Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187982 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desi Salwani
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Gejala klinis tuberkulosis (TB) pada HIV seringkali tidak khas sehingga diagnosis menjadi sulit. Hal ini mengakibatkan underdiagnosis atau overdiagnosis dengan konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Hingga saat ini, gejala dan tanda yang berhubungan dengan diagnosis TB paru belum banyak diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai diagnostik dari gabungan gejala (batuk, penurunan berat badan, demam, dan rontgen toraks) dalam diagnosis TB paru pada pasien HIV dan nilai tambah biakan MGIT 960 dalam meningkatkan kemampuan diagnosis TB paru pada pasien HIV.
Metode:
Penelitian potong lintang terhadap pasien HIV dengan kecurigaan TB yang datang ke Poli HIV atau pasien ruang rawat Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dari Oktober 2011 hingga April 2012. Hubungan gejala klinis dan radiologis dengan diagnosis TB (biakan Lowenstein Jensen) dianalisis dengan regresi logistik. Kemudian ditentukan kontribusi masing masing determinan diagnosis terhadap diagnosis TB. Kemampuan biakan MGIT 960 dalam menegakkan diagnosis TB dinilai dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.0.
Hasil:
Subjek penelitian umumnya laki-laki (63%) dengan median usia 32 (rentang 18-52) tahun, status gizi baik (43%), CD4 <50 μl sebanyak 48%. Risiko transmisi terbanyak adalah pengguna narkoba suntik (penasun) (51%). Dari analisis multivariat, demam dan penurunan berat badan mancapai kemaknaan secara statistik. Nilai area under curve (AUC) manifestasi klinis adalah 71,9%. Penambahan biakan BTA MGIT 960 akan meningkatkan AUC 24,9% menjadi 95,7%.
Simpulan:
Gabungan gejala demam dan penurunan berat badan mampu memprediksi diagnosis TB paru pada pasien HIV. Penambahan biakan BTA MGIT 960 bermanfaat meningkatkan kemampuan gabungan gejala klinis dalam diagnosis TB paru pada pasien HIV."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
R. Nur Ista A.
"Latar belakang: Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik dan penyebab kematian terbanyak pada pasien HIV. Keterlambatan diagnosis menyebabkan peningkatan kematian karena gejala dan tanda tidak khas. Pemeriksaan awal diagnostik lebih cepat dengan performa diagnosis lebih baik diperlukan untuk meningkatkan keakuratan dan kecepatan diagnosis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan molekular yaitu Xpert MTB/RIF® yang dapat mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis dan data Xpert MTB/RIF® pada pasien HIV masih sangat terbatas.
Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik Xpert MTB/RIF® dalam mendiagnosis tuberkulosis paru pada pasien HIV.
Metode: Penelitian potong lintang terhadap pasien HIV dengan kecurigaan tuberkulosis yang datang ke UPT HIV RSCM dan pasien ruang rawat penyakit dalam Gedung A RSCM dari Oktober 2012 hingga April 2013. Xpert MTB/RIF® dibandingkan dengan kultur media cair BACTEC MGIT 960®. Kemampuan diagnostik Xpert MTB/RIF® dinilai dengan membuat tabel 2x2 dan menghitung nilai sensitivitas, spesifitisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif serta rentangan nilainya menurut batas 95 % batas kepercayaan.
Hasil: Sejumlah 66 subjek menjadi subjek penelitian dengan 43 subjek mendapatkan hasil kultur M. tuberculosis positif. Subjek penelitian umumnya usia 25-35 tahun (58%) dengan jenis kelamin laki-laki (73%), IMT rendah (53%) dan CD4 < 50 sel/mm3 (56%). Faktor risiko terbanyak akibat pemakaian narkoba suntik (62%) Didapatkan hasil sensitivitas Xpert MTB/RIF® adalah 93% (IK 95% 87% - 99%), spesifisitas 91,3% (IK 95% 84,5 - 98,1%), Nilai Duga Positif 95,2% (IK 95% 90,1% - 100%), Nilai Duga Negatif 87,5% (IK 95% 79,5% - 95,5%), Rasio Kemungkinan Positif 10,7 serta Rasio Kemungkinan Negatif 0,08.
Simpulan: Kemampuan diagnostik Xpert MTB/RIF® dalam mendiagnosis tuberkulosis paru pada pasien HIV sangat baik.

Background: Tuberculosis is one of the most common presenting illness and the leading cause of death among people living with HIV. The clinical features of pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients are not typical. The accurate diagnosis of pulmonary tuberculosis in HIV-infected patient remains a clinical challenge. Xpert MTB/RIF® is a new molecular modality for rapid diagnostic of tuberculosis. However, performance-related data from HIV-infected patients are still limited.
Objectives: To determine the accuracy of Xpert MTB/RIF® in diagnosing pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients.
Methods: This is a cross-sectional study performed in HIV-infected patients who suspected having pulmonary tuberculosis during October 2012 to April 2013 in Cipto Mangunkusumo Hospital. We investigated the diagnostic accuracy of Xpert MTB/RIF® compared liquid media culture.
Results: A total of 66 patients were suspected having pulmonary tuberculosis, and 43 patients were confirmed by culture examinations. Most of the patients were 25 - 35 years olds (58%), male (73%), have a low BMI (53%) and low CD4+ (56%). Most of HIV-infected patients were intravenous drugs user (62%). The sensitivity and specificity of Xpert MTB/RIF® were 93.0% (95% CI, 87.0% to 99.0%) and 91.3% (95% CI, 84.5% to 98.1%). The positive and negative predictive values were 95.2% (95% CI, 90.1% to 100%) and 87.5% (95% CI, 79.5% to 95.5%). Positive and negative likelihood ratios were 10.7 and 0.08.
Conclusion: Xpert MTB/RIF® has a good performance in diagnosing pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Amalia
"Latar belakang: Aspergilosis paru kronik (APK) merupakan penyakit paru destruktif yang bersifat progresif terutama disebabkan infeksi Aspergillus fumigatus. Penyakit ini dapat menjadi komplikasi infeksi tuberkulosis (TB) dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas signifikan. Diagnosis APK masih menjadi tantangan karena gejala klinis tidak khas, serta belum ada alat diagnosis yang cepat dan akurat. Deteksi IgG Aspergillus berbasis lateral flow assay (LFA) menggunakan metode imunokromatografi (ICT) merupakan uji cepat dan sederhana untuk membantu diagnosis APK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan uji ICT Aspergillus dengan karakteristik klinis dan radiologis APK pada pasien terkait TB paru.
Metode: Penelitian berdesain potong lintang ini dilaksanakan pada April 2019-Juli 2023 dan merupakan bagian dari penelitian sebelumnya tentang diagnosis APK di Indonesia. Serum pasien APK diperiksa di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI untuk deteksi ICT Aspergillus, kemudian dilanjutkan dengan analisis hasil penelitian.
Hasil: Sebanyak 29 dari 54 (54%) serum pasien yang diteliti menunjukkan hasil uji ICT Aspergillus positif. Proporsi jenis kelamin perempuan (63%) lebih banyak dibandingkan laki-laki, sedangkan usia terbanyak 30-60 tahun (74%). Gejala klinis terbanyak adalah fatigue (57%), batuk ≥ 3 bulan (42%), hemoptisis (41%) diikuti sesak napas (24%), dan nyeri dada (20%). Adapun penyakit penyerta terbanyak adalah diabetes melitus (20%), penyakit kardiovaskular (11%), dan PPOK (9%). Gambaran radiologi paling dominan adalah kavitas (94%), diikuti infiltrat (72%), dan penebalan pleura (55%). Analisis statistik menunjukkan kaitan bermakna antara hasil ICT Aspergillus positif dengan gambaran radiologi berupa infiltrat, fibrosis parakavitas, fibrosis, efusi pleura, konsolidasi dan bronkiektasis (p <0,005). Hasil ICT Aspergillus tidak menunjukkan kemaknaan statistik dengan karakteristik klinis.
Simpulan: Deteksi IgG spesifik Aspergillus metode ICT pada 54 pasien APK pada penelitian ini menunjukkan hasil positif 54%. Pada penelitian ini hasil ICT Aspergillus menunjukkan kaitan bermakna secara statistik dengan gambaran radiologi, tetapi tidak menunjukkan kaitan bermakna dengan karakteristik klinis pasien.

Background: Chronic pulmonary aspergillosis (CPA) is a progressive, destructive lung disease mainly caused by Aspergillus fumigatus infection. The disease can be a complication of tuberculosis (TB) infection and cause significant morbidity and mortality. Diagnosis of CPA is still challenging because the clinical symptoms are not typical, and there are no fast and accurate diagnostic tools. Detection of IgG-specific Aspergillus using the immunochromatography (ICT) method is a quick and simple test to assist CPA diagnosis. The study aimed to determine the correlation between the ICT Aspergillus test and the clinical and radiological characteristics of CPA in TB-related patients.
Method: This cross-sectional study was carried out in April 2019-July 2023 and was part of a previous study on CPA diagnosis in Indonesia. All sera of CPA patients were examined at the Clinical Parasitology Laboratory, Faculty of Medicine Universitas Indonesia for ICT Aspergillus detection, followed by analysis of the study results.
Result: Twenty-nine of the 54 patient sera showed positive results of ICT Aspergillus. There were more female (76%) than male patients, with the majority aged 30–60 years (74%). The most common clinical symptoms were fatigue (57%), cough ≥3 months (42%), hemoptysis (41%), shortness of breath (24%), and chest pain (20%). The most common comorbidities were diabetes mellitus (20%), cardiovascular diseases (11%), and COPD (9%). The dominant of radiological features were cavities (94%), followed by infiltrates (72%), and pleural thickening (55%). The statistical analysis showed a significant correlation between positive ICT Aspergillus results and radiological features, including infiltrates, paracavity fibrosis, fibrosis, pleural effusion, consolidation, and bronchiectasis. However, the ICT Aspergillus did not show statistical significance with clinical characteristics.
Conclusion: The ICT Aspergillus detection in this study showed positive results of 54%. There was a significant correlation between ICT Aspergillus positive result with radiology features, but no significant correlation with clinical characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriyani
"Latar belakang : penegakkan diagnosis TB paru pada pasien HIV dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis. Rekomendasi WHO 2007, memperbolehkan penegakan diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dengan dan tanpa melalui pemeriksaan mikrobiologis. Penelitian ini bertujuan mendapatkan perbedaan karakteristik gambaran radiografi toraks pasien HIV dengan TB paru yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan klinis.
Metode : Penelitian ini adalah comparative cross sectional study. Subyek penelitian diambil secara consecutive dan dipilih berdasarkan catatan hasil pemeriksaan BTA sputum, kultur, Genexpert®, CD4+, dan radiografi toraks. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi mikrobiologis dan klinis. Dilakukan pembacaan ulang radiografi toraks.
Hasil : gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak pada kelompok diagnosis mikrobiologis adalah infiltrat/konsolidasi, fibroinfiltrat, limfadenopati, kavitas dan kalsifikasi. Sisanya efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks dan normal. Pada kelompok diagnosis klinis, gambaran radiografi toraks dengan frekuensi terbanyak adalah infiltrat/konsolidasi, kavitas, limfadenopati, fibroinfiltrat dan sisanya kalsifikasi, efusi pleura, milier, fibrosis, bronkiektasis, dan normal. Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis. Frekuensi fibroinfiltrat terbanyak adalah di kelompok mikrobiologis dengan sebaran lokasi tersering di lapangan atas paru.
Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna karakteristik gambaran radiografi toraks fibroinfiltrat pada kelompok diagnosis mikrobiologis dan klinis dengan lokasi tersering di lapangan atas paru.

Background : To diagnose Pulmonary Tuberculosis in HIV patient can be done based on microbiology examination and clinically. WHO 2007 recommendation, allowing diagnosis based on clinical examination with and without microbiological examination. This study aims to obtain the different characteristics of chest radiographs of HIV patients with pulmonary TB were diagnosed based on clinical and microbiological examination.
Methods : This study is a comparative cross-sectional study. Subjects were taken consecutively and selected based on the results of sputum smear examination, culture, Genexpert®, CD4+, and chest x-ray. The study subjects were grouped into microbiological and clinical. Then we do expertise review.
Results : The most chest x-ray finding in the microbiological group is infiltrates/ consolidation. Following by fibroinfiltrat, lymphadenopathy, cavities and calcification. The rest are pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis, pneumothorax and normal . In the group of clinical diagnosis, the highest frequency chest x-ray finding is infiltrates/ consolidation. Following by cavities, lymphadenopathy, fibroinfiltrat and the rest are calcification, pleural effusion, miliary, fibrosis, bronchiectasis and normal. There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups. The highest frequency of fibroinfiltrat is in the microbiological group with the most common sites in the upper of the lung field.
Conclusions : There is significant differences of fibroinfiltrat on microbiological and clinical diagnosis groups with the most common sites in the upper lung field.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athira Presialia
"Kultur sampai saat ini masih merupakan standar emas pemeriksaan diagnosis tuberkulosis. Metode yang sering dilakukan adalah menggunakan Medium Lowenstein-Jensen dan BACTEC MGIT 960, namun kontaminasi oleh bakteri lain maupun jamur dapat terjadi dan dapat mengganggu hasil interpretasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan tingkat kontaminasi kultur Mycobacterium tuberculosis pada Medium Lowenstein-Jensen dan BACTEC MGIT 960. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan 204 sampel dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM yang memenuhi kriteria penelitian. Data dianalisis menggunakan uji McNemar untuk data komparatif kategorik berpasangan. Dari 204 subjek, mayoritas berada pada rentang usia 26-35 tahun 34,3 dan merupakan laki-laki 62,8. Dari hasil uji McNemar, didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kontaminasi pada medium LJ dan BACTEC MGIT 960 p=1.000. Proporsi hasil kultur positif pada medium LJ dan BACTEC MGIT 960 juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p=1.000. Tidak ada perbedaan proporsi tingkat kontaminasi pada medium LJ dan BACTEC MGIT 960. Kata kunci: tingkat kontaminasi, Mycobacterium tuberculosis, Lowenstein-Jensen, BACTEC MGIT 960.

Culture is remaining a gold standard for tuberculosis diagnostic test. Lowenstein Jensen and BACTEC MGIT 960 are two mediums that are recently used, however, contamination by other bacteria or fungal may interfere the result rsquo s interpretation. This study aims to find out the contamination rate comparison between Lowenstein Jensen media and BACTEC MGIT 960. This is a cross sectional study with 204 samples from Clinical Microbiology Laboratory of FKUI RSCM which meet the research criteria. Data were analyzed using McNemar test for paired proportion data. Out of the 204 subjects, the majority are male 62,8 between the age group of 26 35 years 34,3. Based on McNemar test, there is no significant difference of contamination rate between LJ media and BACTEC MGIT 960 p 1.000. Significant difference in the proportion of positive culture result between samples cultivated with LJ media and BACTEC MGIT 960 was not shown either p 1.000. In conclusion, there is no significant difference of contamination rate between LJ media and BACTEC MGIT 960. Keywords contamination rate, Mycobacterium tuberculosis, Lowenstein Jensen, BACTEC MGIT 960"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riswahyuni Widhawati
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia, dan Indonesia menempati peringkat ke-3 di dunia.
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu tanaman yang terbukti dapat digunakan pada infeksi saluran nafas ringan, namun perannya pada pengobatan TB masih perlu diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan peran penambahan ekstrak sambiloto pada pasien TB paru kasus baru yang mendapat terapi standar.
Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda (randomized double blind placebocontrolled clinical trial) terhadap 48 pasien TB paru kasus baru yang mendapat terapi standar Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang sama banyak, 24 pasien pada kelompok perlakuan mendapat ekstrak sambiloto 1x500mg perhari dan 24 pasien pada kelompok kontrol mendapat plasebo dan dinilai perbaikan klinis dan konversi sputum bakteri tahan asam (BTA) pada minggu ke 2, 4, 6 dan 8 serta pemeriksaan radiologis/foto thorak pada minggu 0 dan 8.
Evaluasi 8 minggu pertama, pemberian ekstrak sambiloto pada pasien TB paru kasus baru yang mendapat terapi standar memberikan kecenderungan konversi lebih cepat dibandingkan pemberian plasebo, walaupun tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik (rerata lama konversi sambiloto vs plasebo : 4,7 minggu vs 5,65 minggu; P = -0,026 (Uji P, Pearson Correlation ). Analisis subgrup konversi pada minggu ke-4 dan ke-6 memberikan hasil bermakna secara statistik (minggu ke 4 : plasebo : 43%; sambiloto 65%; minggu ke 6 : plasebo : 61%; sambiloto 70%). Didapatkan pula kecenderungan perbaikan gejala klinis dan perbaikan foto thorak dibandingkan plasebo walapun secara statistik tidak bermakna.
Sambiloto cukup menjanjikan sebagai terapi komplementer pada pengobatan TB bersama dengan OAT, namun masih membutuhkan studi lebih banyak lagi.

Tuberculosis (TB) is one of the major causes of morbidity and mortality in the world, and Indonesia ranks third in the world.
Andrographis paniculata is one of the traditional plants that are proven to be used in mild respiratory tract infections, but its role in TB treatment remains to be investigated. This research was conducted to prove the role of the suplementation of extract Andrographis paniculata in patients with new cases of pulmonary TB who received standard therapy.
This study is a randomized double-blind placebo-controlled clinical trial in 48 new cases of pulmonary TB patients who received standard therapy Anti Tuberculosis Agent, the patients were divided in two groups, in which group 1, 24 patients in the treatment group received the extract Andrographis paniculata 1x500mg per day and 24 patients in the control group received placebo and assessed clinical improvement and sputum smear conversion at weeks 0, 2, 4,6 and 8, and radiological examination / thoracic photo at weeks 0 and 8.
Evaluation of the fist 8 weeks, the extract Andrographis paniculata in patients with new cases of pulmonary TB who received standard therapy provides faster conversion trend when compared with placebo, although the difference was not found statistically significant (mean old Andrographis paniculata conversion vs. placebo: 4.7 weeks vs. 5.65 weeks, P = -0.026 (P test, Pearson correlation). In this study, statistically not significant, but it has meant to the clinical improvement. Conversion analysis subgroup at 4 and 6 week, provide statistically significant results (in 4 week : placebo: 43%; bitter 65%, in 6 week : placebo : 61%; bitter 70%).
Found also trend and the improvement of clinical symptom improvement compared to placebo thoracic photo even if it is not statistically significant. Andrographis paniculata enough promise as a complementary therapy in the treatment of TB along with OAT, but it still needs more study."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T32154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bara Langi Tambing
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Emir Ananta
"Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi insiden TB terbanyak di dunia, dengan prevalensi TB sekitar 0,24%. Tingginya kasus TB di Indonesia disebabkan oleh iklim Indonesia yang tropis, serta lingkungan yang padat, kotor, basah, kumuh, dan miskin sehingga memudahkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk tumbuh. Jenis TB yang banyak ditemukan di Indonesia adalah TB paru. Anemia penyakit kronis adalah salah satu komplikasi tersering dari TB paru. Berdasarkan beberapa penelitian, anemia ini dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan mortalitas pada pasien TB paru sehingga perlu diteliti lebih mendalam. Jadi, dilakukan penelitian tentang hubungan anemia dengan durasi gejala TB.
Penelitian ini menggunakan desain studi studi potong lintang. Sampel penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien RSUP Persahabatan melalui teknik. Pasien TB paru dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan durasi gejala tuberkulosis yang dialam, dengan jumlah subjek pada setiap kelompok adalah 49, 57, dan 44 subjek. Data dianalisis dengan uji ki kuadrat, kemudian dikur Odds Ratio Prevalensi anemia pada 150 subjek penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia pada pasien TB paru dengan durasi gejala. Namun, terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia antara pasien TB paru kelompok durasi gejala lebih dari 3 bulan terhadap < 1 bulan.
Tingginya prevalensi anemia pada pasien TB paru disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, TNF-alfa dan IL-6 pada infeksi TB paru menyebabkan disregulasi homeostasis ion Fe2+ melalui peningkatan hepcidin dan DMT 1, serta penurunan ferroportin 1. Hal ini menyebabkan malabsorpsi ion Fe2+ dan peningkatan oleh makrofag. Kedua, penurunan produksi eritropoetin akibat inhibisi oleh IFN-gamma. Ketiga, penurunan respon CFU terhadap eritropoetin. Akibatnya, terjadi penurunan produksi Hb yang semakin memburuk pada pasien dengan durasi gejala lebih panjang. Selain itu, terjadi penurunan IMT yang memperburuk anemia. Prevalensi anemia pada pasien TB paru termasuk tinggi. Pada kelompok durasi gejala yang lebih panjang, proporsi kejadian anemia meningkat. Oleh karena itu, edukasi pada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala TB paru dan pentingnya datang ke rumah sakit sesegera mungkin apabila mengalami gejala TB paru.

Indonesia is the country with the second highest incidence of tuberculosis (TB) in the world, with an approximate prevalence of 0,24%. The high number of TB cases in Indonesia is due to its tropical climate and its dense, dirty and humid environment, which makes it easier for Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria to grow. Lung tuberculosis is the most common form of TB in Indonesia. One of the most frequent complications of lung TB is anemia, which can increase the occurrence of complications and mortality among TB patients according to several studies. Therefore, a study about the relationship between anemia occurrence and duration of TB symptoms in lung TB patients in conducted.
This is a cross-sectional study that uses consecutive sampling. The data was taken from medical records of patients diagnosed with lung TB in Persahabatan Central General Hospital during the year 2014-2018. Lung TB patiens were grouped according to their duration of symptoms. The number of subjects enrolled in each group were 49, 57 and 44 respectively. The data was analysed with chi-square test and the Odds Ratio (OR) was calculated for each group. The prevalence of anemia in lung TB patiens in the study is 58,67%. The proportion of lung TB patients who had anemia in each group were 83,67%, 54,39% and 36,36% respectively. There is no significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence between the 1-3 month group and the <1 month group. However, there is a significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence.
The high prevalence of anemia in Lung TB patiens can be caused by several mechanism. The first mechanism is iron homeostasis dysregulation due to the high levels of TNF-alpha and IL-6. These cytokines increase hepcidin levels and DMT 1 transporter expression and decrease ferroportin 1 expression, which cause iron malabsorption and macrophage iron retention. The second mechanism is decreased erythropoetin production due to inhibiton by IFN-gamma. The third mechanism is decreased CFU response to erythropoetin. As a result, Hb production is decresed in lung TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Deryl Ivansyah
"ABSTRAK
Introduksi Spondilitis tuberculosis (TB) merupakan kasus infeksi tulang belakang tersering terutama di negara berkembang. Tiga hingga 5% kasus Spondilitis TB berkembang menjadi deformitas kifosis >60 derajat. Deformitas kifosis dapat mengakibatkan paraplegia dan gangguan fungsi lainnya, sehingga harus ditatalaksana dan dicegah dengan koreksi operatif. Studi ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis dan radiologis pada deformitas kifosis pasca koreksi operatif dan hubungannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi deformitas kifosis.
Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap pasien Spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang dilakukan tindakan koreksi operatif selama tahun 2014-2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian luaran klinis ODI (Oswestry Disability Index) dan ASIA Impairment Scale, serta penilaian radiologis berupa persentase derajat koreksi dan loss of correction. Penilaian tersebut dilakukan pada saat pra-operasi, pasca-operasi, 6 dan 12 bulan pasca operasi, serta saat kontrol terakhir.
Hasil Dari 78 pasien yang diikut sertakan dalam penelitian ini, rata-rata berusia 31,4 tahun dan mayoritas perempuan. Gejala awal tersering adalah backpain. Median jumlah keterlibatan vertebra adalah 2 dengan lokasi tersering pada level torakal. Durasi kontrol adalah 6 hingga 54 bulan. Pemilihan teknik operasi posterior lebih sering digunakan dibanding kombinasi dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pemilihan teknik operasi dengan luaran klinis maupun radiologis (p>0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan nilai klinis, dan radiologis pre dengan pasca operasi (p<0,001). Perbaikan neurologis ASIA scale tampak mulai signifikan sejak 6 bulan pasca operasi (p<0,001). Sudut kifosis awal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua kategori luaran (p<0,001). Terdapat komplikasi berupa pseudoarthrosis pada 2 pasien dan defisit neurologis yang menetap pada 1 pasien.
Kesimpulan Tatalaksana operasi korektif pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis menunjukkan perbaikan luaran klinis, laboratorium dan radiologis. Sudut awal kifosis mempengaruhi luaran klinis dan radiologis.

ABSTRACT
Introduction Spondylitis tuberculosis (TB) is the most common case of spinal infection, especially in developing countries. Three to 5 % of Spondylitis TB cases will develop into more than 60o of kyphotic deformity. Kyphotic deformity can cause late paraplegia and other functional disturbances, therefore a kyphotic correction should be performed to prevent and treat the complications. The purpose of the study is to analyze the clinical and radiological outcome of kyphotic deformity in Spondylitis TB patients post kyphotic correction and to analyze the factors influencing the kyphotic deformity
Method This study used cross-sectional design on Spondylitis TB patients who underwent corrective surgery as one of the treatment during 2014-2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Evaluation of delta ODI (Oswestry Disability Index) and ASIA impairment scale were used to assess the clinical outcome. For radiological outcome, we assessed the percentage of correction and loss of correction. The data was collected from the medical record and also the patient; pre-surgery, post-surgery, 6 and 12 months post-surgery, also the current condition
Result Out of the 78 patients included in this study, the average age was 31.4 years and for the majority of women. The majority of initial symptoms was complaint of backpain. The median number of vertebral involvement was 2, the majority of the location of the vertebrae involved were at the thoracic level. The choice of posterior surgery techniques is more often used than combination (posterior-anterior), however no significant differences was found when we compared the technique used with the clinical and radiological outcome (p>0,005) There were significant differences between pre and post-operative clinical and radiological value (p<0,001). Neurological improvement (ASIA scale) appears to be significant since 6 months postoperatively (p <0.001). Pre-operative kyphotic angle was found to be an influential factor in all outcome categories (p<0,001). There was pseudoarthrosis in 2 patients and refracter neurological deficit in 1 patient."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>