Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204006 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muflihatunnaimah
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Terapi Antiretroviral (ARV) terbukti bermanfaat untuk mengurangi kemunduran sistem imunitas penderita HIV/AIDS. Jenis terapi ARV yang diberikan adalah Efavirenz (EFV) dan Nevirapine (NVP) yang memiliki efek samping neuropsikiatri seperti stres, cemas, dan depresi. Studi ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan tingkat stres, cemas dan depresi antara terapi Duviral (Zidovudin dan Lamivudin) dan EFV dengan Duviral (Zidovudin dan Lamivudin) dan NVP pada penderita HIV/AIDS.
Metode:
Jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian observasional dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Data penelitian didapatkan dari kuesioner data demografi dan DASS. Sampel yang digunakan adalah 130 pasien rawat jalan HIV/AIDS di poliklinik VCT-CST RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Hasil:
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui hasil uji beda rerata tingkat stres antara terapi EFV dengan terapi NVP dengan nilai p=0,048 (p<0,05). Tidak ada perbedaan tingkat cemas dan depresi antara terapi EFV dengan terapi NVP dengan nilai p=0,166 (p>0,05) dan nilai p=0,104 (p>0,05).
Simpulan:
Terdapat perbedaan bermakna tingkat stres antara terapi EFV dengan NVP, dan tidak ada perbedaan bermakna tingkat cemas dan depresi antara terapi EFV dengan terapi NVP pada penderita HIV/AIDS di RSUP Dr. Kariadi Semarang."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Hawari
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013
616.89 DAD m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Hawari
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
616.89 DAD m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Nurbaeti
"Latar Belakang: Setiap individu memiliki chronotype tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi chronotype dan stresor pekerjaan serta mengidentifikasi hubungannya dengan tingkat kecemasan, depresi, dan stres (distres) pada pekerja shift di perusahaan minyak dan gas di Indonesia.
Metode: Penelitian cross-sectional dilakukan di perusahaan minyak dan gas di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2024 menggunakan kuesioner daring. Chronotype diukur menggunakan Morningness Eveningness Questionnaire (MEQ), stresor pekerjaan diidentifikasi menggunakan Stress Diagnostic Survey (SDS), dan tingkat distres diperoleh dari Depression Anxiety Stress Scale 21 (DASS 21).
Hasil: Sebanyak 122 karyawan berpartisipasi dalam penelitian ini. Semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan median usia 45 (21-55) tahun. Sekitar 20,5% responden mengalami kecemasan, depresi, dan stres. Lebih dari separuh (57,4%) responden bertipe pagi. Stresor kerja mereka berada pada tingkat sedang (44,3-54,9%). Kami tidak menemukan hubungan antara kronotipe dan stresor kerja dengan tingkat distres. Namun demikian, kami menemukan hubungan antara lamanya masa kerja (aOR= 5,2; 95% CI: 1,4 – 20,1; p <0,05), pekerjaan berpindah-pindah (aOR= 0,3; 95% CI: 0,1 – 0,9; p <0,05), dan usia (p <0,05) dengan tingkat distres.
Kesimpulan: Chronotype dan stresor kerja dalam penelitian ini tidak memiliki hubungan dengan tingkat distres. Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian kecemasan, depresi dan stres dalam penelitian ini adalah usia, lamanya masa kerja dan jenis pekerjaan (p <0,005).

Background: Each individual has a certain chronotype. This study aims to determine the prevalence of chronotype and job stressors and identify its associations with anxiety, depression, and stress (distress) level among shift workers in an oil and gas company in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in an oil and gas company in Indonesia. Data was collected in 2024 using online questionnaires. Chronotype was measured using Morningness Eveningness Questionnaire (MEQ), job stressors were identified using Stress Diagnostic Survey (SDS), and distress level were obtained from the Depression Anxiety Stress Scale 21 (DASS 21)
Results: A total of 122 employees was participated in this study. All were male with the median age of 45 (21-55) years old. About 20.5% of respondents had anxiety, depression, and stress. More than half (57.4%) of respondents were morning type. Their work stressors were at moderate level (44.3-54.9%). We did not find association between chronotype and work stressor with distress level. Nevertheless, we found association between length of service (aOR= 5.2; 95% CI: 1.4 – 20.1; p <0.05), mobile jobs (aOR= 0.3; 95% CI: 0.1 – 0.9; p <0.05), and age (p <0.05) with distress level.
Conclusion: The chronotype and work stressors in this study did not have a relationship to the level of distress. Other factors related to the incidence of anxiety, depression and stress in this study were age, length of service and type of work (p <0.005).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatun
"Latar Belakang: Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV juga sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dalam berbagai manifestasi dan gradasi, mulai dari yang ringan sampai potensial mengancam nyawa. Pemahaman tentang prediktor kejadian reaksi hipersensitivitas dapat membantu klinisi dalam menatalaksana pasien HIV/AIDS sehingga memberikan luaran klinis yang lebih baik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat nevirapin dan efavirenz pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV/AIDS rawat jalan di UPT HIV RSCM selama Januari 2004 sampai Desember 2013. Status demografik, data klinis dan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada prediktor dengan data nominal dan Uji Mann Whitney pada prediktor dengan data numerik. Adanya data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Semua variabel yang memenuhi syarat akan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Total subjek yang mendapat terapi ARV baik sebagai terapi pertama kali (naïve patient) atau substitusi pada kelompok nevirapin berjumlah 2.071 subjek dan efavirenz 1.212 subjek. Insiden terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin dan efavirenz adalah sebesar 14%, dan 4,5%. Insiden kejadian reaksi hipersensitivitas silang adalah 5%. Prediktor reaksi hipersensitivitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah prediktor terkait penggunaan nevirapin, yaitu jenis kelamin perempuan (OR=1,622; IK95% 1,196-2,199; p=0,002), CD4+ awal >200 sel/mm3 (OR=1,387; IK95% 1,041-1,847; p=0,025), koinfeksi dengan hepatitis C (OR=1,507; IK95% 1,138-1,995; p=0,004), dan kadar SGPT awal >1,25 kali batas atas nilai normal (OR=1,508; IK95% 0,998-2,278; p=0,051). Sedangkan prediktor reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan efavirenz tidak ada yang memiliki kemaknaaan secara statistik.
Simpulan: Jenis kelamin perempuan, jumlah CD4+ awal >200 sel/mm3, koinfeksi dengan hepatitis C dan kadar SGPT awal yang abnormal merupakan prediktor independen terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin pada pasien HIV/AIDS.

Background: ARV therapy decreases morbidity and mortality in AIDS/HIV patients. Beside its benefits, ARV therapy induces hypersensitivity reactions manifesting in various level of severity from mild to life threatening symptoms. Understanding the predictors of hypersensitivity reaction will help clinicians to manage HIV/AIDS patients particularly in anticipating the risks that will give better clinical outcomes.
Objectives: To determine the predictors of hypersensitivity reactions in nevirapine and efavirenz administration among HIV/AIDS patients in RSCM .
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with HIV/AIDS in UPT HIV RSCM during January 2004 to December 2013. Demographic status, clinical and laboratory data are obtained from medical records. Bivariate analysis using Chi-Square test performed on nominal data and Mann Whitney test on numeric data. Incomplete data is resolved by multiple imputation techniques. All eligible variables analyzed with multivariate analysis using logistic regression.
Results: There are 2.071 naïve patients or substitution regiment in nevirapine group and 1.212 subjects in efavirenz group. Hypersensitivity reaction incidence in nevirapine and evafirenz group are 14% and 4.5% consecutively. Cross hypersensitivity reaction incidence between these drugs is 5%. Hypersentivity reaction predictors associated with nevirapine administration are female gender (OR=1,622; 95%CI 1,196-2,199; p=0,002), baseline CD4+ absolute count >200 cells/mm3 (OR=1,387; 95%CI 1,041-1,847; p=0,025), hepatitis C coinfection (OR=1,507; 95%CI 1,138-1,995; p=0,004), and baseline ALT level > 1.25 x ULN (OR=1,508; 95%CI 0,998-2,278; p=0,051), but there is no predictors associated statistically significant with efavirenz hypersensitivity reaction.
Conclusion: Female gender, baseline CD4 absolute count >200 cells/mm3, hepatitis C coinfection and baseline ALT level > 1.25 x ULN are independent predictors for hypersensitivity reaction due to nevirapine usage in HIV/AIDS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Yanti
"Spiritualitas memberikan konstribusi positif pada pasien kanker. Tujuan penelitian yaitu untuk melihat hubungan tingkat spiritualitas dengan cemas dan depresi pada pasien kanker yang beragama Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah pasien kanker yang berjumlah 120 pasien dengan tekhnik consecutive sampling di rumah sakit Fatmawati Jakarta. Instrument yang digunakan dengan menggunakan instrument kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), Beck Depression Inventory II (BDI) Daily Spiritual Experince Scale (DSES). Hasil penelitian ini diperoleh terdapat hubungan yang bermakna pada spiritualitas dengan kecemasan dan depresi (p <0,05). Kesimpulan: spiritualitas yang tinggi mengalami tingkat kecemasan ringan dengan nilai OR: 2,203. Spiritual juga menjadi faktor resiko untuk terjadinya depresi.

Spirituality makes a positive contribution to cancer patients. The aim of the research is to see the relationship between the level of spirituality and anxiety and depression in Muslim cancer patients. This research is a quantitative research with a cross sectional design. The research population was 120 cancer patients with a consecutive sampling technique at Fatmawati Hospital, Jakarta. The instruments used were the Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), Beck Depression Inventory II (BDI) and Daily Spiritual Experience Scale (DSES).. The conclusion was that high levels of spirituality experienced mild levels of anxiety, whereas patients with low levels of spirituality experienced severe levels of anxiety with OR: 2.203. Spirituality is also risk factor for depression.."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Lestari
"ABSTRAK Latar Belakang: Depresi adalah komorbid kejiwaan yang paling sering ditemui pada penyakit kronik. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang saat ini dianggap sebagai penyakit kronik akibat manfaat terapi kombinasi anti retroviral (ARV), depresi berefek langsung terhadap luaran dan kepatuhan berobat pasien. Selain faktor biologis penyakit kronik dan stressor sosial, depresi juga dapat disebabkan oleh efek samping obat. Perhatian khusus perlu diberikan kepada pasien HIV yang mendapatkan efavirenz (EFV) yang telah diketahui memiliki efek samping depresi dan saat ini merupakan komponen pilihan utama pada terapi kombinasi ARV lini 1.
Tujuan: Mengetahui proporsi depresi pada pasien mendapatkan terapi EFV jangka panjang dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi pada pasien HIV.
Metode. Dilakukan studi potong lintang terhadap 251 pasien HIV yang berobat jalan di Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo dari bulan Juni hingga September 2018. Diagnosis depresi dilakukan melalui penapisan menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II) versi Bahasa Indonesia dan diagnosis menurut kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5 (DSM-5) dengan cara melakukan anamnesis. Analisis bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square. Variabe numerik dianalisis dengan T-test pada data dengan sebaran normal dan Mann-Whitney pada data sebaran tidak normal. Variabel-variabel bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil. Dari 251 pasien dengan HIV yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian, didapatkan proporsi depresi sebesar 23,5% (IK 95 % 18.25%-28.74). Jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, adanya dukungan sosial, kadar CD4 nadir, riwayat infeksi intrakranial, dan penggunaan zat psikotropika, narkotika atau alkohol tidak berhubungan dengan kejadian depresi pada pasien HIV yang mendapatkan efavirenz jangka panjang. Dari analisis bivariat didapatkan variabel kelompok usia 36-55 tahun, durasi mendapatkan EFV dan homoseksual berhubungan dengan depresi. Berdasarkan analisis multivariat didapatkan bahwa variabel usia 36-55 tahun (OR=0,454; 95% CI 0,244-0,845) dan durasi penggunaan EFV berhubungan dengan depresi pada penggunaan EFV lebih dari satu tahun (OR 0,843; IK 95% 0,755-0,940).
Kesimpulan. Proporsi depresi pada pasien HIV yang mendapatkan EFV jangka panjang adalah 23,5% (IK 95% 18,25%-28,74). Kelompok usia 36-55 tahun berhubungan dengan kecenderungan lebih sedikit mengalami depresi dibandingkan kelompok usia <35 tahun, dan pemakaian EFV berhubungan dengan kecenderungan semakin sedikit mengalami depresi(OR 0,843; IK 95% 0,755-0,940).

ABSTRACT
Background: Depression is considered as the most important psychiatric comorbid in Human Immunodeficiency Virus infection milestones. Special attention should be given to PLWH in long term efavirenz, the first choice for combination therapy in Indonesia since 2012, which also known for neuropsychiatric adverse effect. Aim: To determine the prevalence of depression in PLWH in long-term EFV therapy and contributing factors. Method. A cross-sectional study of 251 HIV-infected adults was conducted at the HIV integrated unit clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital from June to September 2018. The eligible subject was screened using Beck Depression Inventory-II and diagnosis of depression was made according to Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5 by doing structured interview. Bivariate analysis was conducted using Chi Square test and Mann-Whitney test. Significant variables were analyzed with multivariate analysis using logistic regression test. Result. From 251 eligible subjects, the prevalence of depression is 23.5% (95% CI 18.25%-28.74). Bivariate analysis shows variable of group of age 36-55 years, EFV duration and homosexuality are associated with depression but multivariate analysis showed only variable of age of 36 to 55 years old (OR=0.454; 95% CI 0.244-0.845) and EFV duration is associated independently with depression (p 0.002, OR 0.843; 95% CI 0.755-0.940). Conclusion. Prevalence of depression in people living with HIV in long-term efavirenz therapy is 23.5% (CI 95% 18.25%-28.74), group of age of 36 to 55 years is tend to have lesser depression than age <35 years and the longer duration of EFV is associated with the lesser tendency of depression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bryany Titi Santi
"Laporan Kemenkes RI mengenai angka kejadian HIV & AIDS di Indonesia sampai September menyatakan 92.251 kasus HIV dan 39.434 kasus AIDS. ODHA memerlukan ARV untuk menekan replikasi virus. Paduan pengobatan dimulai dari lini pertama yang terdiri atas 2 Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) dan 1 Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Nevirapin adalah ARV golongan NNRTI yang paling sering digunakan karena efektif dan efisien. Evaluasi pengobatan ARV dan data mengenai substitusi ARV masih kurang. Substitusi dapat menggambarkan isu penting berkaitan dengan keberhasilan program pengobatan HIV dan efek samping obat. Desain penelitian ini kasus kontrol dengan data berasal dari rekam medis. Kasus adalah mereka yang mengalami sustitusi nevirapin. Analisis univariat, bivariat dan multivariat logistik regresi dilakukan. Didapatkan faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan substitusi nevirapin adalah tingkat pendidikan OR=3,31(CI95%=1,27-8,63) dan kondisi awal terapi yaitu stadium klinis OR=0,37 (CI95%=0,13-1,11), kadar SGOT OR=2,15 (CI95%=0,83-5,57), kadar SGPT dengan OR=1,41 (CI95%=0,61-3,26), dan CD4 dengan OR ==1,80 (CI95%=0,56-5,83). Edukasi kepada pasien dengan tingkat pendidikan rendah mengenai manfaat dan cara minum obat perlu lebih ditekankan dan monitoring keluhan efek samping secara teratur melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laborarium secara berkala kepada seluruh penderita HIV/AIDS yang mendapat ARV disertai CD4 dan enzim hati diawal terapi yang tinggi.

Indonesian Ministry of Health reported that there are 92.251 cases HIV and 39.434 cases AIDS until September 2012. Those people need ARV to suppress viral load dan enhaced their immunity. Based on guideline therapy, starting ARV should from first line which consisted of 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) dan 1 NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor). Nevirapin is a NNRTI and more prescribe because its effectiveness and efficiency. In Indonesia, there are less data about antiretroviral evaluation, especially substitution. These data are important to identify some issues such as effectiveness antiretroviral therapy and toxicity. Toxicity that induced by antiretroviral effect nonadherence. This study is using case control design which source of data is medical records. Cases are those who experienced nevirapine substitution. Univariat, bivariat and multivariate logistic regression are using to analyze these data. Result shows that significant factors associated with nevirapine substitution are education level OR=3,31(CI95%=1,27-8,63), clinical staging OR=0,37 (CI95%=0,13-1,11), SGOT level at baseline OR=2,15 (CI95%=0,83-5,57), SGPT level at baseline OR=1,41 (CI95%=0,61-3,26), and CD4 at baseline OR ==1,80 (CI95%=0,56-5,83). This result recommend to educate those who are low education with comprehensive information about antiretroviral and monitoring regularly patients who have elevated level of liver enzime on baseline therapy."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Mayangsari
"[ABSTRAK
Pendahuluan: Gangguan cemas dan depresi merupakan global burden of disease.
Prevalensi gangguan cemas dan depresi untuk penduduk Indonesia sebesar 11,6%,
di DKI Jakarta sebesar 14,1% dengan angka tertinggi ada di Jakarta Pusat sebesar
23,0%. Meskipun angkanya besar, namun banyak orang dengan gangguan cemas
dan depresi mengalami kesenjangan pengobatan (treatment gap) yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
mendalam tentang ungkapan stres (idiom of distress) untuk gejala cemas dan
depresi juga tentang perilaku mencari pertolongan terkait dengan ungkapan stres
tersebut pada pasien yang datang berobat ke layanan kesehatan primer.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan wawancara mendalam
pada responden yang telah diketahui mengalami gejala cemas dan depresi melalui
penapisan dengan menggunakan instrumen Self-Reporting Questionnaire (SRQ).
Penelitian dilakukan di Puskesmas Gambir dan waktu pelaksanaan pada bulan
September 2013 sampai Juli 2014.
Hasil: Data penelitian diperoleh dari tiga orang responden yang ketiganya
tergolong dalam initial somatizer dengan keluhan somatik multipel. Ungkapan
yang diberikan berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia, peribahasa, bahasa asing
(Belanda, Inggris). Ketiganya juga diketahui memiliki stresor biologis, psikologis,
sosial-ekonomi, dan agama/ budaya. Seluruh responden memilih untuk meminta
pertolongan ke fasilitas kesehatan, namun tidak pernah mengungkapkan keluhan
terkait perasaannya dan tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan.
Pembahasan: Keluhan somatik multipel mungkin merupakan suatu bentuk
ungkapan stres terkait gejala cemas dan depresi yang lebih dapat diterima secara
sosial. Ungkapan stres ini juga dipengaruhi oleh bahasa atau kebudayaan
seseorang. Pola perilaku mencari dipengaruhi keluhan fisiknya sehingga mencari
pertolongan medis dan tidak pernah mengakses ke layanan kesehatan jiwa.

ABSTRACT
Introduction: Anxiety and depression disorders are the global burden of disease.
The prevalence of anxiety and depression disorders of Indonesia's population is
11.6%. In Jakarta it is 14.1% and the highest rate in Central Jakarta is amounted to
23.0%. Although it is high prevalence, many people with anxiety and depression
disorders have treatment gap caused by various factors. This study aims to gain a
deeper understanding of the idiom of distress for anxiety and depression?s
symptom, also for help-seeking behavior related to the idiom of distress on
patients who come for a treatment to primary health care.
Method: This study is a qualitative with in-depth interviews in respondents who
have been known to have symptoms of anxiety and depression through a
screening using the instruments of Self-Reporting Questionnaire (SRQ). The
study was conducted at the Gambir Primary Health Care from September 2013
until July 2014.
Result: The data was obtained from three respondents who were classified in the
initial somatizer with multiple somatic complaints. The phrase is given in the
form of the local language, Indonesian, proverbs, and foreign languages (Dutch,
English). All three respondents are known to have biological stressors,
psychological, socio-economic, and religious/ cultural. All respondents chose to
ask for help at a health facility, but never revealed their feelings and health
personnel never asked about their feelings.
Discussion: Multiple somatic complaints may constitute the idiom of distress
related to the symptoms of anxiety and depression that is socially more
acceptable. The idiom of distress is also influenced by the personal language or
the culture. The help-seeking behavior is influenced by the physical complaints to
seek medical help and not to have an access to the mental health services., Introduction: Anxiety and depression disorders are the global burden of disease.
The prevalence of anxiety and depression disorders of Indonesia's population is
11.6%. In Jakarta it is 14.1% and the highest rate in Central Jakarta is amounted to
23.0%. Although it is high prevalence, many people with anxiety and depression
disorders have treatment gap caused by various factors. This study aims to gain a
deeper understanding of the idiom of distress for anxiety and depression’s
symptom, also for help-seeking behavior related to the idiom of distress on
patients who come for a treatment to primary health care.
Method: This study is a qualitative with in-depth interviews in respondents who
have been known to have symptoms of anxiety and depression through a
screening using the instruments of Self-Reporting Questionnaire (SRQ). The
study was conducted at the Gambir Primary Health Care from September 2013
until July 2014.
Result: The data was obtained from three respondents who were classified in the
initial somatizer with multiple somatic complaints. The phrase is given in the
form of the local language, Indonesian, proverbs, and foreign languages (Dutch,
English). All three respondents are known to have biological stressors,
psychological, socio-economic, and religious/ cultural. All respondents chose to
ask for help at a health facility, but never revealed their feelings and health
personnel never asked about their feelings.
Discussion: Multiple somatic complaints may constitute the idiom of distress
related to the symptoms of anxiety and depression that is socially more
acceptable. The idiom of distress is also influenced by the personal language or
the culture. The help-seeking behavior is influenced by the physical complaints to
seek medical help and not to have an access to the mental health services.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Ani Purnamawati
"Infertilitas merupakan masalah yang cukup berat bagi pasangan suami istri karena mempunyai keturunan merupakan harapan yang paling mendasar ketika mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Berbagai respons psikologis akan dialami oleh pasangan suami istri ketika menghadapi masalah infertilitas, seperti rasa kecewa, camas, sedih, perasaan iri melihat pasangan lain mempunyai anak, marah dan depresi. Ketika mereka rnemutuskan mencari pertolongan medis, sering kali mereka akan nengalami kegagalan terapi yang berulang. Hal-hal tersebut mengakibatkan pasangan suami istri dengan masalah infertilitas mempunyai risiko yang tinggi mengalami gangguan depresi dan diduga istri akan mengalami gangguan depresi lebih berat dibandingkan suami.
Tujuan penelitian ini ingin membuktikan bahwa derajat depresi pada istri lebih tinggi bila dibandingkan dengan suami pada pasutri dengan masalah infertilitas, mencari proporsi depresi, serta faktor-faktor risiko yang mungkin berperan terhadap terjadinya gangguan depresi pada pasutri dengan masalah infertilitas. Jumlah subyek penelitian sebanyak 46 pasang suami istri.diambil di Poliklinik Kebidanan Departemen Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Instrumen yang digunakan SCID-I, HRS-D, kuesioner stresor psikososial dari Holmes and Rache.
Hasil analisis data mendapatkan derajat depresi pada istri lebih tinggi secara bemakna dibandingkan dengan suami, jadi hipotesis penelitian ini diterima. Proporsi depresi pada suami 15,2% dan pada istri 43,5%. Diagnosis gangguan depresi yang dialami oleh suami: episode gangguan depresi berat saat uti 8,7%, gangguan depresi minor 6,5% dan pada istri episode gangguan depresi berat saat ini 32,6% gangguan depresi minor 10,9%. Faktor risiko gangguan depresi yang bermakna secara statistik pada suami adalah stresor psikososial, sedangkan pada istri adalah lama menikah (lama infertilitas) dan lama terapi infertilitas. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan kondisi emosi pasutri dengan masalah infertilitas, hendaknya ditatalaksana sejak dini, tanpa menunggu munculnya gangguan mental yang memenuhi kriteria diagnosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>