Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201925 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hikari Ambara Sjakti
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T22665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Ambara Sjakti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T22665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Tia Nur
"Palsi serebral PS adalah gangguan fungsi motorik dan postur akibat gangguan perkembangan otak Anak PS sering mengalami kesulitan makan yang disebabkan gangguan tersebut Anak dengan gangguan fungsi motorik yang berat akan lebih besar kemungkinan mengalami kesulitan makan Kesulitan makan akan menyebabkan capaian kalori berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi Tujuan Mengetahui prevalensi faktor risiko skala GMFCS dengan kesulitan makan pada anak PS serta pengaruh intervensi Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien palsi serebral yang datang di poliklinik neurologi anak RSUD Dr Moewardi pada Januari sampai September 2015 Anak PS akan diperiksa skala GMFCS status gizi dan kesulitan makan Skala GMFCS diukur menggunakan instrument pengukuran Gross Motor Function Measure 88 GMFM 88 Status gizi antropometri diukur menggunakan kurva CDC NCHS 2000 Pasien PS dengan tipe spastik kuadriplegi dilakukan pengukuran antropometri ulang menggunakan kurva Krick Penentuan status gizi berdasarkan kriteria klasifikasi Waterlow Capaian kalori diukur dengan analisis diet recall selama 3 hari dan dinilai cukup apabila memenuhi 13 9 kkal cm TB 10 Kesulitan makan dinilai dari anamnesis pemeriksaan fisik dan observasi kemampuan makan Hasil Didapatkan 80 anak PS pada penelitian ini sebagian besar subjek adalah PS tipe spastik 96 dengan tipe spastik kuadriplegi dan spastik diplegi dan mempunyai skala GMFCS V Prevalensi malnutrisi pada anak PS sebesar 68 Tujuh puluh delapan persen diantaranya mengalami kesulitan makan 30 dari yang menderita kesulitan makan adalah anak PS dengan skala GMFCS V Simpulan Prevalensi gizi kurang pada anak PS di RSUD Dr Moewardi sebesar 68 dan prevalensi gizi buruk sebesar 10 Skala GMFCS dan tipe PS spastik merupakan faktor risiko kesulitan makan pada anak PS Pemberian terapi oromotor dan postural berpengaruh secara signifikan memperbaiki kelainan oromotor dan kontrol postur.

Background Cerebral palsy CP is a motor and postural disorder due to an insult on the developing brain Children with CP often have feeding difficulties due to their disabilities Children with severe motor impairment are likely to experience greater feeding difficulties This results in inadequate calorie intake which finally leads to malnutrition Objective To determine the prevalence and the relationship between the GMFCS and feeding difficulties in CP Methods A cross sectional study was done from January to September 2015 in the neurology pediatric outpatient clinic of Dr Moewardi Hospital Children with CP underwent the GMFCS scale nutritional and feeding difficulties assessment The GMFCS was evaluated by Gross Motor Function Measure 88 GMFM 88 Nutritional status was determined by the ratio of body weight to body height standardized to CDC NCHS 2000 growth curve and were classified based on Waterlow Spastic quadriplegics CP patients were also compared to CP growth curve of Krick Calorie intake was evaluated by dietary analysis and defined as adequate if it reached 13 9 kcal cm BH 10 Feeding difficulties assessment included history taking physical examination and observation of feeding skill in the outpatient clinic Results Eighty children with CP were included in this study most of them were spastic type 96 mainly spastic quadriplegic and diplegic CP and were in GMFCS level V Malnutrition was found in 78 subject Feeding difficulties were found in 78 subject 30 with GMFCS level V Conclusion The prevalence of undernourished and severe malnutrition in children with CP is 68 and 10 respectively The GMFCS scale and CP with spastic type are risc factor for feeding difficulties in children with CP The effect of oromotor and postural theraphy on improvement of oromotor and postural control are significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primo Parmato
"Latar belakang: Palsi serebral (PS) adalah salah satu gangguan fisis penyebab utama gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Permasalahan PS yang menjadi perhatian bagi orangtua adalah keterlambatan perkembangan motorik terutama kemampuan berjalan. Sampai saat ini belum didapatkan data prevalens dan faktor prediktor pada masa anak apa saja yang berhubungan dengan kemampuan berkalan pasien PS.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens kemampuan berjalan pasien PS, dan mengetahui faktor prediktor apa saja yang berhubungan dan yang paling berperan terhadap kemampuan berjalan pasien PS pada masa anak.
Metode: 102 pasien PS yang berusia 6 tahun ke atas dilakukan pengambilan data melalui wawancara orang tua dan rekam medis mengenai kemampuan berjalan pasien PS dan faktor prediktor pada masa anak yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Hasil: Sebanyak 27 pasien (26.5%) berjalan tanpa alat bantu, 13 pasien (12.7%) berjalan dengan alat bantu, dan 62 pasien (60.8%) tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun (P<0.001; OR=6.89; IK 95%=2.42-19.71) dan tipe PS spastik unilateral (OR=7.36; IK 95%=1.86-29.18).
Simpulan: Prevalens pasien PS yang dapat berjalan tanpa alat bantu adalah 26.5%, berjalan dengan alat bantu adalah 12.7%, dan tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu 60.8%. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun dan spastik unilateral. Faktor prediktor yang paling berperan adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun.

Background: Cerebral palsy (CP) is one of the main disorder of growth and development in child. The problem of CP often asked by parents is delayed of motoric development particularly about walking ability. There has been no data about prevalence and childhood predicting factor which has relationship with walking ability in CP patient.
Objectives: To determine the prevalence of walking ability in CP patient, to identify childhood predicting factor relating to walking ability in CP patient, and also to determine the most childhood predicting factor of walking ability in CP patient.
Methods: Data has been taken from 102 CP patients which has age above 6 years old, by interviewed to the parents or by medical record. The places of research are Cipto Mangunkusumo Hospital and Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Results: 27 patients (26.5%) could walk without assistive device, 13 patients (12.7%) could walk with assistive device, and 62 patients (60.8%) could not walk even with assistive device. The childhood predicting factor of waking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old (P<0.001; OR=6.89; CI 95%=2.42-19.71) and the spastic unilateral CP type (OR = 7.36; CI 95% = 1.86-29.18).
Conclusions: The prevalence of walking ability in CP patient is 26.6% walk without assistive device, 12.7% walk with assistive device, and 60.8% could not walk even with assistive device. The predicting factor relating to walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old and the spastic unilateral CP type. The most predicting factor of walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Nurhiyani
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang optimal seorang anak, akan tetapi pengaruh gangguan susunan saraf pusat seperti palsi serebral merupakan faktor terpenting yang mungkin masih dapat dicegah lebih lanjut dengan penanganan dini (hendarto, 1982). Penanganan dini (pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi dini) gangguan susunan saraf pusat sangat penting untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal ini sesuai dengan salah satu program pemerintah pada Repelita V yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai tulang punggung pembangunan.
Palsi serebral adalah gangguan pada suatu saat dalam masa perkembangan anak yang mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif, disebut juga 'Significant Developmental Motor Disability' (SDMD) (Abrams dan Panagakos, 1980). Kelainan ini dapat terjadi intrauterin
(pranatal), perinatal atau pascanatal. Walaupun sulit untuk meneliti secara retrospektif etiologi palsi serebral terutama yang berhubungan dengan faktor pranatal dan perinatal (Stanley, 1884), tetapi etiologi kelainan ini harus dicari, karena penting untuk pencegahan (Breland, 1985).
William John Little (1862) salah seorang pendiri disiplin ilmu bedah tulang di Inggris, pertama kali menghubungkan palsi serebral dengan kelainan pra dan perinatal, sehingga dahulu kelainan ini disebut sebagai 'Little disease'. Berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan dibuat penggolongan sebagai berikut: rigiditas hemiplegia, rigiditas paraplegia, rigiditas umum dan kelainan gerak tanpa rigiditas (Ingram, 1984). Saat ini dipergunakan penggolongan menurut WHO International Classification of Diseases (W.H.O., 1977) yakni: diplegia, hemiplegia, kuadriplegia, monoplegia, paraplegia, hipotonia,
kuadriplegia dengan atetoid dan paraplegia dengan hipotonia.
Dengan pelayanan dan kemajuan obstetrik yang baik, kemajuan unit perinatalogi, dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian anak-anak dengan palsi serebral menurun. Pada tahun 1950-an angka kejadian palsi serebral 4-7/1000 kelahiran hidup, pada tahun 1980-an turun menjadi 1,5/1000 kelahiran hidup (Glenting, 1982).
Di negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran tidak hanya menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, tetapi juga meningkatkan jumlah anak-anak yang dahulu biasanya meninggal sehingga akhirnya meningkatkan pasien gangguan perkembangan (Hendarto dkk., 1985).
Bobath & Bobath {1978) menekankan pentingnya pengobatan dini palsi serebral, sehingga pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak dipergunakan perkembangan refleks primitif dan beberapa reaksi tubuh sebagai suatu cara diagnostik dini gangguan pergerakan serebral. Dengan rehabilitasi media dini diharapkan tercapainya fungsi optimal pasien palsi serebral, karena disfungsi otak terjadi pada saat tumbuh kembang anak belum selesai dan masih berlanjut (Sachs, 1984). Hal ini dibuktikan pada beberapa penelitian klinis dan sesuai dengan teori Von Hoff (1981), yang mengatakan bahwa perbaikan kerusakan otak lebih baik pada anak daripada orang dewasa. Menurut d'Avignon dkk. {1981), metode diagnostik Voyta dapat mendeteksi palsi serebral secara dini dan ternyata penanggulangan fisioterapi dini dengan metode Voyta memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode Bobath. Gangguan perkembangan mental yang menyertai palsi serebral dapat merupakan penghalang untuk mencapai kemajuan pengobatan (Hendarto dkk., 1985). Pada kasus tertentu, sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan foto kepala, elektroensefalografi serta angiografi. Tetapi saat ini pada kasus palsi serebral dengan etiologi yang tidak jelas atau tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonogragi kepala (Nwaesei dkk., 1988) dan "CT scan' kepala yang merupakan pemeriksaan tidak invasif (Kulakowski dkk., 1979; Kotlarek dkk., 1980; Taudorf dkk., 1984 ).
Phelps (1937) menyarankan untuk pertama kalinya pembentukan suatu unit rehabilitasi di Amerika, serta mempopulerkan penatalaksanaan multidisiplin terhadap pasien palsi serebral, seperti disiplin ilmu bedah tulang, saraf, nata, THT, ahli bina?.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Aulia Herdiyana
"Latar Belakang: Palsi serebral atau Cerebral palsy (CP) adalah salah satu penyebab utama disabilitas anak secara global. Gangguan muskuloskeletal, termasuk kontraktur unit otot-tendon dan kelainan bentuk tulang berkontribusi pada mobilitas yang terbatas pada pasien CP. Tatalaksana pasien dengan membutuhkan keahlian dari berbagai profesi yang bekerja secara kolaboratif dan efisien. Tujuan utama dari manajemen pasien CP adalah optimalisasi kemampuan fungsi, meminimalisasi disabilitas dan membangun kemandirian dalam keseharian dan partisipasi dalam lingkungan komunitas. Kerangka kerja International Classication of Functioning, Disability, and Health (ICF) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berguna untuk menilai dampak palsi serebral pada seorang individu. Domain-domain dijelaskan dari perspektif tubuh, individu dan masyarakat dalam dua fungsi dasar: (1) Fungsi dan Struktur Tubuh; dan (2) Aktivitas dan Partisipasi. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi luaran fungsional tindakan operasi pada ekstremitas bawah pasien dengan palsi serebral ambulatori di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan faktor yang berhubungan .
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif kohort single-arm untuk mengetahui luaran fungsional pasien anak dengan palsi serebral ambulatori yang menjalani operasi ekstremitas bawah RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2021-2023, yang dianalisis secara deskriptif perbedaan rentang gerak sendi panggul, lutut dan pergelangan kaki, skor Functional Mobility Scale (FMS), Functional Independence Measure for Children (WeeFIM), dan Cerebral Palsy Quality of Life (CPQOL); serta dilakukan analisa untuk melihat hubungan antara usia saat operasi, dan ketaatan mengikuti fisioterapi dengan luaran fungsional tersebut.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel 18 pasien. Terdapat perbaikan rentang gerakan pada sendi panggul, lutut dan pergelangan kaki yang dilakukan operasi. Skor FMS pada 5m, 50m, dan 500m terlihat perbaikan bermakna pasca operasi (p=0,014, p=0,025 dan p=0,025). Skor WeeFIM dan CPQOL juga mengalami perbaikan pasca operasi secara bermakna (p=0,008). Ketaatan menjalani program rehabilitasi medis berhubungan dengan perbaikan skor WeeFIM (p=0,037)
Kesimpulan: Anak palsi serebral ambulatori yang menjalani operasi ekstremitas bawah di RSUPN Cipto Mangunkusumo mempunyai luaran fungsional yang baik, dibuktikan dengan perbaikan rentang gerak sendi, skor FMS, skor WeeFIM, dan skor CPQOL pre dan post operasi. Ketaatan menjalani program rehab terlihat mempunyai hubungan bermakna dalam memperbaiki kemandirian anak palsi serebral yang menjalani operasi ekstremitas bawah.

Introduction: Cerebral palsy (CP) is one of the main causes of childhood disability globally. Musculoskeletal disorders, including muscle-tendon unit contractures and skeletal deformities contribute to limited mobility in CP patients. Patient management requires expertise from various professions working collaboratively and efficiently. The main goal of management of CP patients is to optimize functional abilities, minimize disability and build independence in daily life and participation in the community environment. The World Health Organization's (WHO) International Classification of Functioning, Disability, and Health (ICF) framework is useful for assessing the impact of cerebral palsy on an individual. The domains are explained from the perspective of the body, individual and society in terms of two basic functions: (1) Body Function and Structure; and (2) Activities and Participation. The aim of this study is to evaluate the functional outcomes of surgery on the lower extremities of patients with ambulatory cerebral palsy at the Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and the factors that might influence it.
Method: This study is a single-arm retrospective cohort study to determine the functional outcomes of pediatric patients with ambulatory cerebral palsy that underwent lower extremity surgery at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2021-2023, which was analyzed descriptively for differences in hip, knee and ankle joint range of motion, Functional Mobility Scale (FMS) scores, Functional Independence Measure for Children (WeeFIM) scores, and Cerebral Palsy Quality of Life (CPQOL) scores. Analysis was carried out to see the relationship between age at the time of surgery and compliance to physiotherapy program with functional outcomes.
Results: A total of 18 patients was studied. There is an improvement in the range of movement in the hip, knee and ankle joints following surgery. FMS scores at 5m, 50m and 500m showed significant improvement after surgery (p=0.014, p=0.025 and p=0.025). WeeFIM and CPQOL scores also improved significantly after surgery (p=0.008). Adherence to undergoing a rehab program is associated with improvements in WeeFIM score (p=0.037)
Conclusion: There were good functional outcomes after lower extremity surgery in ambulatory cerebral palsy pediatric patients at RSUPN Cipto Mangunkusumo as evidenced by improvements in joint range of motion, FMS scores, WeeFIM scores, and CPQOL scores pre and post-surgery. Compliance to rehabilitation program appears to have a significant correlation on improving the independence of children with cerebral palsy undergoing lower extremity surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif
"Pendahuluan: Arteriovenous malformation (AVM) serebral adalah kelainan vaskular di otak yang sering menyebabkan perdarahan intraserebral dan kejang, dengan prevalensi 10-18 per 100.000 orang pada populasi dewasa. Modalitas terapi meliputi observasi, reseksi bedah, bedah radiasi stereotaktik, dan embolisasi endovaskular. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis pasien AVM serebral setelah Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Studi observasional kohort-retrospektif dilakukan pada pasien AVM serebral yang menjalani GKRS di RSCM antara 2018 dan 2022. Evaluasi klinis dan radiologis dilakukan pada 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun pasca tindakan. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil: Dari 41 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, usia rerata pasien adalah 25,76 tahun dengan mayoritas laki-laki (63,45), gejala klinis yang paling umum adalah nyeri kepala dan kejang. Rata-rata tingkat obliterasi AVM setelah 1 tahun pasca-GKRS adalah 71,69%, meningkat menjadi 87,21% setelah 2 tahun, dan mencapai 91,07% setelah 3 tahun. Dalam evaluasi satu tahun pasca-GKRS, seluruh 41 pasien mengalami resolusi nyeri kepala. Sedangkan, dari 15 pasien yang mengalami kejang sebelum GKRS, hanya 2 pasien yang masih mengalami kejang dalam evaluasi 1 tahun setelah GKRS. Terdapat korelasi kuat antara tingkat obliterasi dan ukuran nidus <3cm (r=0.39) dan ukuran 3-6 cm (r=0.83). Selain itu, peningkatan tingkat obliterasi memiliki korelasi terhadap Spetzler-Martin (SM) Grade yang lebih rendah (p=0,001).

Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan tingkat obliterasi yang tinggi pada pasien AVM serebral pasca-GKRS, terutama pada kelompok SM grade rendah dan ukuran nidus yang kecil. Meskipun demikian, perdarahan tetap merupakan risiko selama periode evaluasi pasca GKRS, terutama pada pasien dengan SM grade tinggi. Faktor seperti embolisasi sebelum GKRS tidak mempengaruhi tingkat obliterasi secara signifikan, sementara hubungan antara tingkat obliterasi dengan perbaikan klinis, seperti penurunan nyeri kepala, ditemukan bermakna.

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, ukuran nidus yang lebih kecil mempunyai korelasi signifikan dalam memprediksi obliterasi AVM serebral pasca GKRS. Meskipun GKRS dapat menjadi pilihan utama pada pasien dengan SM grade rendah dan ukuran nidus kecil, risiko perdarahan perlu dipertimbangkan selama pemantauan pasca tindakan. Perbaikan klinis, khususnya dalam mengurangi nyeri kepala, berkorelasi positif dengan tingkat obliterasi AVM setelah GKRS.


Introduction: Brain arteriovenous malformation (AVM) is a vascular disorder in the brain often associated with intracerebral hemorrhage and seizures, with a prevalence of 10-18 per 100,000 adults. Treatment modalities include observation, surgical resection, stereotactic radiosurgery, and endovascular embolization. This study aimed to evaluate the clinical and radiological outcomes of cerebral AVM patients after Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM).

Methods: A retrospective cohort observational study was conducted on brain AVM patients who underwent GKRS at RSCM between 2018 and 2022. Clinical and radiological evaluations were performed at 6 months, 1 year, 2 years, and 3 years post-procedure. Sampling was conducted using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria.

Results: Of the 41 patients meeting the inclusion and exclusion criteria, the mean age was 25.76 years with a predominance of males (63.45%). The most common clinical symptoms were headache and seizures. The average AVM obliteration rate after 1 year post-GKRS was 71.69%, increasing to 87.21% after 2 years, and reaching 91.07% after 3 years. At the one-year evaluation post-GKRS, all 41 patients experienced resolution of headaches. Among the 15 patients with pre-GKRS seizures, only 2 patients still experienced seizures at the 1-year evaluation post-GKRS. There was a strong correlation between obliteration rate and nidus size <3 cm (r=0.39) and size 3-6 cm (r=0.83). Furthermore, increased obliteration rates correlated with lower Spetzler-Martin (SM) Grade (p=0.001).

Discussion: This study demonstrates high obliteration rates in brain AVM patients after GKRS, particularly in the low SM grade and small nidus size groups. However, hemorrhage remains a risk during the post-GKRS evaluation period, especially in patients with high SM grades. Factors such as pre-GKRS embolization did not significantly affect obliteration rates, while a significant association between obliteration rate and clinical improvement, such as reduction in headaches, was found.

Conclusion: In conclusion, smaller nidus size significantly predicts brain AVM obliteration post-GKRS. Although GKRS may be the primary choice for patients with low SM grade and small nidus size, the risk of hemorrhage needs consideration during post-procedural monitoring. Clinical improvements, particularly in reducing headaches, positively correlate with AVM obliteration rates after GKRS."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partini Pudjiastuti
"Latar Belakang
Sarnpai saat ini batu saluran kemih (BSK) pada anak masih merupakan masalah kesehatan anak di negara yang sedang berkembang ( Aurora dkk.,1970; Remzi dkk.,1984 ). Urolitiasis atau batu saluran kemih telah dikenal sejak beberapa abad yang lampau. Ruffer (dikutip oleh Aurora dkk.,1970) melaporkan penemuan batu buli-buli di sela kerangka Predinasti Mesir; namun hingga saat kini BSK masih merupakan hal yang menarik dalam ilmu kedokteran untuk dibicarakan. Beberapa laporan dari Eropa dan Amerika yang dikutip oleh Walther dkk.(1980) menunjukkan adanya penurunan frekuensi kejadian BSK pada anak. Namun di beberapa negara Asia, penyakit ini masih bersifat endemis ( Malek, 1976; Tellaloglu dan Ander, 1984). Indonesia terletak pada kelompok negara dunia yang termasuk dalam daerah 'sabuk batu' ('stone belt').
Batu saluran kemih pada anak mempunyai frekuensi kejadian, komposisi batu dan keadaan Minis yang berbeda-beda, dari satu negara ke negara lain, dan dari masa ke masa. Bahkan di negara-negara yang penyakit ini bersifat endemis, terdapat perbedaan lokasi batu dan hubungannya dengan infeksi saluran kemih (Tellaloglu dan Ander, 1984). Penyakit ini berhubungan erat dengan faktor sosioekonomi. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dengan perbaikan status sosio-ekonomi, frekuensi kejadian BSK bagian bawah akan menurun, namun frekuensi kejadian BSK bagian atas akan meningkat (Sinno dkk., 1979). Penyakit ini juga menunjukkan adanya predisposisi dalam keluarga ( Aurora dkk.,1970; Malek,1976; Smith,1981; Noe dkk.,1983 ).
Baru saluran kemih merupakan bagian yang besar dari penyebab kunjungan ke unit gawat darurat maupun perawatan bedah di rumah sakit. Bahkan bagian terbesar dari operasi urologi adalah pengangkatan batu dari saluran kemih (Remzi,1980; Asworth dan Hill, 1988). Di Jakarta, dalam kurun waktu 1979 - 1980, Rahardjo dan Firdaoessaleh (1982), menemukan 319 kasus (20,49 %) batu saluran kemih dari 1557 kasus urologi yang dirawat.
Akibat yang ditimbulkan oleh batu saluran kemih ialah obstruksi, infeksi, rasa nyeri dan metaplasia, yang sangat merugikan penderita. Obstruksi dan infeksi yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal, bahkan dapat sampai ke taraf gagal ginjal. Sedang rasa nyeri yang hebat, dapat menyebabkan seorang penderita Herman dari Binjai (Sumatera Utara) pada tahun 1988, nekat mengoperasi dirinya sendiri untuk mengeluarkan batu dari dalam buli-bulinya (Tempo, 1988).
Meskipun penelitian yang ekstensif telah banyak dilakukan, namun sampai sekarang etiologi dan patogenesis pembentukan BSK masih belum jelas (Aurora dkk.,1970; Remzi, 1980 ). Penyakit batu saluran kemih sebenarnya merupakan penyakit kronik. Penyelidikan faktor penyebab terjadinya BSK pada setiap kasus perlu dilakukan untuk dapat mengatur cara pencegahan kekambuhan. Oleh karena belum semua faktor pembentukan batu dapat diterangkan dengan jelas, maka pemantauan untuk mengawasi hasil operasi dan kemungkinan kekambuhan sangat penting. Namun sangat disayangkan, pada kasus-kasus BSK , usaha yang dilakukan sering kali masih dititikberatkan pada pengangkatan batu itu sendiri, sehingga meskipun pengobatan BSK mengalami kemajuan yang pesat akhir-akhir ini, tetapi usaha pencegahan kekambuhan masih merupakan tantangan bagi para peneliti (Ohkawa dan Morimoto, 1987)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T5398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Nurul Hafifah, supervisor
"[ABSTRAK
Latar Belakang Masalah saluran napas yaitu pneumonia aspirasi merupakan masalah utama berkaitan dengan kualitas hidup morbiditas dan mortalitas pada anak palsi serebral PS Faktor yang berperan terhadap timbulnya pneumonia aspirasi antara lain adalah kelemahan otot napas gangguan koordinasi menelan refluks gastro esofagus status gizi dan imunitas yang kurang baik Namun hingga kini belum ada data seberapa besar insidens pneumonia aspirasi pada anak dengan PS di Indonesia dan faktor risiko yang berhubungan Tujuan Mengetahui insidens pneumonia aspirasi pada anak dengan PS dan hubungan faktor risiko dengan kejadian pneumonia aspirasi Metode Penelitian ini adalah studi kohort prospektif untuk menilai insidens pneumonia aspirasi dan studi potong lintang untuk menilai faktor risiko pneumonia aspirasi Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap dan Klinik Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangukusumo Waktu rekrutmen penelitian 1 Maret 31 Maret 2015 Waktu pengamatan tanggal 1 April 30 September 2015 Terhadap subyek dilakukan anamnesis termasuk penilaian faktor risiko dengan Dysphagia Disorder Survey pemeriksaan fisis dan R ntgen toraks sebagai data awal selanjutnya subyek diamati selama 6 bulan untuk mengevaluasi adanya pneumonia aspirasi Hubungan bivariat antara kejadian aspirasi dan faktor risiko dilakukan dengan uji Fisher dan Mann Whitney sedangkan analisis multivariat dilakukan dengan regresi logistik Hasil Total subjek penelitian adalah 40 anak dengan PS Dua subjek mengalami drop out karena meninggal dunia dan dua subjek loss to follow up sehingga terdapat 36 pasien yang berhasil diamati hingga enam bulan Sebanyak 8 dari 36 22 2 pasien pada penelitian ini mengalami kejadian aspirasi baik silent aspiration 5 5 maupun pneumonia aspirasi secara klinis 19 4 Derajat beratnya PS berhubungan dengan pneumonia dan silent aspiration p 0 040 sedangkan pneumonia dan silent aspiration tidak berhubungan dengan gangguan koordinasi menelan p 0 2 dan status gizi p 0 107 Simpulan Insidens pneumonia aspirasi pada anak PS adalah 22 2 dengan derajat beratnya PS sebagai faktor risiko terjadinya PS ABSTRACT Background Respiratory problems such as aspiration pneumonia are major morbidities and mortalities in children with cerebral palsy and play major role in the quality of life of these children Several risk factors may contribute to these problems including respiratory muscle weakness dysphagia gastro esophageal reflux disease nutrition and immune problem Nevertheless there are still no data on the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy in Indonesia Aim To determine the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy Method Incidence of pneumonia was studied prospectively and the prevalence of the risk factors was studied as cross sectional Subjects were recruited from March 1st ndash 31st 2015 through Neurology Clinic and Pediatric Ward Cipto Mangukusumo Hospital At baseline we evaluate history physical examination risk factors using Dysphagia Disorder Survey and chest X ray to evaluate the incidence of silent aspiration Subjects were followed up for six months to determine the incidence of aspiration pneumonia Analysis of the risk factors contributing to aspiration pneumonia were tested using Fisher rsquo s exact test and Mann Whitney Multivariate analysis was tested using logistic regression Result A total of 40 children with cerebral palsy were recruited Two subjects died during follow up and two subjects were loss to follow up giving a total of 36 subjects who completed the study Eight out of 36 subjects 22 2 had one or more episodes of aspiration consisting of silent aspiration 5 5 and clinically diagnosed aspiration pneumonia 19 4 Gross motor function was statistically signifant as risk factor of aspiration pneumonia p 0 040 while dysphagia p 0 2 and nutritional status p 0 107 were not associated with pneumonia and silent aspiration Conclusion Incidence of aspiration pneumonia and silent aspiration in children with cerebral palsy is 22 2 with gross motor function as a risk factor ;Background Respiratory problems such as aspiration pneumonia are major morbidities and mortalities in children with cerebral palsy and play major role in the quality of life of these children Several risk factors may contribute to these problems including respiratory muscle weakness dysphagia gastro esophageal reflux disease nutrition and immune problem Nevertheless there are still no data on the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy in Indonesia Aim To determine the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy Method Incidence of pneumonia was studied prospectively and the prevalence of the risk factors was studied as cross sectional Subjects were recruited from March 1st ndash 31st 2015 through Neurology Clinic and Pediatric Ward Cipto Mangukusumo Hospital At baseline we evaluate history physical examination risk factors using Dysphagia Disorder Survey and chest X ray to evaluate the incidence of silent aspiration Subjects were followed up for six months to determine the incidence of aspiration pneumonia Analysis of the risk factors contributing to aspiration pneumonia were tested using Fisher rsquo s exact test and Mann Whitney Multivariate analysis was tested using logistic regression Result A total of 40 children with cerebral palsy were recruited Two subjects died during follow up and two subjects were loss to follow up giving a total of 36 subjects who completed the study Eight out of 36 subjects 22 2 had one or more episodes of aspiration consisting of silent aspiration 5 5 and clinically diagnosed aspiration pneumonia 19 4 Gross motor function was statistically signifant as risk factor of aspiration pneumonia p 0 040 while dysphagia p 0 2 and nutritional status p 0 107 were not associated with pneumonia and silent aspiration Conclusion Incidence of aspiration pneumonia and silent aspiration in children with cerebral palsy is 22 2 with gross motor function as a risk factor ;Background Respiratory problems such as aspiration pneumonia are major morbidities and mortalities in children with cerebral palsy and play major role in the quality of life of these children Several risk factors may contribute to these problems including respiratory muscle weakness dysphagia gastro esophageal reflux disease nutrition and immune problem Nevertheless there are still no data on the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy in Indonesia Aim To determine the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy Method Incidence of pneumonia was studied prospectively and the prevalence of the risk factors was studied as cross sectional Subjects were recruited from March 1st ndash 31st 2015 through Neurology Clinic and Pediatric Ward Cipto Mangukusumo Hospital At baseline we evaluate history physical examination risk factors using Dysphagia Disorder Survey and chest X ray to evaluate the incidence of silent aspiration Subjects were followed up for six months to determine the incidence of aspiration pneumonia Analysis of the risk factors contributing to aspiration pneumonia were tested using Fisher rsquo s exact test and Mann Whitney Multivariate analysis was tested using logistic regression Result A total of 40 children with cerebral palsy were recruited Two subjects died during follow up and two subjects were loss to follow up giving a total of 36 subjects who completed the study Eight out of 36 subjects 22 2 had one or more episodes of aspiration consisting of silent aspiration 5 5 and clinically diagnosed aspiration pneumonia 19 4 Gross motor function was statistically signifant as risk factor of aspiration pneumonia p 0 040 while dysphagia p 0 2 and nutritional status p 0 107 were not associated with pneumonia and silent aspiration Conclusion Incidence of aspiration pneumonia and silent aspiration in children with cerebral palsy is 22 2 with gross motor function as a risk factor , Background Respiratory problems such as aspiration pneumonia are major morbidities and mortalities in children with cerebral palsy and play major role in the quality of life of these children Several risk factors may contribute to these problems including respiratory muscle weakness dysphagia gastro esophageal reflux disease nutrition and immune problem Nevertheless there are still no data on the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy in Indonesia Aim To determine the incidence and risk factors of aspiration pneumonia in children with cerebral palsy Method Incidence of pneumonia was studied prospectively and the prevalence of the risk factors was studied as cross sectional Subjects were recruited from March 1st ndash 31st 2015 through Neurology Clinic and Pediatric Ward Cipto Mangukusumo Hospital At baseline we evaluate history physical examination risk factors using Dysphagia Disorder Survey and chest X ray to evaluate the incidence of silent aspiration Subjects were followed up for six months to determine the incidence of aspiration pneumonia Analysis of the risk factors contributing to aspiration pneumonia were tested using Fisher rsquo s exact test and Mann Whitney Multivariate analysis was tested using logistic regression Result A total of 40 children with cerebral palsy were recruited Two subjects died during follow up and two subjects were loss to follow up giving a total of 36 subjects who completed the study Eight out of 36 subjects 22 2 had one or more episodes of aspiration consisting of silent aspiration 5 5 and clinically diagnosed aspiration pneumonia 19 4 Gross motor function was statistically signifant as risk factor of aspiration pneumonia p 0 040 while dysphagia p 0 2 and nutritional status p 0 107 were not associated with pneumonia and silent aspiration Conclusion Incidence of aspiration pneumonia and silent aspiration in children with cerebral palsy is 22 2 with gross motor function as a risk factor ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aryani
"Penyakit kolestasis pada bayi dan anak memberikan dampak negatif bagi status nutrisi, pertumbuhan serta perkembangan sehingga berdampak pada mortalitas. Sistem imunitas pada bayi dan anak yang lemah meningkatkan morbiditas dan berdampak pada status nutrisi sehingga meningkatkan angka mortalitas pada anak kolestasis.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis pasien bayi dan anak kolestasis yang dirawat inap serta rawat jalan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010-2015.
Dengan menggunakan desain cohort retrospektif, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status nutrisi dan morbiditas pada anak dengan kolestasis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil penelitian pengukuran status nutrisi berdasarkan lingkar lengan atas per umur (n=37) didapatkan, status gizi normal 10(27%), gizi kurang 10(27%), dan gizi buruk 17(46%). Dengan pengukuran indeks lingkar lengan atas per umur (LLA/U), hubungan morbiditas common cold memiliki hubungan yang bermakna p<0,05. Namun morbiditas terhadap status nutrisi berdasarkan tinggi badan per umur (TB/U) p>0,05.

Cholestasis disease in infants and children adversely affects nutritional status, growth and development which impact on mortality. The weak immune system in infants and children can increase morbidity and nutritional status thus increasing the mortality rate in children with cholestasis.
This research was conducted using data from medical records patients of infants and children with cholestatic who are hospitalized and given outpatient treatment at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 2010-2015.
By using a retrospective cohort design, this research aims to determine the relationship of nutritional status and morbidity in children with cholestasis in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Research results measuring of nutritional status with the index mid upper arm circumference for age (n=37), normal nutritional status 10(27%), under nutrition 10(27%) and severe nutrition 17(46%). With the index mid upper arm circumference for age (MUAC/A), morbidity relationship common cold against nutritional status has a significant relationship p<0.05. However, the morbidity of the nutritional status based high for age (H/A) p> 0.05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>