), status pekerjaan (p = 0,03), kepemilikan listrik (p = 0,001), dan kepemilikan televisi (p = 0,01)
Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah usia, daerah tempat tinggal, pendidikan, pendidikan suami, dan kepemilikan berbagai fasilitas. Faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah usia, paritas, daerah tempat tinggal, pendidikan, pendidikan suami, status pekerjaan, kepemilikan televisi, dan kepemilikan listrik.

ackground: The Family Planning Program is a method of controlling in population growth rates and also improving maternal and child health. Indonesia as one of the largest countries has abysmally low contraceptive coverage. Knowledge about contraception is an important factor in determining the use of contraception. This study aims to determine the factors that influence contraception and the unmet need of women of childbearing age in Indonesia.
Method: An unpaired comparative analytic study with a cross-sectional method was conducted on secondary data obtained from 2012 and 2017 Indonesian Demographic and Health Surveys (IDHS). The subjects in this study were all women of childbearing age (15-49 years). Subjects with incomplete data were excluded from the study. Knowledge of contraception was defined as knowing at least one method of modern contraception. Unmet need was defined as childbearing age woman who did not use contraception but did not want any more children or wanted to space pregnancies. Chi-square analysis was performed on categorical data and Mann-Whitney U analysis on numerical data.
Result: A total of 45,607 childbearing age women in the 2012 IDHS data and 29,627 childbearing age women in the 2017 IDHS data were included in the study. In the 2012 IDHS data, the risk factors for poor knowledge about contraception were rural areas (p = 0.004), low education (p <0.0001), low partner education (p <0.0001), lack of electricity ownership ( p <0.0001), and unwillingness to discuss puberty with daughter (p = 0.001). In the 2017 IDHS data, the risk factors for poor knowledge about contraception were young age (p <0.0001), rural areas (p = 0.011), low education (p <0.0001), low partner education (p < 0.0001) , did not have a job (p <0.0001), did not have radio, television, internet, mobile phones (p <0.0001), and internet (p = 0.002). In the 2012 IDHS data, factors influencing unmet needs were age (p = 0.023) and parity (p <0.0001). In the 2017 IDHS data, factors influencing unmet needs were the area of residence (p = 0.003), education (p = 0.008), partner education (p <0.0001), employment status (p = 0.03), electricity ownership (p = 0.001), and television ownership (p = 0.01)
Conclusion: Factors affecting knowledge about contraception were age, area of residence, education, partner education, and ownership of various facilities. Factors that influence unmet needs are age, parity, area of residence, education, partner education, employment status, ownership of television, and ownership of electricity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>